Anda di halaman 1dari 13

INFEKSI BAKTERIAL SISTEM SARAF PUSAT ABSES SUBGALEAL Abses subgaleal adalah infeksi yang terlokalisir antara galea

dari skalp dan perikranium. Perjalanannya biasa dimulai dengan kontaminasi luka skalp oleh stafilokoki, streptokoki, atau organisme anaerob. Nyeri skalp yang terlokalisir dan pembengkakan adalah tanda pembentukan abses. Demam, limfadenopati, serta pembengkakan muka menunjukkan penyebaran regional dan sistemik infeksi. Infeksi jarang meluas keintrakranial kecuali tengkorak sudah terpenetrasi. Osteomielitis tengkorak terkadang terjadi sekunder. Tindakannya adalah drainasi terbuka serta debridemen dan antibiotika sistemik. OSTEOMIELITIS Osteomielitis tengkorak mungkin timbul dari perluasan infeksi lokal, seperti sinusitis atau mastoiditis, dari kontaminasi langsung pada tengkorak saat operasi atau setelah cedera, atau jarang secara hematogen dari sumber jauh seperti traktus uriner dan respiratori. Infeksi tengkorak mungkin meluas kedalam membentuk abses epidural atau keluar keruang subgaleal. Patogen yang umum adalah stafilokoki dan streptokoki anaerob. Kadang-kadang yang bertanggung-jawab adalah organisme gram negatif atau fungi. Tindakan berupa debridemen tulang yang terinfeksi serta antibiotika sesuai paling tidak untuk 6 minggu. Laju sedimentasi eritrosit dan xray tengkorak bermanfaat untu menilai respon terhadap terapi. Osteomielitis tulang belakang biasanya tampil dengan nyeri dan biasanya akut pada anak-anak dan lebih perlahan pada dewasa. Mielopati serta radikulopati merupakan gejala pada sekitar 50 % pasien. MRI sangat bernilai melacak kompresi kord tulang belakang. Intervensi bedah diindikasikan untuk semua pasien dengan defisit neurologis serta biopsi sering diperlukan untuk memastikan diagnosis serta mengetahui organisme penyebab. S. aureus adalah patogen tersering; namun infeksi gram negatif umumnya sekitar 16.7 %. Keberhasilan pengobatan tergantung organisme yang berhasil diisolasi serta antibiotika intravena paling tidak diberikan 6-8 minggu disertai dengan immobilisasi (baring dan ortosis kaku) untuk mengurangi nyeri. Sekali lagi, laju sedimentasi serial dan film tulang

belakang berguna untuk menilai reaksi terhadap terapi. ABSES EPIDURAL Infeksi intrakranial terbatas diruang epidural adalah komplikasi yang jarang dari kontaminasi jaringan epidural baik traumatika atau operatif. Lebih sering diakibatkan oleh perluasan osteomielitis berdekatan. Bila dura intak, infeksi jarang meluas secara transdural. Tindakannya adalah drainasi, debridemen dan antibiotik sistemik. Abses epidural tulang belakang lebih sering dan biasanya memerlukan bedah gawat darurat. Khas dengan demam, nyeri tulang belakang lokal, dan progresi yang cepat dari defisit neurologis. Nyeri radikuler serta mielopati sering terjadi dalam beberapa hari sejak gejala awal. Kebanyakan abses epidural disebabkan perluasan lokal dari osteomielitis tulang belakang dan jarang melalui penyebaran hematogen dari infeksi jauh. CSS memperlihatkan peninggian kadar protein yang jelas dan pleositosis ringan. Mielogram atau MRI menampilkan perluasan massa epidural. Organisme penyebab tersering adalah S. aureus dan terkadang Streptococcus sp. Basil gram negatif sering diisolasi dari pecandu obat intravena. Mycobacterium tuberculosis merupakan penyebab terpenting abses epidural dibanyak bagian bumi. Tindakan berupa laminektomi segera serta drainasi abses diikuti terapi antibiotika spesifik jangka panjang. Pemulihan fungsi neurologi langsung berhubungan dengan lama dan beratnya gangguan sebelum operasi. EMPIEMA SUBDURAL Empiema subdural, infeksi purulen ruang subdural, terjadi karena perluasan langsung melalui mening saat meningitis pada neonatus dan bayi, atau sebagai komplikasi sinusitis paranasal atau otitis pada anak dan dewasa muda. Jarang secara hematogen dari infeksi jauh, dan kontaminasi langsung dari trauma pernah dilaporkan. Diagnosis didasarkan pada temuan klinis dan radiografis. Nyeri kepala, demam, dan meningismus merupakan keluhan yang umum dan dapat timbul sejak 1-8 minggu sebelumnya. Kejang dan defisit fokal juga biasa terjadi. CT scan dan MRI memperlihatkan koleksi subdural; namun massa mungkin isodens pada CT scan, hingga

