Anda di halaman 1dari 6

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565 Volume 13 Nomor 2 Desember 2010 (Volume

13, Number 2, December, 2010) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

KARAKTERISASI SIFAT KIMIA FISIKA TERAK PENGOLAHAN BIJIH BESI SEBAGAI PENCAMPUR MORTAR/ BAHAN KERAMIK
Nirwan Syarif Jurusan Kimia, FMIPA Universitas Sriwijaya Jl. Raya Palembang Prabumulih Km 32 Inderalaya Ogan Ilir Sumsel ABSTRAK KARAKTERISASI SIFAT KIMIA FISIKA TERAK PENGOLAHAN BIJIH BESI SEBAGAI PENCAMPUR MORTAR/ BAHAN KERAMIK. Tulisan ini melaporkan sifat kimia dan fisika dari terak yang dihasilkan dari hasil pengolahan bijih besi. Secara kimia, terak dipelajari dari komposisi oksida yang menyusun terak. Dari persentase masing-masing oksida ditentukan nilai kebasaannya dengan menggunakan rumusan (CaO + MgO + Al2O3)/SiO2. Nilai kebasaan ini terkait makrostruktur dan sifat fisika terak. Hasil pengumpulan sampel terak menunjukan bahwa makrostruktur terak terbagi menjadi dua, yaitu yang bersifat gelas dan pori. Sifat ini dipengaruhi oleh kandungan oksida dalam terak dan metoda pendinginan yang diterapkan pada terak saat lelehan terak dikeluarkan dari tanur. Oksida yang dominan terkandung dalam terak adalah CaO dan SiO2. Nilai kebasaan terak dapat digunakan untuk menilai aktivitas dari oksida-oksida dalam terak dimana porositas, absorpsi air, persentase uap air dan densitas terak memiliki keterkaitan dengan kebasaan terak. Selain itu, makrostruktural terak memiliki keterkaitan dengan kebasaan terak. Katakunci: terak, tanur, kebasaan, makrostruktur, porositas, oksida ABSTRACT CHARACTERIZATION OF CHEMICAL AND PHYSICAL PROPERTIES OF SLAG FROM IRON ORE PROCESSING FOR MORTAR/ CERAMIC MATERIAL MIXTURES. This paper reported the chemical and physical properties of slag that generated from iron ore processing. The chemistry composition of slag oxides have been studied From the percentage of each oxide, base value was determined using the formula (CaO + MgO + Al2O3) / SiO2. This value is linked macrostructure and slag physical properties. The results showed that the slag macrostructure divided into glass character and pores character. This properties was influenced by the content of oxide in slag and cooling method molten slag removed from the furnace. The dominant oxide contained in the slag are CaO and SiO2. Slag basicity values can be used to assess the activity of oxides in the slag where the porosity, water absorption, percentage of moisture and density are related to the basicity slag. In addition, macrostructure of slag have relationship with slag basicity Keywords : slag, furnace, basicity, macrostructure, porosity, oxides

PENDAHULUAN Terak adalah lelehan campuran oksida logam dan silikat, kadang-kadang terdapat juga fosfat dan borat, sulfit, karbida dan halida. Terak didapatkan dari peleburan mineral, yang mengandung mineral, yang mengandung unsur-unsur yang tidak dapat direduksi oleh proses reduksi dalam peleburan mineral. Terak sistem SiO2-CaO-Al2O3 [1-3] dapat dikatakan sebagai limbah padat tanur pengolahan bijih besi. Untuk itu perlu dicari jalan untuk mengatasi limbah tersebut. Salah satu cara mengatasinya adalah dengan memanfaatkan terak sebagai campuran bahan mortar atau bahan keramik. Namun sebelumnya perlu untuk mengetahui sifat fisika dan kimia dari terak. Tulisan ini melaporkan sifat kimia dan fisika terak yang dihasilkan dari hasil pengolahan bijih besi Lampung. Dalam terak yang kaya akan silika, afinitas alumina, magnesia dan kalsia tidak begitu tampak, tetapi dalam terak yang miskin akan silika; afinitas ini akan begitu nyata dengan adanya penurunan temperatur pelelehan terak. Adanya penurunan titik leleh ini akan mempengaruhi sifat fisika terak [4], seperti penilaian makrostruktur, absorbsi air, porositas dan densitass [5-7]. Terak yang memiliki nilai porositas air tinggi, dapat mengabsorbsi air lebih tinggi. Sebaliknya, keramik dengan porositas yang rendah akan mengabsorbsi air lebih sedikit. Bertambahnya porositas, maka permukaan yang akan mengabsorbsi air bertambah luas. Bertambahnya permukaan menyebabkan jumlah yang diabsorbsi pun meningkat. Porositas terak terjadi akibat ruangan yang ditinggal oleh partikel air yang terlepas akibat pemanasan, tetapi tidak terdapat partikel halus yang menggantikan kedudukan partikel air. Rapat 39

