Anda di halaman 1dari 3

Delirium adalah diagnosis klinis, gangguan otak difus yang dikarasteristikkan dengan variasi kognitif dan gangguan tingkah

laku. Ini biasa dan menjadi problem serius di RS dan sering tak diketahui pada pasien usila. Delirium biasanya disebabkan banyak faktor; banyak yang dapat dicegah. Ada hubungan terbalik antara daya tahan penderita dan beratnya serangan yang dibutuhkan untuk menginduksi/mendapatkan delirium. Meskipun sebelumnya delirium dipercaya sebagai kondisi "self limiting" (sembuh sendiri) daya pulih sempurna adalah perkecualian. Prognosis-nya buruk. Dengan kematian yang bermakna meningkatkan biaya perawatan dan kebutuhan untuk perawatan rumah tambahan, rehabilitasi, dan perawatan rumah jangka panjang. Pengantar Delirium (diketahui juga sebagai sindroma otak akut) adalah sebuah diagnosis klinis gangguan otak difus yang dikarakteristikkan sebagai variasi kognitif dan gangguan tingkah laku (Tabel 1). Ini biasanyan merupakan sebagian problem umum di antara pasien rawat RS dan insidensinya meningkat dengan umur. Delirium sebelumnya dipercaya sebagai kondisi yang sembuh sendiri (self limiting), sekarang nyata bahwa delirium mempunyai prognosis buruk, meningkatkan biaya rawat, peningkatan kebutuhan institusional, rehabilitasi dan perawatan rumah. Meskipun kurang serius delirium menyebabkan Delirium secara sering tidak dikenali diantara pasien lansia yang dirawat.. atofisiologi Gambaran klinis delirium bervariasi karena keterlibatan yang luas kortikal dan subkortikal. Patofisiologinya tidak diketahui, tetapi dapat karena penurunan metabolisme oksidatif otak menyebabkan perubahan neurotransmiter di daerah prefrontal dan subkortikal. Ada kejadian penurunan kolinergik dan peningkatan aktifitas dopaminergik, pada saat kadar serotonin dan kadar GABA yang bermakna tetap tidak jelas.Hal lain delirium dapat efek dari kortisol plasma yang meningkat pada otak akibat diinduksi stress. Etiologi Delirium disebabkan kompleks yang saling mempengaruhi diantara faktor predisposisi (Tabel 2) dan pencetus (Tabel 3). Pasien dengan beberapa faktor predisposisi mungkin menjadi delirium dibanding pasien tanpa faktor tersebut. Ada hubungan terbalik antara predisposisi host dan beratnya pencetus dengan banyaknya pasien mengalami sebagai akibat hal sepele (ringan). Pasien tanpa faktor resiko biasanya membutuhkan penyebab agak berat (seperti kecelakaan otak bermakna) untuk menginduksi delirium, meskipun penting untuk diingat pasien yang mempunyai delirium sebagai akibat penyebab minor, yang mungkin tak dikenali, yang mendasari demensia. Tabel 2. Faktor predisposisi. Demensia Obat-obatan multipel Umur lanjut Kecelakaan otak seperti stroke, penyakit Parkinson Gangguan penglihatan dan pendengaran Ketidakmampuan fungsional Hidup dalam institusi Ketergantungan alkohol Isolasi sosial Kondisi ko-morbid multipel Depresi Riwayat delirium post-operative sebelumnya Tabel 3. Faktor pencetus (presipitasi). Penyakit akut berat (termasuk, tetapi tak terbatas kondisi di bawah ini) o Infeksi dada, urin, dll 10-35% o Intoksikasi obat/racun 22-39% o Withdrawal benzodiazepin

