Anda di halaman 1dari 4

Silahkan download e-book ini di halaman download pada situs

ASAL UANG KERTAS – RESI


ASAL UANG KERTAS – RESI
Asalnya, uang kertas merupakan resi (tanda-terima) yang
dikeluarkan mewakili sejumlah Emas dan Perak yang
diserahkan oleh pedagang-pedagang kepada saudagar-saudagar
emas untuk diamankan dalam peti besi. Simpanan ini disebut
deposit.
Pada masa itu, uang resi bukanlah mata uang yang sah
(legal tender) menurut undang-undang negara. Resi itu
hanyalah bukti perjanjian di antara saudagar emas dengan
mereka yang menyimpan uang padanya.
Dalam kata-kata lain, uang kertas adalah nota janji
hutang (promissory note) atau I OWE YOU (Saya Hutang
Kamu), yakni janji untuk membayar balik resi itu dengan emas
atau perak yang telah berikan kepada saudagar-saudagar emas
untuk diamankan.
Resi ini kemudian bertukar menjadi uang kertas apabila
pedagang-pedagang mulai menggunakannya untuk berjual-
beli. Ia dianggap lebih memudahkan atau efisien dalam istilah
ekonomi dari menukarkan resi itu kepada emas atau perak.
Dengan ini, uang kertas mulai berputar dalam jual-beli
walaupun pada mulanya penggunaannya terbatas. Sebenarnya
pertukaran itu melibatkan pertukaran nota hutang dengan nota
hutang. Maka hutang-hutang pun beralih-tangan dan ini
terlarang dalam Islam.
“Tidak dibenarkan membayar pinjaman dengan
meminta peminjam menerima bayaran dari orang ketiga yang
berhutang kepada pemberi hutang…”
(Al-Risala, Ibn Abi Zaid al’Qairawani, bab 34).
Dengan demikian, tidak dibenarkan menunaikan hutang
dengan hutang lain.
“tidak dibenarkan kamu menjual sesuatu yang kamu tidak
punyai (miliki) dengan sadar bahwa kamu membelinya dan
akan memberikannya kepada si pembeli.”
(Al-Risala, Ibn Abi Zaid al’Qairawani, bab 34).
Melalui sistem penggandaan uang ini, bank bisa
mewujudkan hutang jauh lebih banyak dari simpanan tunai
dalam yang mereka miliki. Begini caranya. Bank biasanya
beroperasi dengan pembagian 20 : 1. Artinya, hanya 1 unit dari
20 unit itu berada dalam simpanan bank (berupa uang tunai).
Selebihnya dipinjamkan semuanya.
Khalayak umum menyangka bahwa bank
meminjamkan uang yang didepositkan oleh penyimpan,
padahal sejumlah besar uang yang dipinjamkan oleh bank itu
sebenarnya tidak ada dan tidak wujud – semuanya dicetak atas
angin belaka. Dengan cara ini, bank mewujudkan struktur
istimewa kredit yang berlipat ganda.
Apabila hutang pribadi-pribadi dan negara-negara
berlipat-ganda secara sistematik, ia menyebabkan inflasi yang
berkepanjangan dan tidak berakhir. Inflasi berkobar lagi
apabila uang kertas terus digunakan dan ini mengecilkan ‘daya
beli’ uang itu.
Oleh karena itu, jelaslah bahwa hubungan bank –
termasuklah ‘Bank Islam’ – dengan pemakaian uang kertas
tidak dapat dipisahkan atau diceraikan.
Uang kertas memerlukan bank dan bank menjadi
perantara atau saluran uang kertas. Tanpa bank, uang kertas
tidak mempunyai jalan; dan tanpa uang kertas, bank tidak
mempunyai peranan atau dalam istilah ekonomi – tidak
berfungsi.
Bank hanya dapat terwujud dan bergerak dengan
adanya uang yang bersifat perlambang (symbolic) atau
pengandaian semata-mata (hypothetical) untuk digandakan,
dan cuma uang kertas saja yang bisa digandakan dari atas
angin karena ia bukan barang niaga seperti emas dan perak.
Seperti dengan bank-bank ‘komersial’ yang lain, ‘Bank
Islam’ dan perbankan Islam bebas menerbitkan kredit
(kemudahan membayar kemudian atau penangguhan
