Anda di halaman 1dari 19

BAB II JALALUDDIN RAKHMAT PEMAHAMAN HADIS PERSPEKTIF HISTORIS

A. Biografi Jalaluddin Rakhmat

Jalaluddin Rakhmat dilahirkan di Bojong Salam Rancaekek, Bandung, pada tanggal 26 Agustus 1949, ia adalah seorang intelektual Islam Indonesia terkemuka dan pakar komunikasi dari Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran. Pimpinan Pesantren Muthahhari ini menyelesaikan S1 pada Fakultas Publistik di Universitas Padjadjaran, kemudian meneruskan studi dan mendapat gelar M.Sc. pada Department of Jurnalism, Iowa state University Amerika Serikat pada tahun 1982, dan untuk gelar Ph,D. dalam Kajian Politik diperoleh dari Australian National University (ANU). Pernah menjabat sebagai staf Pengajar di Program Pascasarjana dan Fikom Unpad Bandung.1 Dalam bidang keorganisasian ia ikut membidani dan menjabat sebagai Ketua Dewan Syura Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) yang saat ini sudah memiliki hampir 100 Pengurus Daerah (tingkat kota) di seluruh Indonesia dengan jumlah anggota sekitar 2,5 juta orang. Ia juga menjadi pendiri Islamic Cultural Center (ICC) Jakarta bersama Dr. Haidar Bagir dan Umar Shahab,MA.2 Pada tahun 2003 bersama Cak Nur, Dr. Muwahidi dan Dr Haidar Bagir ia mendirikan Islamic College for Advanced Studies ICAS-Paramadina, bersama Haidar Bagir dan Umar Shahab ia mendirikan Islamic Cultural Center (ICC), sejak tahun 2004 ia membina LSM OASE dan Bayt Aqila dan aktif membina sebuah forum dialog, silaturahmi dan kerjasama antar tokoh-tokoh pemimpin agama-agama dan aliran kepercayaan di Indonesia yang diberi nama Badan
1 Tim Penulis, Pengembangan Pemikiran Terhadap Hadis, (Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI), 1996), h. 270 2 F. Ahmad Gaus dan Ahmad Y. Samantho, Jalaluddin Rakhmat (Sebuah Biografi Singkat), http://disinidandisini.blogspot.com/2011/08/jalaluddin-rakhmat-sebuah-biografi.html, diakses tanggal 17 Nopember 2011

Perjuangan Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan (BPKBB). Terakhir sejak Agustus 2006 Ia membina The Jalal-Center for Enlightenment (JCE) di Jakarta.3 Karya ilmiah Jalaluddin Rakhmat yang telah diterbitkan antara lain: Psikologi Komunikasi (1985), Islam Alternatif (1986), Islam Aktual (1991), Renungan-Renungan Sufistik (1991), Retorika Moderen (1992), Catatan Kang Jalal (1997), Reformasi Sufistik (1998), Jalaluddin Rakhmat Menjawab SoalSoal Islam Kontemporer (1998), Meraih Cinta Ilahi: Pencerahan Sufistik (1999), Tafsir Sufi Al-Ftihah (1999), Rekayasa Sosial: Reformasi Atau Revolusi? (1999), Rindu Rasul (2001), Dahulukan Akhlak Di Atas Fikih (2002), Psikologi Agama (2003), Meraih Kebahagiaan (2004), Belajar Cerdas Berbasiskan Otak (2005), Memaknai Kematian (2006), Islam dan Pluralisme, Akhlak Al-Quran dalam Menyikapi Perbedaan (2006).4 Sedangkan untuk kajian hadis ada buku yang berjudul Al-Mushthafa yang berisi tulisan tentang kritik terhadap hadits-hadits yang dijadikan bahan penulisan Sirah Nabawiyah dan hal-hal yang berkaitan dengan sosok Muhammad dan nubuwwah Rasulullah saw.5 B. Pemahaman Hadis Perspektif Historis Banyaknya hadis yang diriwayatkan oleh para sahabat, baik dengan bil lafdzy atau pun bil mana menimbulkan redaksi yang berbeda-beda namun masih dalam pemahaman atau makna yang sama, akan tetapi ada pula hadis yang bertentangan maknanya padahal disampaikan oleh sahabat yang sama tetapi dalam waktu yang berbeda, atau malah bertentangan dengan yang diriwayatkan oleh sahabat yang lain, seperti hadis mengenai detik-detik terakhir kehidupan Rasulullah SAW yang diriwayatkan dari Aisyah ra. Riwayat yang pertama berbunyi: Dua orang perempuan bertanya kepada Aisyah. Wahai Ummul Mukminin, ceritakan kepada kami tentang Ali. Aisyah berkata, Untuk
Ibid,. Ibid,. 5 Sangpecinta, Studi Kritis Sirah Nabawiyah versi Jalaluddin Rakhmat (1), http://disinidandisini.blogspot.com/2011/10/studi-kritis-sirah-nabawiyah-versi_11.html, diakses tanggal 17 Nopember 2011
4 3

