Anda di halaman 1dari 10

[fiction] - Love Like Breeze 3 oleh Nisaul Lauziah pada 12 Januari 2013 pukul 19:04 Annyeong.......

. ^^ Yang akan muncul di hidangan kali ini adalah magnae fari trilogi FF Love Like Breeze, yang akan menceritakan sisi kisah dari si magnae (juga) dari tiga tokoh utama FF ini, kkekekeke. Dua bagian sebelumnya telah ditulis dan diposting oleh Iklima Bhakti ( http://www.facebook.com/notes/iklima-bhakti/love-like-breeze-1/10151175763797651) dan Kurnia Ayuningtyas (http://www.facebook.com/notes/kurnia-ayuningtyas/fiction-story-love-likebreeze-2/412230232191971) ^^ Untuk Sub title dari bagian ke 3 ini adalah Ilalang. Paint of YouBaiklah, selamat membaca. Semoga tidak mengecewakan ^^

LOVE LIKE BREEZE - 3 Ilalang, Paint of You

Author: Nisaul Lauziah Cast : Lee Nara, Choi Sanghee, Park Shin Ae

Ilalang... akan tetap berdiri bertahan pada akarnya, seringan apa pun batangnya, sekencang apa pun angin menghempasnya... Kau seperti Ilalang... Bunga rumput yang cantik. Tampilanmu ringan. Tanpa angkuh bergerak-gerak mengikuti arah hembusan angin. Namun, kau bisa tetap berdiri pada pondasimu dengan penuh keteguhan. Aku mengagumimu, memperhatikanmu, dan belajar darimu. Dan kau adalah Ilalang... Kau hidup dengan bebas. Tumbuh dimana pun kau mau. Meski terpapar panas, tersiram hujan, mendapat caci, dihujam maki, kau justru berdiri semakin rekat dan kuat. Orang-orang mungkin banyak yang menganggapmu liar. Namun aku tahu lebih dari itu. Bagiku, kau istimewa. ::::::::::

Lee Naras POV

Apa momen paling menyenangkan yang bisa kau rasakan setiap hari?? Bagiku itu adalah.... Jam pulang kuliah!!! Aku menarik kedua tanganku ke atas. Meregangkan otot tubuhku yang sudah terasa kaku. Bapak dosen ekologi yang sudah hidup lebih dari separuh abad itu baru saja keluar setelah beliau mengumumkan setumpuk tugas baru yang harus dikumpulkan minggu depan. Seperti kebiasaan beliau saat mengakhiri kelasnya selama ini, Say Goodbye with Assignment!! Setelah merasa ketegangan otot-ototku berkurang, aku segera menyambar tas ranselku dan merapikan alat tulisku. Aku pulang dulu ya? Beberapa temanku menoleh dan menanggapi ucapanku. Ne, jalga Nara-ya Dan kemudian aku berdiri, bergegas meninggalkan teman-temanku yang masih sibuk dan ribut dengan urusan mereka masing-masing. ::::::::::

Authors POV

Lee Nara duduk dengan muka malas di salah satu kursi penumpang bus kota, menuju perpustakaan pusat Seoul. Alasan kenapa ia buru-buru tadi adalah ia harus mengembalikan buku yang ia pinjam dua minggu yang lalu. Hari ini sudah jatuh tempo. Ia harus bergegas cepat agar bisa segera pulang dan menyempatkan diri untuk tidur sore sejenak sebelum nanti malam bergelut dengan tugas laporan praktikumnya. Nara menundukkan kepala dan menyandarkannya pada kaca jendela bus di samping kirinya. Tangannya memain-mainkan ponsel, membuka-buka folder koleksinya -yang kebanyakan berisi foto idol grup kpop favoritnya- tanpa benar-benar melihatnya. Gadis itu nampak sedang dalam mood yang tidak baik, mungkin karena letih. Hari ini kuliahnya full dari pagi sampai sore, dan tadi malam ia harus lembur mengerjakan tugas merangkumnya. Bosan dengan ponsel, Nara mulai mengangkat wajahnya. Ia menghembuskan nafas lalu menggembungkan pipinya. Detik berikutnya, ia menoleh ke samping, ke arah luar jendela bus yang ditumpanginya. Dan pada saat itu matanya menangkap sesuatu. Suatu pemandangan yang dengan seketika melebarkan matanya yang sudah terasa berat. Nara mengerjap-ngerjapkan matanya, mencoba memastikan apa yang dilihatnya itu tidak salah. Dalam beberapa saat ia terpaku. Ketika bus mulai menjauh melewati pemandangan itu, senyum lebar gadis itu tiba-tiba mengembang. Segera ia mengangkat ponselnya. Membuka menu pesan untuk mengirim pesan pendek kepada dua sahabatnya. Park Shin Ae dan Choi Sang Hee. Isi pesan untuk keduanya sama. Ya!!! Aku menemukannya! Padang Ilalang!! :-D 888888888888888888888888888888888888888888888888888888888888888888888888888

