Anda di halaman 1dari 14

NASKAH LAPORAN NARATIF PELENG NGARI: BEASISWA DARI DESA UNTUK DESA, KABUPATEN ACEH TENGGARA Tim Peneliti:

Tarmiji, Ika Kasturi Munandar, Shilahuddin Fahmi RINGKASAN Di era modern dan globalisasi saat ini persaingan untuk mendapatkan kehidupan yang layak semakin ketat. Untuk mengimbangi tantangan zaman tersebut salah satunya adalah dengan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia dan itu bisa tercapai melalui pendidikan. Hal itu yang agaknya telah disadari oleh Masyarakat Desa Lubantua. Desa Lubantua merupakan sebuah perkampungan kecil di Kecamatan Babul Rahma, yang terletak di pedalaman kaki gunung Leusur. Mayoritas masyarakat bekerja sebagai petani

berpenghasilan rendah. Pendapatan mereka hanya mencukupi untuk memenuhi kebutuhan kehidupan sehari-hari saja dan membiayai pendidikan anak-anak mereka sampai enjang Sekolah Menengah Atas. Ini berbenturan dengan keinginan anak-anak masyarakat Desa Lubantua untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Di sisi lain biaya untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi semakin mahal dan tidak terjangkau oleh masyarakat. Dilatarbelakangi oleh kondisi ini Ketua Adat Desa Lubantua membentuk Peleng Ngari. Peleng Ngari merupakan bahasa lokal masyarakat Lubantua yang berarti bantumembantu atau swadaya. Tujuan dari Peleng Ngari adalah membantu biaya pendidikan bagi masyarakat kurang mampu yang anaknya ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Peleng Ngari dipimpin oleh Ketua Adat--dibantu kepala desa--yang bertugas menghimpun bantuan dari sumbangan masyarakat. Ketua adat juga berperan sebagai seseorang yang mengingatkan apabila masyarakat lupa memberikan sumbangan.

Ssumbangan itu tidak ditentukan besaran atau jumlahnya melainkan diberikan secara sukarela. Masyarakat mengantarkan sendiri bantuan ke rumah Ketua Adat baik dalam bentuk uang tunai maupun barang dari hasil usaha pertanian atau peternakan. Rata-rata sumbangan yang diberikan nilainya mencapai Rp. 500 ribu sampai Rp. 1.000.000. Pengelolaan uang dan barang yang disumbangkan masyarakat dilakukan secara transparan. Ketua Adat selalu mengumumkan kepada penduduk desa setiap ada masyarakat yang memberikan bantuan sehingga masyarakat tidak khawatir sumbangan diselewengkan oleh Ketua Adat. Bantuan dibagikan secara adil dan merata kepada masyarakat yang anaknya sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Setelah 14 tahun gagasan ini di terapkan

di Desa Lubantua, masyarakat telah merasakan sendiri manfaat dan perubahannya. Kini kehidupan masyarakat disana sudah semakin baik jika dibandingkan sebelum adanya gagasan ini. Hal itu di tandai dengan semakin banyaknya masyarakat disana yang menamatkan pendidikan di perguruan tinggi.

I.

Latar Belakang Desa Lumban Tua merupakan sebuah perkampungan kecil di Kecamatan Babul

