Anda di halaman 1dari 17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I.

ANATOMI SERVIKS Serviks adalah bagian khusus dari uterus yang terletak di bawah isthmus. Pada sisi anterior, batas atas serviks, ostium interna letaknya kurang lebih setinggi lipatan refleksi peritoneum antar uterus dan kandung kemih.

Serviks adalah bagian dari rahim yang paling sempit, terhubung ke fundus uteri oleh uterine isthmus. Serviks berasal dari bahasa latin yang berarti leher. Bentuknya silinder atau lebih tepatnya kerucut. Batas atas serviks adalah ostium interna. Serviks letaknya menonjol melalui dinding vagina anterior atas. Bagian yang memproyeksikan ke dalam vagina disebut sebagai portio vaginalis. Rata-rata ukurannya adalah 3 cm panjang dan 2,5 cm lebar portio vaginalis. Ukuran dan bentuk serviks bervariasi sesuai usia, hormon, dan paritas. Sebelum melahirkan, ostium eksternal masih sempit, hanya berbentuk lingkaran kecil di tengah serviks. Bagian luar dari serviks menuju ostium eksternal disebut ektoserviks. Lorong antara ostium eksterna ke rongga endometrium disebut sebagai kanalis endoservikalis.

Pasokan darah dari sekviks berasal dari arteri iliaka internal, yang membentuk uterine arteri. Serviks dan cabang arteri vagina dari uterus mensuplai bagian vagina bagian atas.

Drainase sistem limfatik dari serviks sangat kompleks, yang meliputi nodus iliaka internal dan eksternal, nodus obturatorius dan parametrial, dan banyak lagi. Rute utama penyebaran sistem limfatik dari kanker serviks adalah melalui limfatik pelvis. Maka radikal histrektomi yang dilakukan secara invasif untuk mengobati kanker serviks meliputi penghapusan sebagian besar sistem limfatik di daerah pelvis.

II.

KARSINOMA SERVIKS

A. DEFINISI Kanker merupakan sel-sel neoplasma ganas yang mengalami kerusakan gen berat serta luas sehingga sel-selnya menyimpang jauh dari sel normal asalnya. Sel Neoplasma adalah sel tubuh kita sendiri yang mengalami perubahan (trasnformasi) sehingga bentuk, sifat, dan kinetiknya berubah, sehingga tumbuhnya menjadi autonom, liar, tidak terkendali, dan terlepas dari koordinasi pertumbuhan normal. Secara sederhana dikenal sel neoplasma jinak dan sel neoplasma ganas (kanker). Transformasi sel itu terjadi karena mutasi gen yang mengatur pertumbuhan dan diferensiasi sel, yaitu proto onkogen dan atau supresor gen.

Kanker serviks adalah tumor ganas primer yang berasal dari sel epitel skuamosa. Kanker serviks merupakan kanker yang terjadi pada serviks atau leher rahim, suatu daerah pada organ reproduksi wanita yang merupakan pintu masuk ke arah rahim, letaknya antara rahim (uterus) dan liang senggama atau vagina.

Kanker serviks biasanya menyerang wanita berusia 35-55 tahun. Sebanyak 90% dari kanker serviks berasal dari sel skuamosa yang melapisi serviks dan 10% sisanya berasal dari sel kelenjar penghasil lendir pada saluran servikal yang menuju ke rahim.

B. EPIDEMIOLOGI Diantara tumor ganas ginekologik, kanker serviks uterus masih menduduki peringkat pertama di Indonesia. Selama kurun waktu 5 tahun (1975-1979) penulis menemukan di RSUGM/RSUP Sarjito 179 di antara 263 kasus

(68,1%). Soeripto dkk menemukan frekuensi relatif karsinoma serviks di propinsi D.I.Y 25,7% dalam kurun 1870-1973 (3 tahun) dan 20.0% dalam kurun 1980-1982 (2 tahun). Di antara 5 jenis kanker terbanyak pada wanita sebagai peringkat pertama. Umur penderita antara 30-60 tahun, terbanyak antara 45-60 tahun. Periode laten dari fase prainvasif untuk menjadi invasif memakan waktu sekitar 10 tahun. Hanya 9% dari wanita berusia ,35 tahun menunjukkan kanker serviks yang invasif pada saat didiagnosis, sedangkan 53% dari kanker serviks terdapat pada wanita dibawah usia 35 tahun.

