Anda di halaman 1dari 8

Contoh 1 (BERITA) SUMBER SEPUTAR INDONESIA, 17 OKTOBER 2012

103 Ribu Jamaah Tinggalkan Madinah


MADINAH Jamaah calon haji Indonesia, secara keseluruhan, telah meninggalkan Madinah menuju Mekkah. Kemarin pemberangkatan jamaah calon haji untuk gelombang pertama telah berakhir. Kepala Daerah Kerja Madinah Ahmad Jauhari mengatakan, pemberangkatan jamaah calon haji menuju Mekkah berakhir kemarin.Embarkasi terakhir dari embarkasi Lombok, LOB 7 dengan jumlah jamaah 325, diberangkatkan pukul 7 WASdariMadinahke Mekkah, ungkap Jauhari. Menurut Ahmad Jauhari, secara keseluruhan jamaah yang tiba dan telah meninggalkan Madinah menuju Mekkah mencapai 103.000 lebih jamaah. Jumlah jamaah yang masuk Madinah 254 kloter, dengan jumlah jamaah 103.141 sudah diberangkatkan semua menuju Mekkah dalam rangka persiapan melaksanakan ibadah haji, imbuhnya. Dia menambahkan, pergerakan jamaah berjalan lancar. Hanya sedikit hambatan, ketika akan diberangkatkan ada satu orang tertinggal dan berada di Masjid Nabawi.Jamaah yang tertinggal dapat disusulkan baik ke Miqat maupun menuju Mekkah,tambahnya. Untuk barang bawaan jamaah, Jauhari menegaskan semua barang bawaan sudah tidak ada yang tertinggal di Madinah. Sudah diberangkatkan bersama jamaah ke Mekkah, jelasnya. Di sisi lain,untuk persiapan menghadapi ibadah haji, Ahmad Jauhari mengatakan bahwa jamaah harus dapat mengatur waktu istirahat dan menjaga kondisi.Waktu pelaksanaan tidak lama lagi,jamaah bisa mengatur diri. Waktu yang ada digunakan istirahat dalam menjaga fisik, sehingga pada puncak haji kondisi fisik fresh dan bisa melaksanakan ritual ibadah haji,imbaunya. Jelang memasuki puncak ibadah haji atau pelaksanaan wukuf di Arafah dan Mina jamaah haji diminta untuk menjaga kondisi kesehatan tubuh, salah satunya dengan mengurangi aktivitas ibadah sunah. Menteri Agama (Menag) Suryadharma Ali mengatakan, jamaah haji tidak perlu menghabiskan tenaga untuk keperluan pelaksanaan seluruh ibadah sunah. Hal itu penting agar jamaah tetap sehat pada puncak pelaksanaan ibadah haji seperti wukuf di Arafah dan Mina. Yang paling utama menjaga kesehatan. Tenaga jangan diporsir agar pada puncak haji kondisi tubuh tetap sehat,ungkap Menag seusai berkunjung ke Pondok Pesantren United Islamic Cultural Centre of Indonesia (UICCI) di Jakarta kemarin. Menurut dia,jamaah haji Indonesia memiliki kebiasaan melaksanakan semua ibadah sunah. Akibatnya, tak sedikit yang kehabisan tenaga,bahkan jatuh sakit saat pelaksanaan puncak ibadah haji seperti wukuf di Arafah dan Mina.Jamaah haji kita punya kebiasaan melaksanakan seluruh ibadah sunah,sehingga saat puncak haji tiba kehabisan tenaga, ujarnya. Menag menjelaskan, pelaksanaan wukuf sebagai puncak ibadah haji masih sekitar sembilan hari lagi. Dalam rentang

waktutersebut,jamaahdiminta tidak melaksanakan aktivitas yang dapat membuat daya tahan tubuh lemah.Sebab,penurunan daya tahan tubuh bisa menyebabkan jamaah gampang terserang penyakit. Jika tenaga sudah habis diforsir untuk melaksanakan ibadah sunah, ketika dibutuhkan pada saat wukuf sudah tidak ada.

