Anda di halaman 1dari 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.

Osteoporosis Secara harfiah kata osteo berarti tulang dan kata porosis berarti berlubang atau dalam istilah populer adalah tulang keropos. Zat kapur, kalsium adalah mineral terbanyak dalam tubuh kurang lebih 98% kalsium dalam tubuh terdapat di dalam tulang. Kelompok kerja WHO dan konsensus ahli mendefinisikan osteoporosis sebagai penyakit yang ditandai dengan rendahnya terjadinya massa tulang dan memburuknya tersebut tidak mikrostruktural jaringan tulang menyebabkan kerapuhan tulang sehingga meningkatkan the night)[1]. Osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik. Fraktur osteoporosis dapat terjadi pada tiap tempat meskipun fraktur yang berhubungan dengan kelainan ini meliputi thorak dan tulang belakang (lumbal), radius distal dan femur proksimal. Definisi tersebut tidak berarti bahwa semua fraktur pada tempat yang berhubungan dengan osteoporosis disebabkan oleh kelainan ini. Interaksi antara geometri tulang dan dinamika terjatuh atau kecelakaan (trauma), keadaan lingkungan sekitar, juga merupakan faktor penting yang menyebabkan fraktur. Hal ini semua dapat berdiri sendiri atau berhubungan dengan rendahnya densitas tulang[1]. Menurut American Association of Clinical Endocrinologists (AACE) puncak pembentukan massa tulang (Peak Bone Mass) terjadi pada usia 10-35 tahun dan sangat tergantung pada asupan kalsium dan aktivitas fisik. Gambar 2.1 (Meilnikow, 2005) menunjukkan perbedaan kepadatan tulang normal dengan yang keropos. risiko fraktur. Keadaan memberikan keluhan klinis kecuali apabila telah terjadi fraktur (Thief in

Normal

Keropos

Gambar 2.1 Konstruksi Tulang Normal dan Keropos

B.

Faktor - Faktor Risiko Osteoporosis Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab atau faktor-faktor yang berisiko terkena osteoporosis, antara lain: a) Riwayat Keluarga Seseorang termasuk berisiko tinggi bila orang tuanya juga menderita osteoporosis. Faktor genetik ini terutama berpengaruh pada ukuran dan densitas tulang. Wanita yang mempunyai ibu pernah mengalami patah tulang panggul, dalam usia tua akan dua kali lebih mudah terkena patah tulang yang sama [15]. Disamping itu keluarga juga berpengaruh dalam hal kebiasaan makan dan aktifitas fisik[16]. b) Jenis Kelamin Osteoporosis lebih banyak terjadi pada wanita. Hal ini disebabkan pengaruh hormon estrogen yang mulai menurun kadarnya dalam tubuh sejak usia 35 tahun. Selain itu, wanita pun mengalami menopause yang dapat terjadi pada usia 45 tahun[1]. Pada wanita postmenopause kerapuhan tulang terjadi lebih cepat dibandingkan dengan pembentukkan tulang[17].