Rahma, Kabupaten Aceh Tenggara yang letaknya di pedalaman kaki gunung Leusur. Jika menempuh jalur darat melalui Kutacane, kira-kira memakan waktu selama dua jam. Sebagai perkampungan yang terpencil, akses menuju desa tersebut seperti infrastruktur jalan masih kurang memadai. Desa Lubantua dipimpin oleh seorang pengulu atau kepala desa (keuchik, bahasa Aceh) yang bernama Togar Saroko Panjaitan. Desa ini dihuni 25 KK/ 90 orang penduduk. Sebagian masyarakat Lubantua bekerja sebagai petani jagung dan padi. Sebagian yang lain bekerja sebagai peternak babi, kambing dan sapi. Meski tinggal di perkampungan kecil dan pedalaman namun pemikiran masyarakatnya sudah tergolong maju. Bagi penduduk Desa Lumban Tua pendidikan merupakan hal yang sangat penting. Mereka meyakini bahwa dengan pendidikan akan mengubah kehidupan mereka menjadi lebih baik. Sayangnya mereka tidak mampu membayar biaya pendidikan di perguruan tinggi sehingga mereka hanya menyekolahkan anak sampai ke tingkat SMA saja. Melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi membutuhkan biaya yang mahal Hal ini yang agaknya sangat sukar bagi masyarakat Desa Lumban Tua yang hanya berpencaharian sebagai petani dan peternak. Pendapatan mereka dari usaha tersebut ternyata hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari saja dan tidak untuk membiayai sekolah anak-anak mereka ke perguruan tinggi. Kenyataan ini berbenturan dengan keinginan remaja lubantua untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. II INISIASI Pada tahun 1998, Barkat Saniapar Panjaitan, ketua adat Lumban Tua saat itu, beserta aparatur desa menginisiasi gagasan Peleng Ngari. Peleng Ngari merupakan bahasa lokal masyarakat Lumban Tua. Peleng Ngari awalnya sebutan untuk petani yang saling bahu membahu saat musim cocok tanam dan musim panen tiba untuk membantu masyarakat yang memiliki anak yang sedang menjalankan pendidikan di perguruan tinggi. Ide ini muncul setelah ketua adat melihat keresahan masyarakat dalam membiayai pendidikan anak mereka di perguruan tinggi. Seperti yang disebutkan di atas, masyarakat Lubantua umumnya hanya

berprofesi sebagai petani dan peternak biasa. Rata-rata pendapatan rumah tangga hanya sekitar 750 ribu rupiah/bulan. Pendapatan ini seringkali tidak mencukupi untuk menutupi kebutuhan rumah tangga sehari-hari. Sistem tradisional masyarakat Lubantua sangat tergantung pada sosok ketua adat. Peran kedua adat penting dan sangat mempengaruhi sistem sosial masyarakat Lumban Tua secara keseluruhan sehingga pengaruh kepala desa menjadi berkurang. Kepala desa hanya mengurus administrasi dan birokrasi yang berhubungan dengan pemerintah. Hal lain yang mempengaruhi sistem sosial mereka adalah pendidikan. Pendidikan penduduk Desa Lumban Tua rata-rata hanya tamat SMP (sekolah menengah pertama) sehingga rendahnya derajat pendidikan ini menjadi masalah utama yang dihadapi masyarakat. Melihat kondisi ini Barkat Saniapar Panjaitan sebagai ketua adat dan Togar Saroko sebagai kepala desa merasa dan kemudian berusaha untuk mencari solusi yang terbaik agar masyarakat bisa dan mampu membiayai pendidikan tinggi anak-anaknya. Dari hasil musyawarah dan mufakat dengan masyarakat disepakati bahwa apabila terdapat anak Desa Lumban Tua yang sedang bersekolah di perguruan tinggi maka akan diberikan beasiswa dalam bentuk barang dan atau uang dari hasil panen. Untuk mensosialisasikan inisiasi ini, Barkat Saniapar Panjaitan dan aparatur desa lainnya berinisiatif membuat pertemuan dengan seluruh masyarakat Lumban Tua. Kebetulan rencana mengadakan sosialisasi inisiasi ini bertepatan dengan pagelaran adat palu gondang pitu. Palu gondang pitu merupakan pagelaran adat yang dilaksanakan setiap musim panen tiba sebagai wujud rasa syukur masyarakat Lumban Tua kepada Tuhan dan alam semesta. Dalam acara adat palu gondang pitu kemudian dibicarakan pula mengenai inisiasi Peleng Ngari. Masyarakat tidak serta merta menerima gagasan ini sehingga proses konsolidasi gagasan berlangsung alot dan disertai pro-kontra. Masyarakat yang setuju menganggap gagasan ini sangat positif dan nantinya bisa meringankan beban dalam membiayai pendidikan di perguruan tinggi. Sementara yang tidak setuju mempersoalkan gagasan ini. Menurut kepala Desa Togar Saroko Panjaitan ada beberapa alasan yang menyebakan masyarakat menolak inisiasi. Pertama, mereka beranggapan hal ini akan merugikan bagi keluarga (pasangan) muda yang anaknya masih kecil atau pasangan suami isteri yang belum punya anak. Kedua, masyarakat yang tidak setuju mengkhawatirkan warga yang telah diberikan beasiswa tidak mau membantu kembali atau melupakan jasa yang telah diberikan dikemudian hari. Temuan ini diperkuat dari hasil wawancara dengan dua masyarakat yang menolak dan berpendapat bahwa Peleng Ngari memberatkan dan menambah beban baru bagi