Contoh 2 (RESENSI)
SUMBER KORAN JAKARTA, 17 OKTOBER 2012

Cinta Meluluhkan Trauma Masa Lalu


Judul : Shock! Penulis : Kim Yoora Penerbit : Laksana, Yogyakarta Cetakan : I, Agustus 2012 Tebal : 286 halaman ISBN : 978-602-7696-06-8 Harga : Rp35.000

Kisah dalam novel ini bisa dibilang unik. Hal itu tergambar dari cerita dan karakter tokohtokoh di dalamnya. Kim Jun Su dan Hong Jeung Eun yang menjadi tokoh utama dalam novel ini memulai keunikan tersebut. Dengan mengambil latar Korea, novel setebal 286 halaman ini mengisahkan Kim Jun Su, pemimpin redaksi sebuah majalah wanita, yang sering konflik dengan salah satu wartawannya, Hong Jeung Eun. Setiap kali Hong Jeung Eun melakukan kesalahan, meski kadang tidak terlalu fatal, Kim Jung Su selalu ingin memarahi dan melampiaskan segala kegelisahan hati padanya. Karena terlalu sering dimarahi, akhirnya Hong Jeung Eun mengambil keputusan untuk keluar dari media tersebut dan menerbitkan majalah sendiri. Kim Jun Su gelisah. Dia tidak bisa menerima Hong Jeun Eun keluar. Kim Jun Su kehilangan wartawan. Karena jauh, Kim Jung Su baru sadar bahwa dia jatuh cinta pada bekas wartawannya yang sering dimarahi. Kim Jun Su syok karena tidak siap jatuh cinta. Di saat para lelaki ingin jatuh cinta, Kim Jun Su justru takut jatuh cinta. Ia benci pada setiap wanita karena pernah ditolak perempuan hanya karena dia miskin. Sejak itu, Kim Jun Su membenci para wanita, termasuk Hong Jeun Eun yang tidak salah

apa-apa (halaman 64). Maka, ketika getaran cinta muncul di hatinya terhadap diri Hong Jeung Eun, Kim Jun Su berusaha semaksimal mungkin menghilangkan bayangbayang Hong Jeung Eun dari pikirannya. Setiap kali terbayang Hong Jeung Eun, ditepis dan abaikan. Namun, semakin ditepis, rasa itu malah bertambah tumbuh subur dan menjadi hantu yang selalu mengikuti gerak-gerik arah pikiran Kim Jun Su. Bahkan dia cemburu ketika suatu hari melihat Hong Jeung Eun berduaan dengan seorang laki-laki, padahal pria itu hanyalah mitra kerja (halaman 242). Di sisi lain, rasa cinta juga menghinggapi Hong Jeung Eun. Dia sampai-sampai cemburu ketika melihat Kim Jun Su berduaan dengan seorang perempuan di pangkuannya, padahal itu adalah adik kandungnya, Kim Joo Hyun. Adiknya berusaha menyadarkan Kim untuk tidak terlarut pada masa lalu yang suram (halaman 80). Tidak kuat mengingkari nuraninya, akhirnya Kim Jun Su melupakan masa lalu dan menyatakan cinta pada Hong Jeung Eun. Namun, tekadnya kembali diuji karena ternyata, Hong Jeun Eun adalah anak seorang pengusaha terkenal di Korea, Hong Jeon Su. Ini mengingatkan kembali masa lalu saat Kim ditolak perempuan karena miskin. Namun, dengan dukungan adiknya, Kim akhirnya berhasil menemukan cinta sejatinya pada diri Hong Jeun Eun. Titik kelemahan dalam novel ini adalah setting dan ceritanya yang datar serta biasa. Ditambah lagi latar Korea kurang tampak di dalamnya, padahal seperti nama tokoh dan percakapan-percakapannya, semestinya murni dengan latar Korea. Namun, di balik kelemahan itu, ada beberapa hikmah yang bisa diambil. Manusia jangan tenggelam pada masa lalu karena melemahkan semangat hidup. Jangan pernah melawan nurani. Perlawanan pada suara hati akan membuat seseorang tersiksa. Dunia bisa berubah 180 derajat seperti Kim Jun Su yang awalnya sangat membenci dan selalu memarahi Hong Jeung Eun, akhirnya justru jatuh cinta. Bisa juga orang yang awalnya sangat dicintai, lewat perkembangan zaman, cintanya bisa pudar. Diresensi Rifqatul Husna, peminat buku, tinggal di Probolinggo.

