Anda di halaman 1dari 13

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Preeklampsia 2.1.1.

Definisi Preeklampsia adalah sindrom spesifik kehamilan berupa berkurangnya perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel (Cunningham, 2005). Penyakit ini merupakan penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, edema dan proteinuria yang timbul akibat kehamilan yang biasanya terjadi pada triwulan ketiga kehamilan tetapi dapat timbul juga sebelum triwulan ketiga seperti pada pasien mola hidatidosa (Wiknjosastro, 2006). 2.1.2. Epidemiologi Kejadian preeklampsia di Amerika Serikat berkisar antara 2 6 % dari ibu hamil nulipara yang sehat. Di negara berkembang, kejadian preeklampsia berkisar antara 4 18 %. Penyakit preeklampsia ringan terjadi 75 % dan preeklampsia berat terjadi 25 %. Dari seluruh kejadian preeklampsia, sekitar 10 % kehamilan umurnya kurang dari 34 minggu. Kejadian preeklampsia meningkat pada wanita dengan riwayat preeklampsia, kehamilan ganda, hipertensi kronis dan penyakit ginjal (Lim, 2009). Pada ibu hamil primigravida terutama dengan usia muda lebih sering menderita preeklampsia dibandingkan dengan multigravida (Wiknjosastro, 2006). Faktor predisposisi lainnya adalah ras hitam, usia ibu hamil dibawah 25 tahun atau diatas 35 tahun, mola hidatidosa, polihidramnion dan diabetes (Pernoll, 1987). 2.1.3. Etiologi Apa yang menjadi penyebab terjadinya preeklampsia hingga saat ini belum diketahui. Terdapat banyak teori yang ingin menjelaskan tentang penyebab dari penyakit ini tetapi tidak ada yang memberikan jawaban yang memuaskan. Teori yang dapat diterima harus dapat menjelaskan tentang mengapa preeklampsia meningkat prevalensinya pada primigravida, hidramnion, kehamilan ganda dan mola hidatidosa. Selain itu teori tersebut harus dapat menjelaskan penyebab bertambahnya frekuensi preeklampsia dengan bertambahnya usia kehamilan, penyebab terjadinya perbaikan keadaan penderita setelah janin mati dalam kandungan, penyebab jarang timbul kembali preeklampsia pada kehamilan berikutnya dan penyebab timbulnya gejala-gejala seperti hipertensi, edema,

proteinuria, kejang dan koma (Wiknjosastro, 2006). 2.1.4. Patogenesis Preeklampsia telah dijelaskan oleh Chelsey sebagai disease of theories karena penyebabnya tidak diketahui. Banyak teori yang menjelaskan patogenesis dari preeklampsia, diantaranya adalah (1) fenomena penyangkalan yaitu tidak adekuatnya produksi dari blok antibodi, (2) perfusi plasenta yang tidak adekuat menyebabkan keadaan bahaya bagi janin dan ibu, (3) perubahan reaktivitas vaskuler, volume (4) ketidakseimbangan (7) antara prostasiklin iritabilitas dan tromboksan, saraf pusat, (5) (8) penurunan laju filtrasi glomerulus dengan retensi garam dan air, (6) penurunan intravaskular, peningkatan susunan penyebaran koagulasi intravaskular (Disseminated Intravascular Coagulation, DIC), (9) peregangan otot uterus (iskemia), (10) faktor-faktor makanan dan (11) faktor genetik. Dari teori-teori yang telah dijelaskan sebelumnya, belum ada satupun yang dapat membuktikan proses patogenesis preeklampsia yang sebenarnya (Pernoll, 1987). 2.1.5. Perubahan Fisiologi Patologik