Nirwan Syarif : Karakterisasi Sifat Kimia Fisika Terak Pengolahan Bijih Besi sebagai Pencampur Mortar/ Bahan Keramik

tataan terak yang lebih besar dapat diperoleh dengan mencampurkan butiran kasar dan halus. Porositas dikurangi karena yang halus mengisi rongga-rongga butiran kasarnya [8]. Bila rongga tidak terisikan merupakan tempat mengabsorpsi air. Terak yang dimiliki absorbsi air lebih besar dari 2% diklasifikasikan sebagai terak berpori (porous) [9]. Berat jenis terak ditentukan oleh jenis dan jumlah penyusunnya. Berat jenis terak berasal dari peleburan bijih besi. Berat jenis tersebut meningkat dengan meningkatnya kandungan kapur. Tetapi bila kandungan oksida besi cukup banyak, maka berat jenis terak dipengaruhi oleh kandungan besi oksida [10]. Selain itu, oksida-oksida yang berada dalam terak juga mempengaruhi sifat kimia terak [11]. Sifat kimia yang dengan mudah dapat diverifikasi dari perbedaan oksida terak seperti pH dan kebasaan terak [12, 13]. Terak yang kaya akan kapur disebut sebagai basa, sedangkan yang kaya akan silika disebut dengan asam [14, 15]. Hal tersebut merupakan analogi dari istilah yang biasa digunakan pada larutan yang berpelarut air; jika padatan terak dilarutkan dengan air, larutan yang kaya akan kapur akan menunjukan pH yang lebih tinggi dibandingkan dengan larutan yang akan silika. Berbeda dengan pengukuran pH larutan, dimana pH adalah ukuran aktifitas ion hidrogen, pada pengukuran pH terak, pH adalah ukuran aktifitas ion oksigen larutan terak. Besaran ini digunakan untuk menentukan kebasaan terak, dengan mengukur aktifitas oksida, CaO, SiO2 dan Al2O3. Kebasaan terak, secara umum ditunjukan dengan bilangan kebasaan, B = (CaO + MgO + Al2O3)/SiO2 [6, 10, 16]. Metoda analisis yang dilakukan dalam penelitian ini mengaju pada standar industri. Penentuan kandungan oksida logam terak merupakan modifikasi prosedur yang dikembangkan oleh Vogel [17].