CONTOH 3 (OPINI) SUMBER Republika 18 JANUARI 2008

Suara Hati Petani Kedelai


Anton Apriyantono1 Menjadi petani kedelai awalnya karena aku lahir dari keluarga petani kedelai. Memanfaatkan lahan dan iklim yang sesuai dengan kebutuhan tanaman kedelai merupakan tradisi lama turun-temurun. Pilihan ini bagiku merupakan keputusan yang mulia, setingkat dengan dokter yang mengobati orang sakit, guru yang mencerdaskan rakyat, dan pemuka agama yang menyebarkan ajaran-NYA. Aku berusaha menjadi pekerja keras, banting tulang di terik matahari
1 Menteri Pertanian RI

yang panas untuk mengemban tugasku. Di bawah terik matahari aku mengolah tanah, menanam, dan merawat kedelai yang nota benenya tanaman subtropis, yang tentu memerlukan teknologi yang tepat agar produktivitasnya masih bisa tinggi walau ditanam di daerah tropis. Alhamdulillah dengan ketekunan dan sentuhanku, kedelai dapat diselamatkan dari serangan hama dan penyakit yang jumlahnya sangat banyak. Juga dapat diselamatkan dari kondisi curah hujan yang sering tidak menentu karena tanaman kedelai ini rentan terhadap curah hujan tinggi. Aku merasa bahagia dan bangga sekalipun secara ekonomi usaha taniku pas-pasan. Menjadi kaya hanya angan-angan, naik pesawat hanya impian, kalau makan cukup saja sudah bersyukur. Kepuasanku manakala aku dapat berkontribusi menyediakan makanan sehat kegemaran saudara sebangsa dan setanah airku, yaitu tempe, tahu, kecap, dan tauco. Saat panen raya, harga meluncur jatuh, aku hanya menangis seorang diri. Jerih payah dan pengorbananku memang tidak sia-sia, tetapi tidak mendapatkan penghargaan yang sepadan dari mitraku. Dalam pikiran sederhanaku, mengapa harga tahu dan tempe tidak pernah turun, tetapi harga kedelai naik dan turun? Mungkinkah pengrajin tahu dan tempe sangat bergantung pada importir kedelai sebagai akibat importir membanjiri produk sejenis dari impor sehingga harga kedelaiku jatuh? Aku tidak peduli, mau pedagang dan pengrajin kedelai mengimpor kedelai dengan harga semu lebih murah, aku tetap bertanam kedelai. Sekalipun produk kedelaiku dicerca mutunya kurang baik, warnanya kurang bersih, harganya mahal, pasokannya tidak kontinu, aku tidak peduli. Sekali berproduksi, tetap berproduksi, aku yakin pasti ada pengadilan yang paling tinggi, tidak bisa diintervensi, apalagi disogok. Dalam kondisi tertekan, aku tetap tegas dan berprinsip: siapa yang menanam pasti memanen, siapa berbuat baik maka merekalah yang akan memetik hasilnya kelak di kemudian hari. Bertahun-tahun prinsip itu aku pegang, sambil berusaha dan terus berdoa agar nasibku dan keluargaku dimuliakan. Sekalipun aku dizalimi bertahun-tahun, aku tidak pernah protes, apalagi berdemo sampai Istana Presiden. Selain tidak punya biaya, buangbuang waktu, aku tahu diri karena belum banyak yang bisa aku perbuat untuk negeri ini. Masak minta-minta terus, aku malu sekalipun rakyat miskin dan tidak mampu. Aku selalu tulus, berprasangka baik kepada siapa pun termasuk kepada pedagang kedelai dan pengrajin tahu tempe yang beberapa kali menjatuhkan harga kedelaiku. Aku tetap pasrah atas nasib setelah berusaha dan berdoa sesuai kemampuanku. Aku percaya sepenuhnya bahwa di atas pengadilan pasti ada pengadilan yang paling adil dan tidak dapat dipengaruhi atau diintervensi siapa pun, apa pun pangkat, posisi, dan kekuatan finansialnya. Aku juga sadar kebanyakan masyarakat masih miskin dan memerlukan pangan bergizi tinggi yang murah, pangan berbahan baku kedelai adalah pilihannya. Kesabaranku berbuah ketika tahun 2007, harga jagung melonjak akibat trade off dengan penggunaan bioenergi. Lahan potensial