Lee Nara, Choi Sanghee, dan Park Shin Ae berjalan keluar dari Coffee Cojjee tempat Shin Ae bekerja paruh waktu. Keiko Fujisawa, hoobae mereka yang tadi ikut bergabung sudah pulang lebih dulu karena ada janji dengan eonninya. Nara nampak cekikan sementara Shin Ae berusaha menahan senyumnya. Dan Sanghee, gadis itu masih dalam ekspresi terkejutnya. Ia baru saja mendapat shock terapi dari seorang pria yang bahkan tidak ia kenal. Tiba-tiba Sanghee berhenti di depan pintu Cafe. Ia berteriak nyaring dan mengacak rambutnya. Arrghhh.. Ige mwoya?? Nara dan Shin ae yang ada di belakangnya saling berhadapan kemudian cekikan bersama. Ya!! Sudahlah.. kau juga tidak akan bertemu pria itu lagi. Mungkin ucap Nara terdengar tidak terlalu yakin di akhir kalimatnya.

Itu tadi sangat memalukan kau tahu??? ucap Sanghee dengan nada lemas. Aissh.. jeongmal!! umpatnya. Itu bonusmu hari ini Sanghee-ya, kekekeke goda Shin ae. Nara kembali ikut cekikikan. Aissh, awas kalian!! Sanghee melemparkan tatapan mengancam pada kedua sahabatnya itu. Setelah ini kalian mau kemana? tanya Shin ae mengalihkan topik. Padang ilalang!! jawab Nara buru-buru dengan semangatnya. Ya! Kau serius ingin kesana? tanya Sanghee. Gadis mungil itu mengangguk yakin. Kau sudah setuju kan, Hee-ya. Kita akan kesana hari ini. Tapi, apa kau yakin? Sanghee nampak sedikit ragu. Sudah ikut saja, Hee. Sekalian melakukan hobi memotretmu. Siapa tahu perasaanmu jadi lebih baik setelah diguncang oleh pria tadi. Shin ae memberikan saran yang dibenarkan oleh Nara. Aissh... Baiklah. Akhirnya Sanghee menyerah. Raut mukanya masih belum terlalu berubah, masih nampak lemas seperti tadi. Sementara Nara melonjak gembira. Tapi detik berikutnya ekspresinya berubah sedih. Ia memandang ke arah Shin ae. Sayang kau tidak bisa ikut, Shin ae-ya. Harusnya kita pergi bertiga. Park Shin Ae masih ada shift sampai malam hari itu, jadi ia tidak bisa ikut bergabung bersama Sanghee dan Nara. Sebenarnya aku juga sangat ingin tapi mau bagaimana lagi. Lain kali kita bisa kesana lagi bertiga. Shin ae mengulam senyumnya. Jadi, kita berangkat sekarang? tanya Sanghee usai memastikan kameranya ada di dalam tas. Nara mengangguk. Ne, Kajja!! Sampaikan salam untuk Hye In, ne? Annyeong, ... Nara dan Sanghee bersamaan melambaikan tangan mereka. Ne, Annyeong. Jalgayo... ::::::::::