memerlukan penguatan zat kontras agar jelas terlihat. Pencitraan juga berguna dalam mendiagnosis infeksi sinus atau mastoid penyebab. Risiko pungsi lumbar pada penderita yang diduga memiliki massa intrakranial mengharuskan dibatalkankannya tindakan ini hingga CT scan memastikan tidak adanya efek massa intrakranial. Analisis CSS jarang sebagai diagnostik, namun bisa menampakkan perubahan inflamatori nonspesifik. Sumber otorinologis empiema subdural biasanya disebabkan streptokoki, stafilokoki dan koki anaerob. Kelainan sinus paranasal adalah faktor etiologi yang paling sering pada literatur barat. Sekali ruang subdural terkena, infeksi akan menyebar diatas konveksitas otak serta kefisura interhemisferik dan fisura Sylvian. Penyebaran infratentorial terjadi pada 3-10 % infeksi, selalu sekunder dari perluasan otitis. Akumulasi pus sering cukup untuk menimbulkan massa intrakranial. Reaksi inflamasi hebat memacu pembengkakan dan edema otak. Tampilan klinisnya adalah perburukan neurologis cepat, sering dengan defisit fokal, koma dan mati. Empiema subdural sekunder terhadap meningitis umumnya bilateral dan kurang fulminan dibanding yang sekunder terhadap infeksi otorinologis. H. influenzae adalah organisme utama; namun empiema S. pneumoniae juga sering dilaporkan. Hidrosefalus komunikating bisa terjadi karena resorpsi diatas konveksitas otak terganggu oleh infeksi. Sebelum ditemukan penisilin, empiema subdural selalu fatal. Dengan antibiotika sistemik dan drainasi bedah, tingkat mortalitas 25 %, dengan outcome buruk sangat tergantung pada tingkat kesadaran sebelum tindakan dan ketidakmampuan mengetahui organisme patogenik. Bannister menganjurkan kraniotomi primer dengan bukaan luas, eksplorasi subdural agresif, dan debridemen yang baik dari material purulen material dari permukaan otak. Laporan mutakhir memperlihatkan pengurangan outcome yang buruk dan mortalitas secara bermakna pada tindakan kraniotomi dibanding dengan drainasi bur hole. Sumber infeksi harus ditindak agresif, drainasi sinus dan mastoid sering diperlukan. Antikonvulsan profilaktik dianjurkan karena insidens yang tinggi dari kejang. Keberhasilan tindakan nonbedah pernah dilaporkan dengan mencoba terapi antibiotik saja pada pasien dengan status neurologis utuh; pemeriksaan neurologis normal; dan lesi tunggal dan terbatas pada