METODOLOGI PENELITIAN Penentuan kandungan oksida. Sampel serbuk terak dicampurkan dengan 30 mL air raja dan dipanaskan selama 30 menit. Air suling kemudian ditambahkan, didinginkan dan disaring dengan kertas saring ashless no.41. Residu adalah SiO2 dan ditimbang. Filtrat diencerkan sampai 250 mL (larutan A). Larutan A kemudian dibagi menjadi 3 bagian: 1) dipipetir 50 mL larutan A ditambah indikator metil merah, dipanaskan sampai mendidih; setelah mendidih ditambahkan NH4OH, didinginkan dan disaring dengan kertas saring ashless no.41; saring residu (R2O3) dan ditimbang. 2) pipetir 10 mL HNO3 2 N, beberapa tetes KMnO4 0,1N, KCNS 1,5M 25 mL, air suling hingga 100 mL; absorbansi Fe2O3 dibaca pada panjang gelombang 420 nm dan ditentukan konsentrasinya dari kurva kalibrasi 3) pipetir 50 mL larutan A ditambahkan 0,5 g ammonium oksalat. Larutan dipanaskan hingga mendidih dan ditambahkan NH4OH, dinginkan dan saring; residu adalah CaO dan filtrat (larutan B). Larutan B kemudian diencerkan hingga 250 mL. Pipetir 50 mL dan ditambahkan 10 mL larutan buffer 10, dititrasi dengan EDTA 0,01 N dengan indikator eriochrom black T. Konsentrasi MgO ditentukan dari EDTA yang dipakai. Penentuan porositas dan absorbsi (JIS R 2205-1974). Benda uji dikeringkan di oven pengering pada temperatur 100-110 C sampai mencapai berat konstan dan ditimbang dengan berat W1 (g). Benda uji direndam dalam air dan direbus di hot plate selama lebih dari 3 jam. Setelah dingin, benda uji ditimbang dalam ember terbuat dari kawat berdiameter kurang dari 1 mm. Berat yang ditimbang adalah W2 (g). Benda uji dikeluarkan dari air, dan dibersihkan permukaannya dengan kain yang mudah menyerap air. Benda uji ditimbang dengan berat W3 (g). Adsorbsi dan porositas ditentukan dengan perhitungan. Angka Adsopsi = (W3-W1)/W1 x 100% (1) Angka Porositas = (W3-W1)/(W3-W2) x 100% (2) Penentuan Densitas. Beaker glass kosong ditimbang (berat A, g) kemudian di-isi dengan air sampai batas (berat B, g). Beaker glass kemudian dikosongkan dan keringkan kembali. Dilanjutkan dengan dimasukan ke dalam beaker bahan uji yang telah dihaluskan sebanyak setengah isinya dan diamkan beberapa saat dan timbang (berat C, g). Air suling ditambahkan ke dalam beaker glass yang berisi setengah bagian bahan uji sampai penuh dan didiamkan satu jam pada temperatur 25 C dan timbang (berat D, g). Densitas dihitung dengan rumus.