Omo, kau benar. Ilalangnya banyak dan tinggi pekik Sanghee takjub. Ia dan Nara sedang berdiri di depan pagar rumah tua yang halamannya dipenuhi ilalang itu. Halaman rumah itu memang sangat luas. Tapi mungkin terlalu berlebihan jika disebut sebagai padang ilalang karena ilalang yang ada hanya satu petak. Halaman rumah tua itu dibelah oleh jalan setapak selebar kira-

kira rentangan tangan dua orang dewasa. Di sebelah kiri jalan setapak itu adalah halaman yang lebih luas dari sebelah kanan. Di situlah ilalang-ilalang itu tumbuh. Semuanya sedang berbunga. Sangat indah dilihat. Sepetak rumpun ilalang itu bergerak bersamaan saat ada angin yang bertiup. Bergoyang ke kanan dan ke kiri. Demi apa pun, itu adalah rumpun ilalang paling luas yang pernah Nara lihat langsung dengan matanya. Oleh karena itu, ia dengan antusisus menyebutnya sebagai padang ilalang. Sementara petak tanah yang lebih sempit di sebelah kiri jalan setapak tadi juga nampak ditumbuhi ilalang namun dalam jumlah yang sedikit. Lebih banyak didominasi oleh rumput dan semak-semak pendek. Selain itu ada sebuah pohon besar yang tumbuh disana. Nara tersenyum lebar. Geurae. Ah, aku ingin sekali masuk ke dalam ucapnya dengan nada penuh harap. Kita minta ijin saja usul Sanghee. Hm.. tapi aku tidak yakin rumah itu ada penghuninya jawab Nara mengutarakan dugaannya selama ini. Rumah tua yang terlihat tidak terawat dan selalu nampak sepi. Siapa yang mau tinggal di rumah yang lepas dari adanya rumpun ilalang itu hanya terlihat menakutkan, pikir Nara. Kita coba saja. Kalau memang tidak ada penghuninya itu berarti keuntungan bagi kita ucap Sanghee seraya menunjukkan kamera yang baru ia keluarkan dari dalam tasnya. Kita bisa berfoto sepuasnya lanjutnya dengan senyum merekah. Nara tertawa dan menyetujui ucapan Sanghee. Tapi masalahnya bagaimana kita masuk ke dalam? Apa pintu pagarnya tidak dikunci? tanya Nara, baru menyadari hal itu. Ia dan Sanghee saling berpandangan. Kemudian mereka samasama menunduk, melihat ke arah gembok pagar. Keduanya bernafas lega saat mendapati pintu pagar itu tidak dikunci. Memang ada gembok pintu yang terpasang, namun tidak dalam keadaan terkunci. Baguslah, kita bisa masuk. Setelah itu kita tinggal mengetuk pintu rumah itu untuk minta ijin ucap Sanghee. Kalau ada penghuninya jawab Nara, masih yakin tidak ada orang yang tinggal di rumah itu. Kajja!! ajaknya kemudian. Dan Sanghee mulai membuka pintu pagar itu perlahan. Mereka berdua masuk, menutup pagar itu kembali dengan sama perlahannya, kemudian berjalan beriringan menuju rumah tua di ujung jalan setapak yang sedang mereka pijak. Nara tak henti-hentinya memandangi ilalang yang bergerak-gerak ditiup angin di sebelahnya. Ia tak sabar ingin menghambur kesana. Berlarian dan bermain disana. Sampai di rumah itu, Sanghee dan Nara menarik nafas dalam bersamaan. Kau siap? tanya Sanghee. Nara menggembungkan pipinya dan sedetik kemudian membuang udara yang ada di dalamnya. Setelah itu ia mengangguk.