2.1.5.1. Otak Tekanan darah yang tinggi dapat menyebabkan autoregulasi tidak berfungsi. Pada saat autoregulasi tidak berfungsi sebagaimana mestinya, jembatan penguat endotel akan terbuka dan dapat menyebabkan plasma dan sel-sel darah merah keluar ke ruang ekstravaskular. Hal ini akan menimbulkan perdarahan petekie atau perdarahan intrakranial yang sangat banyak (Pernoll, 1987). Dalam Sarwono, McCall melaporkan bahwa resistensi pembuluh darah dalam otak pada pasien hipertensi dalam kehamilan lebih meninggi pada eklampsia. Pada pasien preeklampsia, aliran darah ke otak dan penggunaan oksigen otak masih dalam batas normal. Pemakaian oksigen pada otak menurun pada pasien eklampsia (Wiknjosastro, 2006). 2.1.5.2. Mata Pada preeklampsia tampak edema retina, spasmus setempat atau

menyeluruh pada satu atau beberapa arteri, jarang terjadi perdarahan atau eksudat. Spasmus arteri retina yang nyata dapat menunjukkan adanya preeklampsia yang berat, tetapi bukan berarti spasmus yang ringan adalah preeklampsia yang ringan. Pada preeklampsia jarang terjadi ablasio retina yang disebabkan edema

intraokuler dan merupakan indikasi untuk terminasi kehamilan. Ablasio retina ini biasanya disertai kehilangan penglihatan (Wiknjosastro, 2006). Selama periode 14 tahun, ditemukan 15 wanita dengan preeklampsia berat dan eklampsia yang mengalami kebutaan yang dikemukakan oleh Cunningham (1995) dalam Cunningham (2005). Skotoma, diplopia dan ambliopia pada penderita preeklampsia merupakan gejala yang menunjukan akan terjadinya eklampsia. Keadaan ini disebabkan oleh perubahan aliran darah dalam pusat penglihatan di korteks serebri atau dalam retina (Wiknjosastro, 2006). 2.1.5.3. Paru Edema paru biasanya terjadi pada pasien preeklampsia berat dan

eklampsia dan merupakan penyebab utama kematian (Wiknjosastro,

2006).

Edema paru bisa diakibatkan oleh kardiogenik ataupun non-kardiogenik dan biasa terjadi setelah melahirkan. Pada beberapa kasus terjadi berhubungan dengan terjadinya t berhubungan dengan penurunan tekanan onkotik koloid plasma akibat proteinuria, penggunaan kristaloid sebagai pengganti darah yang hilang, dan penurunan albumin yang dihasilkan oleh hati (Pernoll, 1987). 2.1.5.4. Hati Pada integritas preeklampsia termasuk berat terkadang terdapat perubahan fungsi dan dan peningkatan cairan yang sangat banyak. Hal ini juga dapa

hepar,

perlambatan

ekskresi

bromosulfoftalein

peningkatan kadar aspartat aminotransferase serum. Sebagian besar peningkatan fosfatase alkali serum disebabkan oleh fosfatase alkali tahan panas yang berasal dari plasenta. Pada penelitian yang dilakukan Oosterhof dkk (1994), dengan menggunakan sonografi Doppler pada 37 wanita preeklampsia, terdapat resistensi arteri hepatika. Nekrosis hemoragik periporta di bagian perifer lobulus hepar kemungkinan besar penyebab terjadinya peningkatan enzim hati dalam serum. Perdarahan pada lesi ini dapat menyebabkan ruptur hepatika, atau dapat meluas di bawah kapsul hepar dan membentuk hematom subkapsular (Cunningham, 2005). 2.1.5.5. Ginjal Selama kehamilan normal, aliran darah dan laju filtrasi glomerulus

