Anda di halaman 1dari 5

1

BAB I SUSUNAN ORGANISASI PEMERINTAHAN

Susunan aparat kekuasaan negara jajahan Hindia Belanda sebelum tahun 1848 terdiri 3 kelompok utama. Pertama Opperbestuur, yaitu aparat pemerintahan tertinggi yang berkedudukan di negeri Belanda. Kedua Indisch bestuur, yaitu aparat pemerintahan pusat di Hindia Belanda. Dan yang ketiga adalah Bestuurter plaatse, yaitu aparat pemerintahan daerah. Susunan tersebut tidak berubah sampai dengan berakhirnya negeri Belanda dari negara kekuasaan ke pemerintahan berdasarkan hukum pada tahun 1848. Dengan adanya Peraturan Pemerintah Tahun 1854 perubahan terjadi hanya pada pembagian kekuasaan. Banyak kekuasaan Raja Belanda dan juga Gubernur Jenderal dialihkan kepada parlemen. Kekuasaan Opperbestuur mencakup Tahta Kerajaan Belanda, Parlemen (Majelis Tinggi dan Majelis Rendah), serta Kementerian Urusan Jajahan. Ketiga lembaga pemerintahan di negeri Belanda ini mempunyai kekuasaan menentukan Undang-undang, Peraturan Pemerintah dan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk daerah jajahan Hindia Belanda. Kekuasaan Indisch Bestuur terdiri dari Gubernur Jenderal, Dewan Hindia-Belanda, Sekretaris Umum Negara, dan berbagai Departemen Pemerintahan Umum. kedudukan di Jakarta. Adapun kekuasaan Bestuur ter Plaatse, terdiri dari : Tempat

1. Pemerintahan Daerah (Binnenlandsch Bestuur, BB) dengan standar Eropa 2. Aparat Pemerintahan Bumiputera (Inlandsch Bestuur) dengan standar masyarakat
adat

3. Aparat Pemerintahan Timur Asing (Bestuur Over Vreemde Oosterlingen)


Kurangnya pengetahuan para anggota parlemen tentang masyarakat Indonesia yang sangat jauh dari negeri Belanda menyebabkan pemerintahan tertinggi yang berkedudukan di Belanda sangat tergantung pada Menteri Urusan Jajahan dalam merumuskan Undang-Undang dan Kebijakan. Sering terjadi timbulnya pertentangan dalam Undang-undang dan kebijakan yang ditetapkan seperti soal anggaran, sosial politik, agama, dan pendidikan. Hal-hal tersebut yang menyebabkan timbulnya banyak kelemahan akibat dari adanya penerapan Sistem Pemerintahan terpusat yang berkedudukan di negeri

2
Belanda. Sementara itu administrasi pemerintahan dan administrasi politik di Hindia

Belanda dilaksanakan oleh kelembagaan Indisch Bestuur dan Bestuur ter Plaatse. Sebelum era tanam paksa 1830, kelembagaan Indisch Bestuur terdiri dari Gubernur Jenderal dan Dewan Hindia. Bidang tugas di bawah Gubernur Jenderal dipangku oleh para pelaksana pemerintah yang berada langsung di bawah Gubernur Jenderal. Pelaksana pemerintah tersebut bukan bersifat instansi ataupun berbentuk departemen. Mereka itu adalah Komandan Tentara (Leger) dan Angkatan Laut (Zeemacht), petugas pemerintahan umum atau sejenis Sekretariat Negara, serta Kepala Urusan Milik Pemerintah, Uang, Eksport, dan Import. Dengan timbulnya tanam paksa (cultuur stelsel), banyak urusan pemerintahan umum/sekretariat negara diserahkan kepada Kepala Urusan Milik Pemerintah, Uang, Eksport, dan Import yang kemudian namanya diganti menjadi Direktur Jenderal Keuangan. Kelembagaan Direktorat Jenderal ini membawahi direktorat baru di bidang pertanian yang dipimpin oleh Direktur Pertanian (Directeur der Cultures), Direktur Perlengkapan dan Milik Pemerintah (Directeur voors Lands Middelen en Domeinen), serta Direktur Produksi dan Gudang Pemerintah (Directeur voors Lands Producten en Civiele Magazijnen). Setelah negeri Belanda menjadi negara berdasarkan hukum pada tahun 1848 dan Peraturan Pemerintah tahun 1854, Pemerintah Kerajaan Belanda menetapkan tugas pemerintahan umum/sekretariat negara di Hindia Belanda dibagi atas departemendepartemen yang dikepalai masing-masing oleh seorang direktur. Stb. No. 127, terdapat tujuh departemen, yaitu : Macam dan jumlah departemen ditetapkan oleh Kepala Kerajaan Belanda. Pada tahun 1866, berdasarkan Ind.