Mempertimbangkan keterbatasan yang ada, kita sepakat secara nasional melacak (mendeteksi dini) setiap wanita sekali saja setelah melewati usia 30 tahun dan menyediakan sarana penanganannya, untuk berhenti sampai usia 60 tahun.

C. ETIOLOGI Sebab langsung dari kanker serviks belum diketahui. Ada bukti kuat kejadiannya mempunyai hubungan erat dengan sejumlah faktor ekstrinsik, diantaranya yang penting; jarang ditemukan pada perawan, insidensi lebih tinggi pada mereka yang kawin daripada yang tidak kawin, terutama pada gadis yang koitus pertama (coitarche) dialami pada usia amat muda (<16 tahun), insidensi meningkat dengan tingginya paritas, apalagi bila jarak persalinan terlalu dekat, dari golongan sosial ekonomi rendah (higiene seksual yang rendah), aktivitas seksual yang sering berganti ganti pasangan (promiskuitas), jarang dijumpai pada pasien yang suaminya disirkumsisi, sering ditemukan pada wanita yang mengalami infeksi virus HPV (Human Papilloma Virus) tipe 16 atau 18 dan akhirnya kebiasaan merokok.

D. FAKTOR RISIKO Faktor yang mempengaruhi kanker serviks yaitu : 1. Usia > 35 tahun mempunyai risiko tinggi terhadap kanker serviks. Semakin tua usia seseorang, maka semakin meningkat risiko terjadinya kanker serviks. Meningkatnya risiko kanker serviks pada

usia lanjut merupakan gabungan dari meningkatnya dan bertambah lamanya waktu pemaparan terhadap karsinogen serta makin melemahnya sistem kekebalan tubuh akibat usia. 2. Usia pertama kali menikah. Menikah pada usia 20 tahun dianggap terlalu muda untuk melakukan hubungan seksual dan berisiko terkena kanker leher rahim 10-12 kali lebih besar daripada mereka yang menikah pada usia > 20 tahun. Hubungan seks idealnya dilakukan setelah seorang wanita benar-benar matang. Ukuran kematangan bukan hanya dilihat dari sudah menstruasi atau belum. Kematangan juga bergantung pada sel-sel mukosa yang terdapat di selaput kulit bagian dalam rongga tubuh. Umumnya sel-sel mukosa baru matang setelah wanita berusia 20 tahun ke atas. Jadi, seorang wanita yang menjalin hubungan seks pada usia remaja, paling rawan bila dilakukan di bawah usia 16 tahun. Hal ini berkaitan dengan kematangan sel-sel mukosa pada serviks. Pada usia muda, sel-sel mukosa pada serviks belum matang. Artinya, masih rentan terhadap rangsangan sehingga tidak siap menerima rangsangan dari luar. Termasuk zat-zat kimia yang dibawa sperma. Karena masih rentan, sel-sel mukosa bias berubah sifat menjadi kanker. Sifat sel kanker selalu berubah setiap saat yaitu mati dan tumbuh lagi. Dengan adanya rangsangan, sel bisa tumbuh lebih banyak dari sel yang mati, sehingga perubahannya tidak seimbang lagi. Kelebihan sel ini akhirnya bisa berubah sifat menjadi sel kanker. Lain halnya bila hubungan seks dilakukan pada usia di atas

20 tahun, dimana sel-sel mukosa tidak lagi terlalu rentan terhadap perubahan. 3. Wanita dengan aktivitas seksual yang tinggi, dan sering berganti-ganti pasangan. Berganti-ganti pasangan akan memungkinkan tertularnya penyakit kelamin, salah satunya Human Papilloma Virus (HPV).

