Anda di halaman 1dari 22

15

BAB II KEWARISAN ANAK LUAR KAWIN PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (KHI)

A. Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia Lahirnya KHI tidak dapat dipisahkan dari latar belakang dan perkembangan (pemikiran) hukum Islam di Indonesia. Di satu sisi, pembentukan KHI terikat erat dengan usaha-usaha untuk keluar dari situasi dan kondisi internal hukum Islam yang masih diliputi suasana kebekuan intelektual yang akut. Di sisi lain, KHI mencerminkan perkembangan hukum Islam dalam konteks hukum nasional, melepaskan diri dari pengaruh teori receptive, khususnya dalam rangkaian usaha pengembangan Pengadilan Agama. Hukum Islam di Indonesia memang sejak lama telah berjalan di tengah-tengah masyarakat. Namun harus dicatat bahwa hukum Islam tersebut tidak lain merupakan hukum fiqh hasil interpretasi ulama-ulama abad ke dua dan abad-abad sesudahnya. Pelaksanaan hukum Islam sangat diwarnai suasana taqlid serta sikap fanatisme mazhab yang cukup kental. Ini makin diperparah dengan anggapan bahwa fiqh identik dengan syariah atau hukum Islam yang merupakan wahyu aturan Tuhan, sehingga tidak dapat berubah. Umat Islam akhirnya terjebak dengan pemahaman yang tumpang tindih antara yang sakral dengan yang profane (tidak senonoh).1
Cipto Sembodo, Sejarah Kompilasi Hukum Islam, Public Syariah; blogspot, com/2011/03.
1

15

16

Situasi tersebut berimplikasi negatif terhadap pelaksanaan hukum Islam di lingkungan Peradilan Agama. Pengidentifikasian fiqh dengan syariah atau hukum Islam seperti itu telah membawa kekeliruan dalam penerapan hukum Islam yang sangat keterlaluan. Dalam menghadapi kasuskasus perkara di lingkungan Peradilan Agama, para hakim menoleh pada kitab-kitab fiqh sebagai rujukan utama, putusan pengadilan bukan didasarkan pada hukum, melainkan doktrin serta pendapat-pendapat mazhab yang telah terdeskripsi di dalam kitab-kitab fiqh. Akibat dari cara kerja yang demikian, maka lahirlah berbagai produk putusan Pengadilan Agama yang berbeda-beda meskipun menyangkut perkara hukum yang sama. Hal ini menjadi semakin rumit dengan adanya beberapa mazhab dalam fiqh itu sendiri, sehingga terjadi pertarungan antar mazhab dalam penerapan hukum Islam di Pengadilan Agama. Jika hakim yang memeriksa dan memutus perkara bermazhab Hambali, maka dalil dan dasar yang diterapkan sangat diwarnai oleh ajaran mazhab Hambali. Sebaliknya, apabila hakim yang mengadili berlatarbelakang mazhab syafii, putusan hukum pun didominasi landasan mazhab syafii.2 Pertarungan antara mazhab di atas menjadi sangat kentara ditemukan dalam kasus-kasus perkara yang mengalami proses pemeriksaan banding. Akan telihat persepsi dan penilaian yang sangat berbeda antara putusan pengadilan tingkat pertama (PA) dengan pengadilan tingkat banding (PTA); apabila hakim yang memutus perkara pada tingkat pertama berlainan latar belakang mazhab dengan hakim yang memutus perkara pada tingkat banding.

Ibid.

17

Proses penerapan hukum Islam yang simpang-siur tersebut di atas tentu saja tidak dapat dibenarkan dalam praktek peradilan modern, karena menimbulkan ketidakpastian hukum di masyarakat. Menjadikan kitab-kitab fiqh sebagai rujukan hukum materiil pada pengadilan agama juga telah menimbulkan keruwetan lain. Hal itu telah membuka peluang pembangkangan atau setidaknya keluhan pihak yang kalah dengan mempertanyakan kitab atau pendapat yang dipakai seraya menunjuk kitab atau pendapat lain yang menawarkan penyelesaian yang berbeda. Usaha-usah untuk mengarahkan kepastian dan kesatuan dalam penerapan hukum Islam di Indonesia sesungguhnya telah lama dilakukan. Pada zaman V.O.C., misalnya, diadakan Compendium Freijer untuk daerah Batavia serta kumpulan-kumpulan hukum perkawinan dan kewarisan Islam untuk daerah Cirebon, Semarang dan Makasar.3 Setelah Indonesia merdeka, ditetapkanlah 13 kitab fiqh sebagai referensi hukum materiil di Pengadilan Agama melalui Surat Edaran Kepada Biro Peradilan RI. No. B/1/735 tanggal 18 Februari 1958. Hal ini dilakukan karena hukum Islam yang berlaku di tengah-tengah masyarakat ternyata tidak tertulis dan berserakan diberbagai kitab fiqh yang berbeda-beda. Akan tetapi penetapan kitab-kitab fiqh tersebut tidak menjamin kepastian dan kesatuan hukum di Pengadilan Agama. Berbagai hal dan situasi hukum Islam itulah yang mendorong dilakukannya kompilasi terhadap hukum