apa kalian bertanya tantang laki-laki yang meletakkan tangannya pada satu tempat di (tubuh) Rasulullah SAW. Nafasnya (yang terakhir) mengembus lewat tangannya itu, lalu ia mengusapkannya kepada wajahnya. Orang-orang bertikai mengenai pemakamannya. Ia berkata, Sesungguhnya tanah yang paling dicintai Allah ialah tempat Ia mewafatkan Nabi-Nya. Kata perempuan itu, mengapa Anda keluar memerangi dia. Aisyah berkata, Ini perkara yang sudah terjadi. Sungguh aku ingin menebus peristiwa ini dengan apa saja yang ada di bumi. Hadis ini diriwayatkan Ibnu Asakir 3:15. Pada halaman yang sama, ia juga meriwayatkan hadis lainnya yang berbunyi: Dari Aisyah RA: Menjelang akhir hayatnya, ketika ia berada di rumah Aisyah, Rasulullah berkata, Panggilah kekasihku.. Kemudian mereka memanggil Ali: Ketika ia datang dan melihatnya, ia melepaskan bajunya dan menyelimutinya dengan baju itu. Tidak henti-hentinya Ali memeluknya, sampai meninggal dunia.6 Dari kedua hadis di atas dapat kita ketahui bahwa detik-detik terakhir Rasulullah SAW berada pada pangkuan Ali bin Abi Thalib ra. Akan tetapi dalam Shahih Bukhari, disebutkan:

.
Telah bercerita kepada kami 'Amru bin Zurarah telah mengabarkan kepada kami Isma'il dari Ibnu 'Aun dari Ibrahim dari Al Aswad berkata: "Orangorang menyebutkan di hadapan 'Aisyah bahwa 'Ali radliallahu 'anhuma menerima wasiat (kekhalifahan) ". Maka dia bertanya: "Kapan Beliau memberi wasiat itu kepadanya padahal aku adalah orang yang selalu menyandarkan Beliau di dadaku" (saat menjelang wafat Beliau). Atau dia berkata: "berada dalam pangkuanku", dimana Beliau meminta air dalam wadah (terbuat dari tembaga) hingga Beliau jatuh dalam pangkuanku dan aku tidak sadar kalau Beliau sudah wafat. Jadi kapan Beliau memberi wasiat kepadanya.7

Jalaluddin Rakhmat, Pemahaman Hadis: perspektif Historis dimuat pada buku Pengembangan Pemikiran, (Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI), 1996) h. 141 7 Al-Bukhari, Shahih Bukhari, Kitab al-Washaya hadis no 2536

Dan dengan sanad yang berbeda pada Shahih Muslim kitab al-Washiyah diriwayatkan sebagai berikut:


Dan telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya dan Abu Bakar bin Abu Syaibah dan ini adalah lafadz Yahya, dia berkata; telah mengabarkan kepada kami Isma'il bin 'Ulayah dari Ibnu 'Aun dari Ibrahim dari Al Aswad bin Yazid dia berkata, "Orang-orang sama berbicara di samping 'Aisyah, bahwa 'Ali menerima wasiat dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, maka dia berkata, "Kapankah beliau berwasiat kepadanya? Padahal ketika beliau sakit, beliau bersandar di dadaku -atau berkata- di pangkuanku. Kemudian beliau meminta bejana, sesudah itu beliau rebahan di pangkuanku dan saya tidak sadar jika beliau telah tiada. Maka kapankah beliau berwasiat kepadanya?!8 Berdasarkan hadis ini, Rasulullah SAW menghembuskan nafas terakhir pada dada (pangkuan) Aisyah ra. Bila kedua jenis riwayat ini dikumpulkan dari berbagai sumber, menurut sanadnya, kedua riwayat ini sahih. Yang menjadi persoalan, mengapa terjadi dua riwayat yang bertentangan melalui sumber yang sama. Pada masa pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib Aisyah tidak pernah meriwayatkan tentang keutamaannya, bahkan ia cukup menyebut rajul jika ada peristiwa yang berkaitan dengan Ali. Hal ini dapat kita ketahui dengan mempelajari sejarah, sebagai contoh pada Shahih Muslim diriwayatkan:

Muslim, Shahih Muslim, Hadis No - 3088


Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Rafi' dan 'Abd bin Humaid dan lafazh tersebut milik Ibnu Rafi', keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami Abdurrazzaq telah mengabarkan kepada kami Ma'mar dia berkata, berkata az-Zuhri, dan telah mengabarkan kepadaku Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah bahwa Aisyah telah mengabarkan kepadanya seraya berkata, "Pertama kali Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengaduh sakit di rumah Maimunah, lalu beliau meminta izin kepada para istrinya untuk menginap sakit di rumah Aisyah. Dan mereka memberikan izin kepada beliau." Aisyah berkata, "Lalu beliau keluar, satu tangannya dipapah oleh alFadhl bin Abbas, dan satu tangannya lagi pada seorang laki-laki lainnya, sedangkan beliau dalam keadaan tidak mampu berjalan dengan kedua kakinya di tanah." Maka Ubaidullah berkata, "Lalu aku menceritakannya kepada Ibnu Abbas, maka dia bertanya, 'Apakah kamu tahu, siapakah laki-laki yang tidak disebutkan namanya oleh Aisyah. Dia adalah Ali'.9 Sedangkan di Sunan Ahmad disebutkan dengan redaksi yang sama namun disebutkan alasan kenapa Aisyah tidak menyebutkan Ali, tetapi hanya menyebut rajul:


Telah menceritakan kepada kami Abdurrazaq dari Ma'mar berkata; berkata Azzuhri, telah mengabarkan kepadaku Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah bahwa Aisyah telah mengabarkan kepadanya, dia berkata; "Awal kali Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam merasakan sakit di rumah Maimunah, lalu beliau meminta izin kepada para isteri-isteri beliau untuk di rawat di rumah Aisyah dan beliau pun diizinkan. Akhirnya ia pun keluar, satu tangan beliau di gandeng oleh Al Fadhl bin Abbas dan tangan satunya digandeng oleh laki-laki lain sedang beliau melangkahkan kakinya di tanah." Ubaidullah berkata; "Saya telah menceritakan hal itu kepada Ibnu Abbas, dia berkata;

Muslim, Shahih Muslim, Hadis No 630

'Siapakah laki-laki lainnya yang belum disebut oleh Aisyah? ' Dia adalah Ali, akan tetapi Aisyah merasa dirinya tidak enak kepadanya'.10 Untuk menguji keotentikan hadis perlu adanya sebuah laporan sejarah (historycal-report) yang diantara metodenya adalah perbandingan teks, ditambah dengan kritik sanad dan matan serta analisa aliran politik periwayat hadis. Perspektif historis bukan hanya untuk mengkritik hadis tetapi juga digunakan untuk memahami hadis, yaitu memahami latar belakang ketika hadis itu disampaikan. Salah satu kitab tentang periwayat hadis yang dikarang oleh ulama terdahulu antara lain Tahdzib at-Tahdzib, al-Ishabah fi Tamyiz ashShahabah, dan al-Istiab.11 1. Fungsi Analisis Historis Adapun fungsi dari analisa sejarah dalam memahami hadis antara lain:
a. Sejarah

dapat membantu kita untuk menolak, menerima, atau

mentarjihkan hadis. Karena dengan memahami sejarah kita dapat mengetahui bahwa pada masa sahabat, hadis-hadis yang disampaikan sangat diwarnai oleh suasana polotik pada waktu itu.
b. Historiografi Islam dapat membantu kita dalam menganalisa hadis secara

kritis. Kita perlu mengetahui latar belakang politis dari rijal hadis, termasuk ke dalamnya sahabat-sahabat Nabi saw, untuk memahami sebuah hadis. Buku-buku rijal seperti Al-Ishabah, Al-Istiab, Mizan alItidal, Tahdzib at-Tahdzib, Usud al-Ghabah, hendaknya dilengkapi dengan kitab-kitab sejarah Islam yang klasik.
c. Analisis historis dapat menolong kita untuk menjelaskan hal-hal yang

kabur. Disebabkan adanya pemihakan politis, para periwayat hadis seringkali mengurangi atau setidak-tidaknya mengaburkan matan hadis. Penjelasan seperti ini dapat menetapkan kalimat-kalimat dalam suatu hadis mubham, mujmal, muthlaq, muqayyad, am atau khas (bahkan juga nasikh mansukh).

10 11

Ahmad, Sunan Ahmad, hadis No24725 Tim Penulis, Pengembangan Pemikiran, h. 189 dan 191.

d. Latar belakang sejarah dari suatu peristiwa dapat digunakan untuk

menyimpulkan sunnah dari suatu hadis, karena tidak semua berita yang dinisbatkan kepada Nabi SAW adalah sunnah. 2. Analisis Situasi Politik Seperti yang kita ketahui, setelah Rasulullah SAW wafat, umat Islam terbagi kedalam beberapa kelompok politik, seperti Kaum Muhajir, Anshar dan pengikut Ali. Masing-masing kelompok mengutif hadis Nabi SAW untuk membenarkan pimpinan kelompoknya. Pada masa itu mulailah bermunculan hadis-hadis tentang keutamaan sahabat, ada yang memang berasal dari Nabi SAW ada pula yang dibuat-buat. Menurut Jalaluddin Rakhmat dalam makalahnya, ketika psy-war (perang urat syaraf) berkenaan dengan hadis-hadis fadha-il ini tampaknya yang lebih banyak meriwayatkan hadis keutamaan adalah kelompok Ali. Seperti dalam riwayat Aisyah mengenai Ali sebagai washi Rasulullah Saw. Dalam situasi seperti ini, tidak mengherankan bila lawan atau saingan Ali cenderung melawannya dengan kekerasan. Mereka berusaha melarang periwayatan hadis. Dengan latar belakang historis seperti ini, banyak sahabat yang berusaha melarang periwayatan hadis (bahkan menisbahkan pelarangan ini kepada Rasulullah SAW), walaupun banyak hadis yang memerintahkan penulisan hadis. dalam beberapa riwayat disebutkan sebagai berikut: Aisyah berkata: Ayahku telah menghimpun 500 hadis dari Nabi. Suatu pagi beliau datang kepadaku dan berkata, Bawa hadis-hadis itu kepadaku. Saya pun membawakan untuknya. Ia lalu membakarnya dan berkata, Aku takut setelah aku mati meniggalkan hadis-hadis itu kepadamu (Tadzkirat al-Huffadz 1:5)12 Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar pernah berkata: Hadis semakin banyak selama masa Umar. Kemudian ia memerintahkan hadis-hadis itu dikumpulkan. Setelah terkumpul, ia meletakkan di atas bara api sambil menyatakan: Tak ada matsnat ahli kitab (AtThabaqat al-Kubra 5:188). Qurzhah bin Kaab meriwayatkan, ketika kami pergi dari Madinah ke Irak, Umar mengiringi kami hingga pinggiran kota. Ia berkata kepadaku. Tahukah kamu mengapa aku mengantar kamu?. Kata
12

