Anda di halaman 1dari 14

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Negara Indonesia dikenal sebagai Negara agraris. Sebuah Negara yang hampir setiap wilayahnya ditumbuhi oleh vegetasi yang tumbuh subur dari mulai jenis vegetasi alami sampai vegetasi hasil budidaya manusia. Kita wajib bersyukur dapat hidup dan tinggal di negeri yang kaya akan ketersediaan potensi sumber daya alam. Sebagian besar penduduk Indonesia dewasa ini masih terkonsentrasi di wilayah pedesaan dan mengandalkan sumber mata pencariannya dari sector agraris(pertanian). Hal ini dapat dipahami, karena pada dasarnya kemajuan sektor perekonomian Indonesia berawal dari sektor agraris(pertanian). Siklus cara dan teknik pertanian yang dilakukan para petani sekarang ini di setiap wilayah yang berbeda mengalami perkembangan yang sangat pesat. Beberapa hal diantaranya yaitu penerapan berbagai inovasi teknologi dalam dunia pertanian. Ditemukannya bibit unggul membantu petani memperbesar hasil panen karena bibit unggul ini dirancang sedemikian rupa untuk disesuaikan dengan jenis, lahan, dan hama yang kemungkinan akan menyerangnya. Sehingga, hasil panen yang didapatkan petani dapat melebihi hasil panen dari varietas padi yang biasa digunakan. Ditemukannya mesin traktor membantu petani dalam menghemat waktu, biaya, dan tenaga kerja yang kemungkinan besar dikeluarkan dalam mengolah sawah. Kemajuan dalam cara dan teknik pertanian tentu saja diikuti oleh perkembangan dalam bidang sistem informasi pertaniannya. Saat ini terutama para penentu kebijakan, mulai mengadopsi hasil kemajuan ilmu pengetahuan

berupa sistem informasi yang berbasiskan peta. Pengadopsian teknologi ini ditujukan untuk meningkatkan kemajuan dalam bidang pertanian. Output dari hasil sistem informasi dijadikan sebagai data acuan pengembangan wilayah-wilayah pertanian yang tersebar hampir diseluruh wilayah Negara Indonesia. Tidak dapat dipungkiri bahwa sektor agraris(pertanian) yang selama ini telah mengalami perkembangan yang tidak sedikit dalam proses pembangunan nasional. Namun akhir-akhir ini, produktivitas sektor agraris(pertanian) cenderung terus menurun sehubung dengan timbulnya berbagai permasalahan dari kegiatan pembangunan yang hanya berorientasikan pada pertumbuhan ekonomi semata tanpa memikirkan tantangan yang menghadang sector pertanian pada saat mendatang, seperti penyempitan lahan.

1.2 Rumusan Masalah


Makalah ini membahas tentang: a) Apa penyebab lahan pertanian menjadi semakin sempit? b) Bagaimana cara memanfaatkan lahan pertanian yang semakin sempit untuk kegiatan pertanian?

1.3 Tujuan Penulisan


Makalah bertujuan untuk: a) Untuk mengetahui penyebab lahan pertanian menjadi semakin sempit b) Untuk mengetahui bagaimana cara memanfaatkan lahan pertanian yang semakin sempit untuk kegiatan pertanian

BAB II KAJIAN PUSTAKA


Beberapa tantangan yang menghadang sector pertanian pada saat ini dan pada masa-masa yang akan datang (KMLH, 1997) di antaranya adalah sebagai berikut : 1. Cepatnya laju alih fungsi lahan pertanian produktif menjadi berbagai peruntukan lainnya, seperti pertumbuhan industry dan sector-sektor lainnya. 2. Derasnya mobilitasi penduduk keperkotaan yang diakibatkan oleh semakin rendahnya tingkat pendapatan masyrakat perdesaan karena semakin sempitnya lahan usaha. Sementara itu, perkembangan kota-kota di Indonesia di picu oleh pesatnya perkembangan industrialisasi telah mendorong terjadinya peningkatan arus urbanisasi. Terjadi urbanisasi tersebut diakibatkan oleh adanya pandangan bahwa kesempatan kerja di kota lebih baik dan lebih menguntungkan dibanding dengan di perdesaan. Akibatnya, jumlah penduduk di daerah perkotaan semakin padat. Di perkirakan pada tahun 2020 penduduk 49,5% dari 257 juta penduduk Indonesia akan tinggal di perkotaan. Kondisi demikian mengharuskan lingkungan perkotaan untuk menyiapkan peluang dan berbagai fasilitas kehidupan, misalnya perumahaan dan fasilitas sosial lainnya. Sementara, semua fasilitas sosial tersebut sangat membutuhkan lahan yang akhirnya akan terus mendesak eksistensi lahanlahan pertanian subur disekitarnya. Dalam perkembangannya, keinginan para pendatang untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik di kota tidaklah semudah yang dibayangkan. Terlebih bagi para pendatang yang berlatar belakang sektor pertanian dengan sedikit atau bahkan tanpa bekal keterampilan lainnya, sangat kecil kemungkinannya untuk mendapatkan kesempatan kerja di perkotaan yang umumnya di luar sektor pertanian. Selanjutnya berbagai persoalan sosial ekonomi perkotaan juga akan semakin meningkat seperti krisis moneter.