CT scan. Empiema subdural tulang belakang jarang. Biasanya timbul dari ekstensi transdural lokal dari osteomielitis tulang belakang, atau melalui arakhnoid pada meningitis. Kompresi kord tulang belakang dan mielitis transversa mungkin terjadi. Tindakan berupa drainasi emergensi melalui laminektomi serta pemberian antibiotik jangka lama. MENINGITIS BAKTERIAL Meningitis bakterial adalah infeksi purulen ruang subarakhnoid. Biasanya akut, fulminan, khas dengan demam, nyeri kepala, mual ,muntah, dan kaku nukhal. Koma terjadi pada 5-10 % kasus dan berakibat prognosis yang buruk. Kejang terjadi pada sekitar 20 % kasus, dan palsi saraf kranial pada 5 %. Meningitis bakterial yang tidak ditindak hampir selalu fatal. CSS secara klasik memperlihatkan leukositosis polimorfonuklir, peninggian protein, dan penurunan glukosa; pewarnaan Gram dari CSS memperlihatkan organisme penyebab pada 75 % kasus. Kultur CSS memberi diagnosis pada 90 % kasus dan perlu untuk melakukan tes sensitifitas antibiotika terhadap mikroba. Penurunan kesadaran, terutama bila berhubungan dengan edema papil atau defisit neurologis fokal, mengharuskan dilakukannya CT scan sebelum melakukan pungsi lumbar untuk menyingkirkan lesi massa atau hidrosefalus. Hipertensi intrakranial difusa, tanpa adanya lesi massa pada CT scan bukan kontraindikasi pungsi lumbar, tentunya dengan pengetahuan yang baik tentang herniasi serta penanggulangannya. Pemeriksaan fisik harus mencakup pemeriksaan teliti daerah inflamasi berdekatan seperti otitis dan sinusitis dan mencari etiologi bakteremia seperti endokarditis. Kultur darah mungkin positif. Penelitian binatang memperlihatkan etiologi primer meningitis bakterial adalah invasi leptomeningeal bakteri malalui darah yang berkoloni dimukosa nasofaring. Patogen meningeal tersering adalah bakteria yang berkapsul. Setelah membentuk koloni dinasofaring, bakteri berkapsul melintas epitel dan membuat jalan kealiran darah. Kapsul menghambat fagositosis oleh neutrofil, jadi patogen meningeal memperlihatkan kemampuan mempertahankan bakteremia transien. Mekanisme selanjutnya dimana bakteri dalam darah mencapai lepto-

mening dan ruang subarakhnoid belum begitu diketahui. Sumber lain meningitis bakterial adalah perluasan langsung dari infeksi otorinologis, walau kejadiannya jelas dikurangi oleh terapi dini antibiotik yang efektif terhadap otitis atau sinusitis. Jarang, meningitis disebabkan inokulasi langsung pada cedera penetrating. Tindakan terhadap meningitis akut, tampak pada tabel, tergantung sumber primer, usia pasien, organisme penyebab, dan sensitifitas antibiotik. Tindakan harus diarahkan pada infeksi CSS maupun sumber primer. Meningitis yang terjadi sekunder terhadap bakteremia dan perluasan langsung otorinal cenderung disebabkan organisme yang biasa berkembang dinasofaring. Terdapat pengaruh usia yang jelas pada meningitis oleh organisme tersebut. Meningitis setelah cedera otak traumatika serta fraktura tengkorak, dengan atau tanpa otorinorea CSS, paling sering diakibatkan oleh S. pneumoniae. Meningitis yang terjadi setelah luka penetrasi biasanya disebabkan stafolikokal, streptokokal, atau organisme gram negatif. Terapi empiris harus diperbaiki bila organisme penyebab sudah dikenal. Penisilin G dan ampisilin diketahui mempunyai manfaat yang sama pada kebanyakan infeksi S. pneumoniae dan N. meningitidis. Dengan meningkatnya H. influenzae yang membentuk betalaktamase, saat ini (1993) sekitar 25 %, menyebabkan pemakaian ampisilin dan kloramfenikol sebagai terapi empiris. Seftriakson atau sefotaksim memperlihatkan manfaat dan sekarang dipakai sebagai terapi terpilih pada neonatus dan anak-anak. Walau sefuroksim, sefalosporin generasi kedua, pernah umum digunakan untuk H. influenzae, tidak lagi dianjurkan untuk infeksi SSP karena lambatnya sterilisasi CSS serta dilaporkan terjadinya meningitis H. influenzae pada saat terapi sistemik. L. monocytogenes tidak sensitif sefalosporin dan terapi yang dianjurkan adalah ampisilin atau penisilin G. Pilihan lain adalah trimetoprim-sulfametoksazol. Pasien dengan meningitis S. aureus harus ditindak dengan nafsilin atau oksasilin, dengan vankomisin dicadangkan untuk strain resisten metisilin dan S. epidermidis. Lamanya terapi meningitis, umumnya berdasar empiris dan tradisi; biasanya 7-14 hari untuk patogen meningeal utama, dan 21 hari untuk infeksi basil gram negatif. Tindakan terhadap meningitis basiler gram negatif