40

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.2 2010

ISSN 1410-9565

Densitas = (C A) /((B+C)-(A+D)) (3) Penentuan pH rendaman. pH air suling diukur terlebih dahulu. Sebanyak 2 g sampel dimasukan ke dalam beaker glass dan ditambahkan air suling sampai 100 mL. Setelah didiamkan beberapa saat, pH rendaman diukur. Sampel kemudian direndam selama beberapa hari, pH rendaman diukur kembali. Semua pengukuran dilakukan sebanyak tiga kali pengulangan. Pengukuran kandungan oksida, %uap air, pH rendaman, adsorpsi, porositas dan densitas dilakukan terhadap beberapa sampel terak. Dari hasil pengukuran kandungan oksida kemudian dapat dihitung nilai kebasaan dari sampel terak. HASIL DAN PEMBAHASAN Besi diproduksi dengan cara menambahkan besi, bijih besi, besi bekas, bahan tambahan (batu kapur dan atau dolomite) ke dalam tanur bersama-sama dengan batubara, arang dan atau biomassa yang digunakan sebagai bahan bakar. Bahan bakar ini kemudian terbakar membentuk CO, yang kemudian mereduksi bijih besi menjadi lelehan besi yang merupakan hasil utama proses ini. Selain itu dihasilkan juga lelehan oksida-oksida selain besi yang disebut terak. Karena bahan dasar proses ini adalah bahan alami dan bahan bakar yang digunakan beragam, maka baik besi maupun terak yang dihasilkan menjadi beragam. Terak dikeringkan dengan cara membiarkan lelehan mengering di lapangan terbuka atau dengan dibantu oleh siraman air atau ditiupkan udara tambahan dan uap air. Terak yang dipakai dalam penelitian ini dibedakan menjadi tujuh jenis, seperti yang disajikan pada tabel 1. Ketujuh jenis terak tersebut merupakan jenis yang paling banyak dihasilkan oleh tanur peleburan bijih besi. Semua jenis terak tersebut kemudian dikarakterisasi kandungan kimianya. Secara makrostruktur, terak dapat dibedakan lagi menjadi dua jenis, yaitu yang bersifat gelas (glassy) dan yang berpori, seperti sponge (porous). Sifat ini terkait dengan keberadaan oksida-oksida logam yang terkandung dalam terak [18] dan metoda pendinginan yang diterapkan [19]. Jika lelehan terak dituangkan pada lapangan terbuka dan secara perlahan didinginkan pada kondisi ambang, suatu struktur kristalin terbentuk dan terak yang terbentuk menjadi keras dan memadat. Terak yang selanjutnya dapat dikeraskan dengan penambahan air atau uap air sehingga laju pendinginan dan solidifikasi dipercepat dan meningkatkan pembentukan gelembung/pori dalam terak sehingga terak menjadi lebih ringan dan membentuk busa. Pada keadaan lain dimana pendinginan yang dilakukan berlangsung sangat cepat, terak yang dihasilkan menjadi lebih menjadi bersifat gelas dan kristal mineral yang terbentuk menjadi lebih sedikit. Proses ini dihasilkan dari pembentukan potonganpotongan kecil berukuran pasir atau frit, yang biasanya merupakan material yang sangat rapuh. Selain itu, sifat fisika terak sangat bergantung kepada komposisi oksida yang terkandung dalam terak. Hasil pengukuran menunjukan kandungan silika berkisar antara 37.93 45.97%, kalsia 24,80 38,95%, magnesia 1,64 2,91%, alumina 4,59 5,51%, dan oksida sisa 9,69 26,67. Hasil menunjukan bahwa kandungan silika dan kalsia bervariasi dan terdapat dalam jumlah yang relatif besar. Hal ini normal, karena dalam prosesnya, kedua komponen ini berasal dari bahan dasar yang dipakai. Keduanya secara alami memang mendominasi bahan dasar yang diumpankan ke dalam tanur. CaO berasal dari kandungan utama batu kapur atau dolomit dan SiO2 berasal dari bijih besi. Batu kapur adalah kalsium karbonat, CaCO3 yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam proses untuk menghilangkan pengotor dalam bijih besi. Kalsium karbonat diuraikan oleh panas tanur menghasilkan CaO dan karbon dioksida. Sebagai pengotor utama dari bijih adalah silika, silikon dioksida. SiO2 tetap berwujud padat pada temperatur tanur. Bila keadaan ini dibiarkan terjadi, saluran dalam tanur menjadi terhalang. Adalah tugas CaO untuk mencairkan SiO2 dengan membentuk kalsium silikat. Tabel 1. Hasil pengukuran kandungan oksida, pH rendaman sampel terak I Warna hitam II coklat III hitam gelap Porous IV hijau muda Porous V hijau lumut Glassy VI hijau gelap Glassy VII abuabu Glass

Makrostruktur Kandungan Oksida

Glassy

Porous

41

Nirwan Syarif : Karakterisasi Sifat Kimia Fisika Terak Pengolahan Bijih Besi sebagai Pencampur Mortar/ Bahan Keramik

