Anda di halaman 1dari 8

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Perkembangan merupakan suatu istilah yang mencakup pengertian tentang proses perubahan, baik perubahan dalam arti fisik yang sering dikaitkan dengan istilah pertumbuhan, maupun perubahan dalam arti psikis atau mental yang sering dikaitkan dengan istilah perubahan sikap dan tingkah laku. Pertumbuhan fisik yang cepat dan baik belum dapat dijadikan dasar untukdapat dikategorikan cepat dewasa. Tetapi ia masih harus didukung oleh perkembangan mental dan tingkah lakunya. Sedangkan jika perkembangan mental dan tingkah lakunya berkembang baik dan cepat, dapat dijadikan dasar untuk menetapkan seseorang anak itu akan cepat dewasa, walaupun perkembangan dan pertumbuhan fisiknya kurang cepat/kurang baik.1 Kalau kita perhatikan anak dari hari ke hari, maka nyatalah bagi kita bahwa anak itu tampak mengalami perubahan-perubahan. Ini jelas kali kelihatannya pada pertumbuhan fisik, perubahan bentuk dan perubahan badan, perubahan-perubahan sifat jasmaniah dan otot-otot pada tubuh. Dengan keberagaman yang dialami itu, maka anak dari hari ke hari akan mengalami proses menuju kematangan dan pendewasaan, yang dapat menghasilkan perubahan dalam fungsi-fungsi kecakapan dan perluasan dalam daeraha kehidupan.

Fachruddin Hasballah, Pertumbuhan dan Perkembangan anak, Banda Aceh: Yayasan PeNA, 2006, hal. 2

Dalam kaitan ini, maka para ahli mengambarkan tiga situasi dan kondisi utama yang mempengaruhi proses perkembangan dan pertumbuhan anak, yaitu : 1) Faktor warisan (faktor yang terdapat pada diri anak). 2) Faktor yang di luar diri anak seperti lingkungan, latihan, pendidikan atau pengalaman. 3) Anggapan yang mementingakan ke dua faktor tersebut turut

memperkembangkan anak.2 Emosi dibedakan pengertiannya dengan perasaan. Perasaan (feeling) lebih banyak menyentuh fisik, seperti penyebutan sakit bila kena pukul, tersayat pisau dan sebagainya. Sedangkan emosi (emotion) lebih banyak berhubungan dengan jiwa yang yang mengakibatkan pengaruhnya kepada fisik, seperti susah, sedih, takut, senang, gembira dan murung. Emosi seseorang anak tergantung pada sumbernya, bentuknya, sifatnya, dan faktor yang mempengaruhinya a. Sumber emosi Hal ini sangat tergantung pada ada tidaknya terpenuhi kebutuhan, baik kebutuhan fisik maupun kebutuhan mental. Kebutuhan fisik antara lain kebutuhan pangan (makanan), kebutuhan sandang (pakaian), dan kebutuhan papan (tempat berteduh/rumah). Sedangkan kebutuhan mental adalah rasa aman, rasa kasih sayang dan harga diri. Yang berperan dalam hal ini adalah ibu dan bapak serta anggota keluarga. b. Bentuk emosi
2

Ibid; hal. 51-52.

Bentuk emosi tergantung pada sumbernya, sehingga ia merasa marah dan menangis kalau diganggu, akan berontak/menentang kalau ia dipaksa, terlihat murung kalau dia diejek/dihina. Bahkan ada yang menampakkan sikap-sikap yang semu seperti dusta semu. c. Sifat emosi Emosi anak tidak stabil dan cepat sekali berubah. Bagi anak tidak mengenal dendam, emosinya bercorak ragam dan tidak tetap dengan perubahanperubahan yang sangat cepat. Sehingga anak-anak masa ini masih belum mengenal malu. Berpakaian atau tidak berpakaian, bagi anak tidak menjadi persoalan dan biasa-biasa saja. Ringkasnya, sumber sumber emosi, bentuk emosi dan sifat emosi, merupakan bahan pertimbangan bagi orang tua terhadap anak dalam usaha pembinaan dan latihan yang harus dilakukan. d. Faktor yang mempengaruhi emosi Emosi anak akan berkembang dengan baik atau tidak, akan dipengaruhi oleh faktor kematangan dan faktor latihan. Faktor kematangan artinya dalam setiap pertumbuhan dan perkembangan anak selalu mengikuti tahap kematangan dari sesuatu organis tubuh, yang oleh Maria Montessori diberi nama dengan istilah MASA PEKA. Masa peka adalah masa di mana anak-anak akan mudah menerima pengaruh sesuatu bila ia berada pada masanya (sesuai dengan pengaruh yang diterimanya). Kamatangan ini pun tidak sama antara satu anak dengan anak yang lain. Ia sangat tergantung pada sifat pembawaan yang dibawanya sejak lahir dan juga pengaruh lingkungan yang dihadapinya.

Sedangkan faktor latihan artinya latihan yang diberikan itu terarah dan seirama dengan faktor kematangan tadi. Dalam latihan yang menjadi isi okok latihan adalah penanaman nilai dan norma.3 Para pakar memberikan definisi beragam pada EQ, di antaranya adalah : Kemampuan untuk menyikapi pengetahuan-pengetahuan emosional dalam bentuk menerima, memahami, dan mengelolanya. Menurut definisi ini, EQ mempunyai empat dimensi berikut : 1) Mengenali, menerima, dan mengekspresikan emosi (kefasihan emosional). 2) Menyertakan emosi dalam kerja-kerja intelektual. 3) Memahami dan menganalisa emosi. 4) Mengelola emosi.4 Masa anak-anak awal (usia 3-6 tahun). Masa ini sering disebut sebagai masa prasekolah, meskipun istilah tersebut saat ini menjadi kurang tepat karena sudah banyak dikembangkan pada model sekolah untuk anak pada masa ini. Anak yang berada pada masa ini mulai peduli terhadap kehadiran anak lain. Demikian juga tentang bahasa yang digunakan, karena dngan bahasa tersebut mereka dapat berkomunikasi dengan teman sepermainan maupun orang dewasa. Mereka juga mulai mengembangkan cara meminta dan memperoleh yang diinginkan dengan