Jalaluddin Rakhmat, Pemahaman Hadis, h. 145

kami, Engkau bermaksud mengantar kami dan memuliakan kami. Ia berkata,Aku memepunyai kepentingan. Kamu akan mendatangi penduduk yang menyuarakan Al-Quran seperti gemuruh suara kurma. Jangan palingkan mereka dengan hadis-hadis Rasulullah Saw. Aku menjadi mitra kamu. Kata Qurzhah, Sejak itu, aku tidak pernah meriwayatkan hadis. Ketika Qurzhah bin Kaab datang, orang-orang berkata, Sampaikan kepada kami hadis. Ia berkata, Umar melarang kami (Ibnu Abdil Barr meriwayatkan dan Adz-Dzahabi dalam Tadzkirat al-Huffadz 1: 4-5).13 Pelarangan hadis ini mengakibatkan hilangnya sejumlah besar hadis. Pada saat yang bersamaan, beberapa pihak berkesempatan memasukkan hadis untuk kepentingan mereka. Dengan tanpa adanya penulisan, periwayatan hadis berdasarkan maknanya menjadi sangat umum. Tidak jarang terjadi, sebuah sunnah ditolak oleh orang, karena sunnah tersebut dijalankan dengan setia oleh kelompok yang lain. Lalu, hadis dikeluarkan untuk membenarkan perbuatan itu. Kata An-Nisaburi dalam Tafsir al-Nisaburi, hamisy tafsir ath-Thabari 1: 79: Ali RA mengeraskan bacaan basmallah. Pada zaman Bani Umayyah, mereka berusaha keras untuk melarang manjaharkan basmalah, sebagai upaya mengahapus jejak Ali.14
3. Analisis Aliran Politik Rijal

Dari penjelasan poin di atas, kita dapat menganalisa atau mengetahui aliran politik setiap rijalnya apabil terdapat perbedaan matan dari beberapa sanad hadis. Misalnya saja kita dapat membandingkan rijal pada hadis-hadis yang meriwayatkan basmalah jahar dan basmalah sirr. Rijal yang pertama umumnya berada pada kelompok Ali, dan rijal kedua pada kelompok Muawiyah.15 Jalaluddin Rakhmat memberikan contoh meneliti hadis yang menjelaskan bahwa Abu Thalib mati dalam keadaan kafir (Shahih Bukhari, hadis nomor 4772; lihat Fath al-Bari 8:506). Hasil temuannya adalah hadis tersebut mempunyai rijal: Abu al-Yaman, Syuiab, Az-zuhri dan Said bin Musayyab sepanjang yang diterangkan para ahli sejarah.
13 14

Ibid,. h. 146 Ibid,. 15 Ibid,. 147

10

Az-Zuhri adalah orang yang sangat membenci Ali. Kata Muhammad bin Syaibah: Aku pernah hadir di mesjid Madinah. Di situ ada AzZuhri dan Urwah binZubair sedang duduk berdua. Kemudian mereka menyebut Ali dan mengecamnya (Al-Gharat 2:578; Syarh Ibn alHadid, Nahj al-Balaghah 4: 102). Ats-Tsaqafi memasukkan Az-Zuhri pada kelompok fuqaha Kufah yang memusuhi Ali. Said bin Musayyab, menurut Malik, adalah orang Khawarij (Qamus ar-Rijal 4:378). Umar bin Ali menganggapnya munafiq. Ketika cucu Ali, yakni Ali Zainal Abidin wafat, Said tidak mau menyalatkannya. Bila para periwayat hadis itu tidak menyukai Ali, tidak mengherankan bila mereka mengeluarkan hadis yang mengkafirkan ayah Ali. Wallahu Alam.16 Untuk mengetahui rijal hadis kita dapat menggunakan beberapa kitab rujukan antara lain: Kitab yang secara khusus membahas biografi sahabat di antaranya : Marifah man Nazala min al-Sahabah Sair al-Buldan karya Abu al-hasan Alin ibn Abdullah al-Madini (w. 234 H), Kitab alMarifah karya Abu Muhammad Abdullah ibn Isa al-Marwazi (w. 293 H), dan Kitab al-Sahabah karya Abu Hatim Muhammad ibn Hibban alBusti. b. Kitab-kitab yang membahas periwayat hadis yang disusun berdasarkan tabaqat di antaranya adalah : At-tabaqat al-Kubra karya Abu Abdullah Muhammad ibn Sad Katib al-waqidi (w. 230 H), dan Tazkirah al-Huffaz karya Abu Abdullah Muhammad ibn Ahmad ibn Usman al-Zahabi (w. 748 H). c. Kitab-kitab yang membahas para periwayat hadis secara umum. Di antara kitab-kitab yang masyhur adalah : Kitab al-Tarikh karya alBukhari, dan Kitab al-Jarh al-Tadil karya Ibn Abi Hatim al-Razi. d. Kitab-kitab yang membahas periwayat hadis untuk kitab-kitab hadis tertentu. Di antara kitab-kitab tersebut adalah : Al-Jam baina Rijal al-Sahihain karya Abu al-Fadl Muhammad ibn tahir al-Muqaddasi yang terkenal dengan Ibn al-Qirani (w. 507 H.), Al-Kamal fi Asma alRijal karya al-Hafiz Abd al-Gani ibn Abd al-Wahid al-Maqdisi alJamaili al-Hanbali (w. 600 H.), Tazhib at-Tahzib karya Abu Abdullah Muhammad ibn Ahmad al-Zanabi (w. 748 H.), Tahzib at-Tahzib karya Ibn Hajar al-Asqalani (w. 852 H.), Taqrib at-Tahzib karya Ibn Hajar alAsqalani. e. Kitab-kitab yang membahas kualitas para periwayat hadis. Untuk rawi yang Siqah kitab yang masyhur adalah Kitab al-Siqat karya Abu al-Hasan Ahmad ibn Abdullah ibn Salih al-Ijli (w. 261 H.). Untuk rawi yang daif contoh kitabnya antara lain Al-Duafa al-Kabir karya alBukhari dan Al-Duafa al-Sagir karya al-Bukhari. Untuk rawi yang
a.
16