1. Departemen Pemerintahan Daerah (Binnenlandsch Bestuur, BB) 2. Departemen Pengajaran, Agama, dan Kerajinan (Onderwijs, Eeredienst, en
Nijverheid)

3. Departemen Pekerjaan Umum (Burgerlijke Openbare Werken) 4. Departemen Keuangan (Financien) 5. Departemen Kehakiman (Justitie) 6. Departemen Urusan Perang (Van Oorlog) 7. Departemen Angkatan Laut (Der Marine)

3
Disamping tujuh departemen, masih ada satu instansi penting lainnya yang berada di bawah Gubernur Jenderal, yaitu Sekretariat Negara (Algeemene Secretarie). Sebagai tindak lanjut dari peraturan pemerintah tersebut, pada tahun 1866 Gubernur Jenderal mengeluarkan instruksi agar para pejabat Pemerintahan Daerah, baik pejabat Belanda (residen) maupun pejabat Bumiputera (bupati) lebih menekankan perlindungan kepada masyarakat kecil pribumi daripada hubungan baik dengan golongan para priyayi. Untuk itu para pejabat pemerintahan daerah supaya lebih banyak memperhatikan dan menerima keluhan rakyatnya. Dengan Instruksi Gubernur Jenderal tanggal 1 Januari 1873, para pejabat pemerintahan daerah harus lebih memusatkan tugas sebagai seorang pamong (bestuurder) daripada sebagai seorang penguasa (machthebber) ataupun sebagai pulisi. Kepada para pejabat residen (penguasa berkebangsaan Belanda) diharapkan mengemban panca tugas, yaitu : 1. Menjaga wibawa pemerintah Hindia Belanda 2. Melindungi rakyat dari kesewenangan petugas pemerintahan daerah maupun penguasa bangsa pribumi 3. Mengurus keuangan daerah 4. Memajukan kehidupan umum seperti pertanian dan kerajinan 5. Memajukan kehidupan sosial, budaya dan pendidikan rakyat. Dengan adanya instruksi 1873 tersebut di atas, maka urusan Kehakiman dan Kepolisian dialihkan ke instansi lain . Sedangkan kekuasaan dan kewibawaan penguasa Bumiputera seperti Bupati (Regent) dikurangi dan dipindahkan ke tangan penguasa Belanda, yaitu Residen. Sementara itu, hak tanah jabatan dan tenaga kerja tanpa diberi upah yang diberikan kepada setiap para pejabat bumiputera mulai tahun 1882 dicabut. Pada tahun 1874 terbentuk Komisi Pamong Praja berkebangsaan Eropa yang mempunyai tugas mengurus pertanian rakyat pribumi, terutama ditekankan untuk pertanaman padi. Beberapa percobaan dilakukan di Jawa dan hasilnya dipublikasikan Beberapa ilmuwan seperti Karel Frederick Holle, van Gorkum dan kepada masyarakat.

Direktur Kebun Raya Dr. R.H.C.C. Schaffer (1868-1880) telah banyak berjasa dalam melaksanakan rintisan percobaan pertanian rakyat pribumi. Sebelum tahun 1900, upaya Pemerintah Hindia-Belanda untuk memperbaiki cara usahatani bagi masyarakat pribumi di Indonesia sangat sedikit sekali. Pada saat itu,

4
usahatani masyarakat pribumi dilaksanakan secara tradisional. cukup menguntungkan dan mencukupi kebutuhan hidupnya. Sampai dengan tahun 1902, pengelolaan urusan pertanian di Indonesia Para petani pribumi,

umumnya berkeyakinan bahwa apa yang telah diperoleh dari hasil usahataninya sudah

