Anda di halaman 1dari 4

Case Report

Herpes Encephalitis Masquerading as Tumor


Tasneem Peeraully and Joseph C. Landolfi New Jersey Neuroscience Institute, John F. Kennedy Medical Center, 65 James Street, Edison, NJ 08820 -3947, USA Received 5 February 2011; Accepted 21 February 2011 Academic Editors: A. Conti and R. Yamanaka

Seorang wanita berusia 54 tahun dengan keluhan lesu dan kehilangan 15 kg berat badan selama setahun terakhir. CT scan kepala menunjukkan hipodensitas lobus temporalis kiri dengan area diskrit perdarahan dalam lobus temporalis kiri mesial. Karena kekhawatiran akan herniasi sentral, pungsi lumbal tidak dilakukan. MRI otak menunjukkan lesi besar pada lobus temporalis kiri, dan meluas ke lobus frontalis kiri, serta peningkatan meningeal yang tidak merata. Ada lesi noncontiguous dari insula kanan. Diferensial diagnosis yaitu ensefalitis herpes simpleks (HSE) dan glioma infiltratif multifokal. MR spektroskopi menunjukkan kolin meningkat pada lobus temporalis medialis kiri dan perfusi MR menunjukkan hiperperfusi yang tidak sempurna dalam lobus temporalis kiri anterior, menimbulkan dugaan penyakit neoplastik. Setelah biopsi otak terbuka, didapatkan patologi herpes simplex virus (HSV) inti positif dalam korteks dan substansia alba subkortikal. Herpes simpleks ensefalitis memiliki insidensi 1 di antara 250.000 sampai 500.000 orang per tahun dan umumnya merupakan ensefalitis sporadis yang paling fatal di dunia Barat. Gejala yang biasa terjadi yaitu sakit kepala, demam, dan kebingungan yang progresif selama beberapa jam sampai beberapa hari. Kelainan neurologis fokal yang ditemukan di antaranya adalah hemiparesis, defisit saraf kranial, menurunnya lapang pandang, dan disfasia. Kejang fokal atau umum juga dapat ditemukan. Pasien dapat menunjukkan perubahan perilaku dengan perubahan kepribadian dan psikosis. CT scan kepala menunjukkan lesi hipodens dari lobus temporal dan daerah orbitofrontal dan mungkin menunjukkan efek massa. Perdarahan petekie mungkin tidak selalu teramati. MRI T2 menunjukkan hiperintensitas sesuai dengan perubahan pembengkakan pada lobus temporal. Sedangkan pencitraan dengan MRI T1 menunjukkan sinyal hipointensitas di daerah lesi, dan peningkatan meningeal.

Glioma juga menunjukkan temuan MRI hipointensitas pada gambar T1 dan hiperintensitas pada gambar T2. Perdarahan diskrit biasanya lebih terlihat pada tumor daripada HSE. Glioma dapat fokus, menyebar, atau multifokal. Diagnosis ensefalitis herpes dapat rancu oleh karena faktor pembaur, terutama bila cairan serebrospinal (CSF) tidak dapat diperoleh. Ketika LCS dapat diperoleh, akan dapat ditunjukkan pleositosis sel mononuklear pada 97% kasus, biasanya dengan protein sedikit meningkat dan glukosa normal. Tes polymerase chain reaction (PCR) dilakukan pada spesimen dari pasien dengan biopsi otak yang terbukti herpes simpleks ensefalitis, menunjukkan sensitivitas diagnostik 98% pada saat presentasi klinis serta spesifisitas mendekati 100%. Dalam kasus dimana pencitraan adalah ambigu dan CSF tidak tersedia, biopsi pada akhirnya mungkin diperlukan untuk membuat diagnosis.

Case report

Herpes simplex 1 encephalitis presenting as a brain haemorrhage with normal cerebrospinal fluid analysis: a case report
Effrossyni Gkrania-Klotsas1* and Andrew ML Lever1,2 * Corresponding author: Effrossyni Gkrania-Klotsas egkraniaklotsas@nhs.net

Ensefalitis herpes simpleks adalah infeksi yang berpotensi menyebabkan kematian dan harus ditangani sesegera mungkin. Kombinasi dari riwayat klinis dan pemeriksaan, CT scan otak, MRI, dan pungsi lumbal digunakan untuk menegakkan diagnosis. Seorang pasien yang memiliki riwayat sugestif namun pungsi lumbal normal, dan hanya bukti perdarahan intraserebral pada MRI otak. Diagnosis ditegakkan dengan menggunakan PCR LCS untuk virus herpes simplex. Herpes simpleks ensefalitis dapat terjadi dengan kombinasi perdarahan cairan serebrospinal maupun normal. Kesadaran normal tetapi jika tidak diobati kondisi yang destruktif terus meningkat. Diagnosis yang cepat untuk infeksi sistem saraf pusat oleh karena virus herpes simplex (HSV) sangat penting, karena potensi morbiditas dan mortalitas yang terkait dengan penyakit, selain itu ketersediaannya asiklovir luas yang telah terbukti memperbaiki gejala (mengurangi angka kematian sekitar 20%). Jika tidak diobati, lebih dari 70% kasus HSV ensefalitis (HSVE) berakibat fatal dan hanya sekitar 11% dari pasien mengalami pemulihan fungsi premorbid yang normal. Sejauh ini, diagnosis HSVE menggunakan kombinasi dari skenario klinis, CT scan, MRI, dan pemeriksaan cairan serebrospinal (LCS) dengan mikroskop, serta analisis biokimia dan polymerase chain reaction (PCR). HSVE yang tidak terdiagnosis di masa lalu, telah mengakibatkan kematian pada pasien karena kurangnya pleositosis CSF.

Validitas PCR HSV positif dalam CSF sebenarnya telah dipertanyakan di masa lalu karena genom HSV ditemukan pada ganglion trigeminal pada 85% sampai 90% kasus. Walaupun secara teori mungkin bahwa HSV yang positif PCR dalam CSF bisa mewakili asimtomatik laten pada jaringan saraf, dalam ketiadaan reaktivasi, akan sulit untuk menjelaskan bagaimana virus mencapai CSF dari ganglia atau otak. Selain itu, penelitian telah menunjukkan bahwa PCR HSV dalam CSF memiliki spesifitas tinggi, membuat hasil positif palsu sangat tidak mungkin. Dalam hal ini, pemeriksaan EEG (electroencephalogram) akan berguna dalam diagnosis dan pengelolaan HSVE.

Anda mungkin juga menyukai