SiO2 CaO MgO Al2O3 Fe total Oksida Sisa Nilai Kebasaan pH rendaman 0 hari 1 hari

45.97 27.09 2.38 4.95 0.25 19.36 0.58

43.24 38.95 2.46 5.32 0.33 9.69 0.85

39.28 32.82 2.91 5.32 1.51 18.17 0.8

37.02 33.68 1.64 5.51 0.27 21.87 0.83

43.35 24.8 2.67 4.84 0.34 24 0.57

43.97 26.82 1.97 4.59 1.16 21.5 0.59

37.93 26.88 2.44 5.41 0.68 26.67 0.68

9.04 8.14

9.89 8.32

10.02 8.81

9.22 8.21

8.99 8.06

9.48 8.49

9.49 8.17

Terak dari tanur bijih besi secara kimia dan mineralogi merupakan kumpulan aggregat dari silikat dan aluminosilikat dari kalsium dan magnesium dan senyawa lainnya termasuk sulfida, sisa besi, mangan dan bahan runut lainnya [20]. Secara mineralogi, terak bijih besi mengandung mellite, yang merupakan larutan padat dari gehlenite, 2CaO.Al2O3.SiO2 dan akermanite, 2CaO.MgO.2SiO2 dengan sejumlah kecil kalsium sulfit (oldhamite) < 1%. Dalam beberapa sampel juga terdapat merwinite (3CaO.MgO.2SiO2) atau dikalsium silikat 2CaO.SiO2 [21]. Tabel 1 memperlihatkan kandungan oksida sisa, yang tidak dilakukan pengukuran, dalam jumlah yang cukup besar. Secara kimia kandungan ini dapat berasal dari beberapa spesi kimia berupa arang dan beberapa hidroksida dari Ca, Mg, Zn dan Pb. Besi total yang diukur merupakan gabungan dari berat magnetite, Fe3O4, hematite, Fe2O3, wuestite, 0 FeO dan -Fe, Fe [22]. Perbandingan oksida yang menyusun terak dapat diwakili oleh nilai kebasaan terak. Ini dilakukan untuk memberikan penilaian bagi aktivitas oksida sehingga kemudian dapat dikaitkan dengan aplikasi terak, misalnya sebagai bahan dasar semen atau sebagai bahan tambahan aggregat jalan [23]. Selain itu nilai kebasaan terak juga berhubungan dengan sifat makroskopis terak [10]. Hasil perhitungan menunjukan bahwa terak dari jenis II, III dan IV merupakan terak yang porous dengan nilai basa yang tinggi, sedangkan terak glassy memiliki nilai basa yang lebih rendah. Secara spesifik, pori terak akan meningkat dengan bertambahnya kandungan oksida basa seperti CaO atau MgO. Sebaliknya akan lebih cenderung menjadi gelas dengan penambahan oksida amfoter seperti Al2O3 atau TiO2. Keberadaan oksida-oksida ini terkait dengan perubahan jarak antar atom unsur-unsrut yang menyusun struktur kristal mineral yang terkandung dalam terak. Tabel 2. Hasil pengukuran nilai absorptivitas, porositas dan densitas sampel terak I % Uap Air Absorbsi Air Porositas Densitas 0.10 0.16 0.39 2.04 II 0.18 0.61 1.28 1.94 III 0.15 0.25 0.62 2.48 IV 0.17 0.25 0.56 2.15 V 0.12 0.12 0.24 2.39 VI 0.17 0.17 0.38 2.16 VII 0.12 0.18 0.42 2.29

Variasi pada kandungan oksida menyebabkan adanya variasi pada sifat fisika terak seperti densitas, porositas dan absorbsi air (harus didukung dengan statistika korelasi antar parameter). Terak berfase gelas memiliki porositas yang lebih kecil dibandingkan dengan terak yang tidak berfase gelas. Secara kimia, densitas, porositas dan absorbsi air terak ini juga dapat dijelaskan dengan jarak antar atom unsur-unsur yang menyusun struktur kristal. Densitas terak berhubungan dengan angka kebasaan secara langsung.