meningkat cukup besar. Dengan timbulnya preeklampsia, perfusi ginjal dan filtrasi glomerulus menurun (Cunningham, 2005). Lesi karakteristik dari preeklampsia, glomeruloendoteliosis, adalah pembengkakan dari kapiler endotel glomerular yang menyebabkan penurunan perfusi dan laju filtrasi ginjal (Pernoll, 1987). Konsentrasi asam urat plasma biasanya meningkat, terutama pada wanita dengan penyakit berat (Cunningham, 2005). Pada sebagian besar wanita hamil dengan preeklampsia, penurunan ringan sampai sedang laju filtrasi glomerulus tampaknya terjadi akibat berkurangnya volume plasma sehingga kadar kreatinin plasma hampir dua kali lipat dibandingkan dengan kadar normal selama hamil (sekitar 0,5 ml/dl). Namun pada beberapa kasus preeklampsia berat, keterlibatan ginjal menonjol dan kreatinin plasma dapat meningkat beberapa kali lipat dari nilai normal ibu tidak hamil atau berkisar hingga 2-3 mg/dl. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh perubahan intrinsik ginjal yang ditimbulkan oleh vasospasme hebat yang dikemukakan oleh Pritchard (1984) dalam Cunningham (2005). Filtrasi yang menurun hingga 50% dari normal dapat menyebabkan diuresis turun, bahkan pada keadaan yang berat dapat menyebabkan oligouria ataupun anuria (Wiknjosastro, 2006). Lee (1987) dalam Cunningham (2005) melaporkan tekanan pengisian ventrikel normal pada tujuh wanita dengan preeklampsia berat yang mengalami oligouria dan menyimpulkan bahwa hal ini konsisten dengan vasospasme intrarenal. Kelainan pada ginjal yang penting adalah dalam hubungan proteinuria dan retensi garam dan air (Wiknjosastro, 2006). Taufield (1987) dalam Cunningham (2005) melaporkan bahwa preeklampsia berkaitan dengan penurunan ekskresi kalsium melalui urin karena meningkatnya reabsorpsi di tubulus. Pada kehamilan normal, tingkat reabsorpsi meningkat sesuai dengan peningkatan filtrasi dari glomerulus. Penurunan filtrasi glomerulus akibat spasmus arteriol ginjal mengakibatkan filtrasi natrium melalui glomerulus menurun, yang menyebabkan retensi garam dan juga retensi air (Wiknjosastro, 2006). Untuk mendiagnosis preeklampsia atau eklampsia harus terdapat proteinuria. Namun, karena proteinuria muncul belakangan, sebagian wanita mungkin a mendapatkan bahwa proteinuria +1 atau lebih dengan dipstick memperkirakan minimal terdapat 300 mg protein per 24 jam pada 92 % kasus. Sebaliknya, proteinuria yang samar (trace) atau negatif memiliki nilai prediktif negatif hanya 34 % pada wanita hipertensif. Kadar dipstick urin +3 atau +4 hanya bersifat prediktif positif untuk preeklampsia berat pada 36 % kasus (Cunningham, 2005). Seperti pada glomerulopati lainnya, terjadi peningkatan permeabilitas sudah melahirkan yang sebelum diukur gejala ini dijumpai. urin 24 Meyer jam. (1994) Merek menekankan bahwa adalah ekskresi

terhadap sebagian besar protein dengan berat molekul tinggi. Maka ekskresi protein albumin juga disertai protein-protein lainnya seperti hemoglobin, globulin dan transferin. Biasanya molekul-molekul besar ini tidak difiltrasi oleh glomerulus dan kemunculan zat-zat ini dalam urin mengisyaratkan terjadinya proses glomerulopati. Sebagian protein yang lebih kecil yang biasa difiltrasi kemudian direabsorpsi juga terdeksi di dalam urin (Cunningham, 2005). 2.1.5.6. Darah Kebanyakan pasien dengan preeklampsia memiliki pembekuan darah yang normal (Pernoll, intravaskular merupakan dan kelainan 1987). Perubahan eritrosit sangat tersamar (lebih yang jarang) mengarah sering jumlahnya ke koagulasi pada dari destruksi yang dijumpai kurang

preeklampsia menurut Baker (1999) dalam Cunningham (2005). Trombositopenia sering, biasanya 150.000/l yang ditemukan pada 15 - 20% pasien. Level fibrinogen meningkat sangat aktual pada pasien preeklampsia dibandingkan dengan ibu hamil dengan tekanan darah normal. Level fibrinogen yang rendah pada pasien preeklampsia biasanya berhubungan dengan terlepasnya plasenta sebelum waktunya (placental abruption) (Pernoll, 1987). Pada 10 % pasien dengan preeklampsia berat dan eklampsia menunjukan terjadinya HELLP syndrome yang ditandai dengan adanya anemia hemolitik, peningkatan enzim hati dan jumlah platelet rendah. Sindrom biasanya terjadi tidak jauh dengan waktu kelahiran (sekitar 31 minggu kehamilan) dan tanpa terjadi peningkatan tekanan darah. Kebanyakan abnormalitas hematologik kembali ke normal dalam dua hingga tiga hari setelah kelahiran tetapi trombositopenia bisa menetap selama seminggu (Pernoll, 1987). 2.1.5.7. Sistem Endokrin dan Metabolisme Air dan Elektrolit Selama kehamilan normal, kadar renin, angiotensin II dan aldosteron meningkat. Pada preeklampsia menyebabkan kadar berbagai zat ini menurun ke kisaran normal pada ibu tidak hamil. Pada retensi natrium dan atau hipertensi, sekresi renin oleh aparatus jukstaglomerulus berkurang sehingga proses penghasilan aldosteron pun terhambat dan menurunkan kadar aldosteron dalam darah (Cunningham, 2005). Pada ibu hamil dengan preeklampsia juga meningkat kadar peptida natriuretik atrium. Hal ini terjadi akibat ekspansi volume dan dapat menyebabkan meningkatnya curah jantung dan menurunnya resistensi vaskular perifer baik pada normotensif maupun preeklamptik. Hal ini menjelaskan temuan turunnya

resistensi vaskular perifer setelah ekspansi volume pada pasien preeklampsia (Cunningham, 2005). Pada pasien preeklampsia terjadi hemokonsentrasi yang masih belum diketahui penyebabnya. Pasien ini mengalami pergeseran cairan dari ruang intravaskuler hematokrit, ke ruang interstisial. protein Kejadian edema ini diikuti yang dengan kenaikan peningkatan serum, dapat menyebabkan

berkurangnya volume plasma, viskositas darah meningkat dan waktu peredaran darah tepi meningkat. Hal tersebut mengakibatkan aliran darah ke jaringan berkurang dan terjadi hipoksia. Pada pasien preeklampsia, jumlah natrium dan air dalam tubuh lebih banyak dibandingkan pada ibu hamil normal. Penderita preeklampsia tidak dapat mengeluarkan air dan garam dengan sempurna. Hal ini disebabkan terjadinya penurunan filtrasi glomerulus namun penyerapan kembali oleh tubulus ginjal tidak mengalami perubahan (Wiknjosastro, 2006). 2.1.5.8. Plasenta dan Uterus Menurunnya aliran darah ke plasenta mengakibatkan gangguan fungsi plasenta. Pada hipertensi yang agak lama, pertumbuhan janin terganggu dan pada hipertensi yang singkat dapat terjadi gawat janin hingga kematian janin akibat kurangnya oksigenisasi untuk janin. Kenaikan tonus dari otot uterus dan kepekaan terhadap perangsangan sering terjadi pada preeklampsia. Hal ini menyebabkan sering terjadinya partus prematurus pada pasien preeklampsia (Wiknjosastro, 2006). Pada pasien preeklampsia terjadi dua masalah, yaitu arteri spiralis di miometrium gagal untuk tidak dapat mempertahankan struktur muskuloelastisitasnya dan atheroma akut berkembang pada segmen miometrium dari arteri spiralis. Atheroma akut adalah nekrosis arteriopati pada ujung-ujung plasenta yang mirip dengan lesi pada hipertensi malignan. Atheroma akut juga dapat menyebabkan penyempitan kaliber dari lumen vaskular. Lesi ini dapat menjadi pengangkatan lengkap dari pembuluh darah yang bertanggung jawab terhadap terjadinya infark plasenta (Pernoll, 1987). 2.1.6. Klasifikasi Menurut The National High Blood Pressure Education Program

(NHBPEP) Working Group, penyakit hipertensi pada kehamilan dibagi menjadi empat grup yaitu (Lim, 2009) :

2.1.6.1.

Hipertensi dalam kehamilan (Gestational hipertensi) Gejala yang timbul adalah peningkatan tekanan darah 140/90 mmHg atau

lebih pada awal kehamilan, tidak terdapat proteinuria, tekanan darah kembali normal kurang dari 12 minggu setelah kelahiran dan diagnosis bisa ditegakkan jika setelah pasien melahirkan. 2.1.6.2. Hipertensi Kronis ( Tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih yang terjadi sebelum kehamilan atau sebelum usia kehamilan 20 minggu dan bukan merupakan penyebab dari penyakit tropoblastik kehamilan. Hipertensi yang terdiagnosa setelah usia kehamilan 20 minggu dan menetap selama lebih dari 12 minggu setelah

melahirkan termasuk dalam klasifikasi hipertensi kronis. 2.1.6.3. Preeklampsia atau Eklampsia Pasien dengan tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih setelah usia kehamilan 20 minggu dengan sebelumnya memiliki tekanan darah normal dan disertai proteinuria 0,3 gram protein dalam spesimen urin 24 jam). Eklampsia dapat didefinisikan sebagai kejang yang bukan merupakan dikarenakan penyebab apapun pada wanita dengan preeklampsia. 2.1.6.4. Superimposed Preeklampsia (dalam Hipertensi Kronis) Proteinuria dengan onset yang cepat (>300 mg dalam urin 24 jam) dengan wanita hamil dengan hipertensi tetapi tidak terjadi proteinuria sebelum usia kehamilan 20 minggu. Peningkatan tekanan darah atau proteinuria atau penurunan jumlah platelet hingga dibawah 100.000 secara tiba-tiba pada wanita dengan hipertensi atau proteinuria sebelum usia kehamilan 20 minggu. Preeklampsia preeklampsia berat. dibagi menjadi duayaitu preeklampsia ringan dan Preeklampsia ringan didefinisikan dengan terdapatnya

hipertensi (tekanan darah 140/90 mmHg) yang terjadi dua kali dalam rentang waktu paling sedikit 6 jam. Proteinuria adalah terdapatnya protein 1+ atau lebih dipstick atau paling sedikit 300 mg protein dalam urin 24 jam. Edema dan hiperrefleksia sekarang bukan merupakan pertimbangan utama dalam kriteria diagnosis preeklampsia ringan. Kriteria diagnosa preeklampsia berat adalah apabila terdapat gejala dan tanda sebagai berikut (Wiknjosastro, 2006) : Sistolik 160 mmHg atau diastolik 110 mmHg yang terjadi dua kali

dalam waktu paling sedikit 6 jam 2.1.7. 2.1.7.1. Proteinuria lebih dari 5 gram dalam urin 24 jam Edema pulmonal Oligouria (<400 ml dalam 24 jam) Sakit kepala yang menetap Nyeri epigastrium dan atau kerusakan fungsi hati Trombositopenia Keterbatasan perkembangan intrauterus Peningkatan kadar enzim hati dan atau ikterus Skotoma dan gangguan visus lain Perdarahan retina Koma (Wiknjosastro, H., 2006)

Gejala Klinis Edema Pada kehamilan normal dapat ditemukan edema yang bebas, tetapi jika

terdapat edema yang tidak bebas, terdapat di tangan dan wajah yang meningkat pada pagi hari dapat dipikirkan merupakan edema yang patologis. Peningkatan berat badan yang sangat banyak atau secara tiba-tiba dapat meningkatkan kemungkinan preeklampsia. Preeklampsia dapat juga terjadi tanpa adanya edema (Pernoll, 1987). 2.1.7.2. Hipertensi Hipertensi merupakan kiteria paling penting dalam diagnosa penyakit preeklampsia. Hipertensi ini sering terjadi sangat tiba-tiba. Banyak primigravida dengan usia muda memiliki tekanan darah sekitar 100-110/60-70 mmHg selama trimester kedua. Peningkatan diastolik sebesar 15 mmHg atau peningkatan sistolik sebesar 30 mmHg harus dipertimbangkan sesuatu yang buruk. Oleh karena itu, pada pasien preeklampsia merupakan hipertensi relatif jika tekanan darahnya 120/80 mmHg. Tekanan darah sangat labil. Tekanan darah pasien preeklampsia ataupun hipertensi kronis biasanya menurun pada saat pasien tidur, tetapi pada pasien preeklampsia berat tekanan darah akan tetap tinggi walaupun dalam keadaan tidur (Pernoll, 1987). 2.1.7.3. Proteinuria Proteinuria merupakan gejala yang paling terakhir timbul (Pernoll, 1987). Proteinuria berarti konsentrasi protein dalam urin yang melebihi 0,3 gr/liter dalam