Virus ini akan mengubah sel-sel di permukaan mukosa hingga membelah menjadi lebih banyak dan tidak terkendali sehingga menjadi kanker. Penggunaan antiseptik. Kebiasaan pencucian vagina dengan menggunakan obat-obatan antiseptik maupun deodoran akan mengakibatkan iritasi di serviks yang merangsang terjadinya kanker. 4. Wanita yang merokok. Nikotin, mempermudah semua selaput lendir sel-sel tubuh bereaksi atau menjadi terangsang, baik pada mukosa tenggorokan, paru - paru, maupun serviks. Namun tidak diketahui dengan pasti berapa banyak jumlah nikotin yang dikonsumsinya bias menyebabkan kanker leher rahim. 5. Risiko wanita perokok terkena 4-13 kali lebih besar dibandingkan wanita bukan perokok. 6. Riwayat penyakit kelamin seperti kutil genitalia. Wanita yang terkena penyakit akibat hubungan seksual berisiko terkena virus HPV, karena virus HPV diduga sebagai penyebab utama terjadinya kanker leher rahim sehingga wanita yang mempunyai riwayat penyakit kelamin berisiko terkena kanker leher rahim.

7. Paritas (jumlah kelahiran). Semakin tinggi risiko pada wanita dengan banyak anak, apalagi dengan jarak persalinan yang terlalu pendek. Dari berbagai literatur yang ada, seorang perempuan yang sering melahirkan (banyak anak) termasuk golongan risiko tinggi untuk terkena penyakit kanker serviks. Dengan seringnya seorang ibu melahirkan, maka akan berdampak pada seringnya terjadi perlukaan di organ reproduksinya yang akhirnya dampak dari luka tersebut akan memudahkan timbulnya Human Papilloma Virus (HPV) sebagai penyebab terjadinya penyakit kanker serviks. 8. Penggunaan kontrasepsi oral dalam jangka waktu lama. Penggunaan kontrasepsi oral yang dipakai dalam jangka lama yaitu lebih dari 4 tahun dapat meningkatkan risiko kanker serviks 1,5-2,5 kali.

Kontrasepsi oral mungkin dapat meningkatkan risiko kanker serviks karena jaringan leher rahim merupakan salah satu sasaran yang disukai oleh hormon steroid perempuan. Hingga tahun 2004, telah dilakukan studi epidemiologis tentang hubungan antara kanker serviks dan penggunaan kontrasepsi oral. Meskipun demikian, efek penggunaan kontrasepsi oral terhadap risiko kanker serviks masih kontroversional. Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan oleh Khasbiyah (2004) dengan menggunakan studi kasus kontrol. Hasil studi tidak menemukan adanya peningkatan risiko pada perempuan pengguna atau mantan pengguna kontrasepsi oral karena hasil

penelitian tidak memperlihatkan hubungan dengan nilai p > 0,05.

E. PATOGENESIS Kausa utama karsinoma serviks adalah infeksi virus Human Papilloma yang onkogenik. Risiko terinfeksi HPV sendiri meningkat setelah melakukan aktivitas seksual. Pada kebanyakan wanita, infeksi ini akan hilang dengan spontan. Tetapi jika infeksi ini persisten maka akan terjadi integrasi genom dari virus ke dalam genom sel manusia, menyebabkan hilangnya kontrol normal dari pertumbuhan sel serta ekspresi onkoprotein E6 atau E7 yang bertanggung jawab terhadap perubahan maturasi dan differensiasi dari epitel serviks (WHO, 2008). Menurut Budiningsih (2007) dalam Sarwono (2007), lokasi awal dari terjadinya karsinoma serviks biasanya pada atau dekat dengan pertemuan epitel kolumner di endoserviks dengan epitel skuamous di ektoserviks atau yang juga dikenal dengan squamocolumnar junction. Terjadinya karsinoma serviks yang invasif berlangsung dalam beberapa tahap. Tahapan pertama dimulai dari lesi pre-invasif, yang ditandai dengan adanya abnormalitas dari sel yang biasa disebut dengan displasia. Displasia ditandai dengan adanya anisositosis (sel dengan ukuran yang berbeda-beda), poikilositosis (bentuk sel yang berbeda-beda), hiperkromatik sel, dan adanya gambaran sel yang sedang bermitosis dalam jumlah yang tidak biasa.

