Anda di halaman 1dari 11

Skleroderma

I. PENDAHULUAN Skleroderma berasal dari bahasa Yunani, scleros (keras) dan derma (kulit). Skleroderma, biasa juga disebut sistemik sklerosis, adalah suatu penyakit autoimun kronis yang dapat mempengaruhi sejumlah sistem tubuh. Pada pasien dengan skleroderma, sel-sel tertentu dalam tubuh menghasilkan kolagen secara berlebihan. Kolagen merupakan suatu protein yang ditemukan dalam jaringan ikat. Kelebihan kolagen akan disimpan di seluruh tubuh, menyebabkan pengerasan pada kulit dan jaringan (fibrosis), merusak pembuluh darah, dan mempengaruhi organ-organ dalam.8, 13 Skleroderma adalah penyakit yang cukup langka yang merupakan hasil dari respon sistem kekebalan tubuh. Sistem kekebalan tubuh adalah suatu sistem kompleks dari organ, sel, dan protein yang melindungi tubuh dari penyakit. Sistem kekebalan tubuh akan menyerang organisme asing dalam tubuh, mengidentifikasi dan menghancurkan sel-sel yang abnormal, serta membawa sel-sel yang rusak dan mati keluar dari tubuh. Pada penyakit autoimun seperti skleroderma, sistem kekebalan tubuh akan menyerang sel-sel normal pada tubuh, menyebabkan kerusakan dan peradangan.8 Kelebihan produksi kolagen, kerusakan pada pembuluh darah, dan terbentuknya antibodi yang abnormal (autoantibodi), semuanya memainkan peranan yang penting dalam pengembangan skleroderma. 8 II. EPIDEMIOLOGI

Menurut Arthritis Foundation, skleroderma terjadi pada 100.000 hingga 165.000 orang di Amerika Serikat. Penyakit ini lebih sering pada orang dewasa berusia 30 50 tahun. Penyakit ini 3 sampai 5 kali lebih sering pada wanita dibanding dengan pria. Tidak menutup kemungkinan, Skleroderma juga dapat terjadi pada anak anak dan orang tua (yang lebih dari 50 tahun). Penyebaran penyakit lebih sering terjadi pada wanita Amerika- Afrika, dibandingkan dengan wanita kaukasia. Prevalensi tertinggi dari skleroderma terjadi pada masyarakat Choctaw (penduduk asli di Oklahoma, Amerika). 8 III. ETIOLOGI Penyebab dari skleroderma tidak diketahui hingga saat ini. Dengan alasan yang masih belum jelas, terjadi proses autoimun dimana sistem imun tubuh berbalik menyerang tubuh, menyebabkan peradangan dan menyebabkan produksi kolagen yang berlebihan.10 Faktor faktor genetik dan lingkungan mungkin berperan dalam pengembangan penyakit ini. Suatu antigen yang diwariskan, human leukocyte antigen (HLA) dihubungkan dengan peningkatan risiko terjadinya skleroderma. Faktor risiko lain mencakup usia (biasanya 30-50 tahun), dan gender (lebih sering pada wanita). 8 Beberapa faktor yang diduga menjadi pemicu timbulnya skleroderma adalah: 1. Aktivitas sistem imun dan peradangan yang abnormal

Skleroderma diyakini sebagai penyakit autoimun, yaitu sistem kekebalan tubuh seseorang menyerang tubuhnya sendiri. Pada skleroderma, sistem kekebalan tubuh diperkirakan merangsang sel-sel fibroblast untuk memproduksi kolagen secara berlebihan. 1,2 2. Genetik

Meskipun faktor genetik tampaknya membuat beberapa orang berisiko terhadap penyakit skleroderma, penyakit ini tidak diwariskan dari orangtua ke anaknya seperti penyakit genetik pada umumnya. 2 3. Lingkungan

Penelitian menunjukkan bahwa paparan terhadap beberapa faktor lingkungan dapat memicu penyakit skleroderma pada orang yang secara genetik cenderung untuk mengalami skleroderma. Faktor lingkungan yang diduga memicu termasuk paparan debu silica (pada tambang emas dan batu bara), paparan dari bahan kimia tertentu (vinyl chloride, trichloroethylene, epoxy resin, pestisida), dan obat tertentu (misalnya carbidopa, bleomycin).
1,8

4.

