Anda di halaman 1dari 12

BAB IV TIINJAUAN PUSTAKA

Diabetes mellitus (DM) adalah gangguan metabolisme yang ditandai dengan hiperglikemiayang berhubungan dengan abnormalitas metabolisme karbohidrat, lemak,dan protein yang disebabkan oleh penurunan sekresi insulin, atau keduannya danmenyebabkan komplikasikronis mikrovaskular, makrovaskular, dan neuropati. Klasifikasi Diabetes dibagi menjadi dua yaitu DM tipe I (defisiensi insulin absolut) dan DM tipe II ( adanya resisten insulin). Klasifikasi DM dan karakteristiknya: DM tipe-1 Defisiensi insulin absolute akibat destruksi sel beta. Penyebab: autoimun atau idiopatik DM tipe-2 Defisiensi insulin relative akibat defek sekresi insulin atau resistensi insulin, atau keduanya. Mudah terjadi ketoasidosis Pengobatan harus dengan insulin Biasanya kurus Biasanya usia muda Berhubungan dengan HLA-DR3 dan DR4 Didapatkan islet cell antibody Riwayat keluarga diabetes + pada 10% 30-50% kembar identik terkena Tidak mudah terjadi ketoasidosis Tidak harus dengan insulin Gemuk atau tidak gemuk Biasanya > 45 tahun Tidak berhubungan dengan HLA Tidak didapatkan islet cell antibody Riwayat keluarga diabetes + pada 30% 100% kembar identik terkena

Faktor resiko DM: Usia > 45 tahun Kegemukan (BB > 120% BB idaman atau IMT > 25kg/m2) Hipertensi (TD > 140 / 90 mmHg) Riwayat keluarga DM Riwayat melahirkan bayi dengan BB > 4000 gram Riwayat DM pada kehamilan (DM gestasional) Riwayat TGT atau GDPT Penderita PJK, TBC, Hipertiroidisme

Kadar lipid (kolesterol HDL < 35 mg/dl dan atau Trigliserida > 200 mg/dl)

Tanda dan gejala DM: 1.Keluhan khas DM Poliuria Polidipsia Polifagia BB menurun cepat tanpa penyebab yang jelas

2. Keluhan tidak khas DM Kesemutan Gatal di daerah genital Keputihan (fluoralbus) Infeksi sulit sembuh Bisul yang hilang timbul Penglihatan kabur Cepat lelah Mudah mengantuk dll.

3. Kompiikasi diabetes

4.1. Nefropati Diabetika DM merupakan penyebab end-stage renal disease (ESRD), jumlahnya sekitar 44% kasus baru, data ini dikumpulkan oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC). Pada tahun 2005, sekitar 46.739 warga Amerika serikat dan Puerto Rico memulai terapi pengganti ginjal, dan 178.689 warga dengan DM menjalani dialisis atau kidney transplant. 5 Nefropati Diabetik (ND) merupakan penyebab paling sering terjadinya end-stage renal disease di Amerika serikat, Eropa, dan jepang. Di Amerika serikat dan eropa, insiden ND meningkat 150% selama 10 tahun terakhir. Di amerika utara pada tahun 1998, 40% pasien yang menjalani dialisis adalah pasien ND. Pada pasien dialisis dengan DM angka mortalitas 1 tahun lebih tinggi sekitar 22% dan 15% pada 5 tahun daripada pasien non DM.7,8 ND merupakan sindroma klinis pada pasien DM yang ditandai albuminuria menetap (> 300 mg/24 jam) pada minimal 2x pemeriksaan dalam kurun waktu 3-6 bulan. Di Amerika dan Eropa, nefropati diabetika merupakan penyebab utama gagal ginjal terminal dan salah satu penyebab kematian tertinggi akibat komplikasi DM. Efek dari Microalbuminuria sekitar 20-40% terjadi pada pasien DM setelah 10-15 tahun onset DM. Rata-rata pengurangan