Tok.. Tokk.. Tokk... Sanghee yang pertama mencoba mengetuk pintu. Belum ada jawaban, ia mencobanya lagi. Nara mengedarkan pandangannya mengamati tampilan rumah itu. Ukuran rumah ini tidak terlalu besar, juga tidak terlalu kecil. Hanya berlantai satu. Bentuknya juga seperti rumah-rumah sederhana kebanyakan. Nampak jarang dibersihkan. Lantai teras rumah itu kotor. Cat dindingnya yang sebenarnya putih juga terlihat sudah kusam. Ada sebuah kursi anyaman yang kondisinya sudah tidak bagus. Di sudut teras, Nara menemukan sesuatu. Ada tumpukan potongan balok kayu disana. Tidak banyak, mungkin sekitar 5 buah. Juga kalengkaleng berukuran sedang yang tutupnya terbuka dan sudah berkarat. Mungkin kaleng lama yang lupa dibuang. Kemudian gadis itu mengalihkan perhatian pada kaca jendela di depannya. Ia maju untuk mencoba mengintip lewat jendela itu. Aissh, debunya desis Nara. Tapi nihil, ternyata jendela itu ditutup selambu dari dalam jadi ia tidak bisa melihat apa-apa. Eotte? Apa yang kau lihat? tanya Sanghee yang mulai menyerah karena tidak ada jawaban selama ia mengetuk pintu dari tadi. Nothing jawab Nara seraya menggelengkan kepalanya. Sanghee menempelkan telinga kanannya ke daun pintu yang tertutup di depannya itu. Mencoba menangkap suara apa saja yang menandakan adanya kehidupan di dalam rumah itu. Beberapa detik, ia ganti menempelkan telinga kirinya dan lebih mempertajam pendengarannya. Mendapatkan hasil yang sama, akhirnya ia benar-benar menyerah. Kurasa kau benar. Rumah ini mungkin memang tidak ada penghuninya. Nara tersenyum. Jadi? tanyanya dengan sebelah alis terangkat. Kajja, kita langsung kesana saja ajak Sanghee seraya memutar tubuh. Nara mengikuti dengan senyum lebar yang mengembang. Gadis itu sedikit berlari dan langsung masuk menghambur ke dalam rumpun ilalang yang cukup tinggi itu. Untuk Nara yang tingginya pas-pasan dan malah cenderung pendek, ilalang-ilalang itu menutupi tubuhnya hampir sebatas dada. Sanghee yang memang lebih tinggi mencoba menggoda gadis itu. Ya! Kau bisa main petak umpet dan bersembunyi disini. Tubuhmu hampir tidak terlihat. Kekekeke. Nara hanya melemparkan pandangan sinis dengan bibirnya yang manyun. Terserah apa katamu. Sekarang cepat ambil fotoku seru Nara yang kemudian langsung memasang pose. Aish, jinjja... desah Sanghee, namun tetap melakukan apa yang diminta sahabatnya itu. Toh, memotret adalah hobinya. Mereka bermain-main cukup lama dan mengambil banyak foto. Nara masih asik berjalan-jalan di hamparan ilalang itu sementara Sanghee sudah berhenti karena merasa tubuhnya mulai gatal. Nara-ya, apa tubuhmu tidak gata-gatal, huh? tanya Sanghee sedikit berteriak. Belum sahut Nara dari jauh. Aigoo, anak itu desah Sanghee. Ia berjalan keluar dari rumpun ilalang itu seraya menggarukgaruk lengannya. Di pinggir hamparan rumpun ilalang itu Sanghee berdiri dan melihat hasil bidikannya. Gadis itu tersenyum, sepertinya ia puas. Kemudian ia memasukkan kameranya ke