Withdrawal alkohol defisiensi thiamin Ensefalopati metabolik (25%) Asam basa dan gangguan elektrolit Hipoglikemia Hipoksia atau hiperkapnia Gagal hepar/ginjal Polifarmasi Bedah dan anestesi Nyeri post op yang tak dikontrol baik Neurologis 8% (anoksia, stroke, epilepsi, dll) Perubahan dari lingkungan keluarga 'sleep deprivation' Albumin serum rendah Demam/hipothermia Hipotensi perioperati Pengekangan fisik Pemekaian kateter terus menerus Kardiovaskular 3% Tak ditemukan penyebab 10% Obat dan Delirium Preparat farmasi, bebas atau degan resep dapat menyebabkan delirium pada lansia dan menyebabkan 11-30 % perawatan RS. Studi terhadap 432 pasien umur > 65 tahun di sebuah RS Universitas, Rudberg dkk menunjukkan bahwa 43 % kasus delirium berhubungan dengan obat. Lindley dkk menunjukkan bahwa 26 % dari 416 ( 6,3%) perawatan pasien usila di RS Pendidikan sebagai akibat reaksi obat tak dapat diinginkan, 50% karena obat-obatan yang tak cocok. Lansia lebih sensitif terhadap efek obat atau dosis rendah dan secara khusus beresiko delirium pada saat lebih besardari obat yang digunakan.Obat-obatan yang melewati sawar darah otak menyebabkan delirium. Delirium karena toksisitas obat juga disebabkan oleh obat-obatan dengan 'indeks terapi sempit', meskipun beberapa obat seperti digoxin dilaporkan menyebabkan delirium pada keadaan normal. Pasien dengan intoksikasi alkohol dapat menyebabkan delirium selama perawatan meskipun withdrawal alkohol dapat menyebabkan delirium 1-3 hari setelah dirawat, seperti withdrawal hipnotik dan sedatif. Obat-obatan secara umum dapat menyebabkan delirium seperti pada tabel 4. Obat paling sering menyebabkan delirium adalah sedatif dan hipnotik, antikolinergik dan narkotik. Penggunaan preparat ini sebaiknya berhati-hati pada lansia, khususnya pada gangguan kognitif sebelumnya. Jika obat ini harus dipakai sebaiknya dengan dosis rendah dan dinaikkan perlahan. Obat hipoglikemi, khususnya kerja sedang dapat menyebabkan hipoglikemi yang juga bermanifestasi konfusio. Tabel 4. Obat-obat yang menyebabkan delirium. Sedatif hipnotik o Benzodiazepin o Kloralhidrat, barbiturat o Anti kolinergik o benztropin, oksibutirin Antihistamin mis difenhidramin Antispasmodik misal : belladona, propanthelin Fenothiazin misal: thioridazin Antidepresan trisklik Antiparkinson misal levodopa, amantadin, pergolid, bromokriptin

o o o o o o

Analgetik misal opiat (khususnya pethidin), jarang : NSAID,aspirin Obat anestesi Antipsikotik, khususnya beefek antikolinergik, misal klozapin Steroid : dapat tergantung dosis Antagonis histamin- 2, khususnya simetidin, tetapi juga golongan ranitidin. Antibiotik:aminoglikosid, penicillin, sefalosporin, sulfonamid dan beberapa flurokuinolon seperti siprofloksasin. Obat kardiovaskuler dan antihipertensi, kinin,digoxin (padakadar normal),amiodaron, propanolol, methiodopa Antikonvulsan : fenitoin, karbamazepin, valproat, pirimidin, klonazzepam,klobazam. Lain-lain : lithium, flunoksilin, metoclopramid,imunosupresan.