Hormon

Pada wanita yang melahirkan pada usia 30 sampai 55 tahun, mudah mengalami skleroderma hingga 7 sampai 12 kali lebih tinggi dibanding pria. Hal ini menyebabkan para ilmuan menduga adanya peranan hormonal berperan dalam terjadinya penyakit ini. Namun hingga saat ini, hal tersebut masih dalam tahap penelitian.8

IV. PATOFISIOLOGI Proses patofisiologi yang mendasari Skleroderma Lokalisata sama dengan proses yang mendasari Skleroderma sistemik. Kerusakan sel endotel, peradangan, pelepasan sitokin yang merangsang produksi kolagen oleh sel-sel fibroblast, dan ketidakseimbangan matriks ekstraseluler nampak pada kulit. Penyebab dari terbatasnya distribusi lesi pada Skleroderma lokalisata masih belum jelas, namun berdasarkan pola yang ada, diduga bahwa hal ini mungkin disebabkan oleh perubahan mosaik genetik.1 Banyak penelitian yang telah menunjukkan peran patogenik dari transforming growth factor (TGF-). TGF- merangsang sel-sel fibroblast untuk meningkatkan jumlah produksi glycosaminoglycans, fibronektin, dan kolagen; menurunkan penguraian matriks ekstraselular; dan mengurangi kemungkinan fibroblast berapoptosis. TGF- ditemukan meningkat pada lesi pasien skleroderma lokalisata seperti halnya pada kulit dan jaringan parut yang terbentuk pada paru-paru penderita skleroderma sistemik. Kultur fibroblast yang diperoleh dari pasien skleroderma sistemik maupun skleroderma lokalisata menunjukkan peningkatan jumlah componen jaringan ikat, termasuk kolagen tipe 1 in vitro. Biopsi kulit menunjukkan peningkatan produksi kolagen dalam kapasitas besar dan subpopulasi fibroblast dengan aktivasi kolagen tipe 1; fibroblast ini berlokasi dekat dengan sel inflamasi mononuclear yang menyatakan TGF-. Biopsi dari lesi sclerotic juga menunjukkan isoform yang berbeda dari TGF-, misalnya tissue metalloproteinase-3 (TIMP-3) dalam sub-populasi cultur fibroblast

dari lesi localized skleroderma. TGF- meningkatkan jumlah TIMP-3 dan TIMP-3 menghalangi penguraian kolagen.1 Beberapa bukti menunjukkan bahwa respon fibrotik mungkin sebagian besar dibawa oleh CD4+ Sel T. Sel plasma dan histiosit mungkin dapat berkontribusi pada perangsangan dermal fibroblast. Sel inflamasi yang ditemukan pada lesi skleroderma, yang terutama adalah Sel Limfosit T, terutama Sel T helper. Ada juga didapatkan peningkatan produksi interlukin 2 (IL-2) dan IL-4. Paling tidak, dalam bentuk sistemik dari skleroderma, faktor pertumbuhan jaringan ikat (CTGF) juga telah diserang. Peran patogenik pada dermal dendrosit juga telah diajukan. Keberadaan CD 34+ dan faktor XIIIa+ dendrosit pada dermis berhubungan dengan peradangan aktif dan sclerosis pada localized skleroderma. Peran patogenik dari sel mast pada localized skleroderma masih belum jelas diterangkan, tetapi sel mast mungkin merupakan komponen dari kulit skleroderma, terutama pada tahap peradangan dan awal penyakit. Granula sel mast mengandung mediator kimia dan enzim proteolitik yang dapat merangsang fibroblast dan bahkan mengaktifkan sitokin profibrotik, misalnya TGF-; histamine juga dapat merangsang produksi kolagen.1

V.