pertanaman kedelai baik di Indonesia maupun di Amerika dialihkan menjadi lahan jagung. Pasokan kedelai nasional turun, konsumsi tetap bahkan ada kecenderungan meningkat seiring dengan pertambahan penduduk, harga kedelai impor melonjak tidak tertahankan. Pedagang, pengrajin tahu dan tempe menjerit dan panik karena harga kedelai melonjak melebihi ambang psikologis. Memanfaatkan jejaringnya, mereka membangun opini publik, protes, berdemo ke Istana Presiden dan DPR untuk memprotes kenaikan harga kedelai dalam negeri seakan hanya mereka yang terzalimi, lupa jika petani kedelai sudah jauh lebih lama terzalimi. Bahkan, secara terbuka mereka mengancam mogok produksi sampai ada keputusan pemerintah untuk menurunkan harga kedelai. Mereka lupa, kalau aku mogok juga, memang mereka bisa dan bakal jadi apa? Mereka lupa berpuluh tahun petani kedelai tetap setia bertani dan tidak pernah mogok. Andai petani mogok satu musim saja, apa yang akan terjadi di negeri ini? Pemerintah terpaksa menurunkan bea masuk impor kedelai untuk sedikit meringankan beban pengrajin tahu dan tempe. Pengrajin lupa kondisi chaos ini produk resultante perlakuan mereka terhadap aku dalam waktu yang lama. Tanpa disadari mereka melupakan keringat petani yang sudah miskin dan tidak punya kemampuan untuk demo sekalipun. Mereka memanfaatkan mahalnya harga komoditas strategis kedelai untuk memperoleh perhatian dan dukungan masyarakat. Apalagi, saat ini tahu dan tempe merupakan makanan dengan spektrum konsumen luas dan fanatik, termasuk keluarga kaya, terdidik, perkotaan. Ada yang memanfaatkan Keresahan itu tanpa disadari terus di blow up dan dimanfaatkan oleh sebagian kalangan untuk mendiskreditkan pemerintah. Mereka hanya ingat nasib mereka, bagaimana dengan nasibku dan jutaan petani sepertiku? Mereka lupa untuk mendapatkan pangan bergizi yang murah itu diraih dengan mengorbankan nasib petani yang harus mendapatkan keuntungan yang sangat kecil dari hasil usahanya. Mereka tak sadar kedelai impor yang murah itu bukan karena usaha pertanian di negara pengekspor (Amerika) lebih efisien, tapi lebih karena petani di negara tersebut disubsidi dan ekspor kedelai mereka ke negara lain juga disubsidi dengan berbagai fasilitas. Andai subsidi itu tidak ada maka aku berani bersaing dengan mereka. Sekarang terbukti, begitu lahan kedelai mereka berkurang, harga kedelai mereka lebih mahal dari harga kedelai lokal, apalagi jika subsidi dicabut. Belajar dari pengalaman pahit ini, maka aku mengimbau agar pengrajin tahu dan tempe serta pedagang kedelai harus mau bermitra dengan petani kedelai sepertiku. Mari saling bersinergi, saling menghidupi, dan hubungan mutualistik ini harus kita jaga keberlanjutannya. Jangan silau dengan godaan kedelai impor karena harganya semu dan mungkin saja muslihat asing untuk menghancurkan pengembangan kedelai nasional agar Indonesia selalu bergantung pada negara maju tertentu.