KLINIS Diagnosis delirium dibuat klinis. Gambaran khasnya adalah fluktuasi kognisi, biasanya memburuk pada malam hari dan membaik dengan relatif. Biasanya terdapat efek kognitif multipel termasuk kurangnya perhatian, daya ingat dan fungsi lebih tinggi yang terjadi akut beberapa jam sampai dengan hari. Gangguan persepsi termasuk halusinasi (khususnya visual) dan delusi (biasanya penganiayaan) dan kejadian dari proses pikiran yang abnormal adalah umum terjadi.. Jarang terjadi gangguan dari siklus tidur-bangun dengan gambaran awal insomnia dan mimpi buruk. Gambar klasik delirium termasuk kurang istirahat, rasa gembira, pembicaraan yang tertekan, tertawa, berteriak dan hiperaktifitas otonom (seperti diaforesis, takikardi dan cemas). Perilaku ini dapat mengganggu RS atau rumah perawatan dan suatu saat sulit diatasi. Meskipun delirium adalah problem kognitif pasien, itu dapat menyebabkan keluhan somatik termasuk 'gait' dan gangguan keseimbangan dengan peningkatan jatuh, depresi, gangguan menelan (meningkatkan resiko aspirasi) dan inkotinensia urin serta alvi. Sampai 2/3 pasien delirium tetap tak terdiagnosa oleh dokter. Dalam studi prospektif 229 lansia yang dirawat di RS tersier Francis dkk menemukan dokter mendiagnosa hanya 8 dari 50 (16%) pasien yang memenuhi kriteria DSM III dari delirium. Beberapa studi lain memperkirakan 32-67% pasien delirium tetap tak terdiagnosa. Sebab kunci tak terdiagnosanya delirium adalah banyak pasien tidak memperlihatkan tingkah laku psikomotor hiperalert yang dapat dikenali seperti di atas. Sebagian besar pasien delirium ternyata hipoalert, diam dan kurang gerak, sering terjadi penyimpangan tidur ( mengigau) dengan percakapan pelan dan inkoheren. Pada lingkungan RS yang sibuk mereka dianggap sebagai pasien model dari diagnosa delirium diabaikan. Francis dkk memperlihatkan kurang dari dari 22% dengan delirium mempunyai tingkah laku mengacau meski > 50% menjadi inkotinensia urin. Fluktuasi delirium juga mengacaukan diagnosa seperti pasien dengan mengacau malam hari mungkin tampak normal pada saat kunjungan bangsal Dr di pagi hari. Ini digabung dengan fakta bahwa test kognitif jarang dikerjakan di RS. Pada studi 100 pasien dengan bedah elektif dan emergency di sebuah RS Universitas Ni Chonchubhair dkk menunjukkan 10 point Abbreviated Mental Test Score (AMTS) secara rutin pada saat masuk dan 3 hari kemudian. Mereka mendapatkan penurunan > 2 angka post operatif mempunyai sensitifitas 93 % dan spesifisitas 84% untuk mendeteksi delirium seperti DSM III. Juga riwayat yang baik dari fungsi kognitif jarang diambil oleh staf RS, yang akan melengkapi riwayat lengkap untuk membedakan delirium dan demensia. Ada kuosioner; misalnya Informant Questionnaire on Cognitive Decline in Elderly (IQCOPE) yang akan menolong diagnosa demensia pada pasien lansia. Sayangnya, baru sedikit penelitian yang dirancang baik mengenai pemberian obat pada delirium. Kebanyakan penulis menyarakan antipsikotik, khususnya haloperidol, sebagai pengobatan lini pertama untuk delirium. Therapeutic Guideline: Psychotropic Australia merekomendasikan lini pertma benzidiazepin apabila khayalan atau halusinasi tidak terjadi. Breitbart dkk. melakukan suatu percobaan acak pada 30 pasien AIDS yang memenuhi kriteria DSM untuk delirium. Haloperidol dan klorpromazine menunjukkan persamaan keampuhan, sedangkan terapi lorazepam terbatas oleh efek samping.

