Anda di halaman 1dari 4

RELEVANSI NEW PUBLIC MANAGEMENT DI INDONESIA

Birokrasi dibuat adalah sebagai alat eksekutif untuk menjalankan mesin pemerintahannya. Pemerintahan dapat berjalan sesuai visi dan misinya apabila birokrasi berkinerja sesuai dengan keinginan pemerintahan tersebut. Hal tersebut memperlihatkan bahwa wajah birokrasi adalah cerminan dari wajah pemegang kekuasaan. Apabila pemegang kekuasaan baik, maka birokrasi akan baik, begitu juga sebaliknya. Itu tidak lain karena tugas birokrasi adalah melayani kepentingan pemegang kekuasaan. Di sisi lain, birokrasi mempunyai kewajiban, yaitu memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pemenuhan kewajiban birokrasi dalam melayani masyarakat merupakan tolak ukur masyarakat untuk menilai apakah pemegang kekuasaan bekerja dengan baik dan benar atau sebaliknya. Pertanyaannya, apakah pelayanan publik di Indonesia setelah era reformasi lebih baik dibandingkan dengan era sebelumnya? Di mata masyarakat, penampakan pelayanan publik saat ini tidak lebih baik di banding era sebelumnya, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Beberapa contoh terkait pelayanan publik yang buruk diantaranya; perlindungan keamanan terhadap masyarakat semakin berkurang, akses kesehatan terhadap masyarakat semakin mahal, sekolah-sekolah ambruk, jalanan rusak di mana-mana, ketertiban masyarakat semakin berkurang, akses terhadap kesempatan berusaha tidak bertambah baik, dan pengelolaan perijinan yang masih berbelit, lambat dan mahal. Mengapa hal itu masih dan bisa terjadi di Indonesia walaupun sudah hampir 67 tahun merdeka? Sejatinya pasca reformasi tahun 1998, terjadi perubahan tatanan bernegara yang luar biasa yang ditandai andanya perubahan konstitusi menuju Indonesia yang demokratis. Perubahan itu mencakup perubahan di bidang legislatif, eksekutif dan yudikatif. Tidak ada lagi istilah lembaga eksekutif hanya menjadi lembaga stempel penguasa atau lembaga yudikatif sebagai kepanjangan tangan tirani kekuasaan. Masing-masing lembaga kekuasaan sudah mandiri dan pola hubungan ketiganya diatur di dalam konstitusi. Di bidang politik, perubahan politik ke arah yang lebih demokratis ditandai dengan kebebasan mendirikan partai politik, pendirian Komisi Pemilihan Umum yang lebih kredibel, kebebasan pers dan kebebasan berpendapat yang dilindungi Undang-Undang. Di bidang hukum, berdirinya komisi-komisi negara sebagai lembaga pengawas eksternal yang mendorong kinerja lembaga penegak hukum, beridirinya lembaga independen pemberantasan korupsi, disahkannya banyak peraturan perundang-undangan di bidang penegakan hukum dan pembentukan unit kerja/task force yang bergerak di bidang penegakan hukum. Di bidang administrasi negara perubahannya cukup radikal, di mana sebelumnya administrasi negara sifatnya sentralistik menjadi desentralistis. Pasca reformasi, kekuasaan

administrasi negara sebagian besar diserahkan ke daerah tingkat kota/kabupaten. Salah satu alasan diterapkannya desentralisasi adalah supaya pengambilan keputusan lebih cepat dan aspirasi masyarakat lebih mudah didengar oleh pengambil kebijakan. Apakah pendekatan ini bisa berjalan dengan efektif? Ternyata pada pratiknya, tujuan kebijakan desentralisasi saat ini belum bisa dikatakan efektif. Bahkan hasil nyata dari kebijakan ini adalah menjamurnya percaloan politik dan maraknya korupsi di berbagai daerah. Sementara pelayanan publik yang diharapkan menjadi lebih baik hasilnya jauh dari yang diharapkan. Hal ini tidak terlepas dari paradigma lama dalam pelayanan publik yang masih dianut oleh pemegang kebijakan dan pelayan publik yang ada. Paradigma bahwa pelayan publik sebagai abdi negara dan semata-mata pengelola administrasi negara masih erat menjadi kultur yang sangat kuat berakar. Paradigma ini ditandai oleh masih masuknya orang-orang yang kurang berkualitas menjadi bagian birokrasi, lembaga birokrasi yang cenderung gendut, tidak adanya inovasi dalam memberikan pelayanan, dan terjadinya pemborosan keuangan negara untuk mengurus birokrasi. Selain itu, pendekatan birokrasi tradisional menganggap bahwa pelaksanaan pelayanan publik harus dilaksanakan sendiri oleh pemerintah. Paradigma birokrasi tradisional dapat tetap bercokol dan mendarah daging di dalam birokrasi karena paradigma ini dipelihara dan dijalankan secara konsisten pada saat orde baru. Sehingga tidak mudah untuk mentransformasikan menuju paradigma birokrasi modern yang berorientasi pada pelayanan publik. Pada dekade 1980-an sampai awal tahun 2000-an muncul pendekatan New Public Management (NPM) yang menganggap peranan pemerintah, pemerintah daerah dan lembaga publik lainnya harus diubah. Dari yang sebelumnya pemerintah melakukan sendiri pelayanan publik menjadi fokus pada kebijakan publik dan memberi kesempatan pada sektor swasta dan civil society untuk melaksanakan pelayanan publik berdasarkan mekanisme pasar. Pendekatan The New Public Management (NPM) berupaya meningkatkan kinerja administrasi negara/publik melalui penerapan preposisi bahwa administrasi publik supaya kinerjanya lebih baik maka harus fokus pada hasil dari pada prosedur; menciptakan persaingan dalam pemberian pelayanan masyarakat; melayani masyarakat dengan baik, bagaikan melayani seorang konsumen; memberi kesempatan bersaing kepada sektor bisnis dan sektor sosial (civil society) dalam penyelenggaraan pelayanan publik, melakukan pemberdayaan pegawai agar lebih kreatif dalam pelaksanaan tugas; dan mengubah budayanya ke arah yang lebih fleksibel dan inovatif. NPM sangat relevan dapat diterapkan di Indonesia pasca reformasi apabila hasil yang diharapan adalah; terjadinya desentralisasi supaya unit pelaksana dapat bertindak sebagai pusat pelayanan; meningkatnya efisiensi administratif melalui penyelenggaraan pelayanan

