Anda di halaman 1dari 2

Kemerdekaan Ekonomi

Oleh: Frans Hendra Winarta Non tariff barrier atau kebijakan proteksi perdagangan internasional yang bukan malalui mekanisme pajak menjadi bentuk baru system proteksi bagi Negara-negara yang menganut ekonomi pasar. Sayangnya, kebijakan ini lantas ditujukan kepada banyak Negara berkembang yang memiliki pangsa pasar besar. Jumlah penduduk yang besar menjadi target pasar empuk bagi suatu Negara dalam menjual barang dan jasa yang mereka produksi. Salah satunya ada Indonesia. Kebijakan non tariff barrier yang dilakukan oleh Negara-negara maju dapat dikatakan modus baru penjajahan ekonomi. Bagaimana bentuknya? Sebagai contoh produksi kelapa sawit. Sudah tidak terelakkan lagi bahwasanya Indonesia merupakan Negara terbesar kedua dalam memproduksi kelapa sawit. Dengan skala produksi yang begitu besar secara otomatis tingkat biaya produksi pun lebih ekonomis. Oleh karena itu kita bisa menghasilkan kelapa sawit yang banyak, dengan biaya murah, plus berkualitas baik. Lalu apa yang menjadi masalah? Yang menjadi masalah adalah banyak pihak asing yang merasa takut kalau kita menjadi penguasa pasar pada suatu komoditas. Oleh sebab itu banyak dibuat isu miring mengenai komoditas kita, salah satunya kelapa sawit. Hal tersebut diawali melalui isu lingkungan sampai ke isu kesehatan. Secara halus kampanye negatif mengenai perusakan lingkungan yang disebabkan oleh penanaman kelapa sawit, pembakaran hutan untuk pembukaan lahan baru perkebunan, pemusnahan habitat seperti orang utan akibat kepentingan ekonomi telah berhasil merangsek ke dalam otak kita. Yang akhirnya pikiran kita berhasil di brainwash bahwasanya kita bangsa perusak lingkungan. Tidak cukup dengan hal tersebut, infrastruktur imperialism modern pun dibentuk dengan beragam brand menarik. Mulai dari lembaga donor dari suatu Negara yang ingin menyumbangkan dananya untuk proyek green, sampai dengan lembaga yang dikatakan independen, Lembaga Swadaya Masyarakat atau Non Government Organization (NGO). Suara-suara hijau, lingkungan, lestari pun mulai banyak terdengar melalui alat corong tersebut. Mereka masuk melalui jalur-jalur birokrasi, undang-undang, sampai ke area masyarakat secara langsung. Yang hasilnya lagi-lagi menyudutkan kita Indonesia sebagai Negara teroris perusak lingkungan yang kita pun sepakat dengan label tersebut. Belum selesai, selanjutnya aturan pun dibuat. Produk-produk imperialism pun perlahan disuntik dan dikonsumsi masal. Produk tersebut dalam rangka penguatan infrastruktur hokum imperialism. Akhirnya lahirlah kesepakatan Kyoto Protokol yang menelurkan berbagai macam produk hijau dibawahnya. Produk tersebut seperi REDD+ untuk pengurangan karbon dioksida dengan cara reboisasi hutan, RSPO untuk aturan industry kelapa sawit, The Equator Principles, sampai kepada aturan mengenai Green Banking, dll. Beragam regulasi dirumuskan dengan kedok pembangunan berkelanjutan sustainable development.. Pihak asing dengan murah hati membantu proses pembuatan regulasi. Atas kebaikan tersebut kita menerimanya dengan tangan terbuka. Hal ini bukan lagi hal baru. Sejak krisis ekonomi 1998, kita telah terbiasa akan hal ini. Letter of Intent dari IMF telah membuat candu bagi bangsa ini. Akhirnya siapapun

silakan membantu Indonesia dalam mendorong pembangunan ekonomi melalui investasi disegala sector secara buka-bukaan. Bantuan IMF tersebut diajukan dengan menggadaikan sendi-sendi ekonomi. Sampai saat ini banyak orang asing yang berusaha untuk mendikte perekonomian kita melalui berbagai macam cara, melalui suap, pembentukan undang-undang, publisitas negative media massa, dan lainlain. Oleh sebab itu dibutuhkan kepemimpinan dan keprajuritan yang kuat di semua lembaga birokrasi pemerintah. Tidak hanya pemimpin, tetapi orang yang dipimpin juga menjadi kunci utama tangguh tidaknya benteng ekonomi kita.

Anda mungkin juga menyukai