creatinine clearance sekitar 10-12 ml/menit/tahun pada pasien tanpa terapi. Hipertensi dan proteinuria dapat menurunkan LFG dan progresi ke arah end-stage renal disease. 7,8 Beberapa faktor yang berhubungan dengan risiko tinggi terjadinya ND adalah hipertensi, tingginya HBA1C dan kolesterol, merokok, usia lanjut, hiperinsulinemia, resistensi insulin, jenis kelamin pria, dan intake tinggi protein. Pada praktek klinik, penemuan riwayat keluarga dengan penyakit kardiovascular merupakan indicator risiko nefropati.5 a. Patofisiologi Hiperfiltrasi sebagai awal mekanisme patogenik dalam laju kerusakan ginjal. Mekanisme terjadinya peningkatan laju filtrasi glomerulus (LFG) kemungkinan disebabkan oleh dilatasi arteriol aferen oleh efek yang tergantung glukosa, yang diperantarai hormon vasoaktif, nitric oxide (NO), prostaglandin, dan glukagon. Efek langsung dari hiperglikemia adalah rangsangan hipertrofi sel, produksi sitokin berupa Transforming growth factor (TGF ) dan Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF), dan sintesis matriks ekstraseluler (ECM) yang diperantarai oleh aktivasi PKC yang berfungsi pada vaskuler seperti kontraktilitas, aliran darah menurun, proliferasi sel, dan permeabilitas kapiler meningkat. Hiperglikemia kronik menyebabkan terjadinya glikasi nonenzimatik asam amino dan protein. Awalnya, glukosa akan mengikat residu amino secara non-enzimatik menjadi basa Schiff glikasi, lalu terjadi penyusunan ulang agar tercapai bentuk yang lebih stabil namun reversibel yang disebut produk amadori. Bila proses berlanjut terus, akan terbentuk AGE yang ireversibel. AGE diduga sebagai perantara bagi beberapa kegiatan seluler seperti ekspresi adhesion molecule yang berperan penarikan sel-sel mononucler, hipertrofi sel, sintesa matriks ekstraseluler, dan inhibisi sintesa NO. Proses ini akan terus berlanjut sampai terjadi ekspansi mesangium dan fibrosis tubulointerstitialis. Molekul AGE sebagai peptida yang dapat ditemukan di dalam plasma, sel, dan jaringan, serta dapat terakumulasi dalam dinding arteri, mesangium ginjal, dan glomerulus dan membrane basalis lain. AGE diproduksi melalui direct action dari glukosa dan reaksi oksidatif.7,8 Metabolik Genetik Hemodinamik

glukosa

PKC

Hormon-hormon vasoaktif (angiotensin II, endothelin)

Aliran & TD

Advanced glycation

Sitokin ( TGF & VEGF)

Sintesis ECM >>

Permeabilitas vaskuler >

Gambar 2.15 Patogenesis nefropati diabetik.23 Hipertensi dapat mendorong terjadinya sklerosis pada ginjal pasien DM. Hipertensi pada DM diperkirakan akibat spasme arteriol eferen intrarenal dan intraglomerular. Secara histologis, kelainan yang tampak pada ND adalah penebalan membran basalis glomerulus dan tubulus, ekspansi mesangium (berupa akumulasi matriks ekstraseluler, penimbunan kolagen tipe IV, laminin, fibronektin) akan menimbulkan glomerulosklerosis noduler/difus, hyalinosis arteriol aferen dan eferen, fibrosis dan atrofi tubulus, dan fibrosis interstitial.8 Etiologi terjadinya ND adalah kurang kendali kadar glukosa darah (GDP > 140-160 mg/dl), HBA1C > 7-8%, Faktor-faktor genetis, Kelainan hemodinamik (peningkatan aliran darah ginjal, LFG, dan intraglomerulus), Hipertensi sistemik, Perubahan permeabilitas vaskuler, Inflamasi, Intake protein berlebih, Kelainan metabolisme poliol, pembentukan AGE, peningkatan produksi sitokin, Pelepasan growth factor, Hipertrofi glomerulus, ekspansi mesangium, penebalan membrana basalis glomerulus, Aktivasi PKC, dan Hiperlipidemia.8