Ibid; hal. 83-84. Makmun mubayidh, Kecerdasan dan Kesehatan Emosional Anak, Jakarta: Pustaka Al-kautsar, 2006. Hal. 7-9

lebih baik dari sebelumnya, lebih peduli terhadap diri mereka sendiri, serta mulai melatih kendali diri.5 Anak usia 3-5 tahun mempelajari kemampuan untuk mengambil inisiatif sendiri. Di sini anak mulai belajar dan mengembangkan beberapa keterampilan sosial. Akan bertambah pemahamannya terhadap diri sendiri, pemikiran, masa, social, dan bahasa. Anak berusaha untuk menguji kemampuan-kemampuan baru dalam kondisi dan suasana yang beragam. Yang penting kita perhatikan pada fase ini adalah kemampuan anak untuk bermain dengan sahabat imajiner yang tidak ada dalam kenyataan. Fenomena ini mungkin muncul pada fase pra sekolah. Dalam benak si anak, sahabat imajiner ini mempunyai kemampuan luar biasa yang memungkinkannya membantu si anak mewujudkan semua keinginannya. Sahabat imajiner ini membantu anak menghadapi berbagai tantangan dan gagasan baru dengan cara yang lebih aman. Bisa saja sahabat imajiner ini adalah sahabat yang lebih lemah dibandingkan dengan si anak. Dengan demikian, si anak termotivasi untuk memberikan bantuan dan perhatian. Fenomena ini menjelaskan kepada kita, mengapa si anak senang mendengar cerita-cerita tentang orang hebat atau orang-orang yang mempunyai kemampuan di atas rata-rata, serta senang memperhatikan binatang-binatang besar seperti dinosaurus. Dalam benak anak, dinosaurus bergambar sebagai binatang yang sangat besar, mempunyai kemampuan dahsyat, dan menguasai wilayah di sekitarnya. Pada saat anak menginjak bangku sekolah, sahabat atau tokoh yang bersifat imajiner tadi mulai menghilang, digantikan dengan tokoh nyata.

Wiwien Dinar Pratisti, Psikologi Anak Usia Dini, Surakarta: PT. Macana Jaya Cemerlang, 2008. Hal. 14

Di sini, mulai tampaklah kemampuan anak untuk bergurau dan melucu, serta mulai mampu merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Pada fase ini, untuk pertama kali anak mampu memahami bahwa satu peristiwa bisa menimbulkan reaksi emosional yang berbeda pada beberapa orang. Misalnya, suatu pertandingan akan membuat si pemenang merasa senang, sementara si kalah akan sedih. Tantangan terbesar yang dihadapi anak pada fase ini adalah bagaimana menjalin hubungan pertemanan yang baik dengan anak lain.6 Yang tidak disadari oleh orang tua adalah bahwa kemampuan memecahkan masalah adalah bagian yang menyatu dalam proses

pertumbuhannya. Umumnya sejalan dengan usia. Kita hanya perlu mengamati bagaimana seorang anak mencoba memecahkan sesuatu masalah baru agar dapat menghayati pentingnya keberadaan masalah dari segi pertumbuhan mereka. Misalnya seorang anak usia 3 tahun berkeras menalikan sepatunya sendiri, tidak peduli bahwa dia sedang berada di tengah lorong toko sayur-sayuran yang penuh dengan pengunjung. Dia menolak disuruh menyingkir sampai usahanya berhasil, bahkan berteriak memprotes bila orangtuanya ikut campur, meski itu demi keselamatannya.7 B. Rumusan Masalah

6 7

Ibid; hal. 65-66

Tutu April A. Suseno, EQ Orang Tua vs EQ Anak, Jogjakarta: Diglosia Printika, 2009. Hal. 33

Dalam merumuskan masalah ini, penulis akan mengemukakan beberapa permasalahan yang berkaitan dengan latar belakang di atas, yaitu sebagai berikut : 1. Bagaimana perkembangan emosional anak usia 3-5 tahun? 2. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan emosional anak usia 3-5 tahun? 3. Apa kendala dan hambatan perkembangan emosional anak usia 3-5 tahun? 4. Bagaimana solusi untuk mengatasi kendala dan hambatan perkembangan emosional anak usia 3-5 tahun? C. Tujuan Pembahasan Adapun tujuan penulisan skripsi ini sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui Bagaimana perkembangan emosional anak usia 3-5 tahun. 2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan emosional anak usia 3-5 tahun. 3. Untuk mengetahui kendala dan hambatan perkembangan emosional anak usia 3-5 tahun. 4. Untuk mengetahui solusi untuk mengatasi kendala dan hambatan perkembangan emosional anak usia 3-5 tahun

DAFTAR PUSTAKA

Fachruddin Hasballah, Pertumbuhan dan Perkembangan anak, Banda Aceh: Yayasan PeNA, 2006.

Makmun mubayidh, Kecerdasan dan Kesehatan Emosional Anak, Jakarta: Pustaka Al-kautsar, 2006.

Tutu April A. Suseno, EQ Orang Tua vs EQ Anak, Jogjakarta: Diglosia Printika, 2009.

Wiwien Dinar Pratisti, Psikologi Anak Usia Dini, Surakarta: PT. Macana Jaya Cemerlang, 2008.

Anda mungkin juga menyukai