Displasia ringan bila ditemukan hanya sedikit sel-sel abnormal, sedangkan jika abnormalitas tersebut mencapai setengah ketebalan sel, dinamakan displasia sedang. Displasia berat terjadi bila abnormalitas sel pada seluruh ketebalan sel, namun belum menembus membrana basalis. Perubahan pada

10

displasia ringan sampai sedang ini masih bersifat reversibel dan sering disebut dengan Cervical Intraepithelial Neoplasia (CIN) derajat 1-2. Displasia berat (CIN 3) dapat berlanjut menjadi karsinoma in situ. Perubahan dari displasia ke karsinoma in situ sampai karsinoma invasif berjalan lambat (10 sampai 15 tahun). Gejala pada CIN umumnya asimptomatik, seringkali terdeteksi saat pemeriksaan kolposkopi. Sedangkan pada tahap invasif, gejala yang dirasakan lebih nyata seperti perdarahan intermenstrual dan post koitus, discharge vagina purulen yang berlebihan berwarna kekuning-kuningan terutama bila lesi nekrotik, berbau dan dapat bercampur dengan darah , sistisis berulang, dan gejala akan lebih parah pada stadium lanjut di mana penderita akan mengalami cachexia, obstruksi gastrointestinal dan sistem renal.

F. PATOLOGI Karsinoma serviks timbul di batas antara epitel yang melapisi ektoserviks (porsio) dan endoserviks kanalis serviks yang disebut sebagai squamocolumner junction (SCJ). Histologik antara epitel gepeng berlapis (squamos complex) dari portio dengan epitel kuboid/silindris pendek selapis bersilia dari endoserviks kanalis serviks. Pada wanita muda SCJ berada di luar ostium ostium uteri eksternum, sedang pada wanita berumur > 35 tahun, SCJ berada di dalam kanalis serviks. Maka untuk melakukan pap smear yang efektif, yang dapat mengusap zona transformasi, harus dikerjakan dengan skraper dari ayre atau cytobrush sikat khusus. Pada awal perkembangannya kanker

11

serviks tak memberi tanda tanda dari keluhan. Pada pemeriksaan dengan spekulum, tampak sebagai porsio yang erosif (metaplasi squamosa) yang fisiologik atau patologik.

Tumor dapat tumbuh: 1) eksofitik mulai dari SCJ ke arah lumen vagina sebagai masa proliferatif yang mengalami infeksi sekunder dan nekrosis; 2) endofitik mulai dari SCJ tumbuh ke dalam stroma serviks dan cenderung merusak struktur jaringan serviks dengan melibatkan awal fornises vagina untuk menjadi ulkus yang luas.

Serviks yang normal, secara alami mengalami proses metaplasi (erosio) akibat saling desak mendesaknya kedua jenis epitel yang melapisi. Dengan masuknya mutagen, porsio yang erosif (metaplasia squamosa) yang semula faali/fisiologik dapat berubah menjadi patologik (displastik diskariotik) melalui tingkatan NIS-I (neoplasia interepitel serviks/NIS (Cervical

Intraephitelial Neoplasia/CIN), II, III dan KIS (karsinoma in situ) untuk akhirnya menjadi karsinoma invasif. Sekali menjadi mikro invasif atau invasif, proses keganasan akan berjalan terus.