Delirium Ditulis oleh Nenk Pada tanggal 13 September 2011 inShare Delirium adalah keadaan yang yang bersifat sementara dan biasanya terjadi secara mendadak, dimana penderita mengalami penurunan kemampuan dalam memusatkan perhatiannya dan menjadi linglung, mengalami disorientasi dan tidak mampu berfikir secara jernih. Berbagai keadaan atau penyakit (mulai dari dehidrasi ringan sampai keracunan obat atau infeksi yang bisa berakibat fatal), bisa menyebabkan delirium. Penyebab delirium: # Alkohol, obat-obatan dan bahan beracun # Efek toksik dari pengobatan # Kadar elektrolit, garam dan mineral (misalnya kalsium, natrium atau magnesium) yang tidak normal akibat pengobatan, dehidrasi atau penyakit tertentu # Infeksi akut disertai demam # Hidrosefalus bertekanan normal, yaitu suatu keadaan dimana cairan yang membantali otak tidak diserap sebagaimana mestinya dan menekan otak # Hematoma subdural, yaitu pengumpulan darah di bawah tengkorak yang dapat menekan otak. # Meningitis, ensefalitis, sifilis (penyakit infeksi yang menyerang otak) # Kekurangan tiamin dan vitamin B12 # Hipotiroidisme maupun hipotiroidisme # Tumor otak (beberapa diantaranya kadang menyebabkan linglung dan gangguan ingatan) # Patah tulang panggul dan tulang-tulang panjang # Fungsi jantung atau paru-paru yang buruk dan menyebabkan rendahnya kadar oksigen atau tingginya kadar karbon dioksida di dalam darah # Stroke. Ciri utama dari delirium adalah tidak mampu memusatkan perhatian. Penderita tidak dapat berkonsentrasi, sehingga mereka memiliki kesulitan dalam mengolah informasi yang baru dan tidak dapat mengingat peristiwa yang baru saja terjadi. Hampir semua penderita mengalami disorientasi waktu dan bingung dengan tempat dimana mereka berada. Fikiran mereka kacau, mengigau dan terjadi inkoherensia. Pada kasus yang berat, penderita tidak mengetahui diri mereka sendiri. Beberapa penderita mengalami paranoia dan delusi (percaya bahwa sedang terjadi hal-hal yang aneh). Respon penderita terhadap kesulitan yang dihadapinya berbeda-beda; ada yang sangat tenang dan menarik diri, sedangkan yang lainnya menjadi hiperaktif dan mencoba melawan halusinasi maupun delusi yang dialaminya. Jika penyebabnya adalah obat-obatan, maka sering terjadi perubahan perilaku. Keracunan obat tidur menyebabkan penderita sangat pendiam dan menarik diri, sedangkan keracunan amfetamin menyebabkan penderita menjadi agresif dan hiperaktif. Delirium bisa berlangsung selama berjam-jam, berhari-hari atau bahkan lebih lama lagi, tergantung kepada beratnya gejala dan lingkungan medis penderita. Delirium sering bertambah parah pada malam hari (suatu fenomena yang dikenal sebagai matahari terbenam). Pada akhirnya, penderita akan tidur gelisah dan bisa berkembang menjadi koma (tergantung kepada penyebabnya). Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejalanya dan sesegera mungkin ditentukan penyebabnya. Dilakukan pemeriksaan fisik lengkap dan dititikberatkan pada respon neurologis penderita. Pemeriksan lainnya yang biasa dilakukan adalah pemeriksaan darah, rontgen dan pungsi lumbal. Pengobatan tergantung kepada penyebabnya; - infeksi diatasi dengan antibiotik - demam diatasi dengan obat penurun panas

