Anda di halaman 1dari 2

Kemenkeu tunggu masukan ESDM soal bagi hasil migas

Berita FKDPM

Des 06|09:40

Kementerian Keuangan akan menampung masukan dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terkait konsep bagi hasil minyak dan gas ke dalam rancangan revisi Undang-Undang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Anny Ratnawati, Wakil Menteri Keuangan II, dalam program legislatif nasional (Prolegnas) 2012, revisi Undang-Undang No.33/2004 tentang Perimbangan Keuangan masuk di dalamnya. Semua ketentuan dalam beleid tersebut, termasuk konsep bagi hasil migas, akan dievaluasi kembali dengan menyerap semua aspirasi yang berkembang dari seluruh pihak yang terkait. Ini kan seharusnya dibicarakan bersama dengan pemerintah, dalam konteks mana mereka mengatakan konsep bagi hasil adil atau bagian mana yang tidak adil. Sekarang kan naskah akademik revisi UU Perimbangan Keuangan disiapkan. Nanti masukan ESDM kami tampung dan kami masukkan kembali, tuturnya. Agung Pambudhi, Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), menekankan pentingnya perbaikan transparansi dalam penghitungan dan penyaluran dana bagi hasil minyak dan gas. Karenanya, Komisi Pemberantasan Korupsi perlu dilibatkan hanya ketika terjadi pelanggaran hukum dalam pelaksanaannya. Yang terpenting untuk diperbaiki adalah transparansi data, penghitungan, dan penyalurannya. Tentu jika ada pelanggaran hukum, maka penegak hukum, termasuk KPK (Komisi Pemberantas Korupsi) berkewajiban untuk mengusutnya, ujar dia. Menurutnya, DBH migas cukup dibagikan ke tingkat provinsi dan kabupaten/kota sesuai dengan cakupan dari pelaksanaan otonomi daerah. Menyangkut permintaan Kementerian ESDM agar cakupan daerah penerima DBH diperluas hingga kecamatan dipandang tak perlu karena sudah menjadi domain dari pemerintah kota dalam pembagiannya. Namun, dia memandang perlu revisi UU No.33/2004 dan UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah guna meminimumkan ketimpangan fiskal secara horizontal dan vertical.

Dalam pagu anggaran Kementerian Keuangan 2012, sudah dianggarkan dana sebesar Rp1,98 miliar guna menyukseskan revsi UU No.33/2004. Sejumlah substansi yang akan diubah dalam beleid tersebut a.l. memperpanjang perubahan status fiskal daerah hasil pemekaran baru menjadi daerah otonom menjadi lima tahun, serta mematok belanja modal dan belanja pegawai pada level tertentu. Sejumlah pemerintah daerah penghasil minyak dan gas bumi mendesak adanya transparansi perhitungan dana bagi hasil (DBH) migas, sehingga mencerminkan azas keadilan bagi daerah penghasil. Gubernur Riau Rusli Zainal mengungkapkan selama ini daerah penghasil migas tidak diberikan kewenangan dan kesempatan mengakses data produksi, lifting, dan cost recovery migas dari kontraktor kontrak kerja sama (KKKS). Selain itu, imbuhnya, mekanisme perhitungan DBH migas belum transparan karena formulasi komponen pengurang perhitungan DBH seperti DMO (domestic market obligation), over/under lifting, pungutan lainnya seperti pajak migas belum memiliki nomra dan standar baku sehingga besaarannya selalu berubah dari waktu ke waktu. Bahkan, waktu penyaluran DBH ke daerah tidak teratur (terlambat 4-9 bulan), sehingga tidak dapat dimanfaatkan untuk menyelesaikan program kegiatan di daerah. "Seharusnya perhitungan produksi/lifting migas harus transparan dan daerah penghasil harus diberikan kewenangan dan kesempatan mengakses data produksi/lifting itu," ujarnya dalam seminar Daerah Penghasil Migas: Berkah atau Bencana? hari ini. Senada dengan itu, paparan Gubernur Sulawesi Tengah Longki Djanggola mengatakan kendati pemda memiliki kewenangan otonomi daerah cukup besar melalui UU No. 32/2004, kenyataannya tidak mampu berbuat banyak dalam hal DBH karena masih dominannya peranan pusat dalam penguasaan dan pengelolaan migas. Menurutnya, diperlukan revisi UU Migas No. 22/2001, khususnya menyangkut proporsi pembagian DBH untuk pusat 60% dan daerah penghasil 40%, pembinaan dan pengawasan sudah seharusnya melibatkan pemda, dan transparansi komponen faktor pengurang DBH. "Sebagai contoh, PT Medco yang bereksplorasi di Lapangan Tiaka, tidak memberikan kontribusi yang signifikan kepada daerah karena pemda tidak pernah mengetahui jumlah lifting migas yang pasti setiap bulannya," katanya. Selain itu, produksi minyak mentah yang diproses di Plaju atau Singapura tidak transparan. "Informasi yang kami dapatkan selalu dikatakan hasilnya minim diakibatkan karena biaya produksi tinggi, tetapi perusahaan itu tetap beroperasi.

Anda mungkin juga menyukai