Ibid.

18

Islam di Indonesia untuk menjamin kepastian dan kesatuan penerapan hokum Islam di Indonesia.4 Kebutuhan akan adanya Kompilasi Hukum Islam bagi Peradilan Agama sudah lama menjadi catatan dalam Sejarah Departemen Agama. Keluarnya Surat Edaran Kepala Biro Peradilan Agama B/ 1/735 tanggal 18 Februari 1958 tentang pelaksanaan peraturan pemerintah nomor 45 Tahun 1957 yang mengatur tentang Pembentukan Pengadilan/Mahkamah Syariyah di luar Jawa dan Madura menunjukkan salah satu bukti tentang hal tersebut. Upaya pemenuhan kebutuhan akan adanya kompilasi Hukum Islam bagi Peradilan Agama merupakan rangkaian pencapaian sebuah cita-cita bangsa Indonesia yang menyatu dalam sejarah pertumbuhan Peradilan Agama itu sendiri. Karena itu ia mempunyai titik awal dan titik akhir yang berimpit dengannya. Di dalam catatan ini ditempatkan sebagai pergeseran ke arah kesatuan hukum dalam bentuk tertulis dari beberapa bagian hukum Islam yang menjadi kewenangan Peradilan Agama. Atas dasar itu maka sistematika penulisan menjadi sebagai berikut: 1. 2. 3. Periode awal sampai dengan tahun 1945 Periode 1945 sampai dengan tahun 1985 Periode 1985 sampai sekarang Pada periode awal sampai tahun 1945, Hukum Islam mengalami pergeseranpergeseran dalam kedudukannya dalam system hukum yang berlaku.
4

Ibid.

19

Dalam periode 1945 - 1985 pergeseran bentuk hukum tertulis mulai dialami secara nyata, sedang pada periode 1985 menuju ke periode taqwin, yaitu Kompilasi Hukum Islam sebagai embrionya. Di dalam kerangka ini kompilasi Hukum Islam sebagai yang termuat dalam Inpres Nomor 1 tahun 1991 adalah satu bentuk terakhir dalam rekaman sejarah yang belum berakhir. Terlepas dari polemic yang sebenarnya sangat teoritis, kemunculan KHI di Indonesia dapat dicatat sebuah prestasi besar yang dicapai umat Islam. Menurut Yahya Harahap, KHI itu diharapkan dapat, pertama, melengkapi pilar peradilan Agama. Kedua, menyamakan Persepsi penerapan Hukum. Ketiga, mempercepat proses taqrib bainal ummah. Keempat, menyingkirkan paham private affair.5 Setidaknya dengan adanya KHI itu, maka saat ini di Indonesia tidak akan ditemukan lagi pluralism keputusan peradilan agama, karena kitab yang dijadikan rujukan para hakim di Peradilan agama adalah sama. Selain itu fikih yang selama ini tidak positif, telah ditransformasikan menjadi hukum positif yang berlaku dan mengikat seluruh umat Islam di Indonesia. Lebih penting dari itu, KHI diharapkan akan lebih mudah diterima oleh masyarakat Indonesia karena ia digali dari tradisi-tradisi bangsa Indonesia. Jadi tidak akan muncul hambatan psikologis di kalangan umat islam yang ingin melaksanakan hukum Islam.