mengalami revolusi dengan adanya sefalosporin generasi ketiga. Sefotaksim, seftazidim, dan seftriakson dapat menembus CSS dan mecapai konsentrasi terapeutik hingga memungkinkan terapi terhadap meningitis yang sebelumnya memerlukan terapi secara intratekal; 78-94 % tingkat kesembuhan telah dilaporkan. Seftriakson, sefotaksim, dan seftazidim terbukti bermanfaat. Sefalosporin generasi ketiga lainnya, seftizoksim dan sefoperazon, belum dinilai dengan baik. Dianjurkan seftazidim dicadangkan untuk pengobatan P. aeruginosa dalam kombinasi dengan aminoglikosida. Kegagalan regimen ini mengharuskan pemberian aminoglikosida intratekal atau intraventrikuler untuk memperkuat terapi. Modifikasi inflamasi ruang subarakhnoid dengan agen anti inflamatori mungkin memperkecil akibat meningitis bakterial. Penelitian mutakhir terapi tambahan deksametason pada bayi dan anak-anak dengan meningitis bakterial memperlihatkan bahwa sekuele neurologis jangka panjang, terutama retardasi mental dan kehilangan pendengaran, menurun pada pemberian deksametason 0.15 mg/kg IV setiap 6 jam pada 4 hari pertama terapi, dan tidak memperberat efek eradikasi infeksi. Saat ini penggunaan deksametason dianjurkan pada pasien pediatrik berusia lebih dari 2 bulan. ABSES OTAK Abses otak adalah koleksi infeksi purulen berbatas tegas didalam parenkhima otak. Perjalanan waktu dan perubahan yang terjadi selama pembentukan abses pada anjing dikemukan oleh Britt. Sel inflamatori akut tampak pada pusat meterial yang nekrotik, dikelilingi zona serebritis. Dengan maturasi, timbul neovaskularisasi periferal dan lambat laun terbentuk cincin fibroblas yang menimbun kolagen dan makrofag, berakhir sebagai kapsul berbentuk tegas. Apakah serebritis menjadi abses yang berkapsul tergantung pada interaksi pasien-organisme dan pengaruh terapi. Pada manusia dengan sitema imun baik, proses sejak infiltrasi bakterial hingga abses berkapsul memerlukan sekitar 2 minggu. Daerah terlemah dari kapsul cenderung merupakan daerah yang kurang vaskuler yang menghadap ventrikel; karenanya migrasi sentrifugal proses inflamatori dengan ruptur ventrikuler dan kematian merupakan sekuele yang umum pada masa prabedah dahulu kala.

Tanda dan gejala abses otak umumnya berhubungan dengan efek massa. Nyeri kepala, defisit neurologis fokal, dan gangguan mentasi sering tampak. Demam terjadi pada 50 % dari waktu, namun mungkin tidak ada atau sedikit bukti infeksi sistemik. Kejang terjadi pada 25-60 % pasien. Edema otak, efek massa, dan pergeseran garis tengah umum terjadi; karenanya pungsi lumbar kontraindikasi dan mempunyai nilai klinis yang kecil karena kultur CSS positif hanya pada kurang dari 10 % kasus. Abses otak umumnya terjadi sekunder terhadap infeksi ditempat lain, dan bakteriologi sering menunjukkan sumber primer. Seperti empiema subdural, perluasan intrakranial langsung dari sinus paranasal atau infeksi telinga adalah etiologi tersering. Lesi ini adalah khas soliter dan ditemukan dilobus frontal pada sinusitis frontoetmoid, dilobus temporal pada sinusitis maksiler, dan serebelum atau lobus temporal pada infeksi otologis. Abses otak multipel menunjukkan penyebaran hematogen dari sumber jauh dan infeksi sistemik yang umum seperti endokarditis bakterial, kelainan jantung kongenital sianotik, pneumonia, dan divertikulitis harus dicari. Penyebaran hematogen, terutama dari endokarditis, mungkin berhubungan dengan aneurisma intrakranial piogenik. Kontaminasi otak langsung melalui cedera otak penetrating adalah penyebab lain dari abses. Fragmen tulang yang belum dibuang serta debris lainnya umum dijumpai pada pasien dengan infeksi otak traumatika. Pembentukan abses jarang terjadi selama perjalanan meningitis bakterial, namun merupakan faktor predisposisi pada 25 % abses otak pediatrik yang biasanya berkaitan dengan meningitis Sitrobakter atau Proteus neonatal. Sebaliknya abses otak sering dijumpai pada pasien dengan immunitas yang terganggu sekunder atas penggunaan steroid, kelainan limfoproliferatif, dan transplantasi organ, dan absesnya cenderung multipel. Organisme yang paling sering dijumpai pada abses otak adalah Streptokokus, Stafilokokus, dan Bakteroides, dengan organisme multipel pada 10-20 % kasus. Terapi antibiotik empiris berdasar lokasi lesi dan sumber infeksi yang sudah dikenal, namun beratnya penyakit serta sering terjadinya infeksi yang tidak terduga menyebabkan dianjurkannya antibiotik jangkauan luas atas gram positif, gram negatif, dan anaerob sebagai terapi empiris pada semua kasus.

CT scan mempunyai akurasi tinggi dalam melacak Tabel 8-2 Meningitis: Organisme Penyebab dan Terapi Empiris berdasar Sumber infeksi, dan Usia ------------------------------------------------------Sumber Organisme Tersering Terapi Empiris ------------------------------------------------------Spontan Neonatus E. coli Ampi + Seftriakson B streptococci atau L. monocytogenes Ampi + Gentamisin 1-3 bulan E. coli Ampi + Seftriakson B streptococci Ampi + L. monocytogenes Kloramfenikol H. influenzae S. pneumoniae 3 bulan- H. influenzae Seftriakson atau 18 tahun N. meningitidis Ampi + S. pneumoniae Kloramfenikol 18-50 tahun S. pneumoniae N. meningitidis Ampi atau Penisilin G Ampi + Seftriakson

Diatas S. pneumonia 50 tahun N. meningitidis L. monocytogenes Gram (-) bacilli Cedera Tengkorak S. pneumoniae tertutup Streptokokus lain (+ likuore) H. influenzae

Ampi + Seftriakson

Penetrating S. aureus Vankomisin + S. epidermidis Seftriakson Streptococcus sp Gram (-) bacilli Pasca bedah S. aureus Vankomisin + S. epidermidis Seftriakson Gram (-) bacilli -------------------------------------------------------

abses otak. Karena memberikan deteksi yang dini dan memberikan lokalisasi yang akurat, CT scan paling bertanggung-jawab atas penurunan angka kematian dari 3050 % kasus menjadi kurang dari 15 % dalam dua dekade terakhir. Tujuan terapi adalah memastikan segera mikroba yang bertanggung-jawab serta sensitifitas antibiotik, pensterilan SSP dan infeksi primer, menyingkirkan efek massa segera, dan mengurangi edema otak. Pemberian kortikosteroid kontroversial. Selama serebritis dan Tabel 8-3 Bakteri Patogen SSP Spesifik dan Terapi Antimikroba ------------------------------------------------------Organisme Obat Terpilih Alternatif ------------------------------------------------------S. pneumoniae Penisilin G S3, kloramfenikol (Ampisilin) S. pyogenes Penisilin G S3, kloramfenikol S. group B Penisilin G + S3, kloramfenikol Gentamisin S. faecalis Penisilin G + Vankomisin + Gentamisin Gentamisin S. aureus Sensitif metisilin Nafsilin Oksasilin, Vankomisin Resisten metisilin Vankomisin TrimetoprimSulfametoksazol, Siprofloksasin S. epidermidis Vankomisin + Teikoplanin Rifampin L. monocytogenes Ampisilin + TrimetoprimAminoglikosida Sulfametoksazol C. difficile Vankomisin Metronidazol N. meningitidis Penisilin G Kloramfenikol, S3 H. influenzae Beta laktamase (-) Ampisilin S3 Beta laktamase (+) Seftriakson Kloramfenikol Enterobacteriaceae Seftriakson Pipersilin + (Escherichia, aminoglikosida Klebsiella, Proteus, Serratia) P. aeruginosa Seftazidim + Pipersilin + Aminoglikosida Aminoglikosida, Imipenem Bacteroides Metronidazol Klindamisin,

Vankomisin ------------------------------------------------------S3: sefalosporin generasi ketiga: Seftriakson, sefotaksim, seftazidim tahap awal kapsulisasi, atau pada pasien dengan risiko bedah tinggi dengan abses kecil dan organisme penyebab diketahui, terapi medikal dengan antibiotika parenteral mungkin cukup. Diluar itu harus dilakukan drainasi bedah terhadap material purulen baik dengan aspirasi maupun eksisi disertai antibiotika paling tidak 4 minggu. Operasi akan mengurangi efek massa dan karenanya mengurangi aspek paling kritis dan berbahaya jenis infeksi ini. Operasi juga akan menunjukan organisme penyebab pada 60-80 % kasus, memungkinkan biakan dapat dilakukan dengan teliti baik untuk organisme aerob maupun anaerob. Dianjurkan tidak memberikan antibiotik prabedah bila operasi dapat dilakukan segera karena kultur steril bisa terjadi. Walau eksisi bedah memperlihatkan penurunan angka rekurensi, sekarang banyak yang menganjurkan aspirasi abses otak stereotaktik yang dituntun ultrasonografi atau CT scan, dan mencadangkan eksisi untuk lesi soliter dan superfisial, lesi yang mengandung benda asing, atau gagal dengan aspirasi. INFEKSI PASCABEDAH Semua infeksi piogenik diatas mungkin terjadi setelah tindakan bedah saraf. Walau drainasi luka terinfeksi adalah prinsip bedah, cara ini harus dirubah bila diberlakukan atas infeksi SSP. Karena dura adalah sawar terpenting antara CSS dan dunia luar, drainasi luka bedah saraf yang terinfeksi tidak dilakukan kecuali dura tidak bocor. Empiema subdural bisa menjadi komplikasi pasca bedah yang serius setelah eksplorasi bur hole, kraniotomi, atau pemasangan pin halo. Infeksi biasanya terbatas pada daerah operasi dan biasa disebabkan oleh S. aureus dan S. epidermidis. Jarang fulminan dan sering terdeteksi karena perluasan subgalealnya. Tindakan berupa debridemen, drainasi, dan antibiotika. Bila terpasang pelat tulang, harus diangkat. Komplikasi meningitis sekitar 0.34 % kasus

kraniotomi, biasanya disebabkan S. aureus dan S. epidermidis serta batang gram negatif. Meningitis gram negatif pasca kraniotomi adalah infeksi serius dan biasanya disebabkan organisme yang sangat resisten seperti Pseudominas, Enterobacter, dan Klebsiela. Mortalitas mencapai 70 % dan memerlukan antibiotika yang tepat. Vankomisin dikombinasi dengan sefalosporin generasi ketiga memberikan aktifitas berjangkauan luas sementara menunggu identifikasi patogen spesifik. Aminoglikosida dipertimbangkan pada pasien kritis. Eradikasi infeksi menjadi lebih sulit bila material prostetik atau alat pintas CSS terpasang. Infeksi alat pintas sekitar 5-15 % dari semua tindakan pintas, mencakup 15-25 % pasien hidrosefalus dengan pintas. S. epidermidis dan S. aureus adalah organisme tersering dijumpai; namun pada bayi Enterobacteriaceae juga ditemukan. Secara umum, benda asing harus dikeluarkan bila infeksi terjadi. Terkadang infeksi dapat diatasi walau ada alat pintas, hingga infeksinya menjadi tenang dan alat pintas berfungsi. Kombinasi antibiotika sistemik dan intratekal biasanya perlu untuk mengatasi infeksi dan menyelamatkan material pintas atau prostetik. Menunggu pemeriksaan sensitifitas, terapi infeksi pintas yang disebabkan oleh S. epidermidis adalah vankomisin, untuk S. aureus adalah nafsilin IV, dan untuk basili enterik gram negatif adalah sefalosporin generasi ketiga seperti sefotaksim. Bila pasien gagal bereaksi atas antibiotika, pengangkatan semua perangkat keras dan drainasi CSS eksