Anda di halaman 1dari 5

Bahaya Kresek dan Kemasan Styrofoam

Tiba-tiba saja kantung plastik kresek menjadi pembicaraan masyarakat luas, setelah Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) meminta konsumen agar berhati-hati dan tidak menggunakan kantung itu untuk mewadahi makanan. Juga perlu diwaspadai penggunaan kemasan styrofoam dalam kondisi tertentu untuk mewadahi makanan (Suara Merdeka, 15 Juli 2009). Apa ada dengan kresek dan styrofoam? KEMASAN makanan merupakan bagian dari makanan yang sehari-hari kita konsumsi. Bagi sebagian besar orang, kemasan makanan hanya sekadar bungkus, bahkan cenderung dianggap sebagai pelindung makanan. Sebetulnya tidak tepat begitu, karena sangat tergantung dari jenis bahan kemasannya. Meski demikian, kita harus cermat memilih kemasan makanan. Kemasan pada makanan mempunyai fungsi kesehatan, pengawetan, kemudahan, penyeragaman, promosi, dan informasi. Ada begitu banyak bahan yang digunakan sebagai pengemas primer pada makanan, yaitu kemasan yang bersentuhan langsung dengan makanan. Tetapi tidak semua bahan ini aman bagi makanan yang dikemasnya. Sinyalemen BPOM tentang perlunya berhati-hati dalam menggunakan kantung kresek berwarna (terutama hitam), lebih disebabkan proses daur ulang yang menyertainya. Padahal, dalam proses daur ulang, peruntukan sebelumnya tidak diketahui. Ada kemungkinan semula bekas wadah pestisida, limbah logam berat, maupun bahan berbahaya dan beracun lainnya. Namun demikian, dalam membuat plastik tahan panas, biasanya ditambahkan senyawa pentakloro-bifenil (PCB) yang juga berfungsi sebagai satic agent. Karena itu, PCB ikut menentukan kualitas plastik. Plastik tahan panas sangat dimungkinkan mengandung PCB lebih banyak. Pengaruh keracunan PCB pada manusia telah lama diketahui. Di Jepang, keracunan ini menimbulkan penyakit yang dikenal sebagai Yusho. Penyebabnya, warga setempat menyantap makanan yang diproduksi oleh pabrik yang memakai pipa PVC untuk mengalirkan minyak goreng. Akibatnya, makanan tercemar PCB yang berasal dari PVC (paralon). Tanda dan gejala keracunan ini berupa pigmentasi pada kulit dan benjolan-benjolan, gangguan perut, serta tangan dan kaki lemas. Pada wanita hamil mengakibatkan kematian bayi dalam kandungan serta bayi lahir cacat. Sedangkan pengaruh keracunan menahun pada manusia oleh PCB antara lain kematian jaringan hati dan kanker hati. Karena itulah, untuk mengurangi bahaya plastik bagi kesehatan dan lingkungan hidup, dianjurkan sesedikit mungkin menggunakan plastik untuk berbagai keperluan. Kemasan Styrofoam Bahan pengemas styrofoam atau polystyrene telah menjadi salah satu pilihan terpopuler dalam bisnis pangan. Tetapi, riset terkini membuktikan bahwa keamanan styrofoam diragukan. Styrofoam yang dibuat dari kopolimer styren ini menjadi pilihan bisnis pangan, karena mampu mencegah kebocoran dan tetap mempertahankan bentuknya saat dipegang. Bahan tersebut juga mampu mempertahankan panas dan dingin, namun tetap nyaman dipegang, mempertahankan kesegaran dan keutuhan bahan yang dikemas. Biayanya pun