H. Amiur Nurudin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia,Jakarta ; Kencana, 2004, hal., 34

20

B. Pengertian Kewarisan Perspektif Hukum Islam Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.6 Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya.7 Secara umum dapat dikatakan; ketentuan masalah kewarisan yang diatur dalam KHI secara garis besar tetap mempedomani garis-garis hukum Faraid. Warna alam fikiran asas qothi agak dominan dalam perumusannya: seluruhnya hampir mempedomani garis rumusan nash yang terdapat dalam Al-Quran. Juga kurang nampak dalam ketentuan KHI perumusan yang bersifat kompromistis dengan ketentuan nilai-nilai hukum Adat. Hal ini disebabkan KHI merupakan ijtihad ulama Indonesia dalam unifikasi Hukum Islam yang terdapat dalam 13 kitab diberbagai pendapat Fuqoha yang kesemuanya bermazhab Syafii.8 Meskipun pada satu sisi landasan semangat

perumusannya telah mendekati system kekeluargaan parental atau bilateral seperti terdapat dalam system kekeluargaan yang umum dalam kehidupan masyarakat Indonesia, nyatanya sifat kompromistis yang dianut KHI dalam masalah warisan, lebih mengarah sikap modifikasi secara terbatas.
Undang-undang perkawinan di Indonesia (KHI), Arkola: hlm., 239. Ibid., hlm., 239. 8 Adapun kitab-kitab tersebut adalah, Al-Bajuri,Fath Al-Muin, Syarqowi Ala Tahrir, Qalyubi, Fath Al-Wahabi, Tuhfah, Targhib Al-Mustaghfirin, Qowanin Syariyyah Li Sayyid Yahya, Qowanin Syariyyah Li Sayyid Dahlan, Syamsuri Fi Al-Faraid, Bughyatul Musytarsidin, Al-Fiqh Ala Mazahibi Al-Arbaah dan Mugni Al-Muhtaj. Amiur Nurudin & Azhari Akmal Tarigan, Hokum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2004, hal., 29
7 6

21

Sifat modifikasinya benar-benar selektif dan hati-hati. Oleh karena itu terobosan yang dijumpai tidak sangat kentara. Malahan ada yang dianggap langkah surut jika dibanding dengan ketentuan hukum Adat atau hukum Barat. Langkah surut itu terutama didakwakan kelompok yang sangat terbiasa menghayati paham emansipasi kaum wanita yang dengan gigih membela dan menegakkan persamaan hak dan derajat antara anak laki-laki dengan anak perempuan dalam pembagian anak warisan.

C. Pengertian Anak Luar Kawin Perspektif Hukum Islam (KHI) Anak di luar kawin adalah anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan, sedangkan perempuan itu tidak berada dalam ikatan perkawinan yang sah dengan pria yang menyetubuhinya. Sedangkan pengertian di luar kawin adalah hubungan seorang pria dengan seorang wanita yang dapat melahirkan keturunan, sedangkan hubungan mereka tidak dalam ikatan perkawinan yang sah menurut hukum positif dan agama yang dipeluknya. 9 Dalam praktik hukum perdata pengertian anak luar kawin ada dua macam, yaitu: 1. Apabila orang tua salah satu atau keduanya masih terikat dengan perkawinan lain, kemudian mereka melakukan hubungan seksual dengan wanita atau pria lain yang mengakibatkan hamil dan melahirkan anak, maka anak tersebut dinamakan anak zina, bukan anak luar kawin.

H. Abdul Manan , Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Kencana,

hal.,80-81

22

2. Apabila orang tua anak luar kawin itu sama-sama bujang, mereka melakukan hubungan seksual dan hamil serta melahirkan anak, maka anak itu disebut anak di luar nikah. Dalam hukum Islam, melakukan hubungan seksual antara pria dan wanita tanpa ikatan perkawinan yang sah disebut zina. Hubungan seksual tersebut tidak dibedakan apakah pelakunya gadis, bersuami atau janda, jejaka, beristri atau duda sebagaimana yang berlaku pada hukum perdata. Ada dua macam istilah yang digunakan bagi zina, yaitu:10 Zina muhson, yaitu zina yang dilakukan oleh orang yang telah atau pernah menikah, sedangkan zina ghairu muhson adalah zina yang dilakukan oleh orang yang belum pernah menikah, mereka berstatus perjaka/perawan. Hukum Islam tidak menganggap bahwa zina ghairu muhson yang dilakukan oleh bujang/perawan itu sebagai perbuatan biasa, melainkan tetap dianggap sebagai perbuatan zina yang harus dikenakan hukuman. Hanya saja hukuman itu kuantitasnya berbeda, bagi pezina muhson diranjam sampai mati sedangkan yang ghairu muhson dicambuk 100 kali, anak yang dilahirkan sebagai akibat ghairu muhson disebut anak di luar perkawinan. Di samping hal tersebut di atas, hukum Islam yang juga menetapkan anak di luar kawin adalah: 1. Anak mulaanah, yaitu anak yang dilahirkan dari seorang wanita yang di-lian oleh suaminya, kedudukan anak mulaanah ini hukumnya sama saja dengan anak zina, ia tidak mengikuti nasab suami ibunya yang me-lian,
10