GEJALA KLINIS

Skleroderma dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian besar, yaitu skleroderma lokalisata, dan skleroderma sistemik. Skleroderma Lokalisata (biasa disebut morphea) dapat dibedakan dari skleroderma sistemik berdasarkan morfologi kutaneus dan secara klinis tidak mempunyai gejala sistemik. 3,4,9 Skleroderma lokalisata dapat dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu: 1. Cutaneus morphea.

Bentuk ini dua kali lebih banyak pada wanita dibanding pria. Paling sering muncul dalam bentuk makula atau plaque berdiameter beberapa sentimeter. Biasanya berawal dengan bercak hipopigmentasi atau hiperpigmentasi yang keras. Lesi awal berupa bercak keras dengan tepi eritem. Seiring perjalanan penyakit, lesi akan menjadi kekuning-kuningan dan memutih, khususnya pada bagian tengah. Ukuran plaque bervariasi dari 0,5 hingga 3 cm. Varian lain adalah guttata, bulla, keloid, dan morphea profunda.1,4 Morphea Generalisata.

Bentuk ini lebih parah dari skleroderma lokalisata, ditandai dengan multipel lesi pada area permukaan tubuh yang luas. Lesi biasanya berbentuk plaque yang mengeras dengan perubahan pigmen. Atropi otot dapat dijumpai, tetapi tidak ada gangguan terhadap organorgan visceral. 1,4 Linear Skleroderma (en coup de sabre).

Bentuk ini ditandai dengan kulit yang mengeras bergerombol yang sering disertai dengan perubahan pigmen, yang dapat berbentuk menyilang pada sendi, dan kadang menyebabkan kontraktur. Proses pembentukan jaringan parut biasanya pada jaringan subkutan. Kontraktur sendi menyebabkan deformitas. Pada anak usia muda, perkembangan penyakit dapat mempengaruhi pertumbuhan tulang dan mengganggu perkembangan jaringan.1,4,5 Skleroderma sistemik terbagi menjadi dua jenis, yaitu:8 1. Limited skleroderma. Pada limited skleroderma, akan ditemukan adanya sindroma CREST, yaitu:

v Calcinosis mengacu pada pembentukan kalsium di kulit. Ini terlihat sebagai suatu daerah keras dan berwarna keputihan di permukaan kulit, biasanya di atas siku, lutut, atau jari. Area ini dapat menjadi lembut, dapat juga terinfeksi, dan juga dapat lepas secara spontan (bila tidak, maka dilakukan operasi untuk mengangkatnya). 9 v Raynauds Phenomenon mengacu pada spasme pembuluh arteri kecil yang menyupply darah ke jari tangan, jari kaki, hidung, lidah, atau telinga. Daerah ini berubah menjadi warna biru, putih, kemudian merah setelah terpapar suhu yang terlalu dingin atau terlalu panas, dan dapat juga karena kondisi emosional yang buruk. Hal ini dapat menyebabkan kerusakan pada ujung jari atau area kulit mati yang luas pada ujung jari. 9 v Esophagus Gangguan oesophagus pada skleroderma ditandai dengan buruknya fungsi otot dari dua per tiga oesophagus bagian bawah. Hal ini dapat menyebabkan gangguan yang luas pada kerongkongan yang memungkinkan refluks asam lambung ke dalam kerongkongan yang menyebabkan mulas, peradangan, dan berpotensi menjadi jaringan parut yang menyempitkan kerongkongan. Hal ini pada akhirnya dapat mengakibatkan makanan sulit lewat dari mulut ke lambung. 9 v Sclerodactyly mengacu pada penebalan lokal kulit pada jari tangan atau kaki. Hal ini dapat memberikan penampakan mengkilap dan sedikit bengkak. Hal ini dapat menyebabkan