keluarga muda yang baru menikah.1 Untuk mengatasi hal ini ketua adat dan kepala desa saat itu berusaha meyakinkan mereka bahwa inisiasi Peleng Ngari merupakan solusi untuk meringankan beban orang tua dalam membiayai pendidikan anak nya di perguruan tinggi. Dan inisiasi ini merupakan untuk kepentingan desa di masa yang akan datang. Struktur sosial masyarakat desa Lumban Tua yang masih sangat dipengaruhi oleh kharisma seorang ketua adat. Setiap permasalahan yang muncul bisa diselesaikan langsung ketua adat dengan menawarkan jalan keluar dan solusi terkait dengan inisiasi Peleng Ngari. Terkait dengan penolakan inisiasi, ketua adat kemudian menawarkan solusi dimana keluarga dengan pendapatan rendah, keluarga baru menikah dan petani yang gagal panen tidak diwajibkan memberikan sumbangan namun mereka boleh menyumbangkan atas dasar sukarela. Kebijakan yang diambil perangkat desa ini kemudian diterima semua penduduk dan Peleng Ngari bisa dijalankan dan kuat dukungan masyarakat memudahkan pelaksanaan peleng Ngari. Dukungan ini penting sebagai wujud konsolidasi internal masyarakat desa Lumban Tua dan akan berpengaruh pada keberlanjutan Peleng Ngari.2

II.

Implementasi Pelaksanaan program beasisswa dari desa untuk desa ini memiliki corak tersendiri.

Ketua adat masyarakat desa Lumban Tua berfungsi sebagai pengatur administrasi dalam penerimaan kontribusi sumberdaya dan pemberi dana bagi keluarga yang mempunyai anak yang sedang dalam pendidikan di perguruan tinggi. Setelah panen baik palawija ataupun ternak, masyarakat langsung menyisihkan kepada ketua adat sebagai sumbagan Pelang Ngari. Ketua adat kemudian akan melanjutkan beasiswa tersebut kepada penerima yang notebenenya adalah pemuda desa yang sedang menempuh pendidikan tinggi itu baik dalam bentuk barang ataupun dalam bentuk uang. Dana yang diberika untuk Pele Ngari sangat beragam dan bervariasi jumlahnya. Nilainya bisa mencapai Rp. 300 ribu sampai 4 juta rupiah per keluarga. Akan tetapi, jika diberikan selama musim paceklik angka itu bisa lebih rendah, berkisar antara 100 ribu sampai 1 juta rupiah per keluarga. Jika hasil panen melimpah dana yang terkumpul ke ketua adat bisa mencapai 25 juta rupiah3. Lebih lanjut, Peleng Ngari bekerja seperti siklus. Setiap pemuda yang sudah sukses dalam pendidikanya bertanggung jawab untuk memberikan kontribusinya pada desa dalam
1 2

Hasil wancara dengan Tato dan Dianta Ceasar, masyarakat Lubantua yang menolak inisiasi Peleng Ngari Hasil wawancara dengan ketua adat Barkat Saniapar Panjaitan tanggal 14 Agustus 2012 3 Hasil wawancara dengan ketua adat tanggal 14 Agustus 2012