42

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.2 2010

ISSN 1410-9565

3
Nilai Basa % Uap Air Absorbsi Air Porositas Densitas

2.5

1.5

0.5

0 V I VI VII III IV II

Gambar 1. Kecenderungan nilai porositas, densitas, %uap air dan absorbsi air terhadap kenaikan nilai kebasaan terak. Pada tabel 1 ditampilkan nilai pH dari rendaman terak. Hasil pengukuran menunjukan bahwa nilai pH rendaman terak berkisar antara 8-10. Rendaman pada hari pertama cenderung lebih basa dari pada rendaman pada hari kedua. Nilai pH ini berhubungan dengan lepasnya Ca2+, Mg2+ dan HOsetelah berada dalam air [24]. Dimana hidroksida dari Ca dan Mg berada dalam keadaan bebas dalam matriks terak. Keberadaan ion hidroksida menyebabkan rendaman terak bersifat basa. Pada hari kedua + pH terak mulai dinetralkan oleh H karena sulfida dalam terak mulai terlepas dalam matriks terak [25]. Bila data dari tabel 1 dan tabel 2 disusun kembali, maka didapatkan grafik kecenderungan nilai porositas, densitas, %uap air dan absorbsi terhadap kenaikan nilai kebasaan terak. Dari grafik tersebut dapat dilihat bahwa nilai porositas, %uap air dan absorbsi air meningkat dengan meningkatnya nilai kebasaan, sebaliknya nilai densitas mengalami penurunan. Hal ini sejalan dengan penjelasan terdahulu dimana pori terak akan meningkat dengan bertambahnya kandungan oksida basa (nilai kebasaan). Karena nilai %uap air merupakan proses absorbsi air, maka kecenderungan keduanya akan sama. Berdasarkan Tabel 2, maka karakter sampel nomor 6 paling baik digunakan sebagai campuran bahan mortar atau keramik. KESIMPULAN Makrostruktur terak terbagi menjadi dua, yaitu yang bersifat gelas dan pori. Sifat ini dipengaruhi oleh kandungan oksida dalam terak dan metoda pendinginan yang diterapkan pada terak saat lelehan terak dikeluarkan dari tanur. Oksida yang dominan terkandung dalam terak adalah CaO dan SiO2. Nilai kebasaan terak dapat digunakan untuk menilai aktivitas dari oksida-oksida dalam terak dimana porositas, absorpsi air, %uap air dan densitas terak memiliki keterkaitan dengan kebasaan terak. Selain itu, makrostruktural terak memiliki keterkaitan dengan kebasaan terak. DAFTAR PUSTAKA [1] Itoh, T., Rapid Discrimination of the Character of the Water-cooled Blast Furnace Slag Used for Portland Slag Cement. Journal of Material Science, 39(6), 2191-2193 (2004). [2] Masaki, I. and M. Kazuki, Chlorine-containing Phases in CaO-SiO2-Al2O3 Slags and Their Dissolution Behavior into Aqueous Solution. Tetsu to Hagane, 91(4), 421-427 (2005). [3] Barbieri, L., A.M. Ferrari, I. Lancellotti, C. Leonelli, J.M. Rincon, and M. Romero, Crystallization of (Na2O-MgO)-CaO-Al2O3-SiO2 Glassy Systems Formulated from Waste Products. Journal of the American Ceramic Society, 83(10), 2515-2520 (2004). [4] Yaroshevskii, S.L., V.V. Stepanov, E.N. Skladanovskii, V.K. Katsman, S.V. Nesterenko, and V.N. Murav'ev, Improving Blast Furnace Slag Practice. Metallurgist, 27(10), 321-325 (1983).

43

Nirwan Syarif : Karakterisasi Sifat Kimia Fisika Terak Pengolahan Bijih Besi sebagai Pencampur Mortar/ Bahan Keramik