pembayaran) dengan uang kertas tanpa peduli apakah uang
kertas itu sendiri halal sebagai perantara pertukaran. (juga
termasuk uang plastik yang kita sebut kartu kredit)
Kredit itu digunakan pula untuk menggandakan
sumber-sumber keuangan secara tidak asli dan ini terang-
terangan melanggar shariat Islam.
Bank Islam atau bukan Islam – boleh meminjam,
bergantung kepada peruntukan undang-undang sebuah negara,
hingga 20 atau 50 kali lipat dari apa yang ada dalam
simpanannya.
Selain itu, semua ikat-janji perniagaan dengan
perbankan Islam melibatkan komoditi buatan yakni uang kertas
yang nilainya turun-naik secara palsu mengikuti jaringan
pasaran, perjudian mata uang asing dan monopoli perbankan.
Tambahan pula shariat melarang sesuatu barang niaga
(komoditi) digunakan sebagai mata uang tunggal, lebih-lebih
lagi apabila negara memaksa rakyat jelata menggunakannya.
Islam membolehkan barang niaga apa saja digunakan sebagai
uang asalkan benda itu saling diterima sebagai perantara
pertukaran. Sedangkan uang kertas sama sekali tidak
mempunyai sebarang nilai hakiki sebagai komoditi (barang
niaga).
Hakikat ini membongkar kepalsuan ‘pinjaman tanpa
bunga’ dan ‘simpanan tanpa bunga’ (tanpa kelebihan atau
tambahan bayaran) karena uang kertas bukanlah uang tulen
yang mempunyai nilai yang mantap seperti emas dan perak.
Walaupun kita tidak memungut bunga atau keuntungan dari
simpanan kita di bank, simpanan itu tetap mengalami susut
nilai karena inflasi. Jadi, banklah yang untung berkat simpanan
kita dengan ‘memutar’ uang kita, sedang kita rugi karena uang
itu susut-nilainya.
Bagaimana bank boleh memberi pinjaman kepada
seseorang sedang uang simpanan dalam bank itu bukan
kepunyaan bank, dan shariat melarang memberi pinjaman
dengan apa yang bukan hak kita dan menggandakan hutang
dengan uang hutang!
“Tidak dibenarkan kamu menjual sesuatu yang kamu
tidak miliki dengan sadar bahwa kamu membelinya dan akan
memberikannya kepada si pembeli”.
(Al-Risala, Ibn Abi Zaid al’Qairawani, bab 34)
Urusan bank melibatkan jual-beli hutang antara bank
dengan peminjam. Karenanya, perniagaan bank tidak boleh ada
dalam Islam.
“Tidak dibenarkan membayar pinjaman dengan
meminta peminjam untuk menerima bayaran dari pihak ketiga
yang berhutang kepada peminjam itu”. (Al-Risala, Ibn Abi
Zaid al’Qairawani, bab 34)
Imam Malik membedakan dua jenis hutang. Pertama,
orang yang berhutang dan menerima apa yang dipinjamnya.
Kedua, orang yang berhutang tetapi tidak menerima pinjaman
itu, misalnya kemudahan kredit yang ditawarkan oleh bank.
Hutang jenis kedua inilah yang dilarang karena ia
mendorong kepada riba dan penipuan seperti yang diamalkan
oleh sistem bank, termasuk perbankan Islam dan lembaga
bantuan pinjaman tanpa bunga.
Bagaimana bank boleh melakukan penjaminan atas
deposit yang bukan miliknya? Bukankah ini suatu penipuan
dan perbuatan mencuri?
Akhir kata, jadi jelas sudah hubungan sistem keuangan
(perbankan), uang kertas dan riba! semua amalan riba ini
bertentangan dengan Al-Quran dan Sunnah. Riba jelas dibenci
oleh Allah dan Rasul-Nya, yang sangat dahsyatnya kesalahan
dan kegagalan dalam memahami -teknik- ini diamalkan oleh
hampir semua masyarakat muslim di seluruh dunia, Riba inilah
yang berperan besar dalam kemiskinan masyarakat,
penghancuran sumber alam, kejahatan sosial masyarakat,
kejahatan seksual, korupsi, dan mematikan perdagangan.

Anda mungkin juga menyukai