murah, dengan tampilan yang lebih ringan dan aman. Styrofoam yang sering digunakan untuk membungkus makanan atau kebutuhan lain juga dapat menimbulkan masalah. Hasil survei di AS (1986) menunjukkan, 100 persen jaringan lemak orang Amerika mengandung styrene yang berasal dari styrofoam. Penelitian dua tahun kemudian menyebutkan, kandungan styrene sudah mencapai ambang batas yang bisa memunculkan gejala gangguan saraf. Demikian pula penelitian di New Jersey. Ditemukan 75 persen air susu ibu (ASI) telah terkontaminasi styrene. Hal ini terjadi akibat si ibu menggunakan wadah styrofoam saat mengonsumsi makanan. Penelitian yang sama juga menyebutkan, styrene bisa bermigrasi ke janin melalui plasenta pada ibu-ibu hamil. Dalam jangka panjang dapat mengakibatkan penumpukan styrene dalam tubuh, dan menimbulkan gejala-gejala sistem saraf seperti kelelahan, gelisah, sulit tidur. Bahkan styrofoam dapat menyebabkan kemandulan atau menurunkan kesuburan. Anak yang terbiasa mengonsumsi styrene bisa kehilangan kreativitas dan pasif. Pada Juli 2001, Divisi Keamanan Pangan Pemerintah Jepang mengungkapkan bahwa residu styrofoam dalam makanan sangat berbahaya. Residu itu dapat menyebabkan endocrine disrupter (EDC), yaitu penyakit berupa gangguan sistem endokrinologi dan reproduksi manusia akibat bahan kimia karsinogen dalam makanan. Penanggulangan Banyak sekali bahaya yang ditimbulkan melalui penggunaan styrofoam sebagai kemasan makanan/minuman. Celakanya, sebagian besar dari konsumen tak pernah menyadarinya (lihat pula Mengapa Berbahaya?). Pencegahan sedapat mungkin harus menghindari penggunaan styrofoam untuk makanan atau minuman panas. Sebagaiman halnya plastik, suhu tinggi menyebabkan perpindahan komponen kimia dari styrofoam ke dalam makanan. Jangan memasukkan wadah plastik untuk makanan ke dalam microwave, kecuali wadah plastik yang khusus dan tertulis untuk microwave. Upaya penanggulangan yang dapat dilakukan antara lain mengurangi penggunaan kantung plastik sekarang juga. Gunakan tas kain setiap kali berbelanja. Jika hanya membeli sedikit, masukkan barang belanjaan ke dalam tas. Penanggulangan limbah plastik juga bisa diatasi dengan membuat plastik ramah lingkungan, yaitu plastik yang terbuat dari makhluk hidup yang bisa diurai tanah. Misalnya biobag, yaitu sejenis kantung plastik yang terbuat dari kulit jagung (mates-bi). Ada juga plastik yang terbuat dari kelapa sawit. Selain kedua cara di atas, limbah plastik bisa juga ditanggulangi dengan pengolahan limbah plastik menjadi barang berharga. (32)

BPOM Teliti Bahaya Kantong Plastik Kresek


Juli 14, 2009 - 15:16 Kategori Berita Terkini, Kilas Info, Nasional JAKARTA (Pos Kota)- Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengingatkan bahaya penggunaan 5 bahan kemasan makanan yang selama ini banyak digunakan oleh industri makanan. Ke-5 jenis kemasan makanan yang diteliti oleh BPOM adalah kantong plastik kresek, styrofoam, plastic polivinil klorida (PVC), plastic polietilen (PE) dan polipropilen (PP). Meski belum cukup bukti bahaya bahan kemasan makanan tersebut, namun proses daur ulang yang menggunakan bahan kimia berbahaya serta prosesnya yang sulit dilacak bisa jadi menimbulkan bahaya. Kami tidak tahu apakah plastik kresek yang kita gunakan untuk wadah makanan, ternyata sebelum didaur ulang merupakan bekas kotoran anjing, kotoran manusia, atau wadah limbah rumah sakit, ujar Kepala BPOM Husniah Rubiana Thamrin Akib, Selasa (14/7). Itu sebabnya, Husniah mengingatkan agar masyarakat berhati-hati menggunakan plastik kresek daur ulang saat hendak digunakan sebagai wadah makanan. Kotoran yang terbawa pada saat proses daur ulang dan pencampuran bahan kimia bisa mengganggu kesehatan manusia. Pada styrofoam lanjut Husniah ada batas keamanan yang harus diperhatikan oleh masyarakat. Diantaranya bahwa bahan kemasan makanan jenis styrofoam tidak bisa digunakan pada makanan berlemak, berminyak, beralkohol atau panas. Sebab jika ada residu dalam bahan kemasan makanan tersebut maka dampaknya bisa terkontaminasi pada bahan makanan kita. Nilai residu masing-masing bahan kemasan makanan tersebut memang relative kecil hanya berkisar antara 10 hingga 29 ppm dari angka kandungan yang dilarang yakni 5000 ppm, lanjut Husniah. Namun meski nilai residu bahan kemasan makanan tersebut relative kecil, sebaiknya kata Husniah masyarakat tetap berhati-hati. Penelitian yang dilakukan pada hewan, residu bahan kemasan makanan jenis stryrofoam bisa mengakibatkan kanker. Beberapa negara Eropa, lanjut Husniah memang tidak lagi merekomendasikan penggunaan stryrofoam untuk kemasan makanan. Namun alasan pelarangan tersebut bukan karena efek negative pada tubuh manusia, tetapi lebih kepada alasan lingkungan. Sebab bahan kemasan makanan ini tidak bisa langsung hancur diurai bakteri. Butuh waktu 500 tahun untuk membusukkan bahan stryfoam maupun polipropilen, tandas Husniah.