keterbatasan pada gerak jari tangan dan kaki. Proses Perubahan kulit ini umumnya lebih lambat dibandingkan dengan pasien dengan bentuk difus dari skleroderma. 9 v Telangiectasias adalah wilayah merah kecil, sering pada wajah, tangan, dan di mulut belakang bibir. Daerah-daerah ini akan memucat ketika ditekan atas dan mewakili kapiler yang melebar9 1. Diffuse Skleroderma. Bila ada gangguan pada sistem pernapasan, maka akan muncul dispnea yang bersifat progresif, nyeri dada karena hipertensi arteri pulmonalis dan batuk kering karena gangguan pada paru-paru. Gangguan pada sistem musculoskeletal akan menyebabkan nyeri sendi, nyeri otot, keterbatasan gerakan sendi, kontraktur sendi, carpal tunnel syndrome, dan kelemahan otot. Gangguan pada sistem kardiovaskular akan menyebabkan sesak napas akibat dari efusi pericardial, gagal jantung kongestif, atau karena jaringan parut pada otot jantung. Gangguan neurologi dapat muncul, diantaranya adalah, nyeri pada wajah sebagai akibat dari neuralgia trigeminus, juga dapat muncul nyeri kepala dan stroke sebagai akibat dari hipertensi. VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG Peran dari sistem imun pada pathogenesis skleroderma masih belum terlalu jelas, tetapi pasien skleroderma mempunyai antibodi humoral spesifik dan imunitas selular yang abnormal. Pada 90%-95% pasien didapatkan adanya antinuclear antibodies. Antinuclear antibodies(ANA) adalah antibody yang menyerang protein normal dalam nucleus suatu sel. Keberadaan ANA dapat menunjukkan adanya suatu penyakit autoimun, misalnya pada lupus, skleroderma, dermatomyositis, dll. HISTOPATHOLOGY Perubahan histologi pada skleroderma lokalisata dan skleroderma sistemik, sama dan tidak mungkin untuk dibedakan. Lesi awal adalah peradangan dan infiltrasi limfositik pada ruang perivaskuler dan diantara ikatan kolagen pada dermis pars retikulare. Lesi awal biasanya tidak terdapat perubahan histologi yang spesifik. Vacuolisasi dan penghancuran sel endotel dengan reduplikasi lamina basalis telah dilaporkan. Infiltrasi sel-sel radang mungkin ada pada bagian superficial dan bagian Gambar 3. Histopatologi Morphea dalam. Limfosit, makrofag, sel plasma, eosinophil, dan sel mast juga dapat ditemukan. Pada pemeriksaan histopathology juga dapat ditemukan fibrosis pada dermis dan trabekula fibrous subkutan. Panniculitis juga ada pada tahap awal perjalanan penyakit, di mana lemak subkutan digantikan oleh jaringan ikat fibrosa. Pada dermis, kolagen tampak pucat, homogen, dan mungkin ada infiltrate limfositik perivaskuler. Pada tahap selanjutnya, unit pilosebasea dan kelenjar ecrine menghilang, dan mungkin ada penghapusan rete ridges. VII. DIAGNOSIS The American College of Rheumatology mengembangkan kriteria mayor dan kriteria minor untuk mendiagnosis skleroderma, yaitu:

Kriteria mayor adalah penebalan kulit di lengan (biasanya jari-jari dan tangan) dan pada, wajah, leher dada, atau perut. Kriteria Minor termasuk penebalan kulit pada jari, depresi (pitting) atau hilangnya jaringan bantalan jari-jari, dan pengembangan jaringan abnormal di dasar kedua paruparu (fibrosis paru bibasilar).