dalam tas. Sambil menunggu Nara, ia mengarahkan matanya kembali ke rumah tua yang ada di depannya. Tiba-tiba ia terpaku pada jendela kaca rumah itu. Tempat Nara mencoba mengintip tadi. Sanghee mengernyit, mencoba menajamkan penglihatannya. Dahinya berkerut, lalu ia nampak berpikir. Begitu seriusnya Sanghee hingga ia tidak mendengar Nara yang memanggilnya dari tadi. Ya!! Sanghee-ya! Hee..!! teriak Nara. Begitu sadar namanya dipanggil, Sanghee segera menoleh ke arah Nara dengan wajah linglung. Kau kenapa? tanya Nara yang masih ada di dalam hamparan rumpun ilalang. Sanghee menatap Nara dan jendela rumah tadi bergantian, masih nampak linglung. Lalu ia menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal. Eng.. Aniyo. Kau sudah selesai? Ayo kita pulang. Sepertinya sebentar lagi hujan ucap Sanghee kemudian. Sepertinya gadis itu mencoba menepis sesuatu. Sesuatu yang ia sendiri tidak yakin. Nara mendongak ke langit. Benar. Langit sudah mulai mendung. Sebenarnya ia belum puas. Nara masih ingin bermain di hamparan ilalang-ilalang itu lebih lama. Meskipun tubuhnya akan gatal-gatal, tak jadi masalah karena ia sangat menyukai ilalang. Namun akhirnya ia pun mengangguk. Ne, langit sudah sangat mendung. Kita pulang saja ucapnya kemudian berjalan keluar dari rumpun-rumpun ilalang itu. Kajja.. Sanghee akan melangkah ke arah pintu pagar namun Nara mencegahnya. Ada apa? Kita belum berterimakasih Nara membalikkan tubuhnya menghadap ke arah rumah tua tadi. Lalu ia sedikit membungkuk. Kamsahamnida. Lain kali kami akan berkunjung lagi" ucapnya sungguh-sungguh. Sanghee terkikik melihat tindakan sahabatnya itu. Kau ini ada-ada saja. Nara hanya tersenyum polos menanggapinya.Mereka berdua pun berjalan keluar dari halaman rumah tua itu. Ya! Bagaimana hasil fotonya? Kau tahu aku ini berbakat kan? Tentu saja hasilnya bagus" jawab Sanghee dengan gaya sok pamer. Aissh, kau. Ah, kenapa tadi kau tidak memotret pria yang di cafe itu? Kekeke goda Nara. Ya! Jangan mengingatkanku padanya. Hahahahha.. bagaimana kalau kalian bertemu lagi? Aku tidak ingin membayangkannya. Sanghee menolak seraya menggelengkan kepalanya kuat. Hahahaha,,,

Nara-ya.. jangan tertawa!! 888888888888888888888888888888888888888888888888888888888888888888888888888

Lee Naras POV

Hari ini aku bisa sedikit bersantai. Jam kuliah sudah habis dan ini masih pukul 9 pagi. Jadwal kuliah hari ini memang hanya 2 jam. Tugas yang harus dikumpulkan besok juga sudah kuselesaikan. Damainya jika bisa santai begini, batinku. Aku duduk di salah satu bangku cafetaria kampus bersama seorang temanku. Namanya Han Yoo Jin. Seorang gadis penggila drama. Aku sering mengcopy file drama darinya. Dia adalah kolektor drama terlengkap yang pernah kukenal. Meskipun ia sudah menontonnya di televisi namun tetap saja, ia bilang tidak puas jika belum memiliki filenya. Setelah ini kau mau kemana? tanya Yoo Jin padaku setelah ia menghabiskan jus apelnya. Aku berpikir sebentar. Sebenarnya aku juga tidak memiliki rencana. Shin Ae dan Sanghee masih ada kuliah sampai nanti siang. Jadi tidak mungkin aku keluar dengan mereka setelah ini. Hmm.. molla. Mungkin pulang dan menonton film yang kau copy-kan kemarin jawabku akhirnya, kemudian menyesap kembali ice coffee caramelku. Kau sendiri? aku bertanya balik. Aku akan ke bank. Mau ikut? tawarnya. Aku menimang-nimang sebentar. Ah, tapi rasanya malas sekali. Eng.. Ani. Kau sendirian tidak apa kan? Hhehe.. Yoo Jin nampak mengangguk. Ne, gwaenchana. Sebenarnya aku juga sudah mengajak temanku dari jurusan lain jelasnya. Mmm.. baguslah jawabku. Kalau begitu aku duluan ya. Yoo Jin merapikan rambutnya sebentar kemudian berdiri. Jangan lupa copy-kan mv yang kuminta pesannya mengingatkanku. Aku mengangkat tangan kananku kemudian membentuk lingkaran dari ibu jari dan telunjukku. Ok. Arraseo Baiklah, aku pergi sekarang. Annyeong, Nara. Yoo Jin tersenyum dan melambaikan tangannya sambil berlalu. Ye.. Annyeong. Aku menyesap habis kopiku yang tinggal seperempat kemudian menyisihkan gelas kosong itu. Aku menyangga daguku dengan kedua tangan dan memandang ke depan. Berpikir. Sebaiknya setelah ini kemana? Apa iya pulang sekarang? Pikirku. Tiba-tiba aku teringat dengan fanfict yang tengah kugarap. Cerita amatir tentang biasku. Kekekeke.. baru kutulis kalau tidak salah dua halaman. Hmm, sebaiknya aku menyelesaikan itu saja. Dan sebuah tempat yang terasa lebih menyenangkan untuk menulis terlintas dalam pikiranku. Aku tersenyum, lalu berdiri dan bergegas pergi ke tempat itu.

