Anda di halaman 1dari 22

INFEKSI SALURAN KEMIH (ISK)

Kelompok 4: Diah Ayu W 07613082 C. S Dewo 07613119 Yulianti W 07613124 Rafy Annisa 07613126 Anisah S 07613132 Asti Mayni S 07613133 Khairatunnisa 07613138 Helminawati 07613140

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA 2010

INFEKSI SALURAN KEMIH (ISK)

A. Definisi dan Epidemiologi Infeksi saluran kemih didefinisikan sebagai presentasi klinis dari mikroorganisme dalam urin yang melebihi batas ambang normal mikroorganisme tersebut, yang berpotensi menginvasi pada jaringan dan struktur saluran kemih (dipiro et al, 2005). Seseorang bisa dikatakan mengalami infeksi saluran kemih pada saluran kemihnya bila jumlah bakteri di dalam urinnya lebih dari 100.000/mL urin. Namun pada beberapa pasien wanita, bisa dikatakan infeksi meskipun jumlah bakterinya kurang dari 100.000/mL urin (Dipiro et al, 2005). Urinary Tract Infection (UTI) atau lebih dikenal Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan masalah yang banyak dijumpai dalam praktek klinis. Menurut saluran yang terkena maka ISK dapat dibedakan menjadi bagian atas (pielonefritis) dan bagian bawah (sisititis, prostatitis, uretritis) (Tisher dan Wilcox, 1997). Dari segi klinis ISK dibagi menjadi: 1) Infeksi saluran kemih tidak terkomplikasi (simple / uncomplicated urinary tract infection) yaitu bila tanpa faktor penyulit dan tidak didapatkan gangguan struktur maupun fungsi saluran kemih. 2) Infeksi saluran kemih terkomplikasi (complicated urinary tract infection) yaitu bila terdapat hal-hal tertentu sebagai penyulit ISK dan kelainan struktural maupun fungsional yang merubah aliran urin, seperti : a) Obstruksi saluran urin (1) Anomali konginetal (2) Batu saluran kemih (3) Oklusi urete (4) Kista ginjal

(5) Abses ginjal (6) Tumor ginjal b) Refluks vesikouretral c) Penderita gangguan fungsi dan struktur ginjal d) Residu urin dalam kandung kemih (1) Neurogenic bladder (2) Struktur uretra (3) Penyakit dengan pembesaran prostat e) Instrumentasi saluran kemih (1) Katerisasi urin (2) Dilatasi uretra (3) Sistoskopi dan nefrostomi (4) Pielografi retrograde f) Populasi / keadaan yang spesifik (1) Penderita DM dan immunocompromized (2) Wanita hamil (3) Penerima transplantasi ginjal (4) Infeksi nosokomial (5) Penderita penyakit sickle cell (Mengatas dan Ketut Suwitra, 2004).

Wanita lebih beresiko terkena infeksi saluran kemih daripada laki-laki karena pada wanita panjang uretranya lebih pendek dibandingkan laki-laki. Pada wanita panjang uretra 1,5 inci dan pada laki-laki panjang uretra 8 inchi (Price dan Wilson, 1995). Sekitar 5-7% wanita hamil mempunyai kecenderungan mengalami penyakit infeksi ini, namun tidak ditemukan symptom. Dengan tidak terdeteksinya symptom ini, di kemudian hari dapat menyebabkan infeksi dengan gejala-gejala lanjut pada wanita hamil seperti pielonefritis, hipertensi pada wanita hamil, kelahiran premature, dan fetus mati sebelum dilahirkan atau keguguran (Anantanaraya dan Paniker, 2000).

B. Etiologi Kebanyakan infeksi saluran kemih disebabkan oleh mikroorganisme yang berasal dari flora tinja usus bagian bawah. Hampir 80% infeksi yang terjadi pada penderita tidak rawat inap dan tidak obstruksi disebabkan oleh Escherichia coli. Bakteri Gram negatif lainnya seperti klabsiella pneumonia dan Proteus mirabilis serta coccus bakteri Gram positif seperti misalnya Enterococcus faecalis dan Staphylococcus epidermis juga merupakan uropatogen potensial (Shulman et al, 1994)

Route of infection Secara umum, organisme masuk ke dalam saluran kemih melalui tiga rute: ascending , hematogen (descending), dan jalur limfatik. Uretra wanita biasanya dilewati bakt eri yang berasal dari flora tinja. Panjang pendek urethra perempuan dan kedekatannya dengan daerah perirectal membuat Kolonisasi dapat terjadi(Dipiro, 2005). Faktor lain yang menyebabkan kolonisasi uretra meliputi penggunaan spermisida da n diafragma sebagai metode kontrasepsi. Walaupun ada bukti pada wanita yang menalami infeksi kandung kemih , modus masuknya mikroorganisme tidak sepenuhnya dipahami. Memijat uretra perempuan dan hubungan seksual membuat bakteri dengan mudah mencapai kandung kemih. Sekali bakteri telah mencapai kandung kemih, organisme berkembang biak cepat dan dapat naik ke ureter ke ginja l. Urutan kejadian lebih mungkin terjadi jika reflux vesicoureteral (refluks urin k e ureter dan ginjal saat berkemih). Kenyataan bahwa ISK lebih umum pada wanita dar i pada laki-laki karena perbedaan anatomi di lokasi dan panjang uretra cenderung untuk mendukung tingkatan rute infeksi sebagai rute akuisisi(Dipiro, 2005).

Infeksi ginjal oleh penyebaran hematogen dari mikroorganisme biasanya terjadi sebagai akibat dari penyebaran organisme dari infeksi primer di dalam tubuh. Inf eksi

melalui descending rute jarang terjadi dan melibatkan sejumlah relatif kecil invasif patogen. Bakte remia yang disebabkan oleh S. aureus dapat menyebabkan abses ginjal. organisme lain termasuk Candida spp, Mycobacterium. TB, Salmonella spp., dan enterococci. Pada saat tertentu, sulit untuk memproduksi pielonefritis eksperimental dengan infus administrasi gr amnegatif organisme umum seperti E. coli dan P. aeruginosa. Secara keseluruhan, kurang dari 5% dari hasil UTI didokumentasikan dari penyebaran mikrorganisme secara hematogenous(Dipiro, 2005). Ada sedikit bukti yang mendukung peran penting untuk limfatik ginjal dalam patogenesis UTI. limfatik menghubungkan antara usus dan ginjal, serta antara kandung kemih dan ginjal. Tidak ada bukti, bahwa mikroorganisme ditransfer ke ginjal melalui rute ini. Setelah bakteri mencapai saluran kemih, tiga faktor menentukan perkembangan infeksi adalah: ukuran inokulum, virulensi dari mikroorganisme, dan kompetensi pertahanan host (manusia) . Sebagian besar ISK mencerminkan kegagalan dalam mekanisme pertahanan host(Dipiro, 2005)

Mekanisme Pertahanan Host

Saluran kemih yang normal umumnya resisten terhadap invasi oleh bakteri dan efisien dengan cepat menghilangkan mikroorganisme yang mencapai kandung kemih. Urin dalam keadaan normal mampu menghambat dan membunuh mikroorganisme. Faktor-faktor yang dianggap bertanggung jawab termasuk pH rendah, ekstrem di osmolalitas, konsentrasi urea tinggi, dan tingginya konsentrasi asam organik. Pertumbuhan bakteri pada laki-laki terhambat oleh sekresi pada prostat. Adanya bakteri di dalam kandung kemih merangsang berkemih, dengan diuresis meningkat dan efisien pengosongan kandung kemih. Faktor-faktor ini sangat penting dalam mencegah inisiasi dan penjegahan infeksi kandung kemih. Pasien yang tidak mampu

untuk membuang urin sepenuhnya berada pada risiko lebih besar untuk mengalami infeksi. Selain itu, pasien dengan jumlah urin sisa lebih sedikit dalam kandung kemih mereka menanggapi dengan kurang menyenangkan dibandingkan dengan pasien yang dapat mengosongkan kandung kemih mereka sepenuhnya .Salah satu faktor virulensi penting dari bakteri adalah kemampuan mereka untuk masuk ke sel epitel kemih, sehingga Kolonisasi kemih saluran, infeksi kandung kemih, dan faktor pyelonephritis(Dipiro, 2005). Faktor lain yang mungkin mencegah masuknya bakteri adalah imunoglobulin (Ig) G dan A. Peran Igs dalam mencegah infeksi kandung kemih kurang jelas. Setel ah bakteri benar-benar memiliki menginvasi mukosa kandung kemih, peradangan respon dirangsang dengan mobilisasi polymorphonuclear leukosit (PMNs) dan fagositosis yang dihasilkan. PMNs adalah terutama bertanggung jawab untuk membatasi invasi jaringan dan mengendalikan penyebaran infeksi pada kandung kemih dan ginjal. Faktor-faktor yang mungkin memainkan peran dalam pencegahan UTI adalah kehadiran Lactobacillus dalam vagina flora dan estrogen. Pada wanita premenopaus e, estrogen mendukung pertumbuhan laktobasilus, yang menghasilkan asam laktat untuk membantu mempertahankan pH vagina yang rendah, sehingga mencegah kolonisasi E. Coli di vagina. Yang dapat digunakan Spermisida, -laktam antimikroba digunakan, estrogen tingkat rendah(Dipiro, 2005).

Faktor Virulensi Bakteri organisme patogen memiliki perbedaan derajat patogenisitas (virulensi), yang berperan dalam pengembangan dan beratnya infeksi. Bakteri yang masuk epitel saluran kemih terkait dengan kolonisasi dan infeksi. Mekanisme adhesi bakteri gram negatif, terutama E . coli, berkaitan dengan bakteri fimbriae ini fimbriae adalah komponen glikolipid pada sel epitel spesifik. Jenis yang paling umum dari fimbriae adalah tipe 1, yang me ngikat residu mannose dalam glikoprotein. Glikosaminoglikan dan Tamm- protein Horsfall kaya residu mannose yang berisi tipe 1 fimbriae. Selain itu sekretori IgA antibo di,

mengandung reseptor untuk tipe 1 fimbriae, yang memudahkan fagositosis, tetapi mereka bukan reseptor untuk fimbriae P. faktor virulensi lainnya adalah produksi hemolisin dan aerobactin. hemolisin adalah protein yang diproduksi oleh bakteri sitotoksik menyebabkan lisis berbagai sel, termasuk eritrosit, dan monosit. E. c oli dan bakteri gram negatif lainnya membutuhkan besi untuk metabolisme aerobik. Aerobactin memfasilitasi mengikat dan menyerap zat besi oleh E. coli, namun, mak na dari patogenesis UTI masih belum diketahui(Dipiro, 2005)

C. Patofisiologi Rute infeksi bakteri pada ISK diketahui sebagai berikut: 1) Asenden Seperti pada dugaan masuknya bakteri tinja ke dalam kandung kencing melaluri uretra wanita atau ke dalam ginjal melalui ureter 2) Hematogen Seperti pada infeksi Staphylococcus pada korteksi ginjal 3) Perluasan langsung Seperti pada sistitis terkait dengan fistula enterovesika (Shulman et al, 1994). Pada wanita, pendeknya uretra dan berdekatannya antara uretra dan daerah perirektal menyebabkan kolonisasi dari uretra. Bakteri dapat memasuki kantung kemih melalui uretra. Setelah berada di kantung kemih, organisme akan membelah diri dengan cepat dan dapat bergerak keatas menuju ginjal melalui ureter. Bakteriuria hanya mengkonfirmasi adanya bakteri dalam kandung kencing, untuk menentukan tempat infeksi yang lebih tepat, penelitian menetapkan tempat-tempat yang bisa mempresentasikan tempat adanya infeksi dari bakteri di tempat infeksi dengan beberapa metode, yaitu: 1) Katerisasi ureter Prosedur ini dilakukan dengan sara sistoskop dimasukkan ke dalam kandung kencing, kemudian kandung kencing dicuci dengan larutan irigasi steril. Kateter dimasukkan ke tiap-tiap mid ureter dan kencing dikumpulkan dari

kedua gunjal untuk biakan dan analisis kencing. Hal ini dapat menentukan tempat dan lokalisasi infeksi pada saluran kemih.

2) Pencucian kandung kencing Pada prosedur ini kateter multilumen dimasukkan ke dalam kandung kencing dan biakan kencing dasar diambil. Kandung kencing kemudian diisi dengan larutan salin yang berisi antibiotik aminoglikosida selama 30-45 menit, kemudian larutan dicuci dengan salin dan biakan kencing diambil secara seri dengan interval 10 menit. Pada kebanyakan kasus infeksi saluran kemih, biakan pasca cuci steril. Jika ditemukan bakteri dan bertambah jumlahnya maka kemungkinan berasal dari ginjal.

3) Deteksi bakteri terselubung antibodi dalam kencing Prosedur ini hanya melihat hasil fluoresen, bila terdapat fluoresen (bakteri diselubungi antibodi) dari hasil isolasi kencing pasien maka dimungkinkan bakteri tersebut menyebabkan pielonefritis. Teknik lainnya seperti biopsi ginjal, penentuan kemampuan ginjal membuat konsentrasi maksimum, dan teter serologis semuanya gagal sebagai criteria yang cukup untuk mendeteksi pielonefritis kronik (Shulman et al, 1994).

Prinsip-prinsip penatalaksanaan pada ISK berdasarkan biakan urin dan pemeriksaan faal ginjal sebelum dimulai terapi. Jika hasil biakan belum ada maka terapi awal menggunakan antibiotik dilakukan bersama dengan koreksi faktor predisposisi seperti contohnya ureterolitotomi pada ISK terkomplikasi dengan bat u ginjal. Lalu terapi dilakukan pada penderita berdasarkan simptomatik, bakteriuri a yang terjadi setelah instrumentasi saluran kemih perlu diterapi, dan respons ter api harus dipantau dengan kultur urin 1-2 minggu setelah terapi selesai (Mangatas da n Suwitra, 2004).

D. Gejala klinis Pasien yang terkena ISK pada umumnya tidak memberikan gejala yang berarti, namun biasanya semuanya terkait dengan tempat dan keparahan infeksi. Gejala-gejala yang dapat timbul meliputi berikut ini, baik sendirian maupun timbulnya bersama-sama seperti menggigil, demam, nyeri pinggang, dan sering mual sampai muntah, disuria, sering terburu-buru kencing, nyeri suprapubik, dan hemat uria (Shulman et al, 1994).

E. Diagnosa Untuk menetapkan diagnosa maka harus diketahui terlebih dahulu gejala apa saja yang dialami. Gejala dan tanda ISK pada pasien dewasa dapat dilihat pada tabel 1 . Tabel 1.

Wanita dilaporkan lebih banyak mengalami hematuria. Gejala sistemik seperti demam, biasanya tidak ada dalam ISK. Sayangnya, sebagian besar pasien ISK dengan bakteriuria yang signifikan tidak mengalami gejala-gejala di atas. Pasien mungki n merasa sehat, baik pasien geriatric, pediatric, wanita hamil dan pasien yang menggunakan kateter. Perlu diingat, untuk membedakan apakah infeksi terdapat di saluran kemih bagian atau bawah tidak hanya berdasarkan gejala yang dialami pasi en.

Pada pasien geriatric biasanya tidak mengalami gejala yang spesifik, tetapi mereka menunjukkan perubahan status mental, perubahan kebiasaan makan, atau gejala gastrointestinal. Sebagai tambahan, pasien yang menggunakan kateter atau pasien dengan gangguan neurologic biasanya tidak mengalami gejala saluran kemih bagian bawah, sedangkan nyeri pinggul dan demam mungkin akan ditemukan pada geriatric. Untuk menegakkan diagnosa ISK, tidak hanya dengan mengetahui gejalagejala yang dialami pasien tetapi juga harus dilakukan kultur mikroorganisme pad a spesimen urin untuk membedakan bakteri yang menyebabkan infeksi.

a. Urine collection Pemeriksaan urin merupakan landasan untuk menilai ISK. Terdapat 3 metode pemeriksaan urin yang dapat diterima. Yang pertama midstream clean-catch method. Setelah urethral dibersihkan, kemudian 20-30 ml urin dikosongkan dan dibuang. Kemudian urin dikumpulkan dan proses berlangsung secara bertahap (sesegera mungkin didinginkan). Spesimen yang disimpan pada suhu ruang selama beberapa jam dapat menimbulkan kesalahan dalam penghitungan bakteri. Midstream method merupakan metode yang didasarkan pengumpulan urin secara rutin. Ketika spesimen urin rutin tidak dapat dikumpulkan atau terjadi kontaminasi, maka terdapat alter native teknik pengumpulan yang dapat digunkan Metode yang kedua dengan menggunakan kateterisasi dan aspirasi suprapubic kandung kemih. Kateterisasi dibutuhkan pada pasien yang tidak kooperatif atau ti dak dapat mengeluarkan urin secara normal. Aspirasi suprapubic kandung kemih dilakukan dengan memasukkan jarum secar langsung ke dalam kandung kemih untuk mengambil urine. Aspirasi suprapubic kandung kemih aman diberikan pada neonates, bayi, paraplegics, pasien dengan penyakit yang serius, dan pasien ISK yang sudah menjalani metode kultur sebelumnya tetapi tidak mendapatkan hasil yang memuaskan.

b. Perhitungan bakteri Diagnosa ISK didasarkan pada isolasi bakteri yang signifikan dari spesimen urin. Penilaian mikroskopik sampel urin merupakan metode yang paling mudah dan metode yang dapat dipercaya untuk mendiagnosa adanya bakteriuria. Penilaian mikroskopik leukosit pada urine juga digunakan untuk mengetahui pyuria. Pyuria merupakan gejala yang dapat dikaitkan dengan adanya bakteriuria. Pyuria tidandai dengan white blood cell (WBC) lebih dari 10 WBC/mm3. Hematuria, biasanya diketahui dengan penilaian mikroskopis, biasanya dialami pada pasien IS K tetapi nonspesifik. Hematuria mungkin menggambarkan adanya penyakit lain, sepert i renal calculi, tumor atau glomerulonefritis. Proteinuria biasnya ditemui pada pa sien yang mengalami infeksi.

c. Kultur Metode yang paling dipercaya untuk menegakkan diagnosa adalah penilaian secara kuantitatif kultur urine. Secara normal, urin yang berada dalam kandung k emih steril. Sehingga hal ini dapat digunakan untuk mengetahui adanya kontaminasi pad a urine pasien yang mengalami infeksi yang dilakukan dengan menghitung bakteri pad a sampel urin. Pasien yang mengalami infeksi biasanya didapatkan lebih dari 105 bakteri/ml urin.

F. Terapi Prinsip umum terapi ISK adalah: 1) Eradikasi bakteri penyebab dengan menggunakan antibiotik yang sesuai 2) Mengoreksi kelainan anatomis yang merupakan faktor predisposisi (Suyono, et a l, 2001).

Tujuan dari pengobatan ISK adalah mencegah dan menghilangkan gejala, mencegah dan mengobati bakterimia dan bakteruria, mencegah dan mengurangi resiko kerusakan jaringan ginjal yang mungkin timbul dengan pemberian obat-obata n

yang sensitif, murah, aman, dan dengan efek samping yang minimal (Suyono et al, 2001). Menurut Suyono et al, pengobatan ISK pada berbagai bentuk ISK antara lain: 1) Sindrom uretra akut atau sistitis . Amoksisilin 3 gram . Trimetoprim-sulfametoksazol 320-1600 mg . Sulfisiksazol 2 gram . Kanamisin 500 mg i.m . Gentamisin 120 mg i.m Bila fasilitas kultur tidak ada, maka pengobatan dilakukan dengan pemberian: . Trimetoprim-sulfametoksazol 160-180 mg dua kali sehari . Sefaleksin 500 mg empat kali sehari . Amoksisilin 500 mg empat kali sehari . Asam nalidiksat 1 gram empat kali sehari . Asam pipemidik 400 mg dua kali sehari 2) Pielonefritis akut . Trimetoprim-sulfametoksazol 160-800 mg dua kali sehari . Sefaleksin 500 mg empat kali sehari . Amoksisilin 500 mg empat kali sehari . Asam nalidiksat 1 gram empat kali sehari . Asam pipedimik 400 mg dua kali sehari 3) Pielonefritis kronik Pengobatan dilakukan bilamana pada biakan bakteri ditemukan bakteriuria bermakna, yaitu dengan pemberian antimikroba yang sesuai. Bilamana ada kelainan anatomi dilakukan koreksi, bila keadaan memungkinkan. 4) Bakteriuria tak bergejala Pada wanita hamil bakteriuria tak bergejala diobati dengan antimikroba dosis tunggal, kemudian dipantau selama dua sampai empat minggu. Bilamana masih tetap ditemukan bakteriuria diberikan antimikroba dua minggu, kemudian

dipantau lagi setelah pengobatan dihentikan. Bilamana masih terjadi rekurensi, antimikroba dilanjutkan sampai enam minggu atau sampai partus. Setelah partus tiga atau sampai empat bulan dilakukan pemantauan saluran kemih dengan pielografi intravena. 5) Infeksi saluran kemih rekuren . Trimetoprim-sulfametoksazol 40-200 mg . Trimetoprim obat tunggal 59-100 mg . Nitrofurantoin 100 mg . Metenamin mandelat (dengan vitamin C 500 mg) 1 gram . Asam pipemidik 200 mg (Suyono et al, 2001). Menurut Dipiro et al (2005), pengobatan untuk pasien pada berbagai bentuk ISK adalah: 1) Infeksi saluran kemih tidak terkomplikasi . Trimetoprim-sulfametoksazol 1 tablet dua kali sehari selama 3 hari . Siprofloksasin 250 mg dua kali sehari selama 3 hari . Norfloksasin 400 mg dua kali sehari selama 3 hari . Gatifloksasin 200-400 mg sekali sehari selama 3 hari . Levofloksasin 250 mg sekali sehari selama 3 hari . Lomefloksasin 400 mg sekali sehari selama 3 hari . Enoxasin 200 mg sekali sehari selama 3 hari . Amoksisilin 6 x 650 mg dosis tunggal untuk 1 hari 500 mg dua kali sehari selama 3 hari . Amoksisilin-klavulanat 500 mg tiap 8 jam selama 3 hari . Trimetoprim 100 mg dua kali sehari selama 3 hari . Nitrofurantoin 100 mg tiap 6 jam selama 3 hari . Fosfomycin 3 gram dosis tunggal untuk 1 hari 2) Infeksi saluran kemih terkomplikasi . Trimetoprim-sulfametoksazol 1 tablet dua kali sehari selama 7-10 hari . Trimetoprim 100 mg dua kali sehari selama 7-10 hari

. Norfloksasin 400 mg dua kali sehari selama 7-10 hari . Siprofloksasin 250-500 mg dua kali sehari selama 7-10 hari . Gatiffloksasin 400 mg sekali sehari selama 7-10 hari . Moksifloksasin 400 mg sekali sehari selama 7-10 hari . Lomefloksasin 400 mg sekali sehari selama 7-10 hari . Levofloksasin 250 mg sekali sehari selama 7-10 hari . Amoksisilin-klavulanat 500 mg tiap 8 jam selama 7-10 hari 3) Infeksi rekuren . Nitrofurantoin 50 mg sekali sehari selama 6 bulan . Trimetoprim 100 mg sekali sehari selama 6 bulan . Trimetoprim-sulfametoksazol tablet sekali sehari selama 6 bulan 4) Sindrom uretra akut . Trimetoprim-sulfametoksazol 1 tablet dua kali sehari selama 3 hari . Azithromisin 1 gram dosis tunggal . Doksisiklin 100 mg dua kali sehari selama 7 hari 5) Pielonefritis akut . Trimetoprim-sulfametksazol 1 tablet dua kali sehari selama 14 hari . Siprofloksasin 500 mg dua kali sehari selama 14 hari . Gatifloksasin 400 mg sekali sehari selama 14 hari . Norfloksasin 400 mg dua kali sehari selama 14 hari . Levofloksasin 250 mg sekali sehari selama 14 hari . Lomefloksasin 400 mg sekali sekari selama 14 hari . Enoksasin 400 mg dua kali sehari selama 14 hari . Amoksisilin-klavulanat 500 mg tiap 8 jam selama 14 hari

Tabel.120-4 Terapi ISK pada dewasa dan tabel 120-5 EBM terapi ISK

Algoritma terapi ISK pada perempuan

Algoritma terapi ISK pada laki-laki

Penggunaan antibiotik pada keadaan khusus seperti wanita hamil, pasien pediatri, geriatri, dan gagal organ harus diperhatikan agar tujuan dari terapi t ercapai dan tidak menimbulkan efek samping yang dapat memperpanjang keadaan dari

pasien itu sendiri. Seperti pemilihan dari antibiotik yang digunakan kemudian pemberian dosis yang berbeda-beda pada tiap kondisi pasien (Katzung, 2004). Antibiotika merupakan suatu kelompok obat yang paling sering digunakan saat ini. Menurut perkiraan sampai sepertiga pasien rawat inap mendapat antibiot ika, dan biaya antibiotika dapat mencapai 50% dari anggaran obat di rumah sakit (Lim, 1997). Faktor-faktor pasien: a. Beratnya infeksi . Menentukan dosis, rute, frekuensi, dan lama pemberian b. Status imun . immunocompromised host . Malnutrisi . Usia yang sangat muda atau sangat tua c. Riwayat penyakit di masa lalu . Diabetes mellitus . Penggantian katub jantung d. Status alergi e. Faktor farmakokinetik . Lanjut usia atau bayi baru lahir . Gangguan fungsi ginjal . Gangguan fungsi hati f. Faktor farmakogenetik . Defisiensi glukosa- 6-fosfat dehidrogenase (G6PD). Resiko hemolisis dengan obat-obat seperti nitrofurantoin, sulfonamide, beberapa obat antimalaria. . Porfiria (produksi dan ekskresi porphyria yang berlebihan). Resiko serangan akut dengan obat-obat seperti sefalosporin, sulfonamide, eritromisin, doksisiklin, oksitetrasiklin, isoniazid pirazinamid, nitrofurantoin (Eggleton, 2001).

Aturan dosis, rute, frekuensi dan lama pemberian antibiotik a. Dosis tunggal Pada beberapa keadaan, misalnya sistitis tanpa komplikasi pada wanita dan uretritis gonococcus pada pria, dosis tunggal antibiotika terbukti efektif b. Rute pengobatan oral atau parenteral Untuk sepsis yang berat pengobatan parenteral secara tradisional lebih disukai. Akhir-akhir ini tersedia antibiotika oral yang mudah diabsorbsi dan dapat mencapai kadar yang tinggi dalam darah dan jaringan. Bila pasien tidak dapat minum obat (karena muntah) pengobatan intravena jelas diperlukan. c. Lama pengobatan Lama pengobatan optimal antibiotika tidak selalu diketahui. Banyak antibiotika diresepkan untuk 5-7 hari. Secara umum terapi dihentikan 3 hari setelah gejala-gejala infeksi hilang

DAFTAR PUSTAKA Ananthanarayam, R.C.K.2000. Textbook of microbiology 6th edition. Orient Longman Limited, Himayatnagar.Hyderabad. 251,254. Anonim. 1999. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi III. Media Aeculapius. Jakarta : UI press. 478 Dipiro, Joseph T (editor), 2005 Pharmacotherapy: A Pathophisiology approach, 3rd edition, McGraw Hill, New York. Katzung, B G. 2001. Farmakologi Dasar Dan Klinik. Salemba medika. Mangatas AM, Ketut suwitra, 2004 . Diagnosis Dan Penatalaksanaan Infeksi Saluran Kemih Terkomplikasi , available at http://www.dexamedica.com/test/htdoes/dexamedica/article_files/isk.pdf

Price, S. Anderson. Lorraine McCathy Wilson. 1994. Patofisiologis Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, edisi ke empat, diterjemahkan oleh Peter Anigrah. Jakarta: EGC. Shulman, Standford T.John P Phair. 1975. Dasar Biologis Dan Klinis Penyakit Infeksi diterjemahkan oleh Samik wahab, Yogyakarta. UGM press. Suyono, Salmet. 2001. Buku Ajar Penyakit Dalam edisi ke tiga. Jakarta: UI press.

Anda mungkin juga menyukai