tetapi mengikuti nasab ibunya yang melahirkannya,

Ibid., hal., 82

23

ketentuan ini berlaku juga terhadap kewarisan, perkawinan dan lainlain, 2. Anak syubhat, kedudukannya tidak ada hubungan nasab kepada lakilaki yang menggauli ibunya, kecuali kalau laki-laki itu mengakuinya. Dalam kitab al-ahwal al-syahkshiyyah karangan Muhyidin

sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad Jawad Mughniyah11 ditemukan bahwa nasab tidak dapat ditetapkan dengan syubhat macam apa pun, kecuali orang yang melakukan syubhat itu mengakuinya, karena ia sebenarnya lebih mengetahui tentang dirinya. Tentang hal yang terakhir ini disepakati oleh para ahli hukum di kalangan sunny dan syiah.

D. Konsep Dasar Hukum Waris Islam Kewarisan menurut Hukum Islam berlaku bagi orang Indonesia (baik asli ataupun keturunan) yang beragama Islam berdasarkan DS. 1855 No. 2 di Indonesia dengan S. 1929 No. 22, yang telah ditambah, diubah dan sebagainya terakhir dengan Pasal 29 UUD 1945, jo. Tap No. II/MPRS/1961 lampiran A No. 34 jo. GBHN 1983 Tap No. II/MPR/1983 Bab IV.12 Ketentuan kewarisan selanjutnya selengkapnya tertuang dalam Buku II tentang Hukum Kewarisan Kompilasi Hukum Islam (KHI) berdasarkan inpres No. 1 Tahun 1991.

11 Muhammad Jawad Mughniyah, Al-Fiqhu Madzahibil al-khamsah, terjemahan Afif Muhammad, cet. ke-7, Lentera, Jakarta, 2001, hal., 390 12 Titik Triwulan Tutik, Pengantar Hukum Perdata Di Indonesia, Jakarta : Prestasi Pustaka, 2006, hal., 282

24

Secara umum sifat kewarisan hukum Islam menganut sistem bilateralpatrilineal yaitu memosisikan pria pada proporsi bagian lebih dari wanita. Ketentuan ini merupakan konsekwensi logis bahwa prialah yang memiliki kewajiban memberikan nafkah keluarga.13 Adapun dalam masyarakat Indonesia juga berlaku juga ketentuan waris adat yang sifatnya merupakan hukum tidak tertulis.14 Di dalam KUH Perdata, tidak ditemukan pengertian tentang hukum waris, tetapi yang ada hanya berbagai konsepsi tentang pewarisan, orang yang berhak dan tidak berhak menerima warisan, dan lainnya. Keadaan ini disebutkan dalam Pasal 830 KUH Perdata pada intinya menyebutkan bahwa hukum waris adalah hukum yang mengatur kedudukan hukum harta kekayaan seseorang setelah meninggal, terutama berpindahnya harta kekayaan itu kepada orang lain. Tetapi di dalam Kompilasi Hukum Islam yaitu di dalam inpres No. 1 tahun 1991, telah diatur dan dimasukkan pengertian hukum waris. Menurut Pasal 171 huruf a Inpres No. 1 Tahun 1991, disebutkan bahwa hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan beberapa bagian masing-masing.15
13 Dalam konsepsi Ramulyo Idris, ajaran dan eksistensi KHI di Pengadilan Agama di Indonesia cenderung lebih memilih kewarisan yang bersifat patrilineal tetapi tidak sama dengan system kekeluargaan patrilineal murni yang dikenal dalam masyarakat adat (batak) di Indonesia. Hal ini mungkin berdasarkan latar belakang sejarah pemikiran (filsafat) Islam yang pada mulanya berkembang dalam hukum adat (pra-Islam) bahwa orang jahiliyah tidak memberikan warisan pada wanita. Lihat ibid. 14 Sebagian besar masyarakat Indonesia yang beragama Islam masih berpegang teguh hukum adat, baik yang menarik garis keturunan parental (garis ke ibu bapaan), seperti Jawa,;dan patrineal (garis kebapaan) di Batak; maupun matrilineal (garis keibuan) di Minangkabau. Di samping juga beberapa daerah yang mana hukum adatnya menganut hukum Islam, misalnya Aceh. 15 Subekti dan Tjitrosudobio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya Pramita, 1990, hlm, 185.

