Anda di halaman 1dari 2

Qiyammu Lali

Ibaratnya, Indonesia adalah sesosok makhluk yang sedang terlelap tidur. Pada malam yang merambat panjang, ia mendengkur, asyik dibuai mimpi-mimpi bergelimangan gambarangambaran indah. Disekitarnya, hujan turun deras menggempur sepi, bikin gaduh, bahkan tak mampu membuatnya bangun. Indonesia makin berhangat-hangat dalam selimutnya. Apa yang terjadi dengan negeri ini, dibelakangan hari, nampaknya belum cukup mengguncang cara berpikir tentang apa itu Indonesia. Jejalan perkara dan antrian masalah yang menyumbat lubang-lubang udara, masih gagal membuat bangsa ini tergeragap sebab sesak napas. Pejabatpejabat teras yang disandera kasus korupsi, tingkah polah penguasa yang kian susah dimengerti, tak lagi memancing kegelisahan serius, yang membujuk tiap individu dibentangan kepulauan ini, menggerakan diri untuk merombak ulang pemahaman-pemahaman lawas tentang apa itu Indonesia secara mendasar. Kabar-kabar kecurangan yang berseliweran tiap hari, makin dinikmati selayaknya pentas drama di gedung yang ringkih. Barangkali perasaan miris telah tumpul, hingga apa yang terjadi dengan Indonesia, lebih tampak sebagai hiburan kengerian seperti dalam film televisi. Bikin merinding dan teriak, tapi hanya sesaat, sebab yakin, itu tak akan menghancurkan penontonnya. Maka orang-orang duduk nyaman, memperbincangkan alur cerita yang tertayang itu seperlunya, sembari menghibur diri sendiri bahwa badai yang bergulung-gulung didepan mata tersebut hanya rekaan artifisial, dan sesungguhnya Indonesia masih baik-baik saja. Semakin banyak yang tak mau melibatkan diri lagi pada tema besar Indonesia. Obrolan tentang kondisi bangsa, lebih diletakkan sebagai percakapan disela-sela menikmati secangkir kopi, atau diskusi seminar yang riuh hanya pada ruangan, tapi senyap seusainya. Indonesia serupa proyek segelintir orang yang sedang cekcok, dan rakyat kebanyakan hilir mudik di sekitarnya. Jika ada kesempatan mereka menoleh, memperhatikan mereka yang sedang gaduh dengan perhelatan politik, namun sebagian yang lain juga memasang wajah acuh tak acuh, sebab keributan yang berlangsung dan dijumpainya itu, dirasa tak berpengaruh apa-apa dengan hidupnya. Seperti ada kelelahan massal yang menggejala. Memikirkan Indonesia, tentang siapa dia, bagaimana kemestian arah lakunya adalah jalan panjang yang merangsang capek. Dari orde ke orde, bentuk yang diidamkan tak kunjung terkonsep. Layaknya eksperimen yang tak jelas batas rencananya. Lambat laun, menjadi orang Indonesia adalah ketabahan untuk selalu menyediakan persediaan ekspektasi. Menyuguhkan harapan dari pemilu ke pemilu, menyiapkan bahan bakar asa yang selalu menyala, dari penguasa satu ke penguasa lain. Berindonesia adalah kesetiaan untuk senantiasa takjub dengan tabungan mimpi-mimpi. Memuja bayangan-banyangan ideal tentang bagaimana bentuk negara yang ideal, yang tertempel pada benak masing-masing penghuninya. Dimana-mana, bergaung semangat-semangat pendorong, Ujaran-ujaran untuk optimistis terhadap kesehatan dan kelangsungan hidup Indonesia, menebar seperti jamur dimusim penghujan. Ditengah deraan kasus yang terkesan saling belit, masih terdengar suara-suara

mengajak yakin, bahwa keadaan Indonesia masih bisa dibenahi. Orang berbicara tentang kebangkitan bangsa yang padu. Terjaga dari tidur panjang dan bangun dari keputusasaan bernegara. Meskipun pada akhirnya mesti bergulat pikir lagi dengan rentetan pertanyaan : bangkit untuk apa dan demi siapa? Jika itu demi indonesia, lantas indonesia yang mana dan yang bagaimana? Sebab seiring berjalannya waktu, indonesia yang kompleks ini telah membuat jarak dengan para penghuninya. Layaknya sebuah pentas, rakyat kebanyakan adalah penonton yang tak lagi menyatu dengan nuansa yang dibangun olehnya. Sibuk dengan diri sendiri, begitupun dengan apa yang terjadi diatas panggung. Para penguasa ekonomi, politik, sosial dan budaya serupa para pemeran sedang sibuk menuntaskan skenario yang mereka bikin sendiri. Tontonan berjalan timpang, dengan perhatian yang tercerai berai. Indonesia dan rakyatnya telah membelah dalam dua entitas yang berbeda jalan satu sama lain. Indonesia adalah kotak imajiner yang berisi kesibukan para penguasanya, dan rakyat merupakan kumpulan lain yang berpusar disekeliling dengan dinamika berbeda. Maka kebangkitan seperti apa yang mesti dilakukan jika kondisinya seperti itu? Ikhtiar mendefinisikan kembali Indonesia pada hari-hari ini, bukan perkara yang remeh. Memadukan sekian banyak kepentingan dalam satu barisan adalah langkah tak mudah. Butuh hentakan yang menggelegar dalam ruangan tempat berlangsungnya drama tentang Indonesia itu, untuk menyatukan perhatian, kepedulian dan rasa antara penonton, aktor dipanggung, berikut komponen-komponen pendukung lain. Agar tiap diri menyadari perannya masing-masing. Bagi penonton, mereka mengerti dimana dia duduk, dari arah mana mengapresiasi, lalu bagaimana urun laku dan ekspresi. Demikian pula bagi pemain di panggung. Sadar peran dan keluruhan untuk menjalaninya adalah konsekuensi, untuk mengerti apa sesungguhnya yang hendak dicapai dalam pentas kehidupan. Mengerti kemauan sang sutradara pembangun cerita, demi menyempurnakan suasana yang sedang dibangun untuk menyelesaikan skenario bersama. Itu sekadar permodelan. Indonesia tentu jauh lebih ribet dibanding pementasan drama. Tapi setidaknya ada nilai-nilai yang bisa diambil sebagai refleksi. Bahwa negeri ini sedang terpecahpecah orientasinya. Kepaduan langkah sudah tak berderap harmonis lagi. Masing-masing orang tengah sibuk dengan mimpinya sendiri-sendiri tentang indonesia. Bekelebatan saling terjang, jegal dan bantah. Sementara konsepsi mengenai Indonesia sendiri, belum terdefinisi dengan jelas. Siapa dia dan bagaimana wujud serta perilakunya. Seperti sedang mengecat, menggambarkan lanskap ideal pada kanvas yang tak jelas bentang, tekstur dan dimensinya. Saking indahnya bayangan dan harapan itu, membuat sekian ratus juta manusia enggan terjaga. Bangsa yang sedang lupa bangkit, beranjak dari keindahan mimpi-mimpinya. Meskipun itu indah, tapi mimpi tetaplah mimpi, yang hanya bekerja ketika orang lupa dengan sisi dirinya, yang lain.

Jakarta 12 Desember 2012 Dapoer Kenduri Cinta

Anda mungkin juga menyukai