Ibid,.

11

kualitasnya masih dipersoalkan anatara lain adalah Al-Kamil fi Duafa al-Rijal karya Abu Ahmad Abdullah ibn Adi al-Jurjani (w. 356 H.). f. Kitab-kitab yang membahas illah hadis antara lain : Ilal al-Hadis karya Ibn Abi Hatim al-Razi (w. 328 H.), Al-Ilal wa Marifah al-Rijal karya Ahmad ibn Hanbal, dan Al-Ilal karya Ibn al-Madini (w. 234 H.). g. Kitab-kitab yang ditulis berdasarkan Nama-nama, Kunyah-kunyah, Laqab-laqab dan Nasab-nasab. Tentang nama-nama, kunyah-kunyah dan laqab-laqab di antaranya adalah Kitab Al-Asma wa al-Kuna karya Ali ibn Abdillah ibn Jafar al-Madini (w. 234 H.). Tentang nasab-nasab di antaranya adalah Kitab Ma Ittafaq Ziyadah al-Muhaddisin wa Ansabuhhum gaira Anna fi badih Ziyadah Harf Wahid karya Abu Bakr Ahmad ibn Ali ibn Sabit al-Bagdadi (w. 463 H.).17 4. Mencari Definisi Hadis dan Sunah Menurut Jalaluddin Rakhmat salah satu hal yang penting dalam memahami hadis, sebelum menggunakan pendekatan historis hendaknya kita mengetahui perbedaan antara hadis dan sunnah. Seperti yang dikutip oleh Umi Sumbulah dalam bukunya Kajian Kritis Ilmu Hadis secara terminologis menurut para ulama pengertian hadis berbeda-beda, sesusai objek atau aliran ilmu yang didalami. Menurut ulama hadis, pengertian hadis adalah: Segala sesuatu yang diberitakan dari Nabi SAW baik berupa sabda, perbuatan, taqrir, sifat fisik dan tingkah laku beliau, baik diangkat menjadi rasul (seperti tahannuts beliau di gua Hira) maupun sesudahnya.18 Sedangkan ulama Ushul Fiqh menyebutkan: Hadis yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW selain alQuran al-Karim, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir Nabi yang bersangkut paut pada hukum syara.19 Adapun para fuqaha mendefinisikan hadis sebagai:
Suryadi dan Muhammad Alfatih Suryadilaga, Metodologi Penelitian Hadis, (Yogyakarta: Teras, 2009). hlm 117-122. 18 Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu hadis, (Malang, UIN Maliki Press, 2010), h. 6 19 Ibid,. h. 7
17

12

Segala perbuatan yang ditetapkan oleh Nabi SAW, namun pelaksanaannya tidak sampai kepada tingkat wajib.20 Dari pengertian di atas bisa dipahami bahwa hadis adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan atau ketetapan beliau, namun ada sebagian ulama yang menyebutkan bahwa yang dimaksud hadis tidak hanya yang berasal dari Nabi, tetapi juga berasal dari sahabat dan tabiin. Jalaluddin Rakhmat menyebutkan, bila kita membuka kitab-kitab hadis, kita akan banyak menemukan banyak riwayat yang di dalamnya itu tidak berkenaan dengan ucapan, perbuatan atau taqrir Nabi SAW. Sebagai contoh: Pada shahih Bukhari, hadis no. 117 menceritakan tangkisan Abu Hurairah kepada orang-orang yang menyatakan bahwa Abu Hurairah terlalu banyak meriwayatkan hadis. Ia menjelaskan bahwa ia tidak disibukkan dengan urusan ekonomi seperti sahabat-sahabat Anshar dan Muhajirin. Ia selalu menyertai Nabi SAW untuk mengenyangkan perutnya, menghadiri majlis yang tidak dihadiri yang lain, dan menghafal hadis yang tidak dihafal orang lain.21 Imam al-Nawawi menyebutkan beberapa istilah hadis sebagai berikut:
a. Hadis marfu adalah hadis yang secara khusus disandarkan kepada Nabi

Muhammad SAW. Tidak disebut hadis apabila disandarkan kepada orang lain, namun ada juga yang menyebut sebagai hadis sesuatu yang diriwayatkan oleh sahabat yang menceritakan tentang perilaku dan sabda Nabi SAW.
b. Hadis mauquf yakni hadis yang diriwayatkan oleh sahabat, baik

berbentuk ucapan, perilaku, atau yang sejenisnya dari mereka.22


c. Hadis maqthu adalah hadis yang dimauqufkan atau disandarkan pada

tabiin, baik berupa ucapan maupun yang berbentuk tindakan.23


Ibid,. h. 8 Jalaluddin Rakhmat, Pemahaman Hadis, h. 149 22 Imam al-Nawawi, Dasar-dasar Ilmu hadis, diterjemahkan oleh syarif Hade Masyah (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), h. 14-15 23 Ibid,. h. 17
21 20

13

Adapun pengertian sunnah seperti yang dikutitp oleh Endang Soetari dalam bukunya Ilmu Hadits Kajian Riwayah dan Dirayah yakni: Secara bahasa tarif sunnah adalah: Jalan yang dilalui, baik yang terpuji atau tercela Secara istilah yaitu: Segala yang dinukilkan dari nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan hidup, baik sebelum Nabi diangkat jadi Rasul atau sesudahnya.24 Dari pengertian diatas nampaknya tidak ada perbedaan antara hadis dan sunnah, namun menurut Hasbi Ash-Shiddieqy seperti yang dikutip Endang Soetari ada perbedaan antara keduanya, hadis adalah segala peristiwa yang dinisbatkan kepada Nabi SAW walaupun hanya sekali saja beliau mengerjakan atau mengucapkannya, dan diriwayatkan oleh perorangan. Sedangkan sunnah adalah segala sesuatu yang diucapkan atau dilaksanakan oleh Nabi secara terus menerus, dinukilkan dengan jalan mutawatir secara terus menerus. Nabi melaksanakannya beserta sahabat diikuti oleh para tabiin, kemudian generasi berikutnya sampai kemasa-masa selanjutnya menjadi pranata sosial dalam kehidupan umat Islam.25 Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan hadis dan sunah sama-sama bersumber dari Nabi SAW, namun sunah lebih bersifat praktis dan menjadi sesuatu yang terus-menerus dipegang atau dilaksanakan oleh umat islam.
5. Kerancuan Pengertian Hadis dan Sunnah

Jika kita merujuk kepada definisi hadis yang disepakati oleh para muhadditsin, bahwa yang dimaksud hadis adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW baik berupa ucapan, perbuatan, tingkah laku dan ketetapan sebelum atau sesudah diangkat menjadi Nabi, maka akan
Endang Soetari, Ilmu Hadits Kajian Riwayah dan Dirayah, (Bandung: CV. Mimbar Pustaka, 2008), h. 6 25 Ibid,. h. 7
24

14

terlihat kerancuan dari pengertian tersebut karena dari beberapa kitab yang memuat hadis padahal ungkapan tersebut tidak berasal dari Nabi SAW. Contoh: Pada Shahih Bukhari ada hadis yang berbunyi: Iman itu perkataan dan perbuatan, bertambah dan berkurang. Menurut Bukhari ini adalah ucapan para ulama di berbagai negeri (Fathul Bari 1:47). Kemudian dalam Sunan Baihaqi 7:206 dan dikeluarkan juga oleh Muslim tentang nikah muthah bunyinya: Dari Jabir RA: Sesungguhnya Ibnu Zubair melarang muthah, tetapi Ibnu Abbas memerintahkannya. Ia berkata: Padaku ada hadis. Kami melakukan muthah pada zaman Rasulullah SAW dan pada zaman Abu Bakar. Ketika Umar berkuasa, ia berkhotbah kepada orang banyak: Sesungguhnya Rasulullah SAW adalah Rasul ini, dan sesungguhnya Al-Quran itu adalah Al-Quran ini. Ada dua mutah yang ada pada zaman Rasulullah SAW tetapi aku melarangnya dan akan menghukum pelakunya. Yang pertama mut ah perempuan. Bila ada seorang lakilaki menikahi perempuan sampai waktu tertentu, aku akan melemparinya dengan batu.26 Hadis ini berisi tentang Khutbah Umar yang melarang nikah muthah yang sudah dikerjakan oleh para sahabat sejak masa Rasulullah sampai masa Abu Bakar RA. Para muhadditsin banyak yang menyamakan hadis dengan sunnah. Sedangkan ulama ushul fiqih mendefinisikan sunnah sebagai apa saja yang keluar dari Nabi SAW selain Al-Quran berupa ucapan, perbuatan, dan taqrir, yang menjadi sumber untuk hukum syari. Jadi tidak semua hadis mengandung sunnah. Seandainya seorang sahabat berkata, Aku mendengar Rasulullah SAW batuk tiga kali setelah takbiratul ihram, dapatlah kita menetapkan perilaku Nabi SAW dalam hadis itu sebagai sunnah? Anda berkata tidak, karena perbuatan Nabi SAW itu hanya kebetulan saja dan tidak mempunyai implikasi hukum. Batuk tidak bernilai syari.27 Seperti yang dikutip oleh Jalaluddin Rakhmat, Fazlur Rahman dalam Membuka Pintu Ijtihad (1983) menjelaskan bahwa sunnah adalah perumusan para ulama mengenai kandungan hadis. Ketika terjadi selisih
26 27

Jalaluddin Rakhmat, Pemahaman Hadis, h. 150 & 151 Ibid,. h. 152

15

paham, maka yang disebut sunnah adalah pendapat umum; sehingga pada awalnya sunnah sama dengan ijma. Karena sunnah adalah hasil penafsiran, nilai sunnah tentu saja tidak bersifat mutlak seperti Al-Quran. kesimpulan Fazlur Rahman itu didasarkan kepada sunnah dalam pengertian sunnah Rasulullah SAW. Dengan latar belakang uraian kita tentang hadis sebelumnya, kita akan menemukan juga sunnah para sahabat, bahkan sunnah para tabiin.28 C. Pendekatan Historis dan Antropologis dalam Metode Pemahaman Hadis Seperti yang kita ketahui penyampaian hadis sejak zaman Rasulullah SAW sampai pada masa kodifikasi terdiri dari beberapa cara seperti yang diterangkan oleh M. M. Azami yakni dengan cara sama, ard, ijazah, munawalah, kitabah, ilam, wasiyah dan wajaddah,29 namun dari beberapa cara tersebut lebih banyak disampaikan melalui hafalan, sehingga ada hadis Nabi SAW dalam satu peristiwa yang disampaikan dengan redaksi yang berbedabeda, sehingga disimpulkan bahwa periwatan hadis dari masa ini lebih banyak bil mana. Contoh hadis tentang al-Araby yang buang air kecil di dekat masjid:

: : : : , , :

.1

.2

.3

.4

Ibid,. h. 153 M. M. Azami, Studies In Hadith Methodology And Literature, (Indianapolis: American Trust Publications, 1977), h. 16
29

28

61

.... : : : .
03

5.

6.

7.

8.

Mayoritas umat islam memahami hadis dengan pendekatan tekstual dan baru sebagian kecil mereka yang mengembangkannya melalui pendekatan kontekstual, baik konteks historis maupun konteks antropologis. Ada beberapa : kriteria yang perlu mendapat perhatian serius, yakni .1 Penelitian dari Segi Sanad dan Matan Hadis Sanad memegang peranan penting, di mana sebuah hadis tidak dapat ditentukan statusnya sebelum diketahui sanadnya. Imam Syafii dan Ibn as:Sholah mengungkapkan


,Said Agil Husin al Munawar, Al-Quran Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki 521-421.(Jakarta: Ciputat Press, 2003), h
03

17


31

Dari ungkapan di atas Imam Syafii menyebutkan hadis ahad tidak dapat dijadikan hujjah, kecuali memenuhi dua syarat, yaitu, pertama hadis tersebut diriwayatkan oleh orang yang tsiqah (adil dan dhabith), kedua, rangkaian riwayatnya bersambung sampai kepada Nabi Saw. atau dapat juga tidak sampai pada Nabi. Adapun kriteria kesahihan matan seperti yang disimpulkan oleh Bustamin dari beberapa kriteria yang disampaikan oleh Al-Bagdadi ibn AlJauzi, dan Salah Al-Din Al-adabi adalah sebagai berikut : a. Sanadnya sahih setelah dilakukan takhrij al-hadis dan penelitian sanad hadis. b. Tidak bertentangan dengan hadis mutawatir atau hadis ahad yang sahih. c. Tidak bertentangan dengan petunjuk Al-Quran. d. Sejalan dengan akal sehat. e. Tidak bertentangan dengan sejarah.
f. Susunan pernyataan menunjukan ciri-ciri kenabian.32

Tolak ukur kesahihan matan yakni terhindar dari syadz dan illat. Syadz pada matan adalah adanya pertentangan atau ketidak sejalanan riwayat seorang perawi yang menyendiri dengan seorang perawi yang lebih kuat hapalan dan ingatannya dalam hal menukil matan hadis, yang mengakibatkan adanya penambahan, pengurangan, perubahan tempat (maqlub) dan berbagai bentuk kelemahan atau cacat lainnya.33 Syadz pada matan antara lain :
a. Sisipan teks hadis (al-idraj fi al-matn) yakni ucapan sebagian perawi

dari sahabat atau generasi sesudahnya besambung dengan matan hadis

Said Agil Husin Al Munawar, Al-Quran, h. 128-129. Bustamin dan M. Isa H. A Salam, Metodologi Kritik Hadis. (Jakarta: PT Raja Grapindo Persada, 2004). hlm 64. 33 Umi Sumbulah, Kritik Hadis Pendekatan Historis Metodologis (Malang: UIN-Malang Press, 2008) h. 103.
32

31

18

yang asli yang menyebabkan sulit untuk dibedakan antara matan yang asli dengan yang telah tersisipi dengan ucapan selain hadis.34
b. Pembalikan teks hadis (al-qalb fi al-matn), disebut hadis maqlub (fi al-

matn) yakni hadis yang perawinya menggantikan suatu bagian darinya dengan orang lain, dalam sebuah matan hadis secara sengaja atau tidak.35
c. Memiliki kualitas sama dan tidak bisa diunggulkan salah satunya

(idhtirab fi al-matn). Mudhtarib hadis adalah hadis yang diriwayatkan dari seorang perawi atau lebih dengan redaksi yang berbeda dengan kualitas yang sama sehingga tidak ada yang diunggulkan dan tidak dapat dikompromikan.36
d. Kesalahan ejaan (al-tashhif wa al-tahrif fi al-matni). Tashhif adalah

kesalahan yang terletak pada syakal, dan tahrif adalah kesalahan yang terletak pada huruf. Contoh yang tashhif adalah:


Sedangkan hadis yang sahih adalah:

.
Tashhif yang terjadi adalah berubah lafadz sittan menjadi syaian.


Kalimat Ubay pada hadis di atas mengalami tahrif dengan kalimat abiy, sehingga matan hadis tersebut adalah :


Illat pada matan hadis adalah suatu sebab tersembunyi yang terdapat pada matan hadis yang secara lahir tmpak berkualitas sahih. Sebab tersembunyi di sini bisa berupa masuknya redaksi hadis lain pada hadis tertentu, atau redaksi dimaksud memang bukan lafadz-lafadz yang mencerminkan sebagai hadis Rasulullah, sehingga pada akhirnya matan
34 35

Ibid., h. 104. Ibid., h. 105. 36 Ibid., h. 106.

19

hadis tersebut sering kali menyalahi nash-nash yang lebih kuat bobot akurasinya.37 2. Kontradiksi Antara Hadis dengan Ayat Al-Quran Ketika terjadi suatu kontradiksi antara sebuah hadis dengan ayat yang ada di dalam Al-quran, maka harus didahulukan Al-Quran dan periwayatnyalah yang keliru atau salah atau bil wahni, dan harus ditinggalkan sehingga Al-Quranlah yang diamalkan. Banyak contoh tentang hal ini, di mana para sahabat tidak berpendapat; itu bukan hadis Nabi tetapi itu bukan sabda Rasul yang bemar pada hakekatnya. Sebagai contoh antara lain: a. b. c.
d. e. f.

Nafkah untuk wanita yang telah diceraikan suaminya. dan tempat Disiksanya seorang mayit akibat tangis keluarganya. Anak zina. Ruyah Nabi dan Tuhannya. Asysyum. Nikah Mutah.38 Kontradiksi Antara Sebuah Hadis dengan Hadis Lain

tinggalnya.

3.

Ketika terjadi kontradiksi antara sebuah hadis dengan hadis lain, karena bervariasinya metode istidlal yang digunakan. Diperlukan adanya kejelian atau ketelitian untuk melakukan tarjih. Sebagai contoh pada kasus puasa mereka yang sampai tiba waktu Shubuh masih dalam keadaan junub, mandi dari senggama yang tidak sempat inzal, meratakan air ke dalam rambut ketika mandi janabah, wanita yang datang haid setelah melakukan thawaf ifadlah, memakai wangi-wangian bagi mereka yang mengenakan pakaian ihram.39 Apabila terjadi pertentangan hadis beberapa kriteria diteliti para muhadditsin dan hadis tersebut tidak boleh masuk dalam kategori mudraj atau idhthirab dan tidak memiliki unsur tashhif atau tahrif. Sedangkan untuk
37 38 39

Ibid., h. 107-108. Said Agil Husin Al Munawar, Al-Quran, h. 130 Ibid., h 131.

20

hadis yang bertentangan matannya dengan masa peristiwa itu terjadi atau ada penambahan dari seorang rawi dan mungkin bisa dipisahkan dari matan hadis maka hadis itu dihukumkan ketidak-sahihannya secara keseluruhan.40 4. Pemahaman dengan Penggunaan Rasio Dapat juga dilakukan pemahaman dengan menggunakan rasio. Standar yang harus diperhatikan adalah dengan memperhatikan illatnya itu sendiri, apakah ia manshushah yang bersifat taabbudi atau mustanbathah yang taaqquli yang dapat dikembangkan penafsiranya. Contoh hadis yang memerlukan metode pemahaman secara rasional, antara lain ialah hadis yang memerintahkan wudhu kembali apabila makan sesuatu yang disentuh api; wudhu bagi mereka yang membawa jenazah; mencuci tangan kepada mereka yang baru bangun tidur.41

Said Agil Husin Al Munawar, Metodologi Pemahaman Hadis: Kemungkinan pendekatan Historis dan antropologis (Kumpulan Makalah dalam Buku Pengembangan Pemikiran Terhadap Hadis, (Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI), 1996), h. 170 41 Said Agil Husin Al Munawar, Al-Quran, h. 132.

40

Anda mungkin juga menyukai