Periode laten (dari NIS-I s/d KIS) tergantung dari daya tahan tubuh penderita. Umumnya fase prainvasif berkisar abtara 3 20 tahun (rata rata 5 10 tahun). Perubahan epitel displastik serviks secara kontinyu yang masih memungkinkan terjadinya regresi spontan dengan pengobatan/tanpa diobati

12

itu dikenal dengan unitarian concept dari Richart. Histopatologik sebagai sebagian terbesar (95 97%) berupa epidermoid atau squamous cell carcinoma dan yang paling jarang sarkoma.

G. GAMBARAN KLINIS Kanker serviks umumnya tidak memunculkan gejala hingga sel-sel serviks yang abnormal dan mengganas mulai menginvasi jaringan sekitar (American Cancer Society, 2007). Gejala yang pertama muncul adalah perdarahan pervaginam yang abnormal, biasanya setelah melakukan hubungan seksual. Selain itu, dapat pula terjadi perdarahan spontan yang terjadi di antara dua siklus menstruasi (instrumenstrual bleeding) dan perdarahan pada wanita yang sudah menopause (postmenopausal bleeding). Secret vagina berwarna kekuningan dan berbau busuk juga ditemukan, khususnya pada pasien dengan nekrosis jaringan yang lama.

Perdarahan spontan saat defekasi dapat pula ditemukan. Hal ini terjadi akibat tergesernya tomur eksofitik dari serviks oleh skibala. Adanya perdarahan abnormal pervaginam saat devekasi perlu dicurigai kemungkinan adanya karsinoma serviks uteri tingkat lanjut. Gejala-gejala hematuria atau perdarahan per-rektal timbul bila tumor sudah menginvasi vesika urinaria atau rectum. Jika terjadi perdarahan kronik, maka penderita akan mengalami anemia, kehilangan berat badan, lelah dan gejala konstitusional lainnya.

13

Pasien dapat mengeluhkan nyeri yang hebat. Nyeri dapat dirasakan saat pasien melakukan hubungan seksual. Nyeri di pelvic atau di hipogastrium dapat disebabkan oleh tumor yang nekrotik atau radang panggul. Bila muncul nyeri di daerah lumbosakral maka dapat dicurigai terjadi hidronefrosis atau penyebaran ke kelenjar getah bening yang meluas ke akar lumbosakral. Nyeri di epigastrium timbul bila penyebaran mengenai kelenjar getah bening yang lebih tinggi.

Pada pemeriksaan fisik dapat terlihat lesi pada daerah serviks. Beberapa lesi dapat tersembunyi di kanal bagian endoserviks, namun dapat diketahui melalui pemeriksaan bimanual. Semakin lebar diameter lesi maka semakin sempit jarak antara tumor dengan dinding perlvis.

H. STADIUM KARSINOMA SERVIKS Staging karsinoma seviks merunut pada sistem klasifikasi dari FIGO (Federation of Gyenaecologic and Obstetrics) tahun 2000 dilihat berdasarkan lokasi tumor primer, ukuran besar tumor, dan adanya penyebaran keganasan (table 1) oleh Sulaini (2006) dalam Sarwono (2006). Staging ini dibuat untuk mempermudah perencanaan terapi yang efektif dan optimal bagi pasien dan memperkirakan prognosis pasien.

14

Tabel 1. Staging Karsinoma Serviks

15

I. DIAGNOSA DAN DETEKSI DINI KARSINOMA SERVIKS Deteksi dini kanker serviks secara teratur sangat dianjurkan bagi setiap wanita, biasanya dimulai tiga tahun setelah wanita aktif secara seksual atau berusia lebih dari 21 tahun. Selain dari anamnesa dan pemeriksaan fisik, diperlukan deteksi dini berupa : 1. Pemeriksaan IVA (Inspeksi Visual dengan Asam Asetat) merupakan metode inspeksi yang sangat sederhana, murah, nyaman, praktis, dan mudah. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara mengoleskan larutan asam asetat 3% 5% pada serviks sebelum melakukan inspeksi visual. Pemeriksaan ini disebut positif bila terdapat area putih (acetowhite) didaerah sekitar porsi serviks. 2. Pemeriksaan pap smear, merupakan pemeriksaan sitologi untuk mendeteksi karsinoma serviks uteri. Pemeriksaan ini dilakukan dengan mengambil contoh sel epitel serviks melalui kerokan dengan spatula khusus, kemudia hasil kerokan dihapuskan pada kaca objek. Apusan sel pada kaca obejek tersebut selanjutnya diamati di bawah mikroskop oleh ahli patologi. 3. Pemeriksaan DNA, HPV, merupakan suatu tes laboratorium yang dapat mendeteksi tipe-tipe HPV yang dapat menyebabkan kanker serviks.