25

Pengertian kewarisan hukum waris dalam Kompilasi Hukum Islam difokuskan pada ruang lingkup hukum kewarisan Islam, yaitu hukum kewarisan yang berlaku bagi orang Islam saja. Adapun tujuan hukum waris Islam adalah mengatur cara-cara membagi harta peninggalan agar supaya dapat bermanfaat kepada ahli waris secara adil dan baik. Untuk itu Islam tidak hanya memberikan warisan kepada pihak suami atau isteri saja, tetapi juga dari kedua belah pihak baik garis ke atas, garis ke bawah, atau garis ke sisi. Sehingga hukum waris Islam bersifat bilateral individual.16

E. Hubungan Kewarisan Harta seseorang yang telah mati beralih kepada seseorang yang masih hidup bila di antara keduanya terdapat suatu bentuk hubungan. Hubungan tersebut dinamai hubungan kewarisan. Hubungan kewarisan menurut Islam ada dalam beberapa bentuk:17 1. Hubungan kekerabatan atau nasab atau disebut juga hubungan darah. Hubungan di sini bersifat alamiah. Hubungan darah ini ditentukan oleh kelahiran. Seseorang yang dilahirkan oleh seorang ibu mempunyai hubungan kerabat dengan ibu yang melahirkannya dan dengan orang-orang yang berhubungan kerabat dengan ibu itu. Selanjutnya ia mempunyai hubungan kerabat dengan laki-laki yang secara sah menikahi ibu itu dan ia lahir dari hasil pernikahan tersebut (sebagai ayah) dan berhubungan kerabat
Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Dirjen bagais Depag, hlm. 185. 17 Amir Syarifudin, Garis-Garis Besar Fiqh, Kencana : Jakarta, Agustus 2003 , hal., 149.
16

26

pula dengan orang-orang yang berhubungan kerabat dengan laki-laki tersebut. Dasar dari hubungan kerabat sebagai hubungan kewarisan itu di temukan dalam surat al-Nisa ayat 7:18


Artinya: Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.(QS. al-Nisa:7) 2. Hubungan perkawinan. Bila seseorang laki-laki telah melangsungkan akad nikah yang sah dengan seseorang perempuan maka di antar keduanya telah terdapat hubungan kewarisan; dalam arti istri menjadi ahli waris bagi suaminya yang telah mati dan suami menjadi ahli waris bagi istrinya yang telah mati. Dasar hukum adanya hubungan kewarisan antara suami istri ini adalah lafaz aqadat aymanukum dalam firman Allah dalam surat al-Nisa ayat 33:


18

Ibid, hal., 150.

27


Artinya: bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya. Dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, Maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.(QS. Al-Nisa:33) 3. Hubungan pemerdekaan hamba. Yaitu, hubungan seseorang dengan hamba sahaya yang telah dimerdekakannya. Hubungan di sini hanyalah hubungan sepihak dalam arti orang yang telah memerdekakan hamba berhak menjadi ahli waris bagi hamba sahaya yang telah dimerdekakannya; tetapi hamba sahaya yang dimerdekakan tidak berhak mewarisi orang yang memerdekakannya. Dasar hukum dari hubungan pemerdekaan sebagai hubungan kewarisan adalah firman Allah yang tersebut sebelum ini (aqadat aymanukum). 4. Hubungan sesama Islam. Dalam arti umat Islam sebagai kelompok berhak menjadi ahli waris dari orang Islam yang meninggal dan sama sekali tidak meninggalkan ahli waris. Harta peninggalannya dimasukkan ke dalam baitu maal atau perbendaharaan umat Islam, yang digunakan untuk umat Islam.

28

Adapun dasar hukum dari hubungan kewarisan dalam bentuk ini adalah sabda Nabi dari Abu Umamah bin Sahl yang dikeluarkan Abu Daud dan disahkan oleh al-hakim yang mengatakan:


Artinya: saya adalah ahli waris bagi orang yang tidak mempunyai ahli waris. Yang dimaksud dengan kata saya disini adalah umat Islam.

F. Rukun-Rukun Dan Syarat-Syarat Mempusakai Pusaka-mempusakai mempunyai 3 (tiga) rukun, yaitu:19 1. Tirkah, yaitu harta peninggalan si mati setelah diambil biaya

perawatan, melunasi utang-utang, dan melaksanakan wasiat; 2. Muwarits (pewaris), yaitu orang yang meninggal dunia dengan

meninggalkan harta peninggalan; dan 3. Warist (ahli waris), yaitu orang yang akan mewarisi/menerima

harta peninggalan. Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pusaka-mempusakai adalah sebagai berikut: 1. 2. 3. Matinya muwarits, Hidupnya warits, dan Tidak ada penghalang-penghalang mempusakai.

