Anda di halaman 1dari 6

MASALAH ABORTUS DAN KESEHATAN REPRODUKSI PEREMPUAN

Dr. Azhari, SpOG BAGIAN OBSTETRI & GINEKOLOGI FK UNSRI/ RSMH PALEMBANG PENDAHULUAN Abortus merupakan suatu masalah kontroversi yang sudah ada sejak sejarah di tulis orang. Kontroversi karena di satu pihak abortus ada di masyarakat. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya jamu dan obat-obat peluntur serta dukun pijat untuk mereka yang terlambat bulan. Di pihak lain abortus tidak dibenarkan oleh agama. Bahkan dicaci, dimaki dan dikutuk sebagai perbuatan tidak bermoral. Pembicaraan tentang abortus dianggap tabu. Sulit ditemukan seorang wanita yang secara sukarela mengaku bahwa ia pernah diabortus, karena malu. Istilah abortus dipakai untuk menunjukkan pengeluaran hasil kehamilan sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Sampai saat ini janin yang terkecil, yang dilaporkan dapat hidup di luar kandungan, mempunyai berat badan 297 gram waktu lahir. Akan tetapi karena jarangnya janin yang dilahirkan dengan berat badan di bawah 500 gram dapat hidup terus, maka abortus dianggap sebagai pengakhiran kehamilan sebelum janin mencapai berat 500 gram atau usia kehamilan kurang dari 20 minggu. Abortus dapat berlangsung spontan secara alamiah atau buatan. Abortus buatan ialah pengakhiran kehamilan sebelum 20 minggu dengan obat-obatan atau dengan tindakan medik. Frekuensi abortus sukar ditentukan karena abortus buatan banyak tidak dilaporkan, kecuali apabila terjadi komplikasi. Abortus spontan kadang-kadang hanya disertai gejala dan tanda ringan, sehingga pertolongan medik tidak diperlukan dan kejadian ini dianggap sebagai terlambat haid. Diperkirakan frekuensi abortus spontan berkisar 10-15%. Frekuensi ini dapat mencapai angka 50% bila diperhitungkan mereka yang hamil sangat dini, terlambat haid beberapa hari, sehingga wanita itu sendiri tidak mengetahui bahwa ia sudah hamil. Di Indonesia, diperkirakan ada 5 juta kehamilan per-tahun. Dengan demikian setiap tahun 500.000-750.000 abortus spontan. Sulit untuk mendapatkan data tentang abortus buatan (selanjutnya akan ditulis : abortus) di Indonesia. Paling sedikit ada dua sebabnya. Yang pertama, abortus dilakukan secara sembunyi. Yang kedua, bila timbul komplikasi hanya dilaporkan komplikasinya saja, tidak abortusnya. Dengan menggunakan Randomized Response Technique, Saifuddin dan Bachtiar menemukan bahwa hampir sepertiga dari wanita yang datang ke Poliklinik Kebidanan di RS Cipto Mangunkusumo pernah melakukan abortus. Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) diperkirakan 4,2 juta abortus dilakukan setiap tahun di Asia Tenggara, dengan perincian :

1,3 juta dilakukan di Vietnam dan Singapura

antara 750.000 sampai 1,5 juta di Indonesia

antara 155.000 sampai 750.000 di Filipina

antara 300.000 sampai 900.000 di Thailand Tidak dikemukakan perkiraan tentang abortus di Kamboja, Laos dan Myanmar. Hasil survei yang diselenggarakan oleh suatu lembaga penelitian di New York yang dimuat dalam International Family Planning Perspectives, Juni 1997, memberikan gambaran lebih lanjut tentang abortus di Asia Selatan dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Abortus di Indonesia dilakukan Baik di daerah perkotaan maupun pedesaan. Dan dilakukan tidak hanya oleh mereka yang mampu tapi juga oleh mereka yang kurang mampu ( lihat Tabel 1.) Di perkotaan abortus dilakukan 24-57% oleh dokter,16-28% oleh bidan/ perawat, 19-25% oleh dukun dan 1824% dilakukan sendiri. Sedangkan di pedesaan abortus dilakukan 13-26% oleh dokter, 18-26% oleh bidan/perawat, 31-47% oleh dukun dan 17-22% dilakukan sendiri. Cara abortus yang dilakukan oleh dokter dan bidan/perawat adalah berturut-turut: kuret isap (91%), dilatasi dan kuretase (30%) sertas prostaglandin / suntikan (4%). Abortus yang dilakukan sendiri atau dukun memakai obat/hormon (8%), jamu/obat tradisional (33%), alat lain (17%) dan pemijatan (79%). Survei yang dilakukan di beberapa klinik di Jakarta, Medan, Surabaya dan Denpasar menunjukkan bahwa abortus dilakukan 89% pada wanita yang sudah menikah, 11% pada wanita yang belum menikah dengan perincian: 45% akan menikah kemudian, 55% belum ada rencana menikah. Sedangkan golongan umur mereka yang melakukan abortus: 34% berusia antara 30-46 tahun, 51% berusia antara 20-29 tahun dan sisanya 15% berusia di bawah 20 tahun. Masalah kesehatan reproduksi remaja sudah lama dibicarakan di Indonesia, tetapi komitmen Departemen Kesehatan (Depkes) untuk memasukkan Kesehatan Reproduksi Remaja sebagai komponen esensial Paket Pelayanan Kesehatan Reproduksi Esensial (PKRE) baru dirumuskan pada Semiloka Nasional Kesehatan Reproduksi tahun 1996. Konperensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) Cairo tahun 1994 memperkirakan sekitar 50% penduduk dunia berusia berada dibawah 20 tahun dan mereka menanggung risiko terbesar terkena masalah kesehatan seksual dan reproduksi.Menurut Family Care International (1995), lebih dari 15 juta remaja perempuan berusia 1519 tahun melahirkan setiap tahunnya. Satu dari setiap 20 remaja tertular penyakit menular seksual (PMS), dengan persentase tertinggi pada kelompok usia 15-24 tahun. Data dari negara berkembang menunjukkan 60% dari kasus baru infeksi HIV terdapat pada usia 15-24 tahu. Selain itu, 10% dari seluruh kasus aborsi, atau sekitar 5 juta pertahun, dialami remaja perempuan berusia 15-19 tahun. remaja dan dewasa muda perempuan juga rawan tindak kekerasan seksual, perkosaan dan eksploitasi seks. Di Indonesia, Undang-undang No.4 tahun1979 tentang kesejahteraan Anak menetapkan definisi anak sebagai seorang yang belum mencapai usia 21 tahun dan belum pernah kawin. Batasan usia 21 tahun ditetapkan berdasarkan pertimbangan bahwa baru pada usia inilah tercapai kematangan mental, pribadi, dan sosial, walaupun kematangan biologis mungkin sudah terjadi lebih awal pada usia belasan tahun. Pertimbangan kematangan mental dan sosial di sini sesuai dengan definisi WHO (1992) bahwa kesehatan reproduksi adalah keadaan sejahtera fisik, mental dan

sosial yang utuh, bukan hanya bebas dari penyakit dan kecacatan, dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi serta prosesnya. Dari segi program pelayanan, definisi remaja yang dipergunakan oleh Depkes adalah mereka yang berusia 10 sampai19 tahun dan belum kawin.hal ini sesuai dengan batasan usia remaja(adolescence) menurut WHO dulu. Ternyata usia 19 tahun tidak menjamin remaja mencapai kondisi sehat fisik, mental dan sosial untuk proses reproduksi, WHO juga menamakan dewasa muda(youth) bagi mereka yang berusia 15-24 tahun, dan memakai istilah penduduk muda (young people) bagi kedua kelompok atau mereka yang berusia antara 10-24 tahun (WHO, safe mother hood, 1996). Pada kenyataanya di Indonesia, perkawinan usia muda masih tinggi sehingga remaja perempuan terpapar pada risiko kehamilan dan persalinan pada usia muda (kurang dari 20 tahun), dimana mereka belum mencapai kematangan mental dan sosial. Masa depan mereka seringkali terputus karena harus memikul kesehatan reproduksi yang sebenarnya bisa dihindari. Mutu generasi muda akan lebih baik bila mereka mendapat akses terhadap informasi dan pelayanan kesehatan reproduksi remaja yang berkualitas. Situasi Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia Tata hukum perkawinan di Indonesia, seperti tercantum dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1/1974 pasal 7 mengizinkan terjadinya perkawinan jika sekurang- kurangnya pihak laki-laki telah berusia 19 tahun dan pihak perempuan berusia 16 tahun. Hal ini sering dipergunakan sebagai pembenar pelaksanaan perkawinan usia remaja perempuan di bawah 19 tahun pada sebagian masyarakat. Di lain pihak, pada sebagian masyarakat lain, kemajuan teknologi informasi global dengan akses tak terbatas pada media pornografi, mempersulit remaja yang sedang mengalami perubahan fisik bersamaan dengan datangnya masa pubertas. Banyak yang tidak dapat menahan ketertarikan untuk mencoba hubungan seksual dan mulai melakukan hubungan seksual pra-nikah walau pernikahan dilangsungkan pada usia lebih dewasa. Ironisnya, walau hal ini sifatnya sama bagi semua remaja, dampaknya lebih sulit bagi kaum perempuan. Masyarakat biasanya mengutuk perempuan yang aktif seksual pada masa pra-nikah tetapi mentolerir perbuatan tersebut pada lelaki yang belum kawin. Akibatnya remaja laki-laki lebih mungkin mengambil risiko untuk aktif seksual pra- nikah. Hasil penelitian oleh Pusat Penelitian KesehatanUniversitas Indonesia yang rnelibatkan 400 pria dan 400 perempuan pelajar SMA di Manado dan Bitung rnendapatkan 6% pelajar perempuan dan 20% pelajar laki-laki pernah melakukan hubungan seksual (Moran, 1997)s. Di Sumatra Barat, remaja yang telah melakukan hubungan seksual sebelum menikah mengakui kebanyakan melakukannya pertama kali pada usia antara 15-18 tahun (PKBI SumBar, 1997). Risiko kesehatan reproduksi yang dihadapi remaja tidak hanya berdampak secara fisik tetapi juga pada kondisi emosi, ekonorni, dan kesejahteraan sosial dalam jangka panjang. Menurut literatur, ada 4 risiko kesehatan reproduksi yang dihadapi remaja: 1) PMS terrnasuk infeksi HIV/AIDS; 2) tindak kekerasan seksual dan pemaksaan, termasuk pemerkosaan, pelecehan seksual dan transaksi seks komersial; 3) kehamilan dan persalinan usia muda yang berisiko kematian ibu dan bayi; dan 4) kehamilan tidak dikehendaki, seringkali menjurus ke aborsi tidak aman dan komplikasinya. Kehamilan dan persalinan pertama bagi remaja perempuan mempunyai pengaruh yang dalam dan berkepanjangan terhadap kesejahteraan, pendidikan dan kemampuannya untuk memberikan sumbangsih kepada masyarakat. Remaja merupakan kelompok yang rentan terinfeksi PMS termasuk HIV melalui kontak heteroseksual, berdasar pola penularan PMS di negara berkembang maupun negara maju. Penyebabnya antara lain: 1) ketidaktahuan tentang PMS; 2) tidak ada perlindungan seksual bila pasangan tidak menggunakan kondom secara

konsisten; 3) semakin muda usia pertama aktif seksual, semakin tinggi kemungkinan memiliki lebih dari satu pasangan seksual, semakin besar risiko terpapar PMS/ HIV; 4) lapisan mukus mulut rahim remaja lebih rentan terhadap infeksi gonore, klamidia, dan papiloma (dapat menyebabkan kanker mulut rahirn); 5) pola pencarian pengobatan remaja buruk karena berusaha menyembunyikan masalah atau mengobati sendiri; 6) remaja perempuan dengan pasangan berbeda usia yang jauh ternyata berisiko 2 kali lebih tinggi, bila pasangannya sudah terkena PMS sebelumnya. Hambatan hukum, peraturan dan sosial seharusnya diatasi dengan PKRE yang ramah remaja (adolescentfriendly services) mengingat masalah kesehatan reproduksi seperti PMS dapat berakibat seumur hidup. Pada saat memasuki pernikahan berencana, ternyata pasangan tidak mernpunyai anak karena pada masa remajanya calon ibu pernah terkena gonore dan/atau klamidia yang berlanjut ke penyakit radang panggul (PRP), terjadi sumbatan tuba falopii yang menyebabkan kemandulan. Satu kali saja mengalami episode PRP, menurut literatur sudah cukup untuk mengalami keharmilan ektopik, salah satu kornplikasi fatal penyebab kernatian ibu. Kemandulan merupakan beban emosi pada perempuan Indonesia, dimana budaya/tradisi masih rnenuntut fungsi reproduksi perempuan adalah melahirkan anak. Lebih jauh, janin dengan ibu terkena PMS juga berisiko (dapat menyebabkan lahir prematur atau bayi berat lahir rendah), selain infeksi mata pada bayi baru lahir (Oftalmia Gonoroika). Sifilis dan herpes juga dapat berdampak keguguran spontan, lahir mati, atau kematian perinatal. Melahirkan mengandung risiko bagi semua perempuan, tetapi bagi remaja <20 tahun tahun, risiko komplikasi bagi dirinya dan bayi dalam kandungan lebih besar lagi. Menurut Affandi (1980), kehamilan remaja <20 tahun berisiko kematian ibu dan bayi 2-4 kali lebih tinggi dibanding ibu berusia20-35 tahun. Ancaman lain adalah bila remaja perempuan memutuskan untuk mengakhiri kehamilan yang tak dikehendaki. Karena hal ini tidak dibenarkan oleh hukum di Indonesia, pada umumnya mereka mencari orang yang dapat melakukan pengguguran kandungan gelap, seringkali oleh mereka yang tidak ahli dan bekerja dengan kondisi yang tidak memenuhi persyaratan medis. Literatur mengatakan bahaya 10-50% pengguguran tidak aman atau dikerjakan oleh orang yang tidak ahli menyebabkan komplikasi yang memerlukan tindakan medis seperti infeksi (berakibat kemandulan) atau kematian. Survei Depkes (1995/96) pada remaja belum menikah berusia 13-19 tahun sebanyak 1189 orang di Jawa Barat dan 922 orang di Bali menemukan 7% remaja perempuan di Jawa Barat dan5% di Bali mengakui pernah terlambat haid atau hamil. Dan 10.981 pengunjung klinik KB di Yogyakarta, menurut data sekunder tahun 1996-97, terdapat 19,3% yang datang dengan kehamilan tak dikehendaki dan telah melakukan tindak pengguguran disengaja sendiri secara tidak aman, sekitar 2% berusia <22 tahun. Keadaan dan masalah abortus di Indonesia Aborsi merupakan masalah kesehatan masyarakat yang belum teratasi sampai saat ini. Data tentang kejadian aborsi dan kematian yang diakibatkannya sangat sulit diperoleh, karena menurut Undang-undang No. 23 tentang Kesehatan Pasal 15, tindakan aborsi tanpa indikasi medis merupakan tindakan legal dengan ancaman denda dan hukuman penjara bagi pelakunya (lihat Lampiran l). Data dan lapangan menunjukkan bahwa ternyata sekitar 70-80% wanita yang meminta tindakan aborsi legal ternyata dalam status menikah, karena tidak menginginkan kehamilannya. Sisanya antara lain dan kalangan remaja

puteri, yang walaupun lebih sedikit namun menunjukkan kecenderungan meningkat, terutama di kota besar atau di daerah tertentu seperti di Sulawesi Utara dan Bali. Bila ditinjau lebih lanjut, penyebab kehamilan yang tidak diinginkan antara lain meliputi kegagalan KB, alasan ekonomi, kehamilan di luar nikah atau kehamilan akibat perkosaan dan inses. Wanita dengan kehamilan yang tidak diinginkan tersebut akan menggugurkan kandungannya secara sengaja, cenderung mencari cara tradisional; dan bila tidak berhasil, mereka akan mencari pertolongan secara sembunyisembunyi. Sering kali praktek aborsi legal ini merupakan praktek aborsi yang tidak aman, misalnya dengan memasukkan berbagai jenis benda yang tidak steril ke dalam vagina. Hal inilah yang menjadi penyebab terjadinya komplikasi abortus, terutama karena perdarahan dan sepsis, yang dapat berakhir dengan kematian ibu. Abortus terkomplikasi berkontribusi terhadap kematian ibu sekitar 15%. Data tersebut seringkali tersembunyi di balik data kematian ibu akibat perdarahan atau sepsis. Data lapangan menunjukkan bahwa sekitar 60-70% kematian ibu disebabkan oleh perdarahan, dan sekitar 60% kematian akibat perdarahan tersebut, atau sekitar 35-40% dan seluruh kematian ibu, disebabkan oleh perdarahan postpartum. Sekitar 15-20% kematian ibu disebabkan oleh sepsis. Manajemen aktif kala III dalam persalinan normal dikatakan dapat mencegah sekitar 50% perdarahan postpartum, atau sekitar 17-20% kematian ibu. Dengan demikian, paket intervensi berupa pelayanan paska keguguran dan pertolongan persalinan yang bersih dengan manajemen aktif kala III dapat berkontribusi dalam mencegah kematian ibu sampai sekitar 50%. Dalam rangka menurunkan angka kematian ibu, Pemerintah memfokuskan intervensi pada pelayanan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan dan pengelolaan komplikasi Obstetri. Banyak upaya yang dilaksanakan untuk mensukseskan kegiatan tersebut antara lain melalui penempatan BdD dan pelatihan klinik kegawatdaruratan obstetri. Walaupun Asuhan paskakeguguran merupakan bagian dan pelayanan kegawatdaruratan obstetri namun dalam pelatihan tersebut belum termasuk kegawatan akibat komplikasi paska keguguran. Dalam situasi seperti dikemukakan di atas, maka sangatlah penting untuk melakukan tindakan pencegahan abortus dan penyediaan asuhan paska keguguran yang berkualitas serta dapat dijangkau oleh semua lapisan masyarakat. Dengan demikian kejadian abortus dapat dicegah dan kematian akibat komplikasi abortus dapat dikurangi, yang pada waktunya akan mampu memberikan kontribusi nyata dalam menurunkan AKI. Bulan Oktober 2000 telah dicanangkan Making Pregnancy Safer (MPS) oleh Kepala Negara RI yang menyatakan bahwa Gerakan Nasional Kehamilan Yang Aman merupakan Strategi Pembangunan Kesehatan Nasional menuju Indonesia Sehat 2010. Selanjutnya tanggal 26 November 2001 telah dicanangkan Rencana Strategis NasionalMPS oleh Menteri Kesehatan yang kegiatan utamanya mengacu pada 3 pesan kunciMPS yaitu: 1) Setiap persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih; 2) Semua komplikasi obstetrik dan neonatal mendapat pelayanan adekuat dan 3) Pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan dan penanganan komplikasi abortus yang tidak aman. Kegiatan asuhan paskakeguguran dilaksanakan tidak hanya dilaksanakan semata untuk penanganan komplikasi tetapi juga harus mencakup kegiatan-kegiatan deteksi dini dan pencegahan terhadap kejadian abortus. Sehingga

kegiatan asuhan paskakeguguran dilaksanakan tidak hanya oleh tenaga kesehatan, juga oleh masyarakat berupa kegiatan deteksi dini kejadian abortus dan komplikasinya di tingkat masyarakat. Ada tiga (3) elemen dasar dalam Paket Asuhan Paskakeguguran yaitu: 1. Penatalaksanaan komplikasi abortus 2. Pelayanan KB paskakeguguran termasuk konseling dan pelayanan kontrasepsi 3. Asuhan paskakeguguran terintegrasi dengan pelayanan kegawatdaruratan dan kesehatan reproduksi termasuk KIE DAMPAK ABORTUS TERHADAP KESEHATAN IBU Angka Kematian lbu (AKI) di Indonesia masih tinggi. Menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI 1994), AKI di Indonesia 390/100.000 kelahiran hidup. Ada 3 penyebab klasik kematian ibu yaitu perdarahan, keracunan kehamilan dan infeksi. Sebenarnya ada penyebab ke 4 yaitu abortus. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)15-50% kematian ibu disebabkan oleh abortus. Komplikasi abortus berupa perdarahan atau infeksi dapat menyebabkan kematian. Itulah sebabnya rnengapa kematian ibu yang disebabkan abortus sering tidak muncul dalam laporan kematian, tapi dilaporkan sebagai perdarahan atau sepsis. Tidak ada data yang pasti tentang berapa besarnya dampak abortus terhadap kesehatan ibu. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan di seluruh dunia setiap tahun:

dilakukan 20 juta unsafe abortion.

70.000wanita ineninggal akibat unsafe abortion.

1 diantara 8 kematian ibu disebabkan unsaf abortion.

Anda mungkin juga menyukai