Seorang pasien dapat didiagnosis dengan skleroderma jika ditemukan salah satu kriteria mayor dan dua kriteria minor. Diagnosis meliputi pemeriksaan fisik, tes laboratorium (misalnya tes darah), dan tes pencitraan. Tes darah yang dapat dilakukan antara lain meliputi:

Antinuclear antibody (hadir di lebih dari 95% kasus) LED untuk mendeteksi peradangan di dalam tubuh Hypergammaglobulinemia (mendeteksi gamma globulin berlebihan) Anemia hemolitik

Pemeriksaan darah yang lain seperti kreatinin dapat dilakukan ketika dicurigai adanya gangguan pada ginjal. Pada pasien dengan keterlibatan paru-paru, tes fungsi paru dapat dilakukan. Gangguan pada jantung dapat didiagnosis dengan menggunakan elektrokardiografi. Pencitraan yang dapat digunakan adalah USG dan computed tomography (CT scan). VIII. DIAGNOSIS BANDING

Myxedema lebih lembut dan dihubungkan dengan tanda lain dari hipotiroidisme. Diabetik Skleredema cenderung erithema dan mempengaruhi punggung sentral dalam pola yang menyerupai kerikil. Scleromyxedema mulai dengan papul-papul yang terpisah, tetapi dapat memiliki penampakan yang sama dengan skleroderma sistemik dan mempunyai paraprotein yang khas. Sklerodactili pada pasien skleroderma dapat membuat pemeriksa mengasumsikan bahwa pasien tersebut menderita leprosi atau siringomyelia. Eosinophilik fasciitis lebih berespon terhadap pemberian steroid. Kulit menebal, edema, dan erithema, dan mempunyai penampakan coarse peau dorange, sedangkan pada pasien skleroderma, kulitnya lebih kencang. Tangan dan wajah biasanya tidak terserang pada eosinophilik fasciitis, namun bila tangan terserang, pembuluh darah akan menampakkan dry riverbed appearance. Pada vitiligo, cuma terjadi depigmentasi tanpa adanya sklerotik. Skleroderma pada tahap atropi mungkin mirip dengan acrodermatitis chronic athropican (ACA), tetapi ACA menunjukkan penurunan serat kolagen dan infiltrasi limfohistiositik yang diffuse. IX. PENGOBATAN Tidak ada obat yang dapat menyembuhkan skleroderma dan tujuan pengobatan adalah untuk meringankan gejala dan mempertahankan fungsi. Sebagian besar pengobatan digunakan untuk suatu gejala tertentu atau organ tertentu yang terlibat. 8 Dalam banyak kasus, lesi pada skleroderma lokalisata menjadi tidak aktif secara spontan, namun, lebih banyak kasus yang dapat menyebabkan fibrosis / sklerosis yang irreversible

pada kulit dan jaringan subkutan. Terapi langsung ditujukan kepada komponen inflamasi, pelepasan sitokin, dan deposisi kolagen. Banyak terapi yang telah digunakan untuk pengobatan skleroderma lokalisata dengan keberhasilan yang bervariasi. Steroid sistemik dan topikal, Vitamin D oral dan topikal, methotrexate, cyclophosphamide, azathioprine, hydroxychloroquine, interferon- intralesi, penisilin, dan D-penicillamine, semuanya telah dicoba. Terapi fisik sangat penting pada pasien yang mengalami kontraktur untuk menjaga dan meningkatkan fungsi otot. Pengobatan yang telah dilaporkan berhasil meliputi Dpenicillamine, calcitriol oral, calcipotriene topical, methotrexate dengan atau tanpa dikombinasikan dengan kortikosteroid, imiquimod topikal, tretionin topikal dengan ammonium lactate, dan N-(3,4-dimethoxycinnamoyl) anthralinic acid- obat anti alergi yang mencegah anafilaksis cutaneus.1 Pada masa sekarang, terapi untuk skleroderma sistemik difokuskan pada terapi vascular dan immunomodulasi. Banyak pengobatan immunomodulasi yang telah dicoba. Pengobatan yang memberikan hasil cukup signifikan antara lain cyclosporine A, methotrexate, cyclophosphamide. Transplantasi stem sel masih dalam tahap penelitian di Amerika dan Eropa.2 Pengobatan antifibrotik bagi pasien skleroderma masih merupakan tantangan yang hingga saat ini masih belum ditemukan oleh para ahli. Beberapa pengobatan antifibrotik yang mungkin, telah dicoba, seperti D-penicillamine, relaxin, interferon-, anti TGF-, namun semuanya belum memberikan hasil yang memuaskan.2 Calcinosis dapat diobati dengan menggunakan obat-obatan seperti colchicine, dan antikoagulan. Pada kasus yang parah, operasi pengangkatan dapat dilakukan. Pengobatan raynaud phenomenon dan iskemia digital dapat dilakukan dengan pemberian calcium channel blocker, ACE inhibitor, angiotensin receptor blocker. Prostacyclin dilaporkan efektif selain untuk raynaud phenomenon, juga efektif untuk ulkus digital. 1 Gangguan pada system gastrointestinal dapat diobati dengan antasida, H2 blocker, omeprazole, esomeprazole. Pasien juga harus menghindari kafein dan rokok. Angiotensinconverting enzyme (ACE) inhibitors (eg, Captopril) dapat digunakan untuk mengobati ginjal. Pada kasus yang parah, dialisis atau tranplantasi ginjal mungkin diperlukan. 8,9 Pengobatan untuk keterlibatan paru-paru tergantung pada beratnya kondisi. Kalsium channel blockers, prostaglandin, antibiotik, kortikosteroid dosis tinggi (misalnya prednisone) dapat diresepkan. Epoprostenol (Flovan) dapat digunakan untuk mengobati hipertensi paru. penyakit paru-paru berat mungkin memerlukan transplantasi paru-paru. 8 X. PROGNOSIS