::::::::::

Aku duduk di antara hamparan rumpun ilalang yang beberapa hari lalu ku datangi bersama Sanghee. Masih sama seperti waktu itu, pintu pagar rumah tua itu tidak dikunci hingga aku bisa masuk dan duduk disini sekarang. Aku sempat mengecek rumah itu juga tadi, tapi sama saja, tetap tidak ada tanda ada orang yang tinggal di dalamnya. Angin cukup banyak bertiup hari ini. Aku sedikit merapatkan coat yang kupakai. Kemudian membuka buku catatanku dan mulai menulis. Sesekali aku berhenti untuk menghirup udara yang beraroma ilalang-ilalang ini. Menikmati suasana sunyi yang menyenangkan ini. Suara angin dan gesekan-gesekan rumpun ilalang yang bergerak-gerak itu terasa begitu damai. Menutupi suara hingar bingar kendaraan di luar sana. Dan ideku mengalir begitu lancar. Aku menulis hampir tiga halaman. Hingga akhirnya berhenti ketika menyadari bahwa ada titik-titik yang air mulai membasahi bukuku. Aku menengadah dan mendongak. Langit begitu mendung dan titik air mulai semakin banyak turun dari sana. Hujan. Aissh, kenapa harus sekarang desahku seraya memasukkan buku dan pulpenku ke dalam tas. Dengan terpaksa aku segera berdiri dan keluar dari hamparan rumpun ilalang itu. Titik-titik air tadi mulai melebat. Bukan gerimis lagi, namun juga belum terlalu deras. Ketika aku hampir sampai pintu pagar tiba-tiba langkahku terhenti. Aku tercengang melihat sesosok pria yang masuk lewat pagar itu. Ia mengenakan mantel hitam dan membawa payung biru tua yang melindungi tubuhnya. Sepertinya ia belum menyadari keberadaanku. Namun aku sudah terlalu panik dan bingung, tidak terlintas pikiran untuk bersembunyi atau melakukan tindakan apa pun yang bisa menghindarkanku dari orang itu. Aku hanya tetap berdiri di tempatku, mematung dengan mata membulat dan, kehujanan. Siapa pria itu?? Hingga akhirnya pria itu sampai di hadapanku. Ia terlihat terkejut melihatku ada disana, di hadapannya. Aku menundukkan wajahku. Aigoo, Eotteokhae? Eotteokhae? Aku meremas jarijari tanganku. Siapa kau? Apa yang kau lakukan di rumahku? tanya pria itu kemudian. Suaranya memang dalam volume yang normal namun, terdengar dingin dan penuh kecurigaan. Entah kenapa aku tak berani mengangkat wajahku. Mungkin terlalu takut. Entahlah, yang jelas aku tak berani memandang pria ini. Satu detik, dua detik....... aku hanya diam hingga akhirnya, Ya! Kau....... Ma... Maaf. Aku memotong kata-kata pria itu sebelum akhirnya memilih untuk kabur darinya. Tanpa pikir panjang aku mengambil jalan di samping pria itu dan berlari begitu saja keluar melewati pagar. Dalam hati aku benar-benar berdoa, jangan biarkan pria tadi mengejar dan menangkapku, Tuhan..

8888888888888888888888888 To be continued.... 88888888888888888888888888

Anda mungkin juga menyukai