konsep berfikir Ibn Hazm secara proporsional dan sebisa mungkin menjauhi bias fanatisme. Meskipun di halaman pendahuluan beliau mengaku sangat mencintai Ibn Hazm, tetapi hal itu sama sekali tidak menghalangi dirinya untuk bersikap kritis kepadanya di satu sisi, dan tanpa segan menampilkan poin positif dari konsep yang ditawarkan Ibn Hazm di sisi lain. Beliau menjelaskan, bahwa terjadinya perbedaan yang cukup tajam antara mainstream Ulama yang melegalkan qiys sebagai dalil dalam syariat Islam dengan segelintir madzhab lain termasuk Zhhiriyyah yang menegasikannya, adalah sebuah keniscayaan yang tidak dapat dihindari. Hal itu disebabkan karena qiys merupakan aktivitas ijtihad dalam rangka mengetahui hukum Tuhan, sedangkan ijtihad itu sendiri merupakan wilayah rentan yang kerap menjadi sumber perbedaan. Sikap penolakan Madzhab Zhhir terhadap qiys bukanlah tanpa alasan. Dalam pandangan Zhhiriyyah, penggunaan qiys dalam pencetusan hukum syariat sama halnya dengan memproduksi hukum dengan rasio. Padahal, hukum syariat Islam tidak bisa ditetapkan kecuali berdasarkan dalil yang jelas. Kemudian, sesi kedua diawali dengan pemaparan profil singkat kitab alMuall, khususnya mengenai sistematika dan metode penulisannya. Menurutnya, metodologi penulisan al-Muall merupakan representasi nyata ketajaman analisis seorang Ibn Hazm. Dalam kitab setebal 11 jilid tersebut, Ibn Hazm secara lugas dan terperinci menampilkan pendapat mayoritas pada setiap masalah, lalu membabatnya satu-persatu berdasarkan tipologi berfikir Madzhab Zhhir. Pada giliran selanjutnya, dosen yang menjabat sebagai Ras Qism Fiqh wa Ushlih ini mencoba menggiring para hadirin memasuki arena 'pertarungan sengit' antara mainstream jumhr ulama dengan Zhhiriyyah melalui dirsah tathbqiyyah yang diisi dengan penyajian contoh-contoh kasus berikut metode istidll dari masing-masing kubu. Penulisan disertasi yang mengedepankan objektifitas semakin terbukti, ketika beliau menyuguhkan beberapa contoh kasuistik jumhr ulama yang menetapkan hukum berdasarkan qiys terbukti lebih lemah. Sehingga harus diakui, bahwa dalam beberapa permasalahan parsial, pendapat Zhhiriyyah terbukti unggul. Dalam banyak tempat, sikap anti- qiys yang ditempuh Ibn Hazm merupakan langkah yang tepat, ujarnya. Apalagi, dari arah yang berlawanan, mayoritas Fuqah' sering berlebihan dalam memposisikan qiys. Hal ini bisa dilihat di banyak contoh kasus hukum, di mana qiys yang digunakan mereka terkesan tidak perlu dan memang harus dihindari. Acara semakin menarik, ketika narasumber dengan tanpa segan menyingkap kontradiksi akut dalam konsep nalar Ibn Hazm yang menolak segala jenis qiys, karena pada saat yang bersamaan, Ibn Hazm disadari atau tidak terjebak dalam perangkap paradoksal, yaitu ketika dalam banyak kasus terbukti menjadikan qiys sebagai argumen pendapatnya. Salah satunya bisa dilacak dalam bab nikah. Dalam permasalahan hukum suami melihat farji istri misalnya, Ibn Hazm menentang pendapat sebagian Fuqah' yang menghukumi haram dengan berargumen Kalau jim bisa menjadi halal sebab akad, mengapa melihat farji tidak?. Di sini, Ibn Hazm secara tidak langsung menggunakan qiys aulaw sebagai senjata untuk mengcounter lawannya. Ini
semakin memperkuat hipotesa bahwa qiys merupakan fitrah dan konsekuensi logis dari setiap aktivitas ijtihad yang tidak mungkin untuk dihindari!, ujar narasumber. Acara semakin hangat ketika memasuki sesi diskusi. Para diskusan tampak begitu antusias dalam mengajukan pertanyaan. Hafidz Anshori, mahasiswa mustawa 4, mencoba mempertanyakan genealogi akar Madzhab Zhhir yang menafikan qiys. Pasalnya, jauh sebelum Ab Dud al-Zhhir, sang pendiri madzhab, penolakan terhadap qiys sudah pernah disuarakan oleh beberapa tokoh Muktazilah seperti Ab Isq Ibrhm al-Nazhm (w. 221 H). Sehingga menjadi urgen untuk diperjelas, apakah Zhhiriyyah dalam diskursus ini membebek pada Muktazilah atau memang konsep ini terlahir secara independen dari rahim pemikiran mereka. Pertanyaan menukik lainnya dilontarkan Muhammad Ali. Menurutnya, jika memang prinsip tekstualis-literalis ini diterapkan di era kekinian, di mana problematika yang dihadapi manusia semakin kompleks dan beragam, maka dalam tataran praksis implementasi dalil syari pasti akan menimbulkan ambivalensi, mengingat jumlahnya yang terbatas. Akibatnya, fikih akan kewalahan membendung deras dan runyamnya problematika masa kini. Lantas, adakah solusi dari Madzhab Zhhiriyyah dalam menjawab tantangan kekinian khususnya yang tidak ada penjelasan sama sekali dari Kitab dan Sunnah? Melalui kacamata historis, Dr. Izzuddin dengan cermat mencoba melacak keterpengaruhan ideologi Muktazilah dalam tubuh Zhhiriyyah. Baginya, kedekatan periode antara Muktazilah dengan berdirinya Madzhab Zhhir tidak bisa lantas disimpulkan bahwa Zhhir mengadopsi konsep anti-qiys dari Muktazilah. Hipotesa ini semakin diperkuat dengan fakta empiris bahwa salah satu penyebab utama penolakan mereka terhadap qiys adalah sebagai tindak responsif atas mayoritas Ahlu Rayi kala itu yang terlampau berlebihan dalam melakukan aktivitas qiys (al-mublaghoh f al-aqyisah). Menanggapi pertanyaan selanjutnya yang menuntut solusi Zhhiriyyah dalam menjawab problematika masa kini, beliau berkata: Andaikan Ibn Hazm dan pengikut Zhhiriyyah yang lain hidup di era modern ini, saya optimis mereka akan semakin kebingungan! ujarnya dengan sedikit berkelakar diiringi tepuk tangan dan tawa para hadirin. Beliau lalu menambahkan, bahwa alternatif yang sering ditempuh Zhhiriyyah ketika tidak menemukan nash adalah dengan menggunakan dalil lain semisal Istisb (kontinuitas), kaidah al-Barah al-Ashliyyah, dan juga universalitas teks (umm al-nash). Di akhir acara, Dr. Izzuddn secara khusus menganjurkan kepada seluruh mahasiswa yang hadir malam itu agar mulai menelaah kitab al-Muall. Meskipun bukan untuk dijadikan pegangan dalam bermadzhab, membaca dan menelaah al-Muall secara intens, menurutnya, akan menambah ketajaman analisis seseorang khususnya dalam mengencani dalil-dalil syari'at. Selain itu, corak penulisan kitab tersebut akan sangat membantu pengkaji dalam menumbuhkan sikap selektif dan cermat dalam memahami nash-nash syari'at secara tekstual, sebelum mengkajinya secara kontekstual. Acara berakhir pukul 23.15 KSA yang kemudian dilanjutkan dengan makan malam bersama.