urin 24 jam atau pemeriksaan kualitatif menunjukan 1+ atau 2+ atau 1 gr/liter atau lebih dalam urin yang dikeluarkan kateter atau midstream yang diambil minimal dua kali dengan jarak waktu 6 jam (Wiknjosastro, 2006). 2.1.7.4. Penemuan Laboratorium Hemoglobin dan hematokrit akan meningkat akibat hemokonsentrasi. Trombositopenia biasanya terjadi. Penurunan produksi benang fibrin dan faktor koagulasi bisa terdeksi. Asam urat biasanya meningkat diatas 6 mg/dl. Kreatinin serum biasanya normal tetapi bisa meningkat pada preeklampsia berat. Alkalin fosfatase meningkat hingga 2-3 kali lipat. Laktat dehidrogenase bisa sedikit meningkat dikarenakan hemolisis. Glukosa darah dan elektrolit pada pasien preeklampsia biasanya at ditemukan dalam batas normal. Urinalisis dap

proteinuria dan beberapa kasus ditemukan hyaline cast (Pernoll, 1987). 2.1.8. Penatalaksanaan Preeklampsia Tujuan utama penanganan preeklampsia adalah mencegah terjadinya preeklampsia berat atau eklampsia, melahirkan janin hidup dan melahirkan janin dengan trauma sekecil-kecilnya (Wiknjosastro, 2006). 2.1.8.1. Preeklampsia Ringan Istirahat di tempat tidur merupakan terapi utama dalam penanganan preeklampsia ringan. Istirahat dengan berbaring pada sisi tubuh menyebabkan aliran darah ke plasenta dan aliran darah ke ginjal meningkat, tekanan vena pada ekstrimitas bawah juga menurun dan reabsorpsi cairan di daerah tersebut juga bertambah. Selain itu dengan istirahat di tempat tidur mengurangi kebutuhan volume darah yang beredar dan juga dapat menurunkan tekanan darah dan kejadian edema. Apabila preeklampsia tersebut tidak membaik dengan penanganan konservatif, maka dalam hal ini pengakhiran kehamilan dilakukan walaupun janin masih prematur (Wiknjosastro, 2006).

2.1.8.2.

Preeklampsia Berat Pada pasien preeklampsia berat segera harus diberi sedativa yang kuat

untuk mencegah timbulnya kejang. Apabila sesudah 12 24 jam bahaya akut sudah diatasi, tindakan selanjutnya adalah cara terbaik untuk menghentikan kehamilan. Sebagai pengobatan untuk mencegah timbulnya kejang dapat diberikan larutan sulfas magnesikus 40 % sebanyak 10 ml disuntikan intramuskular pada bokong kiri dan kanan sebagai dosis permulaan. Pemberian dapat diulang dengan dosis yang sama dalam rentang waktu 6 jam menurut keadaan pasien. Tambahan sulfas magnesikus hanya dapat diberikan jika diuresis pasien baik, refleks patella positif dan frekuensi pernafasan lebih dari 16 kali/menit. Obat ini memiliki efek menenangkan, menurunkan tekanan darah dan meningkatkan diuresis. Selain sulfas magnesikus, pasien dengan preeklampsia dapat juga diberikan klorpromazin dengan dosis 50 mg secara intramuskular ataupun diazepam 20 mg secara intramuskular (Wiknjosastro, 2006). 2.1.9. Komplikasi Preeklampsia Preeklampsia dapat menyebabkan kelahiran awal atau komplikasi pada neonatus berupa prematuritas. Resiko fetus diakibatkan oleh insufisiensi plasenta baik akut maupun kronis. Pada kasus berat dapat ditemui fetal distress baik pada saat kelahiran maupun sesudah kelahiran (Pernoll, 1987). Komplikasi yang sering 1. terjadi pada preklampsia berat adalah (Wiknjosastro, 2006) : Solusio plasenta. Komplikasi ini biasanya terjadi pada ibu hamil yang menderita hipertensi akut. Di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo 15,5 % solusio plasenta terjadi pada pasien preeklampsia. 2. 3. Hipofibrinogenemia. Pada preeklampsia berat, Zuspan (1978) menemukan 23% hipofibrinogenemia. Hemolisis. Penderita dengan preeklampsia berat kadang-kadang menunjukan gejala klinik hemolisis yang dikenal karena ikterus. Belum diketahui dengan pasti apakah ini merupakan kerusakan sel-sel hati atau destruksi sel darah merah. Nekrosis periportal hati yang sering ditemukan pada autopsi penderita eklampsia dapat menerangkan mekanisme ikterus tersebut. 4. 5. Perdarahan otak. maternal. Kelainan mata. Kehilangan penglihatan untuk sementara yang berlangsung selama seminggu dapat terjadi. Perdarahan kadang-kadang terjadi pada retina, hal ini merupakan tanda gawat dan akan terjadi apopleksia serebri. 6. Nekrosis hati. Nekrosis periportal hati pada pasien preeklampsia-eklampsia diakibatkan vasospasmus arteriol umum. Kerusakan sel-sel hati dapat diketahui dengan pemeriksaan faal hati. Komplikasi ini merupakan penyebab utama kematian