Akibat krisis moneter ini pula, kemudian terjadi krisis pangan bagi penduduk perkotaan. Sehingga dengan demikian, perhatian terhadap persoalan kesediaan pangan bagi penduduk perkotaan menjadi meningkat. Terlebih mengingat penduduk miskin perkotaan di Negara- Negara berkembang yang harus menisihkan antara 30%-50% dari total pendapatannya untuk membeli bahan makanan, maka pada masa krisis moneter tersebut, krisi pangan bagi penduduk miskin di perkotaan menjadi lebih rawan disbanding dengan penduduk pedesaan (Young,1990;Setiawan, 1999). Mengingat penyempitan tanah pertanian terus terjadi, khususnya di wilayah perkotaan, maka diperkirakan pada tahun 2020 akan terjadi kelangkaan tanah. Selain itu, adanya permasalahan kemiskinan penduduk kota dan tingkat pengangguran tinggi, serta upaya untuk mencegah terjadinya kelangkaan pangan di daerah perkotaan, maka sangat perlu diupayakan adanya pola pertanian intensif dengan tingkat produktivitas yang tinggi ataupun pertanian berskala kecil namun yang mempunyai tingkat efisiensi yang sama besarnya dengan pertanian berskala besar. Sehingga dengan demikian, pola bertani secara vertical atau yang lebih dikenal dengan vertikultur, dipandang layak untuk dikembangkan didaerah perkotaan. Penerapan vertikultur sebagai salah satu bentuk pertanian terpadu perkotaan, antara lain bertujuan agar proses produksi pangan di perkotaan dapat berkelanjutan dengan tetap memperhatikan aspek-aspek lingkungan di perkotaan, seperti misalnya ketersediaan air di kota, sistem limbah kota, iklim mikro perkotaan dan masyarakatnya. Vertikultur diharapkan mampu mendukung pelaksanaan pembangunan kota yang berkelanjutan.

BAB III PEMBAHASAN


3.1 Penyebab Lahan Pertanian Semakin Sempit
3.1.1 Urbanisasi Kota, baik di negara maju maupun berkembang merupakan cerminan hidup modern dan cenderung memiliki taraf hidup yang sedikit lebih tinggi dari pada desa. Dengan berkembangnya teknologi informasi, desa berinteraksi dengan kota, yang berdampak pada perubahan mental yang terjadi pada orang-orang desa, meskipun hal tersebut terjadi sedikit demi sedikit. Dari tontonan di televisi, atau interaksi dalam dunia maya (internet), terjadi penularan mental orang-orang kota ke orang-orang desa menjadi materialistis. Perubahan mental inilah yang mendorong orang-orang desa berurbanisasi, dalam artian bermigrasi ke wilayah perkotaan untuk mencapai taraf hidup yang lebih baik. Migrasi ini menyebabkan lahan-lahan pertanian di wilayah pedesaan tersebut terbengkalai. Sementara itu, kota terus mengadakan perluasan ke beberapa daerah di sekitarnya untuk mencapai kemakmuran. Kota yang menuntut cepatnya perputaran uang tentu lebih berpihak pada sektor industri, perdagangan, dan jasa, dibandingkan dengan sektor pertanian yang perputaran uangnya cenderung lambat. Dalam rangka perluasan kota, pemerintah daerah dan beberapa pihak swasta rela membeli lahan-lahan pertanian untuk dikembangkan menjadi pusat industri, perdagangan, wisata, atau apapun yang dapat menghasilkan uang dengan cepat dan dalam jumlah yang besar. Sayangnya, lahan-lahan itu umumnya masih sangat produktif, dan apabila sudah dialih fungsikan, maka lahan tersebut tidak dapat dipakai lagi menjadi lahan pertanian. Dan sangat disayangkan pula, bahwa orang-orang desa sebagian besar bersedia menjual lahan-lahan pertanian mereka. Disini, terjadi pengalihan mata pencaharian penduduk sekitar, dari bertani menjadi