b. Diagnosa Microalbuminuria didefinisikan dengan laju ekskresi albumin (LEA) urine 30-300 mg/ 24 jam (20-200 g/ml atau 20-200 g/menit), dan dianggap sebagai prediktor penting terjadinya nefropati diabetik. Diagnosa ditegakkan berdasarkan 2 dari 3 pemeriksaan berturut-turut dalam 3 bulan menunjukkan mikroalbuminuria. 8 Tahapan kelainan ginjal pada nefropati diabetika oleh Mogensen adalah : 8 1) Tahap 1 : terjadi hipertrofi dan hiperfiltrasi (LFG ) saat diagnosa ditegakkan. LEA dan tekanan darah masih normal. 2) Tahap 2 : secara klinis belum tampak kelainan, LFG , LEA dan tekanan darah normal. Terdapat kelainan struktur awal berupa penebalan membran basalis yang tidak spesifik, dan peningkatan matriks mesangium.

3) Tahap 3 : ditemukan mikroalbuminuria persisten atau nefropati insipien. LFG dapat / Normal. LEA dalam urine sebesar 20-200 mg/hari. Tekanan darah . Terdapat kelainan struktur berupa peningkatan ketebalan membran basalis dan peningkatan matriks mesangium dalam glomerulus. 4) Tahap 4 : ditemukan makroalbuminuria (> 200 mg/hari) atau proteinuri, tahap nefropati yang lanjut. Kelainan struktur glomerulus jelas. Terjadi hipertensi pada sebagian pasien. LFG menurun sekitar 10 ml/menit/tahun dan kecepatan penurunan ini berhubungan dengan tingginya tekanan darah. 5) Tahap 5 : terjadi gagal ginjal terminal, LFG < 10 ml/menit, terjadi hipertensi. LEA dapat tinggi atau rendah, dan perlu hemodialisis karena terjadi uremia dalam darah.

c. Penatalaksanaan Saat diagnosa DM ditegakkan atau selama terapi DM rutin juga diperlukan monitoring yang dianjurkan oleh American Diabetes association (ADA) adalah pemeriksaan terhadap adanya mikroalbuminuria, dan kadar kreatinin serum untuk menentukan klirens kreatinin. Perhitungan klirens kreatinin atau LFG dengan rumus Cockroft-Gault dalam ml/menit/1,73 m2 adalah 8 : Pemantauan adanya mikroalbuminuria pada pasien DM dilakukan pada 3 bulan awal diagnosa ditegakkan setelah pengendalian glukosa darah awal, dan selanjutnya follow up dilakukan setiap tahun setelah 5 tahun diagnosa ditegakkan pada DM tipe 1, dan setiap tahun setelah diagnosa ditegakkan pada DM tipe 2. 8 Pemantauan klirens kreatinin pada pasien DM dilakukan pada saat awal diagnosa ditegakkan, dan follow up dilakukan setiap 1-2 tahun sampai LFG < 100 ml/menit/1,73 m2, selanjutnya setiap tahun, atau lebih sering.8 Pencegahan dan terapi pada nefropati diabetika tergantung pada tahap-tahap kelainannya, namun pada prinsipnya dapat dilakukan pendekatan berupa : 8 1) Kontrol Glukosa darah dengan diet, olahraga, dan obat hipoglikemik oral (OHO). Penelitian oleh The United Kingdom Prospective Diabetes Study menujukkan bahwa control intensif glukosa darah dengan sulfonylurea atau insulin dapat mengurangi risiko ND dan komplikasi mikrovaskuler lain, meskipun tidak pada makrovaskuler. efek metformin dalam mengurangi risiko renal failure sama dengan OHO lain, namun metformin secara signifikan memiliki risiko rendah untuk terjadinya myocardial infarction daripada OHO lain. Namun, metformin tidak dapat digunakan untuk menurunkan glukosa

