Anda di halaman 1dari 16

HAWALAH (PEMINDAHAN UTANG PIUTANG) Dalam Perspektif Islam dan Konvensional

PENDAHULUAN Dalam ajaran Islam, utang-piutang adalah muamalah yang dibolehkan, tapi diharuskan untuk ekstra hati-hati dalam menerapkannya. Karena utang bisa mengantarkan seseorang ke surga, dan sebaliknya juga menjerumuskan seseorang ke neraka.

Islam memuji pedagang yang menjual barang kepada orang yang tidak mampu membayar tunai, lalu memberi tempo, membolehkan pembelinya berutang. Islam menjanjikan pedagang itu berpotensi masuk surga, sebagaimana hadits Rasulullah saw: Bahwasanya ada seseorang yang meninggal dunia lalu dia masuk surga, dan ditanyakanlah kepadanya, amal apakah yang dahulu kamu kerjakan? Ia menjawab, Sesungguhnya dahulu saya berjualan. Saya memberi tempo (berutang) kepada orang yang dalam kesulitan, dan saya memaafkan terhadap mata uang atau uang. (HR. Muslim) Menurut ulama, kata-kata memaafkan terhadap mata uang atau uang di situ adalah, bahwa yang bersangkutan memberikan kemurahan kepada pengutang dalam membayar utangnya. Bila terdapat sedikit kekurangan pembayaran dari yang semestinya, kekurangan itu di abaikan dengan hati lapang. Keutamaan/fadhilah bagi pemberi utang: Siapa yang memberi pinjaman atas kesusahan orang lain, maka dia ditempatkan di bawah naungan singgasana Allah pada hari kiamat. (HR. Thabrani, Ibnu Majah, Baihaqi) Barangsiapa meminjamkan (harta) kepada orang lain, maka pahala shadaqah akan terus mengalir kepadanya setiap hari dengan jumlah sebanyak yang dipinjamkan, sampai pinjaman tersebut dikembalikan. (HR. Muslim, Ahmad, Ibnu Majah). Contohnya, si Fulan meminjam uang sebesar Rp. 1.000 kepada Fulanah. Fulanah akan mengembalikan uang tersebut dalam tempo 10 hari. Maka selama sepuluh hari itu si Fulan mendapatkan pahala shadaqah Rp. 1.000 setiap harinya. Dua kali memberikan pinjaman, sama derajatnya dengan sekali

bershadaqah. (HR. Bukhari, Muslim, Thabrani, Baihaqi).

Menghindari Utang Sebaliknya, Islam menyuruh pembeli menghindari utang semaksimal mungkin jika ia mampu membeli dengan tunai. Karena utang, menurut Rasulullah SAW, penyebab kesedihan di malam hari dan kehinaan di siang hari. Utang juga dapat membahayakan akhlaq, kata Rasulullah, Sesungguhnya seseorang apabila berutang, maka dia sering berkata lantas berdusta, dan berjanji lantas memungkiri. (HR. Bukhari). Rasulullah pernah menolak menshalatkan jenazah sesorang yang diketahui masih meninggalkan utang dan tidak meninggalkan harta untuk membayarnya. Sabda Rasulullah, Akan diampuni orang yang mati syahid semua dosanya, kecuali utangnya. (HR. Muslim).

Bagaimana Islam mengatur berutang-piutang yang membawa pelakunya ke surga dan menghindarkan dari api neraka ? Perhatikanlah adab-adabnya di bawah ini: Adab Umum Agama membolehkan adanya utang-piutang, untuk tujuan kebaikan Tidak dibenarkan meminjam atau memberi pinjaman untuk keperluan maksiat. (HR. Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, Hakim) Pembayaran tidak boleh melebihi jumlah pinjaman Selisih pembayaran dan pinjaman dan pengembalian adalah riba. Jika pinjam uang sejuta, kembalinya pun sejuta, tidak boleh lebih. Boleh ada kelebihan pembayaran, berubah hadiah, asal tidak diakadkan sebelumnya. (HR. Bukhari, Muslim, Abdur Razak). Jangan ada syarat lain dalam utang-piutang kecuali (waktu) pembayarannya. (HR. Ahmad, Nasai).

Adab untuk pemberi utang Sebaiknya memberi tempo pembayaran kepada yang meminjam agar ada

kemudahan untuk membayar. (HR. Muslim, Ahmad). Jangan menagih sebelum waktu pembayaran yang sudah ditentukan. (HR. Ahmad) Hendaknya menagih dengan sikap yang lembut penuh maaf. (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi). Boleh menyuruh orang lain untuk menagih utang, tetapi terlebih dahulu diberi nasihat agar bersikap baik, lembut dan penuh pemaaf kepada orang yang akan ditagih. (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Hakim).

Adab bagi pengutang Sebaik-baik orang adalah yang mudah dalam membayar utang (tidak menunda-nunda). (HR. Bukhari, Nasai, Ibnu Majah, Tirmidzi). Yang berutang hendaknya berniat sungguh-sungguh untuk membayar. (HR. Bukhari, Muslim) Menunda-nunda utang padahal mampu adalah kezaliman. (HR. Thabrani, Abu Dawud). Barangsiapa menunda-nunda pembayaran utang, padahal ia mampu membayarnya, maka bertambah satu dosa baginya setiap hari. (HR. Baihaqi). Bagi yang memiliki utang dan ia belum mampu membayarnya, dianjurkan banyak-banyak berdoa kepada Allah agar dibebaskan dari utang, serta banyak-banyak membaca surat Ali Imran ayat 26. (HR. Baihaqi) Disunnahkan agar segera mengucapkan tahmid (Alhamdulillah) setelah dapat membayar utang. (HR Bukhari, Muslim, Nasai, Ahmad).

Bila ada orang yang masuk surga karena piutang, kelak akan ada juga orang yang kehabisan amal baik dan akan masuk neraka karena lalai membayar utang. Sabda Rasulullah SAW: Barangsiapa (yang berutang) di dalam hatinya tidak ada niat untuk membayar utangnya, maka pahala kebaikannya akan dialihkan kepada yang memberi piutang. Jika masih belum terpenuhi, maka dosa-dosa yang memberi utang akan dialihkan kepada orang yang berutang. (HR. Baihaqi, Thabrani, Hakim).

PENGERTIAN Kata Hawalah, huruf haa dibaca fathah atau kadang-kadang dibaca kasrah, berasal dari kata tahwil yang berarti intiqal (pemindahan) atau dari kata haaul (perubahan). Orang Arab biasa mengatakan haala anil ahdi, yaitu berlepas diri dari tanggung jawab. Sedang menurut fuqaha, para pakar fiqih, hawalah adalah pemindahan kewajiban melunasi hutang kepada orang lain.

Hiwalah merupakan pengalihan hutang dari orang yang berutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya. Dalam hal ini terjadi perpindahan tanggungan atau hak dari satu orang kepada orang lain. Dalam istilah ulama, hiwalah adalah pemindahan beban hutang dari muhil (orang yang berhutang) menjadi tanggungan muhal alaih (orang yang berkewajiban membayar hutang).

DASAR HUKUM HIWALAH Islam membenarkan hiwalah dan membolehkannya karena ia diperlukan. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: Menunda-nunda pembayaran hutang yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman. Maka, jika seseorang di antara kamu dialihkan hak penagihan piutangnya (dihawalahkan) kepada pihak yang mampu, terimalah (HR. Bukhari).

Pada hadis ini, Rasulullah SAW memerintahkan kepada orang yang menghutangkan, jika orang yang berhutang meng-hiwalah-kan kepada orang yang kaya dan berkemampuan, hendaklah ia menerima hiwalah tersebut dan hendaklah ia mengikuti (menagih) kepada orang yang di-hiwalah-kan (muhal alaih), dengan demikian haknya dapat terpenuhi (dibayar). Dan Menurut hadist riwayat Tirmidzi dari Amr bin Auf: Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang

haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. Dan menurut Ijma para Ulama, akad hiwalah telah disepakati boleh untuk dilakukan. Hal ini didasari kepada kaidah fiqh: Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Bahaya (beban berat) harus dihilangkan.

Dalam ayat suci al-quran : apabila kamu berutang piutang satu sama lain untuk waktu tertentu hendaklah kamu menuliskannyadengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengerjakannya maka hendaklah ia menulis dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakannya (QS. AL-BAQARAH 282) Semua jenis kredit dalam islam adalah bebas bunga (Allah memperekenankan jual beli dan melarang riba) Allah menghapus berkah riba dan menambah berkah shodaqoh (QS. AL-BAQARAH 276) Karena riba adalah anti sosial dan ini benar-benar merupakan pengisapan atas kebutuhan sesama saudara. Itulah sebabnya tercantum dalam kitab suci Al-Quran. dan jika orang itu dalam kesukaran, maka berilah dia tangguhan sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan sebagian atau semua utang itu, lebih baik bagimu jika kamu mengetahuinya

Dalam Sunnah/Hadist Nabi Rasulullah bersabda Barang siapa berutang dengan maksud akan membayarnya kembali, Allah akan membayar atas namaNya, dan barang siapa berutang dengan maksud hendak memboroskannya, Allah akan menghancurkan hidupnya Abu hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah telah berkata Binatang yang digadaikan boleh dinaiki bila ia digadaikan dengan jumlah yang dikeluarkan untuknya. Dan susu seekor hewan perahan boleh diminum

bila digadaikan, dan pengeluarannya akan ditanggung oleh orang yang memiliki hewan itu dan meminum susunya

RUKUN DAN SYARAT-SYARAT DALAM HIWALAH

a. Orang yang berutang (Muhil) b. Orang yang berpiutang (Muhal) c. Orang yang berutang dan wajib membayar hutang pada muhil (Muhal Alaih) d. Utang muhil kepada muhal e. Utang muhal alaih keada muhil f. Sighat (Lafadz akad)

Dalam hal ini, rukun akad hiwalah adalah muhil, yakni orang yang berhutang dan sekaligus berpiutang, muhal , yakni orang berpiutang kepada muhil. Dan muhal alaih, yakni orang yang berhutang kepada muhil dan wajib membayar hutang kepada muhal, muhal bih 1, yakni hutang muhil kepada muhal, dan juga muhal bih 2 sebagai hutang muhal alaih kepada muhil dan rukun terakhir adalah sighat (ijab-qabul), Untuk sahnya hiwalah disyaratkan hal-hal berikut: pertama, relanya pihak muhil dan muhal tanpa muhal alaih berdasarkan dalil kepada hadis di atas. Rasulullah SAW telah menyebutkan kedua belah pihak, karenanya muhil yang berhutang berkewajiban membayar hutang dari arah mana saja yang sesuai dengan keinginannya. Dan karena muhal mempunyai hak yang ada pada tanggungan muhil, maka tidak mungkin terjadi perpindahan tanpa kerelaannya. Kedua, samanya kedua hak, baik jenis maupun kadarnya, penyelesaian, tempo waktu, serta mutu baik dan buruk. Maka tidak sah hiwalah apabila hutang berbentuk emas dan di-hiwalah-kan agar ia mengambil perak sebagai penggantinya. Demikian pula jika sekiranya hutang itu sekarang dan di-hiwalahkan untuk dibayar kemudian (ditangguhkan) atau sebaliknya. Dan tidak sah pula hiwalah yang mutu baik dan buruknya berbeda atau salah satunya lebih banyak. Ketiga, stabilnya hutang. Jika peng-hiwalah-an itu kepada pegawai yang gajinya

belum lagi dibayar, maka hiwalah tidak sah. Keempat, kedua hak tersebut diketahui dengan jelas. Apabila hiwalah berjalan sah, dengan sendirinya tanggungan muhil menjadi gugur. Andaikata muhal alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia, muhal tidak boleh lagi kembali kepada muhil. Demikianlah menurut pendapat jumhur (kebanyakan) ulama.

SYARAT SAH HAWALAH Syarat sahnya Hawalah antara lain : a. Muhil harus aqil baligh b. Adanya kerelaan muhil (tidak ada unsur paksaan) c. Muhal harus aqil baligh d. Adanya kerelaan muhal (tidak ada unsur paksaan) e. Adanya kesamaan kedua hutang (jenis,jumlah,sifat dan jatuh tempo) f. Piutang/utang itu sudah pasti adanya g. Utang muhal kepada muhil dan hutang muhal alaih kepada muhil harus sama.

Bila menganalisis berbagai perintah agama islam dengan seksama, maka dengan mudah kita dapat memperoleh prinsip yang berkaitan dengan piutang konsumtif. Adapun prinsip piutang konsumtif terdiri dari empat prinsip, yaitu : Prinsip kemurnian Prinsip perjanjian Prinsip pembayaran Prinsip bantuan

Prinsip kemurnian timbul dari kenyataan bahwa mengambil suatu kredit tanpa suatu sebab yang shahih, ditolak oleh Rasulullah yang diriwayatkan berlindung dari utang maupun dosa. Aisyah berkata rasulullah SAW biasa berdoa dengan mengucapkan kata-kata Yaa Allah, aku berlindung padamu dari dosa dan berutang. Seseorang bertanya padanya Yaa Rasulullah, mengapa begitu sering engkau berlindung dari berutang? Jawabnya Bila orang berutang, dia berdusta, berbohong dan berjanji. Tetapi memungkiri janjinya (HR. BUKHARI).

SISTEM MENILAI PELAKU HAWALAH Untuk menilai pelanggan atau nasabah, dapat digunakan sistem 5K atau 5C, Yaitu: a. Karakter (Character) b. Kapasitas (Capacity) c. Kapital (Capital) d. Koleteral (Colleteral) e. Kondisi (Condition)

BERAKHIRNYA HIWALAH Apabila kontrak hiwalah telah terjadi, maka tanggungan muhil menjadi gugur. Jika muhalalaih bangkrut (pailit) atau meninggal dunia, maka menurut pendapat Jumhur Ulama, muhal tidak boleh lagi kembali menagih hutang itu kepada muhil. Menurut Imam Maliki, jika muhil menipu muhal, di mana ia menghiwalahkan kepada orang yang tidak memiliki apa-apa (fakir), maka muhal boleh kembali lagi menagih hutang kepada muhil

FATWA MUI HIWALAH Seiring dengan berkembangnya institusi keuangan Islam di Indonesia, maka suatu aturan hukum turut pula dikembangkan untuk melegalisasi serta melindungi akad-akad yang sesuai Syariah Islam diterapkan dalam Sistem Keuangan Islam di Indonesia. Maka dari itu, Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa No: 12/DSN-MUI/IV/2000 tentang Hawalah disebutkan bahwa pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad).

JENIS-JENIS HIWALAH Akad Hiwalah, dalam praktiknya dapat dibedakan ke dalam dua kelompok. Yang pertama adalah berdasarkan jenis pemindahannya. Dan yang

kedua adalah berdasarkan rukun Hiwalahnya. Kelompok pertama yang berdasarkan jenis pemindahannya, terdiri dari dua jenis Hiwalah, yaitu Hiwalah Dayn dan Hiwalah Haqq. Hiwalah Dayn adalah pemindahan kewajiban melunasi hutang kepada orang lain. Sedangkan Hiwalah Haqq adalah pemindahan kewajiban piutang kepada orang lain.

Hiwalah Dayn dan Haqq sesungguhnya sama saja, tergantung dari sisi mana melihatnya. Disebut Hiwalah Dayn jika kita memandangnya sebagai pengalihan hutang, sedangkan sebutan Haqq, jika kita memandangnya sebagai pengalihan piutang. Berdasarkan definisi ini, maka anjak piutang (factoring) yang terdapat pada praktik perbankan, termasuk ke dalam kelompok Hiwalah Haqq, bukan Hiwalah Dayn.

Kelompok kedua yaitu Hiwalah yang berdasarkan rukun Hiwalah, terdiri dari Hiwalah Muqayyadah dan Hiwalah Muthlaqah. Hiwalah Muqayyadah adalah Hiwalah yang terjadi dimana orang yang berhutang, memindahkan hutangnya kepada Muhal Alaih, dengan mengaitkannya pada hutang Muhal alaih padanya. Maka dalam rukun Hiwalah, terdapat Muhal bih 2.

Hiwalah Muthlaqah adalah Hiwalah dimana orang yang berhutang, memindahkan hutangnya kepada Muhal alaih, tanpa mengaitkannya pada hutang Muhal alaih padanya, karena memang hutang muhal alaih tidak pernah ada padanya. Dengan demikian, Hiwalah Muthlaqah ini sesuai dengan konsep anjak piutang pada praktik Perbankan, dimana tidak ada hutang muhal alaih kepadanya sehingga didalam rukun hiwalahnya, tidak terdapat Muhal bih 2.

APLIKASI HIWALAH DALAM INSTITUSI KEUANGAN Dalam praktek perbankan syariah fasilitas hiwalah lazimnya untuk membantu supplier mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan produksinya. Bank mendapat ganti biaya atas jasa pemindahan piutang. Untuk mengantisipasi resiko kerugian yang akan timbul, bank perlu melakukan penelitian atas kemampuan pihak yang berutang dan kebenaran transaksi antara

10

yang memindahkan piutang dengan yang berutang. Katakanlah seorang supplier bahan bangunan menjual barangnya kepada pemilik proyek yang akan dibayar dua bulan kemudian. Karena kebutuhan supplier akan likuiditas, maka ia meminta bank untuk mengambil alih piutangnya. Bank akan menerima pembayaran dari pemilik proyek.

Saat ini, akad hiwalah juga dapat diaplikasikan di Lembaga Keuangan Syariah, seperti anjak piutang maupun debt transfer. BMT BIF Gedongkuning sebagai salah satu Lembaga Keuangan Syariah juga menggunakan akad hiwalah sebagai salah satu produk pembiayaan. Akad hiwalah digunakan jika anggota mengajukan pinjaman untuk keperluan membayar biaya Rumah Sakit, sekolah atau membayar hutang anggota di pihak lain yang hampir jatuh tempo. Dalam pelaksanaan akad hiwalah tersebut, BMT BIF Gedongkuning mengenakan fee.

Namun, dalam prakteknya di BMT BIF Gedongkuning hanya dilakukan oleh dua pihak yaitu pihak BMT BIF dan pihak anggota, sehingga jika dilihat, praktek tersebut hampir sama dengan akad al-Qard (hutang piutang).

Setelah melakukan penelitian di BMT BIF Gedongkuning Yogyakarta tentang praktek hiwalah, dapat diambil kesimpulan antara lain: dari segi subyek, akad hiwalah di BMT BIF Gedongkuning adalah sah. Dimana anggota sebagai muhil, pihak lain (Rumah Sakit, sekolah atau person) adalah muhal, BMT BIF Gedongkuning adalah muhal alaih. Dari segi sigah, tidak sah karena salah satu dari tiga pihak tidak mengetahui adanya akad hiwalah.

Dengan melihat berbagai transaksi modern saat ini yang menggunakan akad Hiwalah, ditemukan bahwa telah terjadi perubahan model dalam proses akad Hiwalah. Dimana pada model klasik berdasarkan definisi, Muhil menjadi hilang tanggung jawab hutangnya karena muhal alaih yang meneruskan hutang muhil kepada Muhal karena Muhal alaih telah memiliki hutang kepada muhil sebelumnya.

11

Namun dalam model modern saat ini, Muhil masih bertanggungjawab terhadap hutangnya. Hanya pihak piutangnya saja yang berpindah dari muhal ke muhal alaih. Dengan membandingkan Gambar 3 dan Gambar 1, kita bisa melihat perbedaanya.

Kemudian contoh yang lain adalah dalam praktek Credit Card, istilah yang pas (sesuai) adalah hiwalah haqq, karena terjadi perpindahan menuntut tagihan (piutang) dari nasabah kepada bank oleh merchant. Contoh ini pun sama dengan contoh BMT, dimana dari segi sigah, transaksi ini tidak sah dikarenakan salah satu dari tiga pihak tidak mengetahui adanya akad hiwalah.

PENUTUP

Akad hiwalah telah dapat diterapkan dalam Institusi Keuangan Islam di

12

Indonesia. Fatwa untuk akad ini telah dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia NO: 12/DSN-MUI/IV/2000. Hal ini akan mendukung perkembangan produk-produk keuangan Islam dengan akad Hiwalah, yang mana akan mendukung pula perkembangan perbankan dan investasi Syariah di Indonesia

Gadai yang kita kenal selama ini di Indonesia identik dengan Perum Pegadaian, dengan motonya Menyelesaikan Masalah Tanpa Masalah sebagai satu-satunya perusahaan yang mengusahakannya. Dulu, pegadaian sering disamakan dengan kesusahan dan berhubungan dengan masyarakat golongan ekonomi lemah, sehingga kebanyakan orang malu untuk datang kepegadaian. Sekarang kondisinya sudah lain, pegadaian tumbuh menjadi sarana untuk mendapat dana bagi semua golongan masyarakat, dari petani sampai pengusaha berdasi.

Gadai secara umum berupa transaksi peminjaman sejumlah uang dengan memberikan jaminan berupa perhiasan (emas, perak platina), barang elektronik (TV, kulkas, radio, tape, video), kendaraan (sepeda, motor, mobil), barang-barang pecah belah, mesin jahit, mesin motor kapal, tekstil (kain batik, permadani) dan barang lainnya yang dianggap bernilai.

Jumlah uang yang dipinjamkan tergantung nilai taksir barang-barang yang dijaminkan dan berkisar antara 80 90 persen nilai taksir barang. Taksiran atas barang jaminan tersebut didasarkan harga lokal secara kontinu di perbaharui, sehingga sesuai dengan nilai pasarnya. Lama peminjaman biasanya tidak lebih dari empat bulan, karena merupakan usaha pemenuhan kebutuhan jangka pendek, dengan tingkat bunga 1,25 1,75 persen per 15 hari. Apabila setelah jangka waktu yang ditetapkan, penggadai tidak dapat menebus barangnya kembali (melunasi pinjaman yang diberikan) maka barang yang digadaikan akan dilelang dan nilai lelang akan digunakan untuk melunasi pinjaman beserta bunganya dan sisanya dikembalikan kepada penggadai.

13

Berdasarkan neraca yang dipublikasikan oleh Perum Pegadaian tanggal 30 Juni 2001, pada Juni 200 pinjaman yang diberikan sebesar Rp 883.194.045.000 dan pada Juni 2001 mengalami peningkatan sebesar 47 persen menjadi Rp 1.229.542.195.000. Sementara laba yang berhasil dibukukan pada Juni 2001 sebesar Rp 201. 637.058.000 atau meningkat sebesar 13 persen dari periode sebelumnya. Hal ini menunjukkan masih tingginya animo masyarakat dan peluang usaha gadai yang masih sangat prospektif.

Rahn, Gadai dalam perspektif Islam Dalam Islam, gadai dikenal dengan istilah ar rahn atau ar rahnu. Istilah ini tercantum dalam Al Quran surat Al Baqarah : 283, Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Ayat ini secara jelas menyebutkan barang tanggungan yang dipegang, yang didalam dunia perbankan akan berarti jaminan/collateral atau objek pegadaian. Selain itu disebutkan pula dalam sebuah hadist, Dari Abu Hurairah r.a, Rasulullah berkata: Apabila ada ternak yang digadaikan, maka punggungnya boleh dinaiki (oleh yang menerima gadai), karena ia telah mengeluarkan biaya (menjaganya). Apabila ternak itu digadaikan, maka air susunya yang deras boleh diminum (oleh orang yang menerima gadai), karena ia telah mengeluarkan biaya (menjaga)nya. Kepada orang yang naik dan minum, maka ia harus mengeluarkan biaya (perawatan)nya (HR. Jamaah kecuali Muslim dan Nasai, Bukhari no. 2329, Kitab Ar Rahn).

Sayyid Sabiq mengatakan bahwa rahn adalah menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara sebagai jaminan hutang, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil hutang. Sedangkan menurut Syafii Antonio, ar rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan memperoleh jaminan

14

untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa rahn adalah semacam jaminan hutang atau gadai.

Perbedaan mendasar antara produk gadai di perbankan syariah dengan gadai konvensional adalah pengenaan biaya. Pada gadai konvensional, biayanya adalah bunga yang bersifat akumulatif dan berlipat ganda. Dalam perbankan syariah, biaya ar rahn ditetapkan sekali dan dibayar dimuka, yang ditujukan untuk biaya penitipan, pemeliharaan, penjagaan dan penaksiran.

Rahn, Produk Perbankan Syariah Di beberapa negara Islam termasuk diantaranya adalah Malaysia, akad rahn telah dipakai sebagai alternatif dari pegadaian konvensional, Bank Islam Malaysia misalnya, mengeluarkan produk dengan nama Ar Rahnu Scheme. Dalam skim ini, bank memberikan pinjaman al qard kepada pemohon dan pemohon memberikan barangnya sebagai jaminan atas pinjaman tersebut. Bank menjamin keamanan barang tersebut dan mengenakan kepada nasabah fee atau upah atas jasa pemeliharaannya.

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka produk gadai atau ar rahn ini dapat diadopsi menjadi salah satu produk perbankan syariah. Mengenai gadai atau rahn ini telah disebutkan secara eksplisit didalam UU No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan dan Petunjuk Pelaksanaan Pembukaan Kantor Bank Syariah dari Bank Indonesia.

Manfaat yang dapat diambil oleh perbankan syariah berkaitan dengan ar rahn adalah 1. menjaga kemungkinan nasabah untuk lalai atau bermain-main dengan fasilitas yang diberikan oleh bank 2. memberikan keamanan bagi segenap penabung dan pemegang deposito bahwa dananya tidak akan hilang begitu saja jika nasabah peminjam ingkar janji karena suatu aset atau barang (marhun) yang dipegang oleh bank

15

3. jika rahn ditetapkan dalam mekanisme pegadaian, maka sudah barang tentu akan sangat membantu saudara kita yang kesulitan dana terutama di daerah-daerah, dan 4. bank menerima biaya konkrit yang harus dibayar oleh nasabah untuk pemeliharaan dan keamanan aset tersebut. Jika penahanan aset berdasarkan fidusia maka nasabah juga harus membayar biaya asuransi yang besarnya sesuai dengan yang berlaku secara umum.

Resiko yang mungkin terdapat pada rahn apabila diterapkan sebagai produk adalah adanya resiko tak terbayarnya hutang nasabah (wanprestasi) dan terjadinya resiko penurunan nilai aset yang ditahan atau rusak.

Bagaimanapun juga masih sedikitnya produk-produk perbankan syariah yang beredar dan dikenal oleh masyarakat Indonesia, sehingga produk rahn ini merupakan salah satu alternatif produk baru yang dapat dikeluarkan. Tentunya perlu kajian lebih luas dan dalam untuk pengeluarannya, seperti mengenai ruang penyimpanan, keahlian yang diperlukan berkaitan dengan penaksiran nilai barang, perawatan dan pemeliharaan barang yang digadaikan dan lain sebagainya. Namun, hal tersebut tidaklah merupakan suatu masalah besar untuk menerapkan dan mengaplikasikan ar rahn.

16

Anda mungkin juga menyukai