Otje Salman, Mustofa Haffas, Hukum Waris Islam, Refika Aditama: Bandung, cetakan kedua, April 2006, hal., 4.

19

29

Matinya muwarits (pewaris) mutlak harus dipenuhi. Seseorang baru disebut muwarits jika dia telah meninggal dunia. Itu berarti bahwa, jika seseorang memberikan harta kepada para ahli warisnya ketika dia masih hidup, maka itu bukan waris. Kematian muwarits, menurut ulama, dibedakan ke dalam 3 macam, yaitu: a. b. c. Mati haqiqy (sejati), Mati hukmy (menurut putusan hakim), dan Mati taqdiry (menurut dugaan). Mati haqiqy adalah kematian yang dapat disaksikan oleh panca indra. Mati hukmy adalah kematian yang disebabkan adanya putusan hakim,baik orangnya masih hidup maupun sudah mati. Hidupnya warits (ahli-waris) mutlak harus dipenuhi. Seseorang ahliwaris hanya akan mewaris jika dia masih hidup ketika pewaris meninggal dunia.20

G. Asas Hukum Kewarisan Dalam Hukum Islam Hukum Kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkenaan dengan peralihan hak dan atau kewajiban atas harga kekayaan seseorang setelah ia meninggal dunia kepada ahli warisnya. Hukum kewarisan Islam disebut juga hukum faraid, jamak dari kata farida, yang erat sekali hubungannya dengan kata fard yang berarti kewajiban yang harus dilaksanakan. Sumbernya adalah al-Quran, terutama surat an-Nisa ayat 11, 12, 176 dan al-Hadis yang memuat Sunnah Rasulullah yang kemudian
20

Ibid., hal., 5.

30

dikembangkan secara rinci oleh ahli hukum fikih Islam melalui ijtihad orang yang memenuhi syarat, sesuai dengan ruang dan waktu, situasi dan kondisi tempatnya berijtihad. Sebagai hukum yang bersumber dari wahyu ilahi yang disampaikan dan dijelaskan oleh nabi Muhammad dengan sunnahnya, hukum kewarisan Islam mengandung asas-asas yang diantaranya terdapat juga dalam hukum kewarisan buatan akal manusia di suatu daerah atau tempat tertentu. Namun, karena sifatnya yang sui generasi (berbeda dalam jenisnya), hukum kewarisan Islam mempunyai corak tersendiri. Ia merupakan bagian agama dan pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan dari iman atau akidah seorang muslim. Asas kewarisan Islam yang dapat disalurkan dari al-Quran dan al-Hadis, adalah:21 1 2 3 4 5 Ijbari Bilateral Individual Keadilan berimbang, dan Akibat kematian Asas-asas hukum Kewarisan Islam tersebut di atas berlaku juga bagi Kompilasi Hukum Islam Indonesia. 1. Asas ijbari, secara umum, terlihat pada ketentuan umum mengenai

perumusan pengertian kewarisan, pewaris dan ahli waris. Disebut dalam ketentuan umum tersebut dan pada pasal 187 ayat (2) yang berbunyi sebagai berikut, Sisa dari pengeluaran dimaksud di atas adalah
21

H. Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris Di Indonesia, Sinar Grafika, 2008,

hal., 53

31

merupakan harta warisan yang harus dibagikan kepada ahli waris yang berhak. Perkataan harus dalam pasal ini menunjukkan asas ijbari itu. Tentang bagian masing-masing ahli waris dinyatakan dalam Bab III, pasal 176 sampai dengan pasal 182. Mengenai siapa-siapa yang menjadi ahli waris dinyatakan dalam Bab II, pasal 174 ayat (1) dan (2). 2. Asas bilateral, dalam Kompilasi Hukum Islam dapat dibaca dalam pengelompokan ahli waris seperti tercantum dalam pasal 174 ayat (1) yaitu ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek (golongan laki-laki), serta ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek (golongan perempuan) menurut hubungan darah. Dengan disebutkannya secara tegas golongan laki-laki dan golongan perempuan serempak menjadi ahli waris dalam pasal tersebut, jelas asas bilateralnya. Duda atau janda menjadi ahli waris berdasarkan hubungan perkawinan adalah juga ciri kewarisan bilateral. Dalam hubungan ini, mungkin tidak ada salahnya untuk dicatat bahwa asas bilateral dalam hukum kewarisan di Indonesia, untuk pertama kali oleh almarhum Profesor Hazairin mantan Guru besar hukum Islam dan hukum adat Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Dalam kuliah umumnya di aula Universitas Indonesia ketika memperingati hari ulang tahun Perguruan Tinggi Islam Jakarta (sekarang Universitas Islam Jakarta) tanggal 17 Nopember 1957 beliau katakan bahwa system kekeluargaan (perkawinan dan kewarisan) dalam al-Quran adalah