publik secara kompetitif; terjadinya alokasi anggaran berdasarkan output (pelayanan, penegakkan hukum dan hasil/outcomes) bukan berdasarkan input (personalia dan perlengkapan); terjadinya desentralisasi pengambilan keputusan supaya lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat; meningkatnya kinerja dan efektifitas biaya; memperlakukan individu sebagai customer, baik internal dari sesama instansi pemerintah atau eksternal dari anggota masyarakat sehingga pelayanan publik dapat berjalan dengan prima. Pendakatan NPM ini berhasil diterapkan di beberapa negara, di antaranya di Amerika Serikat, Selandia Baru, Malaysia, Singapura dan paling berhasil adalah di Korea Selatan. Bagaimana dengan Indonesia? Sejak tahun 2007, Indonesia mulai meluncurkan gerakan reformasi birokrasi yang diinisiasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yaitu dengan mendorong peningkatan pelayanan publik pada Kementerian Keuangan, Mahkamah Agung dan Badan Pemeriksa Keuangan. Hasilnya di ketiga instansi yang menjadi pilot project tersebut terjadi peningkatan pelayanan publik dan yang paling terlihat adalah pelayanan pajak, bea cukai dan pelayanan pengadilan. Pada tahun 2008 secara formal pemerintah memulai melaksanakan reformasi birokrasi dengan ditandai peluncuran buku Panduan reformasi Birokrasi Nasional yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara. Pada tahun 2010 kebijakan reformasi birokrasi mengalami pembaharuan dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden tentang pembentukan Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional (KPRBN) dan Peraturan Presiden tahun 2010 tentang Grand Desain Reformasi Birokrasi 2010-2025. Program utama dalam reformasi birokrasi yang ada di dalam GDRB secara garis besar adalah; penataan kelembagaan, penataan sistem kerja atau tatalaksana, dan peningkatan kualitas sumberdaya aparatur. Hasil yang diharapkan adalah efisiensi anggaran dan peningkatan kualitas pelayanan publik. Namun demikian, pendekatan reformasi birokrasi yang saat ini dijalankan oleh pemerintah pelaksanaanya tidak semudah seperti yang diharapkan. Selain komitmen pemerintah terlihat kurang kuat, pendekatan yang dilakukan cenderung prosedural dan lebih berorientasi internal. Oleh karena itu, potensi kegagalan pelaksanaan reformasi birokrasi masih cukup besar. Kalau dibandingkan dengan pendekatan NPM, maka pelaksanaan reformasi birokrasi masih cenderung fokus pada prosedur dari pada pada hasil; belum tercipta persaingan pemberian pelayanan masyarakat mengingat pelayanan masyarakat masih didominasi oleh birokrasi; masyarakat/publik belum menjadi obyek pelayanan tetapi masih menjadi korban pelayanan; pelayan publik masih belum berdaya karena harus mengikuti kebijakan dan prosedur yang berbelit; dan belum tumbuhnya budaya yang kreatifl dan inovatif di kalangan pelayan publik.

Ke depan, masyarakat semakin sadar akan hak-haknya sebagai warga negara yang harus dipenuhi oleh negara. Dinamika lingkungan semakin kompleks dan persaingan akan semakin ketat. Apabila praktik-praktik pelayanan publik di Indonesia masih seperti saat ini, dan tidak berusaha untuk bertransformasi, maka tingkat competitiveness Indonesia dengan negaranegara di dunia, bahkan di kawasan ASEAN akan semakin menurun. Saat ini, dibandingkan dengan Malaysia dan Singapura, maka Indonesia sudah jauh tertinggal. Bahkan dengan Vietnam dan Laos sudah bisa dikatakan mulai disusul. Demokrasi dan desentralisasi seharusnya menjadi momentum emas bagi Indonesia untuk memberikan pelayanan yang lebih baik demi menyejahterakan warga negaranya, bukan justru menjadi momentum untuk bertengkar, mengekploitasi kekayaan negara dan menyalahgunakan kekuasaan, seperti yang terjadi saat ini.

Penulis: Agung Hendarto Direktur Mitra Perubahan Indonesia (MPI) Dimuat di TopCareer Magazine, Vol.8 - Juni 2012

Anda mungkin juga menyukai