c) Usia Kehilangan masa tulang meningkat seiring dengan

meningkatnya usia. Semakin bertambah usia, semakin besar risiko mengalami osteoporosis karena tulang menjadi berkurang kekuatan dan kepadatannya. Berkurangnya massa tulang mulai terjadi setelah usia antara 30 sampai 35 tahun. Patah tulang meningkat pada wanita usia >45 tahun, sedangkan pada laki-laki patah tulang baru meningkat pada usia >75 tahun. Penyusutan massa tulang sampai 3-6% pertahun terjadi pada 5-10 tahun pertama pascamenopause. Pada usia lanjut penyusutan terjadi sebanyak 1% per tahun. Namun, pada wanita yang memiliki faktor risiko penyusutan dapat terjadi hingga 3% per tahun[14,15]. Selain itu, pada usia lanjut juga terjadi penurunan kadar 1,25 (OH)2D yang disebabkan oleh kurangnya masukan vitamin D dalam diet, gangguan absorpsi vitamin D, dan berkurangnya vitamin D dalam kulit[18]. d) Aktifitas Fisik Kurang kegiatan fisik menyebabkan sekresi Ca yang tinggi dan pembentukan tulang tidak maksimum. Namun aktifitas fisik yang terlalu berat pada usia menjelang menopause justru dapat menyebabkan penyusutan tulang. Kurang berolahraga juga dapat menghambat proses pembentukan tulang sehingga kepadatan massa tulang akan berkurang. Semakin banyak bergerak dan olah raga, maka otot akan memacu tulang untuk membentuk massa[1,16]. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa akivitas fisik seperti berjalan kaki pada dasarnya memberikan pengaruh melindungi tulang dan menurunkan demineralisasi tulang karena pertambahan umur. Hasil penelitian Recker et.al dalam Groff dan Gropper (2000), membuktikan bahwa aktifitas fisik berhubungan dengan penambahan kepadatan tulang spinal[19,20]. Aktivitas fisik harus mempunyai unsur pembebanan pada tubuh atau anggota gerak

dan penekanan pada aksis tulang untuk meningkatkan respon osteogenik dari estrogen[20]. e) Status Gizi Zat gizi dan gaya hidup juga mempengaruhi kondisi tulang, meskipun hal ini mungkin lebih berhubungan dengan variabel luar seperti zat gizi dan aktifitas fisik yang tidak teratur. Perawakan kurus cenderung memiliki bobot tubuh cenderung ringan merupakan faktor risiko terjadinya kepadatan tulang yang rendah. Hubungan positif terjadi bila berat badan meningkat dan kepadatan tulang juga meningkat[25]. f)Kebiasaan Konsumsi Asupan Kalsium Kalsium (Ca), fosfor (P), dan magnesium (Mg) merupakan komponen utama pembentuk tulang. Sebagai mineral terbanyak, berat Ca yang terdapat pada kerangka tulang orang dewasa kurang lebih 1 kilogram. Penyimpanan mineral dalam tulang akan mencapai puncaknya (Peak Bone Mass atau PBM) sekitar umur 20-30 tahun. Pada priode PBM ini jika massa tulang tercapai dengan kondisi maksimal akan dapat menghindari terjadinya osteoporosis pada usia berikutnya. Pencapaian PBM menjadi rendah jika individu kurang berolahraga, konsumsi Ca rendah, merokok, dan minum alkohol[16]. Kalsium dan vitamin D dibutuhkan untuk pertumbuhan tulang yang kuat. Kalsium juga sangat penting untuk mengatur kerja jantung, otot, dan fungsi saraf. Semakin bertambahnya usia, tubuh akan semakin berkurang pula kemampuan menyerap kalsium dan zat gizi lain. Oleh karena itu, pria dan wanita lanjut usia membutuhkan konsumsi kalsium yang lebih banyak[22]. Konsumsi Ca yang dianjurkan National Osteoporosis Foundation (NOF) adalah 1000 mg untuk usia 19-50 th dan 1200mg

10

untuk usia 50th keatas. Sumber - sumber kalsium terdapat pada susu, keju, mentega, es krim, yoghurt dan lain lain[23]. g) Kebiasaan Merokok Wanita yang mempunyai kebiasaan merokok sangat rentan terkena osteoporosis karena zat nikotin di dalamnya mempercepat penyerapan tulang dan juga membuat kadar dan aktivitas hormon estrogen dalam tubuh berkurang sehingga susunan sel tulang tidak kuat dalam menghadapi proses pembentukan tulang[22]. h) Penyakit Diabetes Mellitus Orang yang mengidap DM lebih mudah mengalami osteoporosis. Pemakaian insulin merangsang pengambilan asam amino ke sel tulang sehingga meningkatkan pembentukkan kolagen tulang, akibatnya orang yang kekurangan insulin atau resistensi insulin akan mudah terkena osteoporosis. Kontrol gula yang buruk juga akan memperberat metabolisme vitamin D dan osteoporosis[15]. C. Etiologi Menurut etiologinya osteoporosis dapat dikelompokkan dalam osteoporosis primer dan osteoporosis sekunder. Osteoporosis primer terjadi akibat kekurangan massa tulang yang terjadi karena faktor usia secara alami. Osteoporosis primer ini terdiri dari dua bagian: 1. Tipe I (Post Menopausal) Terjadi 15-20 tahun setelah menopause (usia 53-75 tahun). Ditandai oleh fraktur tulang belakang tipe crush, Collesfracture, dan berkurangnya gigi geligi. Hal ini disebabkan luasnya jaringan trabekular pada tempat tersebut, dimana jaringan trabekular lebih responsif terhadap defisiensi estrogen.