bilateral. Kesimpulan itu beliau kemukakan setelah beliau mempelajari ayat-ayat perkawinan dan kewarisan (kekeluargaan) dalam al-Quran.

32

3. Asas individual. Asas ini juga tercermin dalam pasal-pasal mengenai besarnya bagian ahli waris dalam Kompilasi Hukum Islam, Bab III pasal 176 sampai dengan pasal 180 tersebut di atas. Dan, khusus bagi ahli waris yang memperoleh harta warisan sebelum ia dewasa atau tidak mampu bertindak melaksanakan hak dan kewajibannya atas harta yang diperolehnya dari kewarisan, baginya diangkat wali berdasarkan putusan hakim atas usul anggota keluarganya. Ini diatur dalam pasal 184 Kompilasi Hukum Islam. 4. Asas keadilan berimbang. Asas ini dalam kompilasi Hukum Islam terdapat, terutama, dalam pasal-pasal mengenai besarnya bagian yang disebut dalam pasal 176 dan pasal 180. Juga dikembangkan dalam penyesuaian perolehan yang dilakukan pada waktu penyelesaian pembagian warisan melalui (1) pemecahan secara aul dengan

membebankan kekurangan harta yang akan dibagi kepada semua ahli waris yang berhak menurut kadar bagian masing-masing. Ini disebut dalam Pasal 192 dengan menaikkan angka penyebut sesuai atau sama dengan angka pembilangnya. Selain dari itu, agar asas keadilan berimbang itu dapat diwujudkan waktu penyelesaian pembagian warisan, penyesuaian dapat dilakukan melalui (2) rad yakni mengembalikan sisa (kelebihan) harta kepada ahli waris ada sesuai dengan kadar masing-masing. Dalam hubungan ini perlu dicatat bahwa terdapat perbedaan pendapat mengenai siapa yang berhak menerima pengembalian itu. Namun, jumhur ulama mengatakan bahwa yang berhak menerima pengembalian sisa harta itu

33

hanyalah ahli waris karena hubungan darah, bukan ahli waris karena hubungan perkawinan. Dalam Kompilasi Hukum Islam soal rad ini dirumuskan dalam pasal 193, dengan kata-kata, Apabila dalam pembagian harta warisan zawul furud menunjukkan bahwa angka pembilang lebih kecil dari angka penyebut sedangkan tidak ada ahli waris ashobah, maka pembagian harta warisan tersebut dilakukan secara rad, yaitu sesuai dengan hak masing-masing ahli waris, sedang sisanya dibagi secara berimbang diantara mereka. Dalam rumusan ini tidak dibedakan antara ahli waris karena hubungan darah dengan ahli waris karena hubungan perkawinan yang dibedakan oleh pendapat jumhur ulama dalam fikih mawaris di buku-buku fikih kewarisan. Penyelesaian pembagian warisan dapat juga dilakukan dengan (3) takharuj atau tasaluh, berdasarkan kesepakatan bersama. Di dalam Kompilasi Hukum Islam hal ini dirumuskan di dalam pasal 183 dengan kata-kata, para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah menyadari masing-masing bagiannya. 5. Asas akibat kematian yakni asas yang menyatakan bahwa kewarisan ada kalau ada yang meninggal dunia tercermin dalam rumusan-rumusan berbagai istilah yaitu hukum kewarisan, pewaris, ahli waris, dan harta peninggalan dalam pasal 171 pada Bab ketentuan umum. Hanya, agar berbeda dengan kitab-kitab fikih lama ini, seperti telah disinggung di muka, soal wasiat, dibicarakan dalam Buku VI Hukum Kewarisan dalam Bab V.