dipercayakan oleh Pemerintah Hindia-Belanda kepada Departemen Pemerintahan Dalam Negeri. Para petugas pemerintah yang memberikan bimbingan pertanian adalah aparat Departemen Dalam Negeri yang juga mempunyai tugas-tugas lain selain urusan pertanian. Karena tugas para petugas tersebut sangat luas cakupannya, maka upaya terhadap pembinaan dan pembangunan pertanian kurang mendapat perhatian secara lebih intensif. Pada saat itu, ada anggapan masyarakat pribumi bahwa para petugas pemerintah Hindia-Belanda merasa lebih tinggi derajatnya dan kebanyakan para petugas tersebut menjauhkan diri dengan rakyat. Masyarakat umum tidak berani mendekati golongan pamong praja, mereka menutup diri, tidak suka berterus terang karena takut mendapat marah. Hanya golongan masyarakat kelas menengah dan yang menginginkan mendapat perhatian mempunyai lebih banyak kesempatan bergaul dengan pamong praja. Dengan adanya pergaulan yang kurang baik dengan masyarakat pribumi, banyak perintah pamong praja yang tidak dapat dijalankan oleh rakyat pada umumnya dan masyarakat petani pada khususnya. Pemerintah Hindia-Belanda pada tanggal 14 April 1902, mengirim surat kepada Pemerintah Kerajaan Belanda agar di Indonesia dibentuk departemen baru guna menangani hal-hal yang berkenaan dengan pertanian. Rencana pembentukan Departemen Pertanian hendaknya diserahi tugas pengembangan bidang pembangunan pertanian dan pembinaan administrasinya. Dengan terbentuknya departemen baru yang khusus menangani urusan pertanian akan dapat membantu Departemen Dalam Negeri, berupa berkurangnya beban yang terlalu berat dipikul oleh Departemen Dalam Negeri dalam melaksanakan tugas kewajiban dan tanggung jawabnya. Pada tanggal 1 Januari 1905 berdiri Departemen Pertanian di Indonesia. Tahun 1911, Departemen tersebut dirubah menjadi Departemen Pertanian, Kerajinan, dan Perdagangan. Demikian pula, tahun 1934 berubah lagi menjadi Departemen Perekonomian sampai pemerintah Hindia Belanda menyerah kalah pada tahun 1942 kepada tentara pendudukan Jepang.

Pemerintahan pendudukan tentara Jepang menyusun organisasi pemerintahan sipil di Indonesia menjadi 3 wilayah, yaitu : Wilayah Sumatra berkedudukan di Bukittinggi, Wilayah Jawa berkedudukan di Jakarta, dan Wilayah kepulauan Indonesia lainnya berkedudukan di Makassar. Pemerintahan tertinggi seperti halnya Gubernur Jenderal dalam pemerintahan Hindia Belanda dilakukan oleh Perwira Tinggi Tentara Jepang yang disebut Gunsireikan, dan sejak 1 September 1943 namanya diganti menjadi Saikoo Sikikan. Dalam menjalankan pemerintahan sipil, pemerintah Jepang menggunakan Departemen dan Jawatan yang sudah ada sejak Pemerintahan Hindia Belanda. Kepolisian dan Departemen Propaganda. Disamping departemen yang telah ada, pemerintahan Jepang membentuk 2 departemen baru, yaitu Departemen Urusan pertanian pada pemerintahan Hindia Belanda diselenggarakan oleh Departemen Perekonomian (1934-1942) maka pada pemerintahan Jepang dinamakan Gunseikanbu Sangyobu, sedangkan Jawatan Pertanian Rakyat dinamakan Nomuka. Organisasi pemerintahan sipil masa pendudukan Jepang pada hakekatnya mengikuti struktur organisasi pemerintahan Hindia Belanda. Perbedaannya, jabatan Gubernur dihilangkan sehingga tidak ada wilayah propinsi. Menurut Osamu Serei No. 27 tahun 1942 (tahun 2602), seluruh wilayah Jawa dibagi atas Keresidenan (Syuu), Kotapraja (Si), Kabupaten (Ken), Kewedanaan (Gun), Kecamatan (Son), dan Desa (Ku). Masingmasing tingkat wilayah dikepalai oleh Residen (Syuu-Cookan), Walikota (Si-coo), Bupati (Ken-Coo), Wedana (Gun-Coo), Camat (Son-Coo) dan Kepala Desa (Ku-Coo). Disamping itu masih terdapat wilayah swapraja Kasunan (Swakarta) dan Kasultanan dengan sebutan Kooti. Selama pemerintahan Jepang, perubahan-perubahan peraturan perundangan sering kali dilakukan. Lembaga pamong praja dibebani pekerjaan mengenai berbagai macam soal yang seharusnya menjadi urusan jawatan. wilayahnya. Para Residen yang melaksanakan tugas dekonsentrasi sebagai pamong praja juga bertindak sebagai Kepala Polisi dalam Sementara itu jabatan pamong praja di bawah Residen, seperti Bupati, Wedana, Camat dan Kepala Desa tidak lagi menjalankan tugas kepolisian.

Anda mungkin juga menyukai