Prognosis bervariasi bagi pasien yang mengalami skleroderma. Prognosis sering sulit dibuat pada tahap awal penyakit. Pasien dengan limited sklerosis yang tidak terkena hipertensi paru, memiliki prognosis yang baik. Pasien dengan difus skleroderma, dan pasien yang mengalami kerusakan pada ginjal, paru-paru, dan keterlibatan jantung umumnya memiliki prognosis yang lebih buruk. 9 XI. KOMPLIKASI

Kerusakan pembuluh darah dan adanya fibrosis sering menyebabkan komplikasi serius dan dapat mempengaruhi saluran pencernaan, jantung, ginjal, dan paru-paru. Masalah pada paru paru (Misalnya, hipertensi paru, diffuse fibrosis interstisial, kanker paru) adalah penyebab utama kematian pada pasien dengan skleroderma. Skleroderma dapat mempengaruhi saluran pencernaan atas dan bawah. Gejala yang melibatkan saluran pencernaan meliputi:

Abdominal pain Diarrhea Kesulitan menelan Diverticulosis (pengembangan kantong pada dinding usus besar) Refluks esophagus Inkontinensia tinja Mulas Pseudo-obstruksi (bukan penyumbatan yang sebenarnya, disebabkan oleh kerusakan saraf dan otot) Muntah

Ketika jantung terlibat, gejala dapat meliputi sesak napas, palpitasi, dan nyeri dada . Sekitar 33% dari pasien mengalami efusi pericardial (cairan disekitar jantung). Keterlibatan ginjal dapat menyebabkan timbulnya hipertensi secara tiba-tiba dan sangat tinggi, yang disebut hipertensi maligna. Kondisi ini, yang mungkin mengancam nyawa, terjadi lebih sering pada pasien dengan difus skleroderma, selama 5 tahun pertama penyakit ini. DAFTAR PUSTAKA Falanga V, Killoran CE. Morphea. In: Wolf K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ.editors. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York: McGraw-Hill.2008. p. 543-6 Denton CP, Black CM. Skleroderma (Systemic Sclerosis). In: Wolf K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ.editors. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York: McGraw-Hill.2008. p. 1553-62 Burgdorf W, Paus R, Sterry W. Thieme Clinical Companions Dermatology. New York : Stuttgart.2006.p. 216-21 James WD, Berger TG, Elston DM. Connective Tissue Disease. Andrews Disease of The Skin Clinical Dermatology. 10th ed. Saunders 2006. p.171-5 Habif TP. Clinical dermatology; A Color Guide to Diagnosis and Therapy. 4th ed. USA: Mosby company. 2004. p. 613-22 Dahl MV, Hunter JAA, Savin JA. Connective Tissue Disorders. Clinical Dermatology. 3th ed. USA: Blackwell Science.p. 126-30 pembelahan sel.