[5] Brus, E., M. Ohman, A. Nordin, and D. Bostrom, Bed Agglomeration Characteristics of Biomass Fuels Using Blast-Furnace Slags as Bed Material. Energy Fuels, 18(4), 1187-1193 (2004). [6] Ghosh, S., M. Das, S. Chakrabarti, and S. Ghatak, Development of Ceramic Tiles from Common Clay and Blast Furnace Slag. Ceramics International, 28(4), 393-400 (2002). [7] Lopez, F.A., E. Sainz, A. Lopez-Delgado, L. Pascual, and J.M.F. Navarro, The Use of Blast Furnace Slag and Derived Materials in the Vitrification of Electric Arc Furnace Dust. Metallurgical and Materials Transactions B, 27B(3), 379-384 (1996). [8] Kasami, H., T. Ikeda, S. Numata, and H. Harada, Pumpability of Blast-Furnace Slag Aggregate Concrete. Advancing Concrete Knowledge, 79, 1143-1164 (1983). [9] Takano, Y., M. Sanazawa, S. Takeda, Y. Akashi, K. Katagiri, and A. Matsui, State of the Art in the Technology of Using Blast Furnace Slag Gravel for Concrete Members, in Nippon Steel Technical Report No. 86, T.D.B. I, Editor. Taiheiyo Cement Corporation, 40-47 (2002). [10] Lee, Y.S., D.J. Min, S.M. Jung, and S.H. Yi, Influence of Basicity and FeO Content on Viscosity of Blast Furnace Type Slags Containing FeO. ISIJ International, 44(8), 1283-1290 (2004). [11] Proctor, D.M., K.A. Fehling, E.C. Shay, J.L. Wittenborn, J.J. Green, C. Avent, R.D. Bigham, B. Lee, T.O. Shepker, and M.A. Zak, Physical and Chemical Characteristic of Blast Furnace, Basic Oxygen Furnace and Electric Arc Furnace Steel Industry Slags. Environmental Science and Technology, 34(8), 1576-1582 (2000). [12] Li, Y.-S., The use of waste basic oxygen furnace slag and hydrogen peroxide to degrade 4chlorophenol. Waste Management, 19(7-8), 495-502 (1999). [13] Bowden, L.I., A.P. Jarvis, P.L. Younger, and K.L. Johnson, Phosphorus Removal from Waste Waters using Basic Oxygen Steel Slag. Environmental Science and Technology, 43(7), 2476-2481 (2009). [14] Krizan, D. and M. Komljenovic, Mortar based alkali-activated blast furnace slag, in Measuring, Monitoring and Modeling Concrete Properties, M.S. Konsta-Gdoutos, Editor, Springer Netherlands: Northwestern, 361-366 (2006). [15] Yazici, H., H. Yugiter, A.S. Karabalut, and B. Baradan, Utilization of fly ash and ground granulated blasf furnace slag as an alternative silica source in reactive powder concrete. Fuel, 87(12), 24012407 (2008). [16] Amatatsu, M., V. Stuts, and H.W. Gudenau, Evaporation and Adsorption rate of Potassium through Blast Furnace Slag. Transactions of the Iron and Steel Institute of Japan, 1995. 25(9), 949-952 (1995). [17] Vogel, A.I. and G.H. Jeffery, Vogel's Textbook of quantitative chemical analysis. 5 ed., Harlow, Essex: Longman Scientific and Technical, Wiley (1989).. [18] Rutman, D.S., I.L. Shchetnikova, E.I. Kelareva, L.S. Zholobova, and V.A. Perepelitsyn, Effect of metallurgical slag on ceramic processed from pure oxide, spinels and forsterite. Refractories and Industrial Ceramics, 14(11-12), 701-705 (1973). [19] Romanenko, A.G., Production of slag fumace from disintegrated blast furnace slag. Metallurgist, 16(5), 320-322 (1972). [20] Roy, A., Sulfur specification in granulated blast furnace slag: An X-ray absorption spectroscopic investigation. Cement and Concrete Research, 39(8), 659-663 (2009). [21] Puertas, F. and A. Fernandez-Jimenez, Mineralogical and microstructural characterisation of alkali activated fly ash/slag pastes. Cement and Concrete Research, 25(3), 287-292 (2002). [22] Mansfeldt, T. and R. Dohrmann, Chemical and Mineralogical Characterization of Blast Furnace Sludge from an Abandoned Landfill. Environmental Science and Technology, 38(22), 5977-5984 (2004). [23] Georgescu, M., D. Voinitchi, M. Gheorghe, and A. Iovan, Correlation between Composition and Properties for Alkali Activated Blastfurnace Slag Binders. Ovidius University Annals of Constructions, 1(3-4), 553-558 (2002). [24] Grneberg, B. and J. Kern, Phosphorus retention capacity of iron-ore and blast furnace slag in subsurface flow constructed wetlands. Water Science and Technology, 44(11), 69-75 (2001). [25] Schwab, A.P., J. Hickey, J. Hunter, and M.K. Banks, Characteristic of blast furnace slag leachate produced under reduced and oxidized conditions. Journal of Environmental Science and Health, Part A, 41(3), 381-395 (2006).

44

Anda mungkin juga menyukai