Anda di halaman 1dari 2

Amir Daud dan Jurnalisme Dasar

Oleh Farid Gaban Tubuhnya mulai rapuh, pendengarannya sudah jauh berkurang. Namun, Pak Amir Daud tetap merupakan guru terbaik dalam hal jurnalisme yang pernah saya kenal. Saya tidak mengenalnya dengan sangat dekat, tapi saya terkesan dengan pertemuan kami yang hanya sedikit. Sepuluh tahun lalu, kami mengundangnya memberi pelatihan kepada wartawan baru di The Indonesian Times, koran berbahasa Inggris yang berumur pendek. Saya ikut belajar karena ingin bisa menulis berita dalam bahasa Inggris, yang sampai sekarang tetap tidak mahir juga, tapi bukan karena kesalahannya mengajar. Sebelumnya, sebagai Redaktur Pelaksana Republika, saya mengundang beliau untuk melatih para reporter dan redaktur harian itu. Daya pendengarannya yang berkurang karena dikikis usia mempersulit komunikasi dia dengan para muridnya. Tapi, itu tak menghalangi saya. Bagi para wartawan yang sudah sedikit senior, cara mengajar dia juga cenderung menjemukan dan kadang kedengaran kuno. Namun, saya selalu menemukan hal-hal penting dari yang diajarkan, sehingga saya bisa menerima peraturannya yang ketat untuk tidak merokok dalam kelasnya. Dia selalu menyodorkan pertanyaan yang tajam dan mendasar kepada para muridnya. Merangsang kami untuk berpikir. Dia seorang "killer" jika harus mengoreksi tulisan atau berita yang kami buat. Keras dan disiplin. Meski sudah bertahun-tahun jadi wartawan, saya merasa selalu diingatkan oleh Pak Amir pada hal-hal elementer tentang profesi ini, tentang bagaimana menulis, tentang pentingnya hal yang sering kita cibir sebagai "kuno dan kolot". Lebih dari seorang guru jurnalisme, Pak Amir mengajarkan cara hidup yang penuh integritas dan dedikasi. Penampilannya sangat sederhana dan sikapnya rendah hati untuk seorang yang pernah menduduki posisi puncak di media terkemuka di Indonesia: Wakil Pemimpin Redaksi Harian Pedoman (milik Rosihan Anwar), Pemimpin Redaksi The Jakarta Post, dan Pemimpin Redaksi Bisnis Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir dia mendedikasikan hidupnya untuk mengajar di Lembaga Pers Dr. Soetomo, Jakarta, yang sudah banyak melahirkan wartawan kondang. Kami bertemu terakhir mungkin lima/enam tahun lalu, dalam sebuah pesta ketika Bambang Harymurti diangkat menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Tempo. Saya masih ingat pesannya: "Farid, di samping belajar menulis, Anda juga mesti belajar manajemen media."

Saya kehilangan seorang yang selalu mengingatkan hal-hal sederhana dalam jurnalisme, suatu yang cenderung kita lupakan di tengah perkembangan media beberapa tahun terakhir. Untuk mengenang Pak Amir Daud, di bawah ini saya sertakan beberapa prinsip mediajurnalisme yang kami diskusikan di The Indonesian Times--salah satu yang paling berkesan buat saya Beberapa prinsip ini, seingat saya, diambil dari kredo koran The Strait Times, Singapura: Menjadi Wartawan Tak ada yang menodongkan pestol ke kepala dan memaksa Anda menjadi wartawan. Anda datang atas kemauan sendiri, karena Anda mencintai dunia tulis-menulis, mampu mengendus berita dan punya ikatan pada orang kebanyakan. Asah lah kerajinan menulis Anda, ketajaman akan berita dan kepekaan terhadap orang-orang di jalanan. Asah lah selalu dan terus-menerus. Menggerutu boleh, asal jangan terlampau banyak. Pikirkan selalu pembaca. Cari tahu siapa mereka dan menulislah untuk bisa mereka baca. Jika Anda bisa bilang go to hell kepada mereka, Anda sendiri lah yang pertamatama akan masuk ke neraka. Lalu, koran atau majalah Anda. Membacalah setiap haritiga atau empat buku setiap kali dan semua jenis majalah. Bacalah sebanyak mungkin untuk menjadi penulis terbaik. Bacalah Shakespeare seperti Anda membaca Al-Quran atau Bible sepanjang hayat. Bacalah karya sastra klasikuntuk mengetahui bagaimana pikiran-pikiran besar masa silam mengekspresikan dirinya sendiri. Suapi otak setiap hari, seperti Anda menyuapi perut. Petinju hebat tak bisa mengandalkan daging yang dimakannya 10 tahun lewat. Wartawan tak bisa menulis baik dengan pikiran 10 tahun silam. Jagalah agar otak tetap terbuka terhadap gagasan dan pikiran baru. Jangan arogan dan bersikap menghakimi orang lain. Mereka yang tak setuju dengan Anda tidak selalu berarti tolol atau gila. Jauhkan diri dari memuja stereotipe. Sebab: hidup di desa belum tentu damai; birokrat belum tentu korup; haji dan imam masjid belum tentu alim; dan anak yang membunuh ibunya belum tentu durhaka. Gali lah fakta hingga ke dasar-dasarnya. Jangan terpukau pada omongan pejabat, para pakar, tentara, dan polisi. Kutip mereka sedikit mungkin. Gali cerita dari lapangan. Berbicaralah dengan orang-orang di jalanan, di tempat peristiwa. Terima kasih, Pak Amir Daud. Selamat jalan.

Anda mungkin juga menyukai