Jika diperoleh hasil Pap Smear yang abnormal, maka dibutuhkan beberapa pemeriksaan tambahan untuk mengkonfirmasi diagnosis, mengetahui penyebaran kanker, dan menentukan pilihan pengobatan.

16

1. Kolposkopi,

merupakan

pemeriksaan

visual

serviks

uteri

dengan

menggunakan alat optic khusus yang disebut kolposkop. Pemeriksaan ini dapat mengenali dysplasia maupun karsinoma, baik in situ maupun invasive, dengan baik 2. Biopsi, merupakan gold standart dalam menentukan diagnosis kanker yaitu dengan mengambil sedikit jaringan lesi kemudian diperiksa secara

histopatologik. Jaringan yang diambil harus cukup dalam serta meliputi beberapa area di empat kuadran serviks dan beberapa area vagina yang dicurigai.

J. PENATALAKSANAAN Pada tingkat klinik (KIS), tidak dibenarkan dilakukan elektrokoagulasi atau elektrofulgerasi, bedah krio atau dengan sinar laser, kecuali penderitanya masih muda dan belum memiliki anak. Biopsi kerucut juga bias digunakan baik sebagai alat dianostik maupun terapi. Namun, bila penderita sudah cukup tua dan sudah mempunyai cukup pemeriksaan, dapat dilakukan histerektomi sederhana untuk mencegah kambuhnya penyakit. Pada tingkat klinik Ia, umumnya ditangani sebagai kanker yang invasif. Bila kedalaman invasif kurang dari atau hanya 1 mm dan tidak meliputi area yang luas serta tidak melibatkan pembuluh limfa atau pembuluh darah, penanganannya dilakukan seperti pada KIS di atas.

17

Pada

tingkat

Ib

dan

IIa

dilakukan

histerektomi

radikal

dengan

limfadenektomi. Pasca bedah

biasanya dilanjutkan dengan penyinaran,

tergantung ada atau tidaknya sel tumor dalam kelenjar linfa regional yang diangkat.

Pada tingkat IIb, III, dan IV tidak dibenarkan melakukan tindakan bedah, untuk primer adalah radioterapi. Menurut National Cancer Institute (2008), penanganan standart untuk tingkat IIb sampai Iva adalah radiasi dan kemoterapi. Pada tingkat IVb radiasi hanya bersifat paliatif. Pemberian kemoterapi dapat dipertimbangkan, walaupun belum ada standart kemoterapi yang dapat diberikan. Untuk mencegah rekuren, umumnya pasien akan menjalani pemeriksaan rutin yang meliputi perabaan pembesaran kelenjar getah bening supraklavikula, pemeriksaan rekto-vaginal, dan sitologi setiap 34 bulan dalam dua tahun pertama. Setelah dua tahun, pemeriksaan dapat dilakukan lebih jarang, enam bulan hingga lima tahun paska terapi, untuk selanjutnya satu tahun sekali.

K. PROGNOSIS Faktor-faktor yang mempengaruhi prognosis antara lain unsure penderita, keadaan umum, tingkat klinik keganasan, ciri-ciri histologik sel tumor, kemampuan ahli atau tim ahli yang menangani, serta sarana pengobatan yang ada.

18

Tabel 2. Rata rata survival 5 tahun pada Karsinoma Serviks

19

Anda mungkin juga menyukai