7. 8.

Sindroma HELLP, yaitu hemolysis, elevated liver enzymes dan low platelet. Kelainan ginjal. Kelainan ini berupa endoteliosis glomerulus berupa pembengkakan sitoplasma sel endotelial tubulus ginjal tanpa kelainan struktur lainnya. Kelainan lain yang dapat timbul ialah anuria sampai gagal ginjal.

9.

Prematuritas, dismaturitas dan kematian janin intrauterin. akibat kejang, pneumonia aspirasi dan DIC.

10. Komplikasi lain berupa lidah tergigit, trauma dan fraktur karena terjatuh

2.1.10. Pencegahan Preeklampsia Pemeriksaan antenatal yang teratur dan teliti dapat menemukan tandatanda dini preeklampsia, dalam hal ini harus dilakukan penanganan preeklampsia tersebut. Walaupun preeklampsia tidak dapat dicegah seutuhnya, namun frekuensi preeklampsia dapat dikurangi dengan pemberian pengetahuan dan pengawasan yang baik pada ibu hamil. Pengetahuan yang diberikan berupa tentang manfaat diet dan istirahat yang berguna dalam pencegahan. Istirahat tidak selalu berarti berbaring, dalam hal ini yaitu dengan mengurangi pekerjaan sehari-hari dan dianjurkan lebih banyak duduk dan berbaring. Diet tinggi protein dan rendah lemak, karbohidrat, garam dan penambahan berat badan yang tidak berlebihan sangat dianjurkan. Mengenal secara dini preeklampsia dan merawat penderita tanpa memberikan diuretika dan obat antihipertensi merupakan manfaat dari pencegahan melalui pemeriksaan antenatal yang baik (Wiknjosastro, 2006).

3.1. Asam Folat Asam folat adalah bagian dari vitamin B Kompleks yang dapat diisolasi dari daun hijau (seperti bayam), buah segar, kulit, hati, ginjal, dan jamur. Asam folat disebut juga dengan folacin/liver lactobacillus cosil factor/factor U dan factor R atau vitamin B11.

Asam folat adalah garam dari folic acid atau pteroyglutamate. Kerja dan pemakaiannya sama dengan folic acid, tetapi garam ini khususnya dipakai melalui parenteral. Kata asam folat berasal dari bahasa Latin yang berarti daun. Folic acid penting untuk pembentukan neuclic acid dan inti sel. Kekurangan Folic acid menyebabkan sintesa neuclic acid tidak adekuat sehingga menyebabkan anemia megaloblastik (anemia pernisiosa).