- kelainan kadar garam dan mineral dalam darah diatasi dengan pengaturan kadar cairan dan garam dalam darah. Untuk meringankan agitasi diberikan obat-obat benzodiazepin (misalnya diazepam, triazolam dan temazepam). Obat anti-psikosa (misalnya haloperidol, tioridazin dan klorpromazin) biasanya diberikan hanya kepada penderita yang mengalami paranoid atau sangat ketakutan atau penderita yang tidak dapat ditenangkan dengan benzodiazepin. Jika penyebabnya adalah alkohol, diberikan benzodiazepin sampai masa agitasi penderita hilang. Inkontinensia Urine (IU) atau dikenal dalam bahasa awan sebagai beser merupakan salah satu keluhan utama terutama pada penderita lanjut usia. Inkontinensia urine adalah pengeluaran urin tanpa disadari dalam jumlah dan frekuensi yang cukup sehingga mengakibatkan masalah gangguan kesehatan dan atau sosial DEFINISI Inkontinensia Urine (IU) atau yang lebih dikenal dengan beser sebagai bahasa awam merupakan salah satu keluhan utama pada penderita lanjut usia. Inkontinenensia urine adalah pengeluaran urin tanpa disadari dalam jumlah dan frekuensi yang cukup sehingga mengakibatkan masalah gangguan kesehatan dan atau sosial.Variasi dari inkontinensia urin meliputi keluar hanya beberapa tetes urin saja, sampai benar-benar banyak, bahkan terkadang juga disertai inkontinensia alvi (disertai pengeluaran feses). ETIOLOGI Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi dan fungsi organ kemih, antara lain: melemahnya otot dasar panggul akibat kehamilan berkali-kali, kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini mengakibatkan seseorang tidak dapat menahan air seni. Selain itu, adanya kontraksi (gerakan) abnormal dari dinding kandung kemih, sehingga walaupun kandung kemih baru terisi sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin berkemih. Penyebab Inkontinensia Urine (IU) antara lain terkait dengan gangguan di saluran kemih bagian bawah, efek obat-obatan, produksi urin meningkat atau adanya gangguan kemampuan/keinginan ke toilet. Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena infeksi. Jika terjadi infeksi saluran kemih, maka tatalaksananya adalah terapi antibiotika. Apabila vaginitis atau uretritis atrofi penyebabnya, maka dilakukan tertapi estrogen topical. Terapi perilaku harus dilakukan jika pasien baru menjalani prostatektomi. Dan, bila terjadi impaksi feses, maka harus dihilangkan misalnya dengan makanan kaya serat, mobilitas, asupan cairan yang adekuat, atau jika perlu penggunaan laksatif. Inkontinensia Urine juga bisa terjadi karena produksi urin berlebih karena berbagai sebab. Misalnya gangguan metabolik, seperti diabetes melitus, yang harus terus dipantau. Sebab lain adalah asupan cairan yang berlebihan yang bisa diatasi dengan mengurangi asupan cairan yang bersifat diuretika seperti kafein. Gagal jantung kongestif juga bisa menjadi faktor penyebab produksi urin meningkat dan harus dilakukan terapi medis yang sesuai. Gangguan kemampuan ke toilet bisa disebabkan oleh penyakit kronik, trauma, atau gangguan mobilitas. Untuk mengatasinya penderita harus diupayakan ke toilet secara teratur atau menggunakan substitusi toilet. Apabila penyebabnya adalah masalah psikologis, maka hal itu harus disingkirkan dengan terapi non farmakologik atau farmakologik yang tepat. Pasien lansia, kerap mengonsumsi obat-obatan tertentu karena penyakit yang dideritanya. Nah, obat-obatan ini bisa sebagai biang keladi mengompol pada orang-orang tua. Jika kondisi ini yang terjadi, maka penghentian atau penggantian obat jika memungkinkan, penurunan dosis atau modifikasi jadwal pemberian obat. Golongan obat yang berkontribusi pada IU, yaitu diuretika, antikolinergik, analgesik, narkotik, antagonis adrenergic alfa, agonic adrenergic alfa, ACE inhibitor, dan kalsium antagonik. Golongan psikotropika seperti antidepresi, antipsikotik, dan sedatif hipnotik juga memiliki andil dalam IU. Kafein dan alcohol juga berperan dalam terjadinya mengompol. Selain hal-hal yang disebutkan diatas inkontinensia urine juga terjadi akibat kelemahan otot dasar panggul, karena kehamilan, pasca melahirkan, kegemukan (obesitas), menopause, usia lanjut, kurang aktivitas dan operasi vagina. Penambahan berat dan tekanan selama kehamilan dapat menyebabkan melemahnya otot dasar panggul

karena ditekan selama sembilan bulan. Proses persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar panggul rusak akibat regangan otot dan jaringan penunjang serta robekan jalan lahir, sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya inkontinensia urine. Dengan menurunnya kadar hormon estrogen pada wanita di usia menopause (50 tahun ke atas), akan terjadi penurunan tonus otot vagina dan otot pintu saluran kemih (uretra), sehingga menyebabkan terjadinya inkontinensia urine. Faktor risiko yang lain adalah obesitas atau kegemukan, riwayat operasi kandungan dan lainnya juga berisiko mengakibatkan inkontinensia. Semakin tua seseorang semakin besar kemungkinan mengalami inkontinensia urine, karena terjadi perubahan struktur kandung kemih dan otot dasar panggul. PATOFISIOLOGI Inkontinensia urine dapat terjadi dengan berbagai manifestasi, antara lain: Fungsi sfingter yang terganggu menyebabkan kandung kemih bocor bila batuk atau bersin. Bisa juga disebabkan oleh kelainan di sekeliling daerah saluran kencing. Fungsi otak besar yang terganggu dan mengakibatkan kontraksi kandung kemih. Terjadi hambatan pengeluaran urine dengan pelebaran kandung kemih, urine banyak dalam kandung kemih sampai kapasitas berlebihan. Inkontinensia urine dapat timbul akibat hiperrefleksia detrusor pada lesi suprapons dan suprasakral. Ini sering dihubungkan dengan frekuensi dan bila jaras sensorik masih utuh, akan timbul sensasi urgensi. Lesi LMN dihubungkan dengan kelemahan sfingter yang dapat bermanifestasi sebagai stress inkontinens dan ketidakmampuan dari kontraksi detrusor yang mengakibatkan retensi kronik dengan overflow Ada beberapa pembagian inkontinensia urin, tetapi pada umumnya dikelompokkan menjadi 4: 1. Urinary stress incontinence 2. Urge incontinence 3. Total incontinence 4. Overflow incontinence *Stress urinary incontinence terjadi apabila urin secara tidak terkontrol keluar akibat peningkatan tekanan di dalam perut. Dalam hal ini, tekanan di dalam kandung kencing menjadi lebih besar daripada tekanan pada urethra. Gejalanya antara lain kencing sewaktu batuk, mengedan, tertawa, bersin, berlari, atau hal lain yang meningkatkan tekanan pada rongga perut. Pengobatan dapat dilakukan secara tanpa operasi(misalnya dengan Kegel exercises, dan beberapa jenis obat-obatan), maupun secara operasi (cara yang lebih sering dipakai). *Urge incontinence timbul pada keadaan otot detrusor yang tidak stabil, di mana otot ini bereaksi secara berlebihan. Gejalanya antara lain perasaan ingin kencing yang mendadak, kencing berulang kali, kencing malam hari, dan inkontinensia. Pengobatannya dilakukan dengan pemberian obat-obatan dan beberapa latihan. *Total incontinence, di mana kencing mengalir ke luar sepanjang waktu dan pada segala posisi tubuh, biasanya disebabkan oleh adanya fistula (saluran abnormal yang menghubungkan suatu organ dalam tubuh ke organ lain atau ke luar tubuh), misalnya fistula vesikovaginalis (terbentuk saluran antara kandung kencing dengan vagina) dan/atau fistula urethrovaginalis (saluran antara urethra dengan vagina). Bila ini dijumpai,dapat ditangani dengan tindakan operasi. *Overflow incontinence adalah urin yang mengalir keluar akibat isinya yang sudah terlalu banyak di dalam kandung kencing akibat otot detrusor yang lemah.Biasanya hal ini dijumpai pada gangguan saraf akibat penyakit diabetes, cedera pada sumsum tulang belakang, atau saluran kencing yang tersumbat. Gejalanya berupa rasa tidak puas setelah kencing (merasa urin masih tersisa di dalam kandung kencing), urin yang keluar sedikit dan pancarannya lemah. Pengobatannya diarahkan pada sumber penyebabnya.

Anda mungkin juga menyukai