industri, perdagangan, atau yang lainnya. Hal tersebut terjadi karena pembangunan kegiatan perekonomian baru yang dibangun ini pun merekrut banyak tenaga kerja sehingga muncul lapangan kerja baru, disertai hilangnya lapangan kerja lama karena hilangnya lahan pertanian. 3.1.2 Spekulasi Tanah di Perkotaan Bentuk khas pembangunan yang terjadi di pusat-pusat kota negaranegara Dunia Ketiga menjurus kepada meningkatnya spekulasi tanah, memperkaya kaum elit kota pemilik tanah, dan meningkatkan pemilikan tanah secara absentee di kawasan pedesaan sekitar kota. Dengan demikian, timbul ketergantungan sosial ekonomi yang semakin besar dari daerah pedesaan kepada kota. Lalu, perluasan kota jangkauannya lebih luas daripada daerah-daerah pinggiran kota dimana pembangunan kota berlangsung. 3.1.3 Pertumbuhan Penduduk Selain urbanisasi, ada faktor lain yang menyebabkan menyempitnya lahan pertanian, yaitu pertumbuhan penduduk yang berlangsung secara alami. Kita mengetahui bahwa sifat setiap manusia berbeda. sebagian besar orang-orang desa rela menjual lahan pertaniannya namun sebagian kecil petani tidak rela menjual lahan pertaniannya. Hal itu dikarenakan oleh filosofi petani yang sifatnya senang mengumpul-ngumpulkan harta, untuk diwariskan kepada anak-cucunya. Penduduk tumbuh secara alami mendorong kebutuhan akan tempat tinggal baru, karena suatu rumah tidak mungkin dapat menampung sebuah keluarga yang nantinya anggotanya terus bertambah. Karena itu, lahan-lahan pertanian yang dimiliki mereka diwariskan kepada anak cucu mereka untuk dijadikan tempat tinggal.

Meskipun tidak mungkin semua lahan pertanian itu digunakan sebagai permukiman (tempat tinggal), tetapi setidaknya lahan tersebut makin berkurang. Dan seiring berjalannya waktu, pertumbuhan terjadi secara alamiah sehingga pada suatu saat, kebutuhan akan tempat tinggal baru bagi anak cucunya di masa depan akan muncul dan tentu saja lahan pertanian yang diwariskan turun temurun itu makin lama makin menyempit.

3.2 Cara Memanfaatkan Lahan Pertanian Yang Semakin Sempit Untuk Kegiatan Pertanian
Usaha budidaya pertanian telah berkembang sejak dilaksanakannya pola pertanian menetap yang di barengi dengan makin mantapnya pemukiman menetap. Pada saat itu, manusia juga mulai melakukan pengumpulan dan penyimpanan bahan makanan bagi pemenuhan kebutuhan hidupnya. Di Indonesia, perkembangan pertanian telah berlangsung sejak lama, yang terutama didasarkan pada budidaya padi sawah. Namun, system pertanian yang selama ini di kenal merupakan system pertanian yang dilakukan secara horizontal. Mengingat salah satu tantangan atau permasalahan pertanian yang saat ini mulai dirasakan yaitu semakin terbatasnya lahan, maka perlu dikembangkan adanya alternatif cara bertani yang hemat lahan, dengan teknologi dan metode sederhana, dan secara ekonomi layak serta dapat di terima oleh anggota masyarakat. Dalam hal ini, nampaknya perlu di kembangkan pola bertani secara vertical atau vertikultur. 3.2.1 Pengertian Vertikultur Vertikultur, pada dasarnya merupakan cara bertani/bertanam yang dilakukan denga menempatkan media tanam dalam wadah-wadah yang disusun secara vertikal (keatas). Wadah media tanam tersebut dapat berupa kolom-kolom atau pot-pot yang kemudian diatur sedemikian rupa sehingga pertanaman nantinya dapat tumbuh secara susun keatas. Sehingga dengan demikian, vertikultur merupakan upaya pemanfaatan ruang ke arah vertikal. Dari satu titik dengan

luasan tertentu, dapat ditanam beberapa tanaman. Sementara itu, apabila pertanaman tersebut diusahakan dengan cara biasa(secara horizontal), maka dari satu titik tumbuh (pada tanah), hanya akan dapat tumbuh satu tanaman. Dengan demikian, vertikultur ini dapat diterapkan pada daerah-daerah dengan lahan sempit, khususnya di daerah perkotaan yang kini rata-rata menjadi pemukiman padat. Peningkatan jumlah penduduk dan pesatnya perkembangan berbagai sektor pembangunan telah menyebabkan pula meningkatnya permintaan terhadap sumber daya air, sehingga ketersediaan air dirasakan semakin terbatas. Dalam pola tanam vertikultur, air hanya dibutuhkan bagi penguapan tanaman, mengingan evaporasi hanya terjadi dari tanah dalam kolom wadah media tanam. Setiap kali dilakukan penyiraman, beberapa tanaman dapat memperoleh air dari air tetesan tanaman di atasnya. Dengan demikian pola tanaman vertikultur dapat menghemat penggunaan air. Vertikultur juga dapat dilaksanakn pada daerah-daerah dengan kondisi lahan kurang subur, dengan syarat media tanam yang di upayakan dapat mendukung pertumbuhan tanaman, misalnya dengan mencari media tanah dari lokasi lain, menambahkan pupuk atau hara lainnya. 3.2.2 Fungsi dan Manfaat Vertikultur bagi Daerah Perkotaan Upaya pengembangan dan pemasyarakatan vertikultur di daerah perkotaan, antara lain mempunyai fungsi dan manfaat sebagai berikut: Menciptakan keasrian, keserasian, dan keindahan lingkungan kota yang dipenuhi berbagai sarana/prasarana perkotaan dan pemukiman padat penduduk Konservasi sumber daya tanah, yaitu dengan mengelola dan memanfaatkan secara bijaksana agar ketersediaannya dapat terus berlanjut.

Konservasi sumber daya air, sebab dengan penghematan penggunaan air berarti ketersediaan air dapat lebih terjamin pada masa-masa yang akan dating

Mempengaruhi dan memperbaiki iklim mikro perkotaan, sehingga kondisi perkotaan menjadi lebih sejuk dan nyaman Berjalannya proses daur ulang limbah perkotaan yang dimanfaatkan sebagai kompos/pupuk kandang Sebagai alternative kesempatan kerja bagi para pencari kerja atau untuk meningkatkan pendapatan warga masyarakat agar dapat lebih memperbaiki kualitas kehidupan keluarganya

Upaya memenuhi kebutuhan bahan pangan perkotaan dan menjaga keberlanjutannya

3.2.3 Keunggulan Vertikultur Penerapan pola tanam vertikultur, mempunyai beberapa keunggulan, antara lain: Menghemat lahan Menghemat air Mendukung pertanian organik, karena lebih menganjurkan

penggunaan pupuk alami (kompos) dan sedikit menggunakan pestisida anorganik Bahan-bahan yang digunakan sebagai wadah media tanam, dapat disesuaikan dengan kondisi setempat/ketersediaan bahan yang ada Umur tanaman relatif pendek Pemeliharaan tanaman relatif lebih sederhana Dapat dilakukan oleh siapa saja yang sungguh-sungguh berminat dan sayang akan tanaman.

Gambar 1. Vertikultur Tanaman Sawi dan Selada

Gambar 2. Vertikultur Padi

10

Gambar 3. Vertikultur Tanaman Sayuran

Gambar 4. Vertikultur Bayam

11

Gambar 5. Vertikultur Sawi

12

BAB IV KESIMPULAN
Saat ini kndisi pertanian di Indonesia semakin kritis. Kondisi lahan pertanian juga semakin menyempit. Hal ini disebabkan oleh adanya alih fungsi lahan pertanian menjadi perumahan atau perusahaan-perusahan industri. Bertambahnya jumlah penduduk juga mempengaruhi kondisi lahan karena semakin banyak jumlah penduduk maka semakin banyak pula dibutuhkan rumah untuk tempat tinggal yang tidak lain mengambil lahan pertanian. Dengan semakin terbatasnya lahan, maka perlu dikembangkan adanya alternatif cara bertani yang hemat lahan, dengan teknologi dan metode sederhana, dan secara ekonomi layak serta dapat di terima oleh anggota masyarakat. Dalam hal ini, nampaknya perlu di kembangkan pola bertani secara vertikal atau vertikultur. Sistem pertanian vertikultur adalah sistem budidaya pertanian yang dilakukan secara vertikal atau bertingkat. Sementara itu, vertikultur organik adalah budidaya tanaman secara vertikal dengan menggunakan sarana media tanam, pupuk, dan pestisida berasal dari bahan organik non kimiawi. Sistem vertikultur merupakan solusi atau jawaban bagi yang berminat dalam budidaya tanaman namun memiliki ruang atau lahan sangat terbatas. Kelebihan sistem pertanian vertikultur: (1) Efisiensi dalam penggunaan lahan. (2) Penghematan pemakaian pupuk dan pestisida. (3) Hemat penggunaan air.

13

DAFTAR PUSTAKA
Desiliyarni, Temmi., Astuti, Yuni., Fauzy, Farida., dan Endah, Joesi. 2003. Vertikultur Teknik Bertanam di Lahan Sempit. Jakarta : AgroMedia Pustaka Arifin, Bustanul. 2004. Alisis Ekonomi Pertanian Indonesia. Jakarta : Buku Kompas Besari, M. Sahari. 2008. Teknologi di Nusantara: 40 abad hambatan inovasi. Jakarta: Salamba Arsyad, Sitanala., dan Rustiadi, Ernan. 2008. Penyelamatan Tanah, Air, dan Lingkungan. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia

14

Anda mungkin juga menyukai