11

2. Tipe II (Senile) Terjadi pada pria dan wanita usia 70 tahun. Ditandai oleh fraktur panggul dan tulang belakang tipe wedge. Hilangnya massa tulang kortikal terbesar terjadi pada usia tersebut[1]. Osteoporosis sekunder dapat terjadi pada tiap kelompok umur yang disebabkan oleh penyakit atau kelainan tertentu, atau dapat pula akibat pemberian obat yang mempercepat pengeroposan tulang. Contoh penyebab osteoporosis sekunder antara lain gagal ginjal kronis, hiperparatiroidisme (hormon paratiroid yang meningkat), hipertirodisme (kelebihan horman gondok), hipogonadisme (kekurangan horman seks), multiple mieloma, malnutrisi, faktor genetik, dan obat-obatan[1,26]. D. Patogenesis Tulang manusia terdiri atas 15% tulang trabekular dan 85% tulang kortikular. Tulang tidak hanya berfungsi sebagai stabilitator, tetapi juga sebagai cadangan kalsium, fosfat, magnesium, natrium, kalium, laktat, dan sitrat. Kalsium merupakan mineral yang sangat penting bagi tubuh. Bila terjadi kekurangan kalsium tubuh, kadar kalsium dapat dipertahankan stabil melalui mobilisasi kalsium dari tulang[14]. Tulang mengalami proses resorpsi dan formasi secara terus menerus yang disebut sebagai remodelling tulang. Proses remodelling tulang merupakan proses mengganti tulang yang sudah tua atau rusak, diawali dengan resorpsi atau penyerapan tulang oleh osteoklas dan diikuti oleh formasi atau pembentukan tulang oleh osteoblas. Proses remodelling diawali dengan pengaktifan osteoklast oleh sitokin tertentu. Sitokin yang berasal dari monosit-monosit dan yang berasal sel-sel osteoblast (sel induk) itu sendiri sangat berperan pada aktivitas osteoklas. Estrogen mengurangi aktivitas osteoklas, sedangkan bila kekurangan estrogen meningkatkan aktivitas osteoklas. Enzim

12

proteolitik,

seperti

kolagen

membantu

osteoklas

dalam

proses

pembentukkan tulang[2]. Pada tahap resorpsi, osteoklas bekerja mengkikis permukaan daerah tulang yang perlu diganti. Proses resorpsi ini ditandai dengan pelepasan berbagai metabolit yang sebagian dapat dipergunakan sebagai pertanda (marker) untuk menasah tingkat proses dinamisasi tulang. Pada proses pembentukkan osteoblast mulai bekerja. Sel yang berasal dari sel mesenhim ini menyusun diri pada daerah permukaan berongga dan membentuk matriks baru (osteosid) yang kelak akan mengalami proses mineralisasi melalui pembentukkan kalsium hidroksiapetit dan jaringan matrik kolagen[27]. Dalam proses pembentukan tulang, hal yang sangat penting adalah koordinasi yang baik antara osteoklas, osteoblas, dan sel-sel endotel. Selama sistem ini berada dalam keseimbangan, pembentukkan dan penghancuran tulang akan selalu seimbang. Pada usia reproduksi, di mana fungsi ovarium masih baik, terdapat keseimbangan antara proses pembentukkan tulang (osteoblas) dan proses laju pergantian tulang (osteoklas) sehingga tidak timbul pengeroposan tulang. Namun, ketika memasuki usia klimakterium, keseimbangan antara osteoklas dan osteobals mulai mengalami gangguan, fungsi osteoblas mulai menurun dan pembentukkan tulang baru pun berkurang, sedangkan osteoklas menjadi hiperaktif dan dengan sendirinya penggantian tulang berlangsung sangat cepat (high turnover). Aktivitas osteoklas ditandai dengan terjadinya pengeluaran hidroksiprolin dan piridinolincrosslink melalui kencing, serta asam fosfat dalam plasma. Hormon paratiroid dan 1,25 (OH)2 vitamin D3 mengaktifkan osteoklas sedangkan kalsitonin dan estradiol menghambat kerja osteoklas. Resopsi tulang menyebabkan mobilisasi kalsium dan hal ini menyebabkan berkurangnya sekresi hormon paratiroid akibatnya pembentukkan 1,25 (OH)2 vitamin D3 serta resorpsi kalsium oleh usus berkurang[14].