34

H. Kewarisan Atau Hak Waris Anak Luar Kawin Perspektif Hukum Islam Anak yang terlahir dikarenakan hasil perzinahan tidaklah menjadi ahli waris dari harta ayahnya meskipun ibunya menikah saat mengandung anak itu, berdasarkan hadits Rasulullah SAW. yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidi dari Abu Lahiah dari Amar bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya bahwa Rasulullah SAW bersabda;


Artinya: Apabila seorang laki-laki berzina dengan seorang wanita merdeka atau budak maka anaknya adalah anak zina yang tidak mewarisi dan tidak diwarisi. 22 Abu Isa mengatakan bahwa para ulama selain Ibnu Lahiah juga meriwayatkan hadits ini dari Amar bin Syuaib.23 Para ahli ilmu mengamalkan hadits ini dengan berpendapat bahwa anak zina tidaklah mewarisi anaknya. Apabila seseorang telah terang ada hubungan darahnya dengan ibubapaknya, maka dia mewarisi ibu bapaknya dan ibu bapaknya mewarisinya selama tidak ada suatu penghalang pusaka dan selama sarat-sarat pusaka telah cukup sempurna, dan tidak dapat seseorang dipandang mempunyai hubungan darah dengan ayah tanpa ibu. Yang dapat dipandang ada, ialah hubungan darah dengan ibu saja, tidak dengan ayah. Seperti pada anak zina dan anak lian. Syara telah menetapkan bahwa kedua-dua anak ini dibangsakan kepada ibunya dan tidak

Sunan At-Turmudzi, Bab Maa Jaa fi Ibthal Mirats Al-Walad, Maktaba Syameela, Juz 7, h. 476. 23 Ibid.,

22

35

diakui hubungan darahnya dengan si ayah. Oleh karena itu tidak ada hubungan kekerabatan antara anak itu dengan ayahnya.24 Menurut mayoritas ulama, anak zina tidak dapat mewarisi ayahnya, karena status hukumnya tidak ada hubungan nasab di antara mereka. Anak zina hanya mewarisi harta peninggalan ibunya dan saudara-saudaranya yang seibu. Demikian juga sebaliknya jika anak zina tersebut meninggal, maka harta peninggalannya hanya dapat diwarisi oleh ibunya dan saudarasaudaranya yang seibu.25 Dalam Pasal 43 ayat (1) UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan telah mengatur bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Oleh karena itu ia hanya dapat mewaris dari ibunya dan keluarga ibunya saja dan ia tidak mendapat warisan dari bapak dan keluarga bapaknya.26 Ketentuan ini dipertegas pula dengan Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia bahwa anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Sebagai konsekuensinya akta kelahiran anak tersebut hanya mencantumkan anak dari ibu kandungnya.27 Juga tentang hak waris, ia hanya bisa menjadi ahli waris ibu dan keluarga ibunya, hal ini dipertegas dengan Pasal 186 KHI bahwa anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari ibunya.28 Sekalipun akta kelahirannya
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shidiqy, Fiqh Mawaris, Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2010, hal., 252 25 Ahmad Rofioq, loc. cit. hal., 160 26 R. subekti dan R. Tjitrosudibio, Undang-Undang Perkawinan,hal.,550. 27 Kompilasi Hukum Islam (KHI), h.,34 28 Ibid.,h.,60
24

36

terkesan kurang lengkap, namun sesungguhnya memiliki kekuatan hukum yang sama dengan akta kelahiran dari anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah. Dalam praktiknya akta tersebut bisa dipergunakan untuk berbagai kepentingan, misalnya untuk melanjutkan studi, melamar pekerjaan, dan sebagainya. Bila suatu ketika ayah biologis mengakui bahwa itu anaknya, lalu menikahi ibu anak tersebut maka akan memiliki status keperdataan yang lengkap, sehingga akta anak tersebut bisa ditingkatkan menjadi anak ayah dan ibu.

Anda mungkin juga menyukai

  • Bab I
    Bab I
    Dokumen14 halaman
    Bab I
    Sebiru Bahri
    Belum ada peringkat
  • Antara Dakwah Dulu Dan Sekarang
    Antara Dakwah Dulu Dan Sekarang
    Dokumen5 halaman
    Antara Dakwah Dulu Dan Sekarang
    Sebiru Bahri
    Belum ada peringkat
  • Kop Amplop
    Kop Amplop
    Dokumen1 halaman
    Kop Amplop
    Sebiru Bahri
    Belum ada peringkat
  • AMPLOP
    AMPLOP
    Dokumen2 halaman
    AMPLOP
    Sebiru Bahri
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen1 halaman
    Bab I
    Sebiru Bahri
    Belum ada peringkat
  • 2
    2
    Dokumen5 halaman
    2
    Sebiru Bahri
    Belum ada peringkat