darah bila sudah terjadi ND, karena berhubungan dengan peningkatan risiko asidosis laktat. 1 Olahraga rutin yang dianjurkan ADA adalah berjalan 3-5 km/hari dengan kecepatan sekitar 10-12 menit/km, 4-5 x / minggu. Pembatasan asupan garam adalah 4-5 gr/hari dan asupan protein sampai 0,8 gr/kgBB ideal/hari. Target tekanan darah adalah < 130/80 mmHg. Obat anti hipertensi yang dianjurkan adalah ACE-I atau ARB, sedangkan pilihan lain berupa diuretik, beta bloker, calsium antagonis.2 2) Kontrol tekanan darah dengan diet rendah garam dan obat anti hipertensi Hipertensi berhubungan erat terhadap terjadinya albuminuria dan sebagai predictor kuat penyakit cardiovascular dan renal. Pada suatu penelitian dilaporkan bahwa terapi antihipertansi dengan beta-blockers dan diuretic dapat menghambat pengurangan progresif renal function pada pasien DM. Penelitian oleh Modification of Diet in Renal Disease menunjukkan bahwa penurunan tekanan darah sedikit di atas nilai normal berdasarkan criteria WHO dapat menurunkan angka pengurangan renal function. National Kidney Foundation merekomendasikan target tekanan darah sekitar 125/75 mmHg pada pasien DM dan non DM dengan renal disease. 6,7 Pasien DM dengan microalbuminuria belum mengalami gangguan filtrasi glomerular namun berisiko tinggi mengalami komplikasi renal. Microalbuminuria merupakan indicator terhadap terapi antihipertensi dan pasien disarankan untuk rutin kontrol minimal 1x/tahun.7 Pasian DM dengan microalbuminuria juga berisiko tinggi terhadap kejadian kardiovascular. Terapi antihipertensi dapat mengurangi kejadian albuminuria. Pada tahun 1995, direkomendasikan terapi antihipertensi dengan ACE-I. Protein adalah nefrotoksik terhadap tubuler. ACE-I dan beta bloker dapat mengurangi level proteinuria lebih baik daripada agen antihipertensi lain. 6 Suatu penelitian menunjukkan bahwa pemberian ACE-I dan ARB dapat mencegah penurunan LFG akibat terjadinya penurunan tekanan darah, penurunan tekanan intraglomerulus, peningkatan aliran darah ginjal, penurunan proteinuri, efek natriuretik, dan pengurangan proliferasi sel, hipertrofi, ekspansi matriks dan sitokin, serta perbaikan sensitivitas terhadap insulin.8 3) Perbaikan fungsi ginjal dengan diet rendah protein dan pemberian ACE-I atau ARB. Intake protein tinggi meningkatkan risiko nefropati dan progresi ke arah end-stage renal disease is tenuous. Pasien DM dengan intake protein rendah memiliki prevalensi

rendah untuk terjadinya microalbuminuria. Restriksi protein yang direkomendasikan adalah maksimal 0,8 gr protein /KgBB/hari dengan 10% dari intake total kalori harian. 7 4) Kontrol faktor-faktor ko-morbiditas lain : kontrol kadar lemak, obesitas dan merokok. Suatu penelitian metaanalisis pada 362 subjek dengan 253 pasien DM menunjukkan bahwa Statin dapat menurunkan angka proteinuri dan mempertahankan LFG pasien CKD. Pasien DM yang merokok berisiko lebih tinggi mengalami microalbuminuria daripada yang tidak merokok, dan angka progresi menjadi end-stage renal disease adalah 2 x lebih cepat.6,21 Pada pasien dengan LFG mencapai 10-12 ml/menit/1,73 m2 maka pasien dianjurkan untuk memulai terapi dialisis atau dapat dilakukan transplantasi ginjal.8 4.2. Neuropati Diabetika Neuropati diabetika berdasarkan konferensi neuropati perifer pada Februari 1988 di San Antonio merupakan adanya gangguan klinis neuropati yang terjadi pada pasien DM tanpa penyebab neuropati perifer yang lain, termasuk manifestasi somatik dan autonom dari sistem saraf perifer. Neuropati diabetika merupakan salah satu komplikasi kronis paling sering ditemukan pada pasien DM. Risiko yang dihadapi pasien DM adalah infeksi berulang, ulkus yang sukar sembuh, dan amputasi kaki.23 Manifestasi klinis neuropati diabetika bergantung dari jenis serabut saraf yang mengalami lesi. Mengingat jenis serabut saraf yang terkena lesi bisa besar atau kecil, lokasi proksimal atau distal, fokal atau difus, motorik atau sensorik atau otonom, maka manifestasi klinis neuropati diabetik menjadi bervariasi.3 Neuropati diabetika mulai terjadi setelah 10 tahun onset dari DM dan prevalensinya sekitar 12-50%. Angka kejadian & derajat keparahan tergantung usia, lama menderita, kendali glikemik, dan fluktuasi kadar glukosa darah sejak diketahui DM. Suatu penelitian besar, neuropati simptomatis ditemukan pada 28,5% dari 6.500 pasien DM. Penelitian Rochester, neuropati simptomatis ditemukan pada 13% pasien, dan > 50% ditemukan neuropati dengan pemerikaan klinis. Penelitian lain melaporkan bahwa kelainan kecepatan hantar saraf didapati pada 15,2% pasien DM baru, dan tanda klinis neuropati hanya dijumpai pada 2,3%. 23 Manifestasi neuropati diabetika bervariasi dari tanpa keluhan dan hanya dapat dideteksi dengan pemeriksaan elektrofisiologis sampai keluhan nyeri yang hebat. Keluhan dalam bentuk neuropati lokal / sistemik, tergantung lokasi dan jenis saraf yang terkena lesi.