13

E.

Diagnosis Pengukuran densitas tulang merupakan kriteria utama untuk menegakkan diagnosis dan monitoring osteoporosis dengan densitometri, computed tomography scan (CT Scan), atau ultrasound. Diagnosis osteoporosis dapat dilakukan dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada saat ini bakuan untuk diagnosis osteoporosis diperoleh dengan menggunakan teknik Dual Energy X-ray Absorpsiometry (DXA) yang mengukur kepadatan tulang sentral. kelangkaan dan mahalnya DXA untuk sementara dapat digantikan dengan alat Ultrasound Densitometry atau Quantitative Ultrasound (QUS) yang lebih murah, mudah dipindahkan dan tidak terdapat efek radiasi tetapi tidak dapat mengukur secara langsung BMD[2]. Beberapa teknik yang dapat digunakan untuk mengukur kepadatan mineral tulang adalah sebagai berikut : a. Dual-Energy X-ray Absorptiometry (DEXA), menggunakan dua sinarX berbeda, dapat digunakan untuk mengukur kepadatan tulang belakang dan pangkal paha. Sejumlah sinar-X dipancarkan pada bagian tulang dan jaringan lunak yang dibandingkan dengan bagian yang lain. Tulang yang mempunyai kepadatan tulang tertinggi hanya mengizinkan sedikit sinar-x yang melewatinya. DEXA merupakan metode yang paling akurat untuk mengukur kepadatan mineral tulang. DEXA dapat mengukur sampai 2% mineral tulang yang hilang tiap tahun. Penggunaan alat ini sangat cepat dan hanya menggunakan radiasi dengan dosis yang rendah tetapi lebih mahal dibandingkan dengan metode ultrasounds. Satuan : gr/cm2. b. Peripheral Dual-Energy X-ray Absorptiometry (P-DEXA), merupakan hasil modifikasi dari DEXA. Alat ini mengukur kepadatan tulang anggota badan seperti pergelangan tangan, tetapi tidak dapat mengukur kepadatan tulang yang berisiko patah tulang seperti tulang belakang atau pangkal paha. Jika kepadatan tulang belakang dan pangkal paha sudah diukur maka pengukuran dengan