Istilah yang mungkin terkait dengan Alkylating Agent :


Mafosfamid Calcium Channel Blocking Agent Beta-blocking Agent Beta Blocker Ketokonazol

Terapi multiple myeloma tergantung pada kondisi penyakit itu sendiri. Myeloma simptomatik (aktif) memerlukan penanganan segera, sedangkan myeloma asimptomatik hanya memerlukan pemantauan klinis, karena kemoterapi pada myeloma asimptomatik telah terbukti tidak memberikan keuntungan apa pun. Uji coba dan investigasi saat ini lebih difokuskan untuk mengamati dan mengevaluasi kemampuan imunomodulator dalam menghambat perkembangan penyakit. Strategi pengobatan myeloma dipertimbangkan dengan memperhatikan faktor usia pasien. Data terbaru mendukung dilakukannya terapi inisiasi dengan induksi thalidomide, lenalidomide, atau bortezomib ditambah dengan transplantasi stem-cell hematopoetik untuk pasien usia kurang dari 65 tahun yang tidak mengalami disfungsi hati, jantung, ginjal atau pun paru-paru. Transplantasi stemcell dengan pengurangan regimen obat harus dipertimbangkan pada pasien dengan usia lebih tua atau adanya beberapa faktor resiko secara bersamaan. Terapi konvensional yang dikombinasikan dengan thalidomide, lenalidomide, atau bortezomib harus diberikan pada pasien dengan usia lebih dari 65 tahun. Pendekatan terapi yang kurang intensif bertujuan untuk membatasi efek samping obat atau mencegah terapi lain untuk mengatasi efek samping obat utama pada pasien yang berusia lebih dari 75 tahun atau lebih muda namun memiliki beberapa faktor resiko secara bersamaan. Dalam hal ini usia biologis mungkin berbeda dengan usia kronologis, dan hadirnya beberapa faktor resiko turut menentukan dalam pemilihan terapi. Strategi pengobatan harus mencakup penggunaan regimen penginduksi yang memberikan respon lengkap tingkat tinggi kemudian diikuti dengan dosis pemeliharaan. Pendekatan ini mengkombinasikan berbagai upaya pengurangan tumor secara maksimal dengan pengobatan yang terus-menerus sehingga pertumbuhan tumor dapat ditekan sedemikian rupa. Tingkatan respon, baik respon lengkap maupun pada bagian tertentu dikaitkan dengan peningkatan hasil jangka panjang. Respon lengkap didefinisikan sebagai penghapusan penyakit yang terdeteksi pada pemeriksaan rutin. Penilaian atas adanya respon lengkap ini didasarkan pada kriteria-kriteria yang ketat sebagai berikut:

Penetapan kadar rantai cahaya imunoglobulin bebas dalam serum Penetapan kadar sel myeloma sumsum tulang pada pengukuran aliran sitometri multiparameter Identifikasi sel tumor sisa melalui penetapan kadar reaksi rantai polimerase (polymerasechain-reaction assay) Eksplorasi untuk menentukan ada tidaknya sisa penyakit

Kriteria-kriteria tersebut merupakan faktor prognostik yang penting dalam identifikasi myeloma.

Dalam sebuah analisis retrospektif terhadap 1175 pasien yang menerima terapi kombinasi melphalan dan prednison dan bortezomib atau thalidomide, 75% pasien yang mendapat respon lengkap mengalami penurunan resiko kematian setelah 29 bulan dibandingkan dengan mereka yang tidak melakukan terapi ini. Terapi Induksi pada Pasien yang Memungkinkan Menerima Transplantasi Pasien baru yang terdiagnosa multiple myeloma yang memungkinkan menerima transplantasi dapat menerima terapi induksi dengan 3 regimen atau 2 regimen obat sebagai berikut:

Tiga regimen terdiri dari bortezomib-deksametason ditambah siklophospamide atau doksorubisin atau lenalidomide atau thalidomide selama 3-6 siklus. Atau Dua regimen terdiri dari Bortezomib-deksametason selama 3-6 siklus atau lenalidomidedeksametason selama 4 siklus.