Jika pengrajin tahu dan tempe membutuhkan kepastian usaha dengan harga kedelai yang stabil dan terjangkau maka aku juga butuh kepastian usaha dengan harga kedelai yang memberi keuntungan usaha yang layak. Aku berharap mereka serta pedagang kedelai mau membuat kontrak denganku dan dengan petani kedelai lainnya agar yang aku usahakan ini mendapat jaminan pemasaran dengan harga yang layak. Mari perbaiki keadaan ini mitraku, agar azab yang lebih besar tidak datang lagi. Kalau itu terjadi, kita akan hancur bersama. Peringatan dan pelajaran dari kejadian akhir-akhir ini harus diambil hikmahnya, jangan sampai jatuh dan celaka pada masalah yang sama.

CONTOH 4 (OPINI) Sumber: Kompas, 10 November 2010

Kurban, Korban, dan Pengorbanan


Anton Prasetyo2 Sesaat lagi, umat Islam akan menggelar ibadah tertuanya, penyembelihan hewan kurban. Ibadah sunah bernilai pahala tinggi yang dilaksanakan satu tahun sekali ini memiliki filosofi kepatuhan tingkat tinggi. Bagaimana tidak, peristiwa penyembelihan Ismail oleh bapaknya sendiri (Nabi Ibrahim AS) tidak akan mungkin dilaksanakan jika tanpa dasar kuat, kepatuhan kepada Tuhan. Terlebih Ismail adalah buah hati yang telah lama didambakan dan sangat dicintainya. Pelaksanaan kurban, jika ditelisik secara mendalam, memiliki dua dimensi makna yang bersifat vertikal dan horizontal. Secara vertikal, kejadian simbolik itu merupakan upaya pendekatan diri paling puncak (kurban) dan dialog dengan Tuhan dalam menangkap nilai dan sifat-sifat ketuhanan. Sementara, secara horizontal, kurban menuntut manusia untuk dapat memetik nilai-nilai luhur kepedulian terhadap sesama dan merealisasikan ke dalam kehidupan nyata. Kurban dalam makna dimensi vertikal tecermin pada keikhlasan shahibul kurban (orang yang berkurban) dalam memberikan hewan kurban tanpa mengharap imbalan apa pun di dunia. Keikhlasan ini tidak cukup hanya bermodal niat tetapi juga realisasi dalam bentuk hewan kurban yang diharuskan tidak boleh cacat. Artinya, keikhlasan dalam berkorban di sini tidak karena mengikhlaskan barang yang sudah tiada manfaat baginya tetapi mengikhlaskan harta yang sebenarnya masih dicintainya. Hanya saja karena kecintaan kepada Tuhan lebih besar melebihi dunia seisinya maka dikurbankanlah harta benda yang dicintainya demi mendapat rida dan kedekatan kepada-Nya. Dalam dimensi horizontal, kurban mengajarkan manusia untuk saling berbagi; jangan sampai sifat-sifat buruk seperti pelit, kikir, tamak, serakah, dan loba terus menjadi sifat dalam berkehidupan sosial. Sifatsifat tersebut harus diganti dengan sifat dermawan, peduli, saling menolong, dan berkasih sayang terhadap orang lain. Sifat-sifat rela
2 Ketua Panitia Kurban Pondok Pesantren Nurul Ummah, Alumnus UMY dan UIN Yogyakarta

berkorban untuk kelangsungan hidup bersama menjadi bagian penting dari pendidikan ibadah kurban. Kurban dan korban Dalam kajian fikih, yang dinamakan kurban adalah menyembelih hewan tertentu saat tanggal 10, 11, 12, dan 13 Dzulhijjah dan dagingnya dibagikan kepada orang lain untuk dimanfaatkan dalam keadaan belum dimasak. Artinya, di luar batasan tersebut, ibadah yang ada bukanlah dinamakan kurban, melainkan sedekah biasa. Hanya saja, substansi kurban dapat dipetik dari pelaksanaan sedekah dalam bentuk uang, barang, atau selainnya. Dalam pada itulah, substansi kurban sering kali memiliki asas manfaat dan pahala lebih besar daripada kurbannya sendiri. Dalam konteks kekinian, substansi kurban dapat direalisasikan dengan memberikan bantuan kepada para korban letusan Gunung Merapi dan/atau peristiwa tsunami Mentawai. Memberikan sumbangan dalam bentuk apa pun, sesuai dengan kemampuan masing-masing setiap kita, akan sangat besar manfaatnya. Lihatlah betapa derita korban letusan Gunung Merapi DIY dan tsunami di Mentawai hingga saat ini masih dalam kondisi sangat mengenaskan. Bukan hanya ribuan orang meninggal karena sambaran tsunami dan hampir 100 orang tewas terkena awan panas Gunung Merapi yang menyebabkan derita mereka terasa sangat pedih. Terlebih lagi, dari semua korban selamat, banyak yang tidak lagi memiliki harapan untuk bisa hidup nyaman sebagaimana sedia kala. Bagi para korban bencana alam tsunami dan Gunung Merapi, banyak dari mereka yang tidak lagi punya tempat tinggal. Dengan terjangan air dahsyat dan awan panas (wedhus gembel), rumah mereka seketika hancur, bahkan hilang tak dapat lagi dicari jejaknya. Di samping itu, hewan dan tanaman yang menjadi harta utama mereka juga bernasib sama, tak dapat diselamatkan. Sementara itu, kondisi fisiknya juga tidak nyaman sebagaimana saat-saat biasa. Belum lagi saat memikirkan kebutuhan primer yang mesti segera dikonsumsi diri dan keluarganya. Mulai dari makan, pakaian hingga tempat tinggal, para korban tidak bisa memenuhinya dengan baik. Beragam bantuan yang telah ada masih sangat minim dibandingkan dengan kebutuhan yang harus dipenuhi. Padahal, mereka juga tidak punya waktu, tenaga, hingga lapangan untuk bekerja dan menghasilkan pendapatan untuk kebutuhan diri dan keluarga. Mereka hanya bisa pasrah kepada Tuhan dengan cara menunggu uluran tangan para dermawan. Nah, di sinilah substansi kurban mesti diterapkan. Jangan sampai, dalam agama Islam, terdapat ajaran berkurban dan diikuti banyak kaum Muslimin namun mereka tidak bisa memetik substansi di dalamnya. Jika dalam pelaksanaan hari raya kurban banyak kaum Muslimin yang menjadi shahibul kurban hingga meruahnya daging di setiap masjid, semestinya bantuan melimpah ruah saat terjadi bencana pada saudaranya sehingga beban masalah dan penderitaan para korban akan terkurangi. Ibarat kurban sebagai latihan, pemberian bantuan kepada korban bencana adalah hasil dari latihan yang ada. Kurban adalah salah satu suri teladan sikap bersosial dalam kehidupan nyata. Dalam berkurban,

seorang Muslim yang mempunyai kekayaan disunahkan mengikhlaskan sebagian hartanya, dimanfaat-kan untuk saudaranya yang miskin. Hanya saja, bentuknya ditentukan sebagaimana dalam syarat dan rukun kurban. Dalam kehidupan nyata, seorang yang kaya semestinya menyedekahkan sebagian harta untuk kelangsungan hidup saudaranya yang membutuhkan. Pengorbanan tanpa pamrih adalah satu kata kunci yang harus dipegang dalam melaksanakan kurban dan substansinya. Adanya pengorbanan semacam inilah akan menjadikan seorang shahibul kurban menuai dua dimensi; kedekatan kepada Tuhan dan saleh kepada sesama. Di samping itu, keberkahan Tuhan dan rasa nyaman bagi lingkungan sekitar akan tercapai. Maka tiadalah kekurangan dirasakan jika sudah demikian. Wallahu alam.

Anda mungkin juga menyukai