Kantong Plastik Kresek, Jangan Pakai Buat Wadah Makanan!


Selasa, 14 Juli 2009 | 20.37 WIB

Dhoni Setiawan

JAKARTA, KOMPAS.com - Kantong plastik kresek berwarna terutama yang hitam kebanyakan merupakan produk daur ulang. Karena itu konsumen diharapkan berhati-hati dan tidak digunakan kantung plastik untuk mewadahi makanan. "Dalam proses daur ulang tersebut riwayat penggunaan sebelumnya tidak diketahui, apakah bekas wadah pestisida, limbah rumah sakit, kotoran hewan atau manusia, limbah logam berat dan lain-lain," kata Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Husniah Rubiana Thamrin Akib di Jakarta, Selasa (14/7). Dalam proses daur ulang tersebut juga ditambahkan berbagai bahan kimia yang menambah dampak bahaya bagi kesehatan. Disarankan agar masyarakat tidak menggunakan kantung plastik kresek warna hitam atau daur ulang untuk mewadahi langsung makanan siap santap. Sedangkan kemasan styrofoam sebenarnya merupakan merek dagang pabrik Dow Chemicals dari foamed polystyrene atau expandable polystyrene. Menurut Husniah, residu monomer stiren yang tidak ikut bereaksi dapat terlepas ke dalam makanan yang berminyak/berlemak atau mengandung alkohol, terlebih dalam keadaan panas. Sejauh ini tidak ada satu negara di dunia yang melarang menggunakan styrofoam atas dasar pertimbangan kesehatan. Kebijakan pelarangan di sejumlah negara berkaitan dengan masalah pencemaran lingkungan. Menurut JECFA-FAO/WHO monomer stiren tidak mengakibatkan gangguan kesehatan jika residunya tidak melebihi 5.000 bagian per juta. Meski demikian, masyarakat diimbau agar tidak menggunakan kemasan styrofoam dalam microwave, tidak menggunakan kemasan styrofoam yang rusak atau berubah bentuk untuk mewadahi makanan berminyak/berlemak apalagi dalam keadaan panas. Sementara itu, hasil pengawasan BPOM terhadap kemasan makanan yang terbuat dari plastik polivinil klorida (PVC) menunjukkan bahwa monomer vinil klorida (VCM) yang tidak ikut bereaksi dapat terlepas ke dalam makanan

terutama yang berminyak/berlemak atau mengandung alkohol terlebih dalam keadaan panas. Dalam pembuatan PVC ditambahkan penstabil seperti senyawa timbal (Pb), kadmium (Cd), timah putih (Sn) atau lainnya, untuk mencegah kerusakan PVC. Kadang-kadang agar lentur atau fleksibel ditambahkan senyawa ester flalat, ester adipat. Residu VCM terbukti mengakibatkan kanker hati, senyawa Pb merupakan racun bagi ginjal dan saraf, senyawa Cd merupakan racun bagi ginjal dan dapat mengakibatkan kaker paru. Senyawa ester flalat dapat mengganggu sistem endokrin, papar Husniah. Direktur Pengawasan Produk dan Bahan Berbahaya BPOM Roland Hutapea menyatakan, ke depan perlu ada pelabelan di kemasan. Selama ini sudah ada, tapi khusus label tidak wajib, katanya.

Anda mungkin juga menyukai