14

P-DEXA tidak

diperlukan. Mesin P-DEXA mudah

dibawa,

menggunakan radiasi sinar-X dengan dosis yang sangat kecil dan hasilnya lebih cepat dan konvensional dibandingkan DEXA. Satuan : gr/cm2. c. Dual Photon Absorptiometry (DPA), menggunakan zat radioaktif untuk menghasilkan radiasi. Dapat mengukur kepadatan mineral tulang belakang dan pangkal paha, juga menggunakan radiasi sinar dengan dosis yang sangat rendah tetapi memerlukan waktu yang cukup lama. Satuan : gr/cm2. d. Ultrasounds, pada umumnya digunakan untuk tes pendahuluan. Jika hasilnya mengindikasikan kepadatan mineral tulang rendah maka dianjurkan untuk tes menggunakan DEXA. Ultrasounds menggunakan gelombang suara untuk mengukur kepadatan mineral tulang, biasanya pada telapak kaki. Sebagian mesin melewatkan gelombang suara melalui udara dan sebagian lagi melalui air. Ultrasounds dalam penggunaannya cepat, mudah dan tidak menggunakan radiasi seperti sinar-X. Salah satu kelemahan ultrasounds adalah tidak dapat menunjukkan kepadatan mineral tulang yang berisiko patah tulang karena osteoporosis. Penggunaan ultrasounds juga lebih terbatas dibadingkan DEXA. Satuan : gr/cm2. e. Quantitative Computed Tomography (QCT), adalah suatu model dari CT-scan yang dapat mengukur kepadatan tulang belakang. Salah satu model dari QCT disebut peripheral QCT (pQCT) yang dapat mengukur kepadatan tulang anggota badan seperti pergelangan tangan. Pada umumnya pengukuran dengan QCT jarang dianjurkan karena sangat mahal, menggunakan radiasi dengan dosis tinggi dan kurang akurat dibandingkan dengan DEXA, P-DEXA atau DPA. Satuan : gr/cm2[27]. Hasil pengukuran kepadatan tulang dapat disajikan dalam beberapa bentuk, yaitu :

15

a. T-score T-score hasil pengukuran kepadatan tulang dibandingkan dengan nilai rata-rata kepadatan tulang sehat pada umur 30 tahun. Nilai kepadatan mineral tulang selanjutnya dilaporkan sebagai standar deviasi dari mean kelompok yang direferensikan. 1) Nilai negatif (-) mengindikasikan bahwa tulang mempunyai kepadatan yang lebih kecil dibandingkan dengan rata-rata kepadatan tulang sehat pada usia 30 tahun. 2) Nilai positif (+) mengindikasikan bahwa tulang mempunyai kepadatan mineral lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata kepadatan tulang sehat pada usia 30 tahun. Tabel 2.1 menunjukkan kepadatan tulang berdasarkan T-score menurut World Health Organization (WHO).
Tabel 2.1 Kepadatan Tulang Berdasarkan T-Score

Kategori Normal Osteopenia Osteoporosis Osteoporosis parah

Nilai T-Score -1 SD < 2.5 -2.5 SD <-1 < -2.5 < -2.5 dan adanya satu atau lebih fraktur

b.

Z-score. Nilai kepadatan tulang yang diperoleh dibandingkan dengan hasil yang lain dari kelompok orang yang mempunyai umur, jenis kelamin dan ras yang sama. Nilai Z-score hasil pengukuran kepadatan tulang diberikan dalam standar deviasi (SD) dari nilai rata-rata kelompoknya. Nilai kepadatan mineral tulang selanjutnya dilaporkan sebagai standar deviasi dari mean kelompok yang direferensikan. 1) Nilai negatif (-) mengindikasikan bahwa tulang mempunyai kepadatan yang lebih kecil dibandingkan dengan rata-rata kepadatan tulang yang lain dalam kelompoknya. 16

2)

Nilai positif (+) mengindikasikan bahwa tulang mempunyai kepadatan mineral lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata kepadatan tulang yang lain dalam kelompoknya.

Z-score direkomendasikan bagi pria dan wanita yang berusia muda serta anak-anak. Penilaian kepadatan tulang dengan menggunakan ZScore disajikan menurut International Society for Clinical Densitometry (ISCD) sebagaimana pada tabel 2.2. Tabel 2.2. Kepadatan Tulang Berdasarkan Z-Score Kategori Normal Kepadatan tulang rendah Z-Score -2 SD < -2 SD

F.