Folic acid dapat merangsang produksi leukosit yang dipakai sebagai obat likopeni agrositosis. Cadangan folic acid dalam tubuh sangat sedikit, antara 5-10 g, dan dalam diet folat bebas batas dari dalam darah antara 2 minggu, dan pertukaran megaloblastik terlihat dalam tulang setelah 20 minggu.Hal ini sangat berbeda dengan cadangan vitamin B12 yang berakhir secara individual sekurang-kurangnya 5 tahun. Kebutuhan akan folic acid sampai 50-100 g/hari pada wanita normal dan 300-400 g/hari pada wanita hamil sedangkan hamil kembar lebih besar lagi. Hamil memerlukan pembelahan sel dalam perkembangan janin dan organ, ibu memerlukan folic acid. Pemberian folic acid biasanya non toxic di mana alergi (seperti ruam, gatal) sangat jarang terjadi. Penyebab Kekurangan Folic Acid 1. Diet rendah folat, bisa disebabkan olehmutu makanan, jenis makanan, dan penyediaan makanan. 2. Sakit berat, gangguan gastro intestinal dan antibiotik oral menyebabkan gangguan absorsi asam folat dari usus. 3. Kekurangan vitamin C, penyakit hepar menyebabkan cadangan energi berkurang. 4. Muntah pada ibu hamil, terutama hamil kembar menyebabkan kebutuhan akan folic acid meningkat. 5. Anemia hemolitik seperti pada malaria, menyebabkan terjadinya eritropoisis dan perkisaran berlebih dari sel darah merah sehingga permintaan folic acid meningkat sehingga terjadi folic acid defisiensi di dalam haemoglobinopati. 6. Pemakaian obat-obatan antikonvulsan, alkohol, dan pada ibu dengan preeklamsi-eklamsi.

Gejala Klinis Kekurangan Asam Folat Tanda dan gejala utama: lesu, lemas, susah bernapas, oedem, nafsu makan menurun, depresi, dan mual. Kadang-kadang pucat, glositis, dan diare. Pada kasus yang berat dijumpai seperti kasus malnutrisi. Gejala Laboratorium Kekurangan Asam Folat Gejala pernisiosa anemia murni (kekurangan vitamin B12), jarang terjadi. Pada yang berat, Hb rendah: 4-6 gm/100 ml. 3 Eritrosit: 2 juta/mm , bisa terjadi leukopeni/trombositopeni. Leukosit perifer dominant bentuk segmen. Pemeriksaan figlu test positif, terutama pada ibu hamil. Sumsum tulang hiperplastik/megaloplastik (aspirasi sumsum tulang krista iliaka) pada ibu hamil. Hitung jenis bergeser ke kanan, sel darah merah dalam bentuk

makrositosis dan poikilositosis. Komplikasi Kekurangan Asam Folat Infeksi sekunder, pendarahan, kematian janin dalam rahim, dan kematian ibu. Gangguan plasenta, abortus habitualis, solusio plasenta, dan kelainan kongenital janin (neural tube defect). Neural tube defect (NTD) merupakan kelainan bawaan pada otak, tulang kepala, dan sumsum tulang belakang. Kelainan bawaan ini disebabkan oleh gangguan pembentukan saluran saraf pusat pada periode organogenesis yaitu trisemester pertama kehamilan terutama 28 hari pascakonsepsi. NTD yang dimaksud di sini adalah isolated NTD,yaitu hanya NTD yang merupakan kelainan bawaan tanpa disertai kelainan lain. Berdasarkan penelitian isolated NTD ini dapat dicegah frekurensinya dengan pemberian asam folat (folate preventable NTD). Angka kejadian NTD berkisar antara 1,3-2 per 1000 bayi hidup di USA. Di negara ini NTD merupakan kelainan bawaan kedua terbanyak setelah kelainan jantung bawaan dan sebagai penyebab utama kematian bayi baru lahir atau cacat tubuh berat. Untuk menghindari terjadinya NTD pemberian asam folat diberikan pada masa perikonsepsi satu bulan sebelum konsepsi dan satu bulan post konsepsi, karena neural tube manusia menutup pada minggu ketiga post konsepsi. Pengobatan 1. Profilaksis: kekurangan asam folat ringan diberikan folat oral 300-400 g/hari, disertai pemberian tinggi vitamin dan diet tinggi protein. Di Amerika Serikat dianjurkan setiap produk makanan diberikan asam folat di dalamnya. 2. Kuratif diberikan pada folic acid anemia yang ringan secara oral 5001000 gr/hari. Pada kasus yang lebih berat harus diberikan secara parenteral karena absorsi folic acid terganggu akibat kerusakan pada usus. Jika terjadi pada akhir kehamilan, maka transfusidarah dibutuhkan. 3. Untuk wanita yang mempunyai riwayat melahirkan bayi dengan NTD, diberikan folic acid 4 mg per hari selama kehamilan.

Anda mungkin juga menyukai