Terapi induksi tersebut kemudian dilanjutkan dengan transplantasi autologous stem-cell dan terapi pemeliharaan dengan thalidomide atau lenalidomide.

Kombinasi terapi deksametason ditambah thalidomide, bortezomib atau lenalidomide telah banyak digunakan sebagai regimen terapi induksi sebelum transplantasi autologous stem-cell dan terbukti menghasilkan respon yang hampir lengkap masing-masing sebesar 8%, 15% dan 16%. Tren terbaru dengan mengkombinasikan bortezomib-deksametason ditambah doksorubisin, siklophosphamide, thalidomide atau lenalidomide tebukti meningkatkan respon hingga hampir masing-masing sebesar 7%, 39%, 32% dan 52%.

Program terapi total merupakan program terapi dengan memanfaatkan semua agen induksi yang tersedia, diikuti dengan 2 siklus terapi dosis tinggi (melphalan 200 mg per meter persegi) dan reinfusi stem-cell darah perifer autologous (tandem transplantasi). Transplatasi tunggal tampaknya masih menjadi pilihan bagi sebagian besar pasien karena tingkat respon yang tinggi dapat dicapai dengan regimen induksi yang mencakup thalidomide, lenalidomide atau bortezomib dan mungkin respon dapat meningkat pasca transplantasi melalui pemberian dosis pemeliharaan.

Terapi Induksi pada Pasien yang Tidak Memungkinkan Transplantasi Dalam sebuah meta-analisis yang membandingkan melphalan-prednison dengan atau tanpa thalidomide menunjukan bahwa penambahan thalidomide meningkatkan angka harapan hidup ratarata 6,6 bulan. Dalam sebuah studi yang lain, terapi kombinasi melphalan, prednison dan bortezomib meningkatkan respon lengkap secara signifikan dan angka harapan hidup dibandingkan dengan penggunaan melphalan atau prednison tunggal. Kombinasi terapi melphalan-prednison ditambah thalidomide atau bortezomib kini dianggap sebagai terapi standar perawatan pasien yang tidak memungkinkan menerima transplantasi.

Terapi Konsolidasi dan Pemeliharaan Terapi konsolidasi (2-4 siklus kombinasi terapi setelah terapi induksi) dan terapi pemeliharaan (terapi terus-menerus dengan agen tunggal hingga penyakit menunjukan perkembangan) digunakan secara luas, meskipun tidak ada pedoman spesifik dalam hal ini.

Anda mungkin juga menyukai

  • Referat Hipertensi
    Referat Hipertensi
    Dokumen26 halaman
    Referat Hipertensi
    Mardiansyah Dicka
    75% (8)
  • NSTEMI
    NSTEMI
    Dokumen30 halaman
    NSTEMI
    Mardiansyah Dicka
    100% (1)
  • NSTEMI Baru
    NSTEMI Baru
    Dokumen37 halaman
    NSTEMI Baru
    Mardiansyah Dicka
    100% (2)
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen31 halaman
    Bab I
    Mardiansyah Dicka
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen31 halaman
    Bab I
    Mardiansyah Dicka
    Belum ada peringkat
  • Laporan Operasi
    Laporan Operasi
    Dokumen1 halaman
    Laporan Operasi
    Mardiansyah Dicka
    Belum ada peringkat
  • Appendicitis Perforata
    Appendicitis Perforata
    Dokumen18 halaman
    Appendicitis Perforata
    Mardiansyah Dicka
    Belum ada peringkat
  • Mardian S Yah
    Mardian S Yah
    Dokumen65 halaman
    Mardian S Yah
    Mardiansyah Dicka
    Belum ada peringkat