Menopause Menopause adalah berhentinya siklus perdarahan uterus yang teratur[29]. Menopause merupakan haid terakhir pada wanita yang juga sering diartikan sebagai berakhirnya fungsi reproduksi seorang wanita. Seorang wanita dikatakan menopause minimal 12 bulan setelah menstruasi yang terakhir, ditandai dengan gejala-gejala vasomotor dan urogenital misalnya kering vagina dan dispareunia[30]. Masa peralihan dalam kehidupan normal seorang wanita mulai dari akhir masa reproduktif kehidupan sampai masa non reproduktif disebut masa senja atau masa klimakterium[31]. Masa klimakterium meliputi perimenopause, menopause dan pasca menopause. Pada wanita terjadi antara umur 40-65 tahun. Perimenopause adalah masa 4-5 tahun sebelum menopause, saat pertama kali wanita meraskan gejala menopause seperti hot flushes (rasa panas) dan berkeringat dimalam hari. Menstruasi biasanya kurang dapat diprediksi

17

selama tahap ini. Pasca menopause adalah masa 3-5 tahun setelah menopause[32]. Semakin tua, folikel seorang wanita akan semakin resisten terhadap stimulasi gonadotropin, akibatnya FSH dan LH di dalam darah akan meningkat. Peningkatan FSH dan LH akan menyebabkan stimulasi stromal terhadap ovarium, yang menyebabkan peningkatan estrone dan penurunan kadar estradiol. Karenanya menopause dapat dideteksi dengan rendahnya kadar estrogen diperedaran darah. Pada masa ini, terutama pada masa post menopause, estrogen didapat dari stroma ovarium (bukan dari folikel langsung) dan dari sekresi androstenedion yang diaromatisasi menjadi estrone di sirkulasi perifer. Estrogen yang demikian (estrone) dinamakan estrogen ekstragonadal dan merupakan pemasok utama estrogen pada wanita postmenopause. Secara klinis indikasi menopause dapat dilihat dari kadar FSH darah[30]. G. Kejadian Osteoporosis pada Wanita Postmenopause Risiko osteoporosis pada wanita lebih besar dibanding pria karena wanita memiliki hormon estrogen yang dihasilkan setiap mengalami siklus menstruasi, dimana hormon ini merupakan hormon yang berfungsi sebagai pelindung tulang. Dalam keadaan normal hormon estrogen yang berasal dari sel telur akan merangsang aktifitas osteoblas dalam pembentukan tulang. Kadar estrogen yang sangat rendah akan menghambat kerja osteoblas dan meningkatkan kerja osteoklas sehingga remodelling tulang tidak seimbang dan lebih banyak resorpsi tulang sehingga risiko terjadinya osteopenia atau awal penurunan massa tulang sampai osteoporosis sehingga tulang menjadi rapuh dan mudah patah sangat mungkin terjadi[33].

18

H.

Kerangka Teoritis Berdasarkan uraian dalam tinjauan pustaka maka dapat dirumuskan kerangka teori sebagai berikut: Konsumsi makanan mengandung Ca kurang Jenis kelamin usia Menurunnya intake Ca kepadatan tulang osteoporosis Defisiensi hormon estrogen Diabetes mellitus Aktifitas fisik Kebiasaan merokok

Status gizi Riwayat keluarga

Menopause

Gambar 2.2 Kerangka Teoritis Sumber : Modifikasi 1, 14, 15, 16, 22, 25,33 I. Kerangka Konseptual Variabel bebas Riwayat keluarga Aktivitas fisik Status Gizi Kebiasaan mengkonsumsi makanan berkalsium tinggi Gambar 2.3 Kerangka Konseptual Sumber : Modifikasi 1, 15,16, 22, 25 Variabel terikat

Kepadatan tulang

19

J.

Hipotesis Berdasarkan uraian latar belakang dan tinjauan pustaka, disusun hipotesis penelitian sebagai berikut : 1. Ada hubungan riwayat keluarga dengan kepadatan tulang. 2. Ada hubungan aktivitas fisik dengan kepadatan tulang. 3. Ada hubungan status gizi dengan kepadatan tulang. 4. Ada hubungan kebiasaan mengkonsumsi makanan berkalsium tinggi dengan kepadatan tulang.

20

Anda mungkin juga menyukai