a. Patofisiologi

Faktor primer terjadinya neuropati diabetika adalah hiperglikemia persisten (faktor metabolik), dan faktor lain yaitu : kelainan vaskuler, dan peranan nerve growth factor.9 1) Faktor metabolik Proses terjadinya neuropati berawal dari hiperglikemia persisten yang menyebabkan aktivitas jalur poliol meningkat, dimana terjadi aktivasi enzim aldose reduktase yang merubah glukosa menjadi sorbitol, lalu dimetabolisme oleh sorbitol dehidrogenase menjadi fruktosa. enzim aldose reduktase yang meningkat berkompetisi dengan NO syntase sehingga produksi NO menurun dan terjadinya defisit vasodilator andotel. Akumulasi sorbitol dalam sel saraf dapat menyebabkan keadaan hipertonik intraseluler sehingga mengakibatkan edema saraf, dan sel saraf dapat rusak. Selain itu, peningkatan sorbitol menghambat masuknya mioinositol ke dalam sel saraf, sehingga menimbulkan stres osmotik yang dapat merusak mitokondria, dan akan menstimulasi PKC. Aktivasi PKC ini akan menekan fungsi Na-KATPase sehingga kadar Na intraseluler menjadi berlebihan, yang berakibat terhambatnya mioinositol masuk ke sel saraf dan terjadilah gangguan transduksi sinyal pada saraf. Jalur poliol juga menyebabkan menurunnya persediaan NADPH saraf yang merupakan kofaktor penting dalam metabolisme oksidatif sehingga membatasi kemampuan saraf untuk mengurangi radikal bebas dan penurunan produksi NO. Penurunan produksi NO akan menyebabkan vasodilatasi berkurang, aliran darah ke saraf menurun, dan terjadilah ND. Hiperglikemi persisten juga meningkatkan produksi AGE. AGE ini sangat toksik dan merusak semua protein tubuh termasuk sel saraf.9

Gambar 2.16 Patogenesa terjadinya neuropati diabetik.4 2) Kelainan vaskuler Hiperglikemi persisten merangsang produksi radikal bebas (reactive oxygen species = ROS) yang dapat merusak endotel dan menetralisasi NO, menyebabkan trombosis arteriol intraneural, peningkatan agregasi trombosit dan demielinisasi sel saraf akibat iskemia akut.23

3) peranan nerve growth factor (NGF) NGF berperan untuk mempercepat dan mempertahankan saraf, pada DM kadarnya menurun. NGF juga berperan dalam regulasi gen substance P dan calcitonin gen regulated peptide (CGRP), keduanya berefek terhadap vasodilatasi, motilitas intestinal, dan nosiseptif.9

b. Diagnosa Klasifikasi ND dari yang paling sering terjadi adalah polineuropati distal simetris, neuropati autonom, dan neuropati fokal & multifokal. Yang dibahas di sini hanya 2, yaitu : 1) Polineuropati Distal Simetris Gejala dan tanda mulai dari distal dan meluas ke arah proksimal secara simetris, yang terkena pada awalnya adalah fungsi sensorik secara progresif dan selanjutnya mengenai semua fungsi saraf. Gangguan neurologis biasanya mulai dari jari-jari kaki, dan terus meluas pada ekstremitas atas dan bawah. Yang lazim terkena adalah serabut saraf dengan diameter besar dan menimbulkan gejala seperti gangguan keseimbangan, penurunan sensasi posisi, dan pengurangan sensasi getaran. Tidak dijumpai nyeri subyektif, parestesi, dan rasa tebal. Bila yang terkena serabut kecil, maka muncul keluhan berupa sensasi nyeri dan suhu, seperti pasien merasa nyeri, kesemutan, dingin, tebal, dan mati rasa. Gejala ini sering muncul pada malam hari sehingga dapat menyebabkan insomnia.4 2) Neuropati Otonom Neuropati otonom dapat mengenai saraf simpatis dan parasimpatis. Manifestasi neuropati otonom bervariasi sesuai dengan serabut saraf yang terkena lesi.24 Neuropati otonom pada traktus gastrointestinal adalah gastroparesis pada saluran GI atas, diare dan konstipasi pada GI bawah. Neuropati otonom pada traktus genitourinarius adalah sistopati (karena paresis pada m. detrusor), DED (Disfungsi Ereksi Diabetik), dan disfungsi seksual wanita. Diagnosa neuropati otonom ditegakkan dengan mengetahui adanya neuropati otonom pada kardiovaskular dengan pemeriksaan hipotensi postural/hipotensi ortostatik. Pemeriksaan dilakukan dengan membandingkan tekanan darah ketika berbaring dan berdiri.27 Pengukuran tekanan darah pertama pada posisi berbaring, kemudian istirahat pada posisi berbaring selama 20 menit, selanjutnya posisi berdiri selama 3 menit dan diukur tekanan darah kedua. Pasien dikatakan hipotensi ortostatik bila saat posisi berbaring tekanan sistolik 20 mmHg atau tekanan diastolic 10 mmHg, dan sebagai kompensasinya peningkatan heart rate > 15 x/menit pada posisi berdiri. Neuropati

otonom yang bermanifestasi pada disfungsi system saraf simpatis berupa hiperhidrosis pada extremitas superior dan anhidrosis pada extremitas inferior, sehingga kulit kaki menjadi kering dan berisiko besar untuk terjadi ulkus diabetika. Pada perubahan posisi tubuh dari tidur ke berdiri maka tekanan darah bagian atas tubuh akan menurun karena pengaruh gravitasi. Pada orang dewasa normal, tekanan darah arteri rata-rata pada kaki adalah 180-200 mmHg. Tekanan darah arteri setinggi kepala adalah 60-75 mmHg dan tekanan venanya 0. Pada dasarnya, darah akan mengumpul pada vena ekstremitas inferior sebanyak 650-750 ml darah dan akan terlokalisir pada satu tempat. Pengisian atrium kanan jantung akan berkurang, curah jantung juga berkurang sehingga pada posisi berdiri akan terjadi penurunan sementara tekanan darah sistolik sampai 25 mmHg, sedangkan tekanan diastolik tidak berubah/meningkat ringan sampai 10 mmHg. Penurunan curah jantung akibat akumulasi darah pada ekstremitas inferior akan cenderung mengurangi suplai darah ke otak. Tekanan arteri kepala akan turun mencapai 20-30 mmHg. Penurunan tekanan ini akan diikuti kenaikan tekanan parsial CO2 (pCO2), penurunan tekanan parsial O2 (pCO2) , dan pH jaringan otak. Hal ini akan merangsang baroreseptor yang terdapat di dalam dinding hampir setiap arteri besar di daerah dada dan leher; namun dalam jumlah banyak didapatkan dalam dinding arteri karotis interna, sedikit di atas bifurcatio carotis, daerah yang dikenal sebagai sinus karotikus dan dinding arkus aorta. Respon yang ditimbulkan baroreseptor berupa peningkatan tahanan pembuluh darah perifer, peningkatan tekanan jaringan pada otot kaki dan abdomen, peningkatan frekuensi respirasi, kenaikan frekuensi denyut jantung, dan sekresi zat-zat vasoaktif. Sekresi zat vasoaktif berupa katekolamin, pengaktifan sistem Renin Angiotensin Aldosteron, pelepasan ADH, dan neuro-hipofisis. Kegagalan fungsi refleks autonom ini yang menjadi penyebab timbulnya hipotensi postural.4 Deteksi penurunan sensibilitas pada neuropati DM dapat dilakukan dengan metode :
2

1) Tuning fork / garpu tala Metode paling sederhana, mudah, dan non invasive, untuk mengetahui sensibilitas kaki melalui vibrasi dengan garpu tala Rydel-Seiffer yang dapat dimulai pada plantar hallux.

Gambar 2.17 Garpu tala standar.2 2) Semmes-Weinstein Monofilament Bahan dasar adalah 10 gram plastic nilon, pemakaian berulang menyebabkan monofilament tidak sensitive, sehingga maksimal untuk 10 pasien. Monofilament disentuhkan selama 1 detik, dan ditekan sampai monofilament sedikit melengkung.

Gambar 2.18 Semmes-Weinstein Monofilament.26 3) Biothesiometer/ vibration perception threshold (PVT) meter. Ujung alat yang bergetar 100 Hz berbahan baku karet, yang digetarkan pada permukaan jari kaki. Dapat menilai fungsi saraf secara kuantitatif. Skala dalam mesin penggetar diberikan skala 0-100 volt, skala ini terus ditingkatkan sampai pasien merasakan vibrasi, bila skala amplitudo > 25 volt dapat berisiko terjadinya ulkus DM.

Gambar 2.19 Biothesiometer. 2 c. Penatalaksanaan Strategi penatalaksanaan pasien DM dengan keluhan ND adalah diagnosa ND sedini mungkin, perawatan umum kaki, pengendalian glukosa darah, dan terapi medikamentosa.3 1) Perawatan umum kaki

Menjaga kebersihan kulit kaki, menghindari trauma kaki seperti menggunakan sepatu yang sempit, mencegah trauma berulang pada neuropati kompresi. 23 2) Pengendalian glukosa darah Penelitian epidemiologi besar oleh diabetes control and complications trial (DCCT), Kumamoto study, dan united kingdom prospective diabetes study (UKPDS), membuktikan bahwa pengendalian glukosa darah dapat mengurangi komplikasi kronik DM termasuk ND. Penelitian DCCT pada kelompok pasien dengan terapi intensif dapat menurunkan HBA1C 9% menjadi 7%, dapat menurunkan risiko timbulnya ND sebesar 60% dalam 5 tahun. Hal yang sama pada penelitian kumamoto dan UKPDS, dengan terapi intensif dapat memperbaiki kecepatan konduksi saraf dan ambang rangsang vibrasi. 9 3) Terapi medikamentosa Obat-obatan yang digunakan untuk mencegah timbulnya dan berlanjutnya komplikasi kronik DM termasuk ND, yaitu : 23 a) Golongan aldose reductase inhibitor untuk menghambat penimbunan sorbitol & fruktosa. b) ACE inhibitor c) Neurotropin ( NGF dan brain derived neurotropic factor). d) Alpha lipoic acid adalah antioksidan kuat untuk radikal hidroksil, superoksid, dan peroksil e) Protein kinase C inhibitor f) Aminoguanidin, untuk menghambat pembentukan AGE.

4.3. Peripheral Arterial Disease (PAD) atau Kaki diabetik Peripheral arterial disease (PAD) atau kaki diabetik atau penyakit vaskular perifer (PVP) atau penyakit arteri perifer (PAP) adalah manifestasi klinis adanya oklusi arteri pada extremitas bawah sebagai akibat aterosklerosis dan terjadinya gangguan hemodinamik. Penyebab terbanyak penyakit oklusi arteri pada usia > 40 tahun adalah aterosklerosis. Di Amerika serikat sekitar 12% dari populasi dewasa dan meningkat dengan usia. PAD berisiko kematian kardiovaskuler lebih tinggi daripada tanpa PAD.26 DM merupakan penyebab amputasi extremitas inferior nontraumatik di Amerika Serikat, dengan risiko 15-40 x lipat lebih tinggi daripada populasi nondiabetik. Pada tahun 2004, sekitar 71.000 amputasi extremitas inferior nontraumatik berhubungan dengan neuropati dan vaskulopati. 5

Anda mungkin juga menyukai