bentuk bantuan beasiswa ataupun lainnya sehingga ini menciptakan hubungan timbal balik dan siklus saling memberikan mamfaat dalam masyarakat. Dari sisi kelembagaan, struktur Peleng Ngari disesuaikan dan bekerja dalam struktur masyarakat adat Lumban Tua. Sebagai ketua adat, Barkat Saniapar Panjaitan tetap berperan sebagai pengumpul sekaligus pengawas jalannya inisiasi ini. Kepala desa, Togar Saroko Panjaitan hanya mengurusi administrasi lain di desa dan kecamatan. Meski secara struktural inisiasi ini berpusat pada sosok Barkat Saniapar Panjaitan namun masyarakat juga ikut serta dalam mengawal jalannya inisiasi, masyarakat bisa langsung berpatisipasi mengawasi dan juga memonitor proses

pelaksanaannya. Dalam proses pemberian kontribusi, masyarakat desa Lumban Tua harus menjual hasil panen kemudian diserahkan kepada ketua adat dalam bentuk uang kecuali komoditas primer seperti beras dan telur. Karena sifatnya yang primer atau penting dalam kebutuhan sehari-hari masyarakat, beras dan telur dapat disumbangkan langsung ke anak yang sedang melanjutkan pendidikan tinggi dengan pemberitahuan kepada ketua adat. Dana beasiswa yang terkumpul tidak disimpan pada bank tertentu tetapi disimpan di rumah ketua adat atas dasar kepercayaan masyarakat. Jumlah beasiswa Peleng Ngari yang diberikan kepada penerima beasiswa bisa mencapai Rp 1.200.000. Sementara pemberian oaring tua biasanya tak lebih dari Rp 750.000.4 Pemberian beasiswa itu dilaksanakan dalam masa panen dan tidak bersifat regular atau bulanan.Pengumpulan bantuan beasiswa dilakukan pada musim panen. Barang atau panenan yang diserahkan kepada perwakilan penerima Peleng Ngari dalam hal ini ketua adat adalah hasil dari sumber daya alam yang diolah masyarakat untuk kebutuhannya sebagai sumber utama anggaran beasiswa. Dalam proses pelaksanaan Peleng Ngari peran ketua adat, Barkat Saniapar Panjaitan, sebagai tokoh kharismatik sangat sentral. Ketua adat merupakan penanggungjawab keseluruhan pelaksanaan program dari proses penerimaan dari masyarakat sampai dengan pemberian kepada penerima mamfaat. Pada sisi lain, ketua adat juga menjadi pengontrol sekaligus mengawasi proses implementasinya pada setiap tahapan. Ketua adat juga ikut berperan dalam proses evaluasi. Sistem evaluasi yang digunakan merupakan terjemahan dari sistem tradisional masyarakat Lubantua itu sendiri. Ketua adat menjadi sosok yang akan langsung menegur dan memberi sanksi setiap kesalahan yang terjadi misalnya jika ada sebagian warga tidak dan menolak memberikan kontribusi3. Ketua adat lebih lanjut akan
4

Hasil wawancara dengan orang tua penerima beasiswa tanggal 14 Agustus 2012

melihat dan mempelajari kondisi dari warganya yang tidak membayar. Jika terdapat keluarga yang tidak sanggup membayar akibat kerugian dan hasil panen yang sedikit maka orang tersebut dibolehkan untuk tidak membayar. Akan tetapi jika tidak membayar padahal hasil panennya melimpah maka sang ketua adat langsung menegurnya dan akan dikenakan sanksi adat. Hal ini juga berlaku pada setiap penerimaan beasiswa. Ketua adat sendiri yang akan mengawasi dan meminta keterangan penerima yang sedang menuntut ilmu di perguruan tinggi apakah mereka sudah menerima beasiswa atau tidak dan bagaimana beasiswa digunakan.

Gambar 1.1 Usaha pertanian Masyarakat Lubantua

Gambar 1.2 Aktivitas pertanian Masyarakat Lubantua

Gambar 1.3 Panenan yang dikumpul untuk Peleng Ngari

IV

Dampak Substantif Selama 14 tahun inisiasi ini berjalan kini dampaknya telah dirasakan sendiri oleh

masyarakat Lumban Tua. Sampai penelitian ini di lakukan (14/8/2012), menurut Barkat Saniapar Panjaitan saat ini terdapat 25 orang yang sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Umumnya mereka tersebar di berbagai universitas dan akademi yang ada di Sumatera Utara seperti, Universitas Negeri Medan, Universitas Sumatera Utara, dan Akademi Artha. Angka tersebut meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya 20 orang. Sampai sejauh ini 17 orang sarjana yang telah lulus karena kebijakan Peleng Ngari ini dan telah bekerja di instansi pemerintah dan swasta di kabupaten Aceh Tenggara. Ke tujuh belas sarjana beasiswa Peleng Ngari tersebut adalah sebagai berikut :

No

Nama

Lulusan

Pekerjaan

Status

Guntara P.

Kedokteran Umum Universitas Sumatera Utara, Medan

Dokter RSUD Kuta Cane, Aceh Tenggara

Tenaga Kontrak PNS

Dianta Caisar

FKIP

Bahasa

Inggris

Universitas

Guru SMA Negeri Perisai, Kuta Cane Bidan Leuser di PUSTU Kec.

Negeri Medan 3 Jilene Akademi Kebidanan Artha Kabanjahe

Honorer

Sudarman

Ekonomi Pembangunan Universitas Medan Area

Banker BRI Kuta Cane

Tenaga Kontrak

Lintoro

Keperawatan, Akedemi Keperawatan Artha Kabanjahe

Perawat RSUD Kuta Cane

PNS

Arman Marpaung

Perikanan, USU Medan

Dinas Perikanan

PNS

Hazar Sukareksi

FKIP Matematika Universitas Medan Area Farmasi Politekes Medan

Guru SMP Negeri Lawe Sigala-gala Apoteker

PNS

Hartato Marpaung

Wiraswasta

9 10

Arpina Harnita Mike Adrian

Farmasi Politekes Medan Keperawatan Akademi Keperawatan Artha Kabanjahe

Apoteker RSUD Kuta Cane Perawat Cane UPT Pertanian Kec. Bambel Kantor Kejaksaan Guru SMA Negeri 4 Kota Cane Puskesmas Kuta

PNS PNS

11 12 13

Babar Siahaan Aprilia Cikita Peranginan

Pertanian, USU Medan Hukum, Universitas Harapan Medan FKIP Bahasa Indonesia Unimed

PNS PNS PNS

14

John Johanes

Akuntansi, Medan

Universitas

Katolik,

Show room Yamaha Kuta Cane Dinas Sosial Kuta Cane

Pegawai Swasta PNS

15

Budiman Rambe

Hukum, Universitas Harapan

16 17

Trinanda P. Ariel Tripan

FKIP Matematika, Unimed FKIP Kimia USU

Guru SMA Negeri 1 Badar Guru SMA Negeri 1 sigalagala

PNS Honorer

Bagi lulusan yang telah bekerja dan mapan secara sadar dan sukarela akan menyisihkan sebagian dari gajinya untuk diberikan kepada ketua adat atau langsung di berikan untuk membantu keluarga yang sedang menguliahkan anak nya di perguruan tinggi. Ini yang membuktikan bahwa sistem balas budi dikalangan masyarakat Lubantua masih mengakar dengan kuat. Selain itu rasa solidaritas dan gotong royong masyarakat masih sangat kental. Dilihat dari sisi kelembagaan, struktur Peleng Ngari disesuaikan dengan struktur masyarakat adat Lumban Tua. Sebagai ketua adat, Barkat Saniapar Panjaitan tetap berperan sebagai pengumpul, pengontrol sekaligus yang mengawasi jalannya inisiasi ini. Sementara kepala desa, Togar Saroko Panjaitan hanya mengurusi persoalan administrasi desa pada tingkat desa dan kecamatan. Meski secara structural hanya berpusat Peleng Ngari berpusat pada sosok Barkat Saniapar Panjaitan namun masyarakat juga ikut serta dalam mengawal jalannya inisiasi selain sebagai penyumbang bantuan sehingga proses pelaksanaan peleng Ngari mejadi lebih baik seiring dengan bertambahnya kesadaran dan kesukarelaan masyarakat. Masyarakat agaknnya sudah semakin sadar akan pentingnya sumbangan yang mereka berikan. Pada sisi lain, semakin baiknya tingkat pendidikan masyarakat juga berpengaruh terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat Lumbantua. Misalnya masyarakat tidak lagi merasa khawatir ketika punya keinginan menguliahkan anaknya di perguruan tinggi karena eksistensi beasiswa Peleng Ngari. Padahal dalam masa-masa tahun 1990-an sebelum ada inisiasi Peleng Ngari masyarakat merasa khawatir ketika anaknya ingin melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Mempunyai keinginan untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi dianggap sebagai sesuatu yang tidak patut dan tidak sesuai dengan adat kebisaan. Alasan ini yang kerap kali digunakan oleh orang tua masyarakat Lumban Tua yang tidak memiliki cukup uang untuk membiayai pendidikan anaknya di perguruan tinggi. Di masa ini pula jumlah pernikahan usia muda meningkat. Karena rata-rata setelah selesai tamat sekolah menengah pertama (SMP) atau sekolah menengah atas (SMA) mereka tidak melanjutkan pendidikannya dan langsung menikah. Peleng Ngari secara tidak langsung juga menjadi mekanisme penyadaran masyarakat tentang pendidikan itu sendiri. Dengan adanya kesadaran terhadap pendidikan dan timbul nya kemauan untuk sekolah ke jenjang yang lebih tinggi secara tidak langsung akan juga berpengaruh secara sistemik pada perubahan perilaku masyarakat, termasuk menekan angka penduduk yang menikah muda. Dalam jangka panjang hal ini akan membawa kesejahteraan

bagi penduduk desa Lumbantua dan berdampak pada pembangunan, perubahan mental serta karakter sosial masyarakat. Perubahan perilaku misalnya bisa dilihat juga dari meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap nilai komunalitas. Masyarakat sudah semakin sadar pentingnya sumbangan yang mereka berikan. Terbukti dari pemberian sumbangan dari masyarakat setiap pasca panen tiba dan jika hasilnya banyak maka sebagian langsung diberikan sebagai bantuan biaya pendidikan. Berbeda ketika inisiasi Peleng Ngari baru di implementasikan, kesediaan dan kesukarelaan masyarakat untuk memberikan bantuan masih sedikit. Masyarakat harus di tegur terlebih dahulu oleh Barkat Saniapar Panjaitan untuk memberikan bantuan.

Institusionalisasi dan Tantangan Setelah inisiasi Peleng Ngari berjalan selama14 tahun tentunya harus ada beberapa

terobosan agar inisiasi Peleng Ngari bisa tetap berlanjut dan berkembang karena tidak mudah mempertahankan gagasan yang muncul atas dasar budaya dan kerifan lokal dan tidak

dikelola dalam sebuah system managemen modern. Untuk itu Barkat Saniapar Panjaitan merancang beberapa strategi. Pertama, penguatan struktur Peleng Ngari. Upaya ini dilakukan dengan menyusun kembali pembagian kerja secara lebih spesifik. Sebelumnya struktur hanya berpusat pada sosok Barkat Saniapar Panjaitan yang berperan sebagai pengumpul, penyalur sekaligus yang mengawasi jalannya inisiasi. Namun sistem ini pelan-pelan terus diubah dengan mengangkat beberapa masyarakat yang khusus menangani pengumpulan, dan penyaluran bantuan. Meski beberapa terobosan dilakukan untuk pembenahan kelembagaan agar lebih baik namun tantangan tetap dan selalu ada. Menurut Barkat Saniapar Panjaitan tantangan bisa terjadi dari dalam atau luar masyarakat. Hambatan dari dalam terhadap Peleng Ngari adalah, pertama, belum adanya tenaga yang profesional dalam mengelola inisiasi pele ngari. Tenaga profesional sangat diperlukan karena sistem yang digunakan oleh desa setempat masih berbasis tradisional. Untuk pengembanganya perlu tenaga yang dapat memproses program desa tersebut ke arah yang lebih baik. Tantangan ini misalnya dapat dijawab oleh masyarakat Lumban Tua penerima beasiswa tersebut. Mereka diharuskan untuk memberikan kontribusi dan sumbangan pikirannya sebagai bentuk kontribusi timbal balik dari mantan penerima beasiswa.

Kedua, sumber daya alam . Desa Lumban Tua memiliki sumber daya alam pertanian dan perternakan yang baik. Alam menjadi faktor utama yang menentukan penghasilan desa tersebut. Ini secara langsung ikut mempengaruhi kehidupan desa Lumban Tua. Penghasilan utama dan ketenagakerjaan terfokus pada sektor pertanian dan perternakan. Ketergantungan pada alam pada sisi lain juga ikut berpengaruh pada pendapatan penduduk. Pada saat alam kurang kondusif maka akan mempengaruhi penghasilan masyarakat desa dan ini membawa tantangan juga pada program beasiswa Peleng Ngari ini. Jika ini terjadi, maka penghasilan utama masyarakat desa menurun dan akan mempengaruhi penurunan jumlah patungan masyarakat untuk beasiswa. Ketiga, sistem tata kelola Pelen nNari . Peleng ngari tidak memiliki sistem baku dan formal serta tidak ada mekanisme pencatatan secara khusus dan rapi. Sistem ini lahir dari kearifan lokal masyarakat sendiri dan hanya diikat oleh kesadaran komunalitas semata. Program tersebut patut diapresiasi dan telah terbukti berhasil merobah pola pikir masyarakat, akan tetapi seiring kemajuan teknologi modern dan meningkatnya kapasitas intelektual manusia dan tanpa ada penguatan sistem tradisional dengan sistem yang lebih sistematis dikhawatirkan kebijakan tersebut lambat laun semakin menjadi tidak populis dan terkesan kuno. Hal ini tentu sangat mempengaruhi keberlanjutan program terutama ketika tidak adanya regenarasi terhadap tokoh adat yang berkarakter kharismatik. Persoalan lain dari inisiasi Peleng Ngari ini adalah tidak adanya kriteria spesifik terhadap pemberian penghasilan untuk peleng ngari/ beasiswa desa mengingat hasil panen tidak bisa dipastikan banyak sedikitnya. Bagi keluarga yang memiliki lahan sedikit maka sulit untuk memberikan dan menyisihkan hasil kerjanya. Demikian juga bagi pasangan yang baru menikah sangat sulit untuk menyisihkan sebagian pendapatan untuk beasiswa ini, Permasalahan ini biasanya muncul pada musim paceklik atau musim pancaroba dan hasil pertanian dan perternakan menurun sehingga berpengaruh pada menurunnya jumlah anggaran untuk Peleng Ngari.

VI

Lesson learned Dari inisiasi Peleng Ngari pada masyarakat desa Lumbantua, kecamatan Babul Rahma

kabupaten Aceh Tenggara dapat dipetik beberapa pelajaran yang memungkinkan diterapkan di daerah-daerah lain nya di Indonesia, antara lain:

1. Pentingnya bantuan swadaya dari masyarakat. Inisiasi Peleng Ngari adalah salah satu upaya yang sangat baik dari masyarakata Lumban Tua dalam mengatasi persoalan kesulitan dana membiayai kuliah di perguruan tinggi. Berawal dari

kesulitan masyarakat dalam hal membiayai pendidikan anak-anaknya yang ingin melanjutkan pendidikan tinggi, Peleng ngari kini telah banyak memberikan manfaat kepada masyarakat. Anak-anak desa Lubantua mereka telah menjadi sarjana dan kini telah bekerja di berbagai instansi pemerintah dan swasta di kabupaten Aceh Tenggara. Partisipasi swadaya masyarakat Lumban Tua ternyata sangat efektif dalam menjawab persoalan-persoalan masyarakat dalam hal pembiayaan pendidikan. Selain itu, Peleng Ngari juga menguatkan solidaritas dan budaya gotong royong dalam masyarakat. Sesuatu yang tentunya mulai langka dijumpai dalam masyarakat modern Indonesia.

2. Partisipasi Masyarakat. Pencapaian utama dalam program beasiswa ini adalah adanya partisipasi masyarakat yang besar terhadap lingkungan sosialnya. Walaupun peran kharismatik seorang ketua adat sangat mempengaruhi kehidupan sosial di masyarakat, namun partisipasi antar elemen masyarakat sangat mempengaruhi jalanya program ini secara keseluruhan. Didapati bahwa masyarakat setempat sangat antusias untuk maju dalam upaya peningkatan SDM. Adanya kesadaran dan keinginan untuk maju ini mendorong partisipasi masyarakat Lumban Tua untuk memberikan solusi kepada setiap anggota keluarga yang anaknya melanjutkan perguruan tinggi melalui pemberian beasiswa. Masyarakat Lumban Tua mendukung program tersebut dan menganggapnya sebagai sesuatu yang sangat penting dalam upaya mengurangi beban orang tua yang menyekolahkan anaknya di perguruan tinggi. 3. Pentingnya penguatan struktur kelembagaan. Pada tahapan implementasi, tanpa struktur dan sistem kelembagaan yang baik sangat mustahil Peleng Ngari bisa bertahan sampai saat ini. Sistem kelembagaan Peleng Ngari menguat dalam struktur adat masyarakat Lumbantua dan ini agaknya menjadi kunci kekuatan sekaligus kelemahan praktik ini. Masyarakat Lumbantua yang berkarakter rural masih sangat memegang teguh nilai-nilai dan norma-norma sehingga partisipasi mereka menguat karena alasan budaya yang berbasis pada tokoh minoritas dominan seperti ketua adat. Persoalan kelembagaan dan keberlanjutan program akan muncul ketika misalnya ketua adat meninggal dan tidak berjalannya subtitusi nilai karismatik pada ketua adat yang baru.

4. Pentingnya transparansi dalam pengelolaan dana. Transparansi berkaitan dengan pengelolaan dana yang terkumpul dari masyarakat. Dana yang ada seluruhnya dipegang oleh ketua adat namun untuk menghindari kecurigaan akan penyelewengan setiap kali selesai tahap pengumpulan selanjutnya dana itu harus diumumkan ke masyarakat jumlah keseluruhan dana yang terkumpul.

VII

Peluang replikasi Meskipun program ini tidak memiliki dokumentasi yang baik sebagai sarana

desiminasi dan sosialisasi, inisiasi Peleng Ngari sangat mungkin direplikasikan oleh masyarakat di daerah lain. Unsur-unsur yang dibutuhkan ialah ketersediaan seluruh komponen dan perangkat desa seperti, kepala desa, ketua adat dan tentunya masyarakat. Unsur ini penting diperhatikan karena aktor-aktor inilah yang akan menjalankan inisiasi. Selain itu perlu adanya rasa solidaritas dan semangat gotong royong yang tinggi dalam suatu masyarakat. Prinsip-prinsip kejujuran dan tanggungjawab perlu dikedepankan karena Peleng Ngari lebih sebagai bentuk kerjasama sukarela dan diikat oleh semangat komunalitas. Dalam kasus masyarakat Lumban Tua sokongan dana hanya berasal dari hasil pertanian dan peternakan namun dengan rasa solidaritas dan semangat gotong royong sangat tinggi inisiasi bisa berlanjut sampai saat ini. Namun tentunya sokongan dana yang hanya berasal dari sumber pertanian dan peternakan menjadi tantangan tersendiri. Sering kali hasil panen mengalami penurunan karena berbagai faktor alam, begitu juga dengan ternak. Hal ini mempengaruhi jumlah bantuan dari masyarakat. Jauhnya teknologi informatika membuat tidak terekposnya program ini secara baik dan ikut berpengaruh pada sulitnya replikasi program ini. Menurut pemamparan ketua adat sejauh ini belum ada desa lain di aceh tenggara yang mencoba mempelajari dan mereplikasi praktik pelang Ngari ini.

NARASUMBER 1. Togar saroko panjaitan, kepala desa Lubantua, 2. Barkat saniapar panjaitan, tokoh dan ketuan desa Lubantua 3. dr.Guntara panjaitan, alumni penerima beasiswa Peleng Ngari 4. Tian boru parbaungan, orang tua penerima beasiswa Peleng Ngari

5. Toto, masyarakat pemberi beasiswa 6. Dianta Ceasar, Masyarakat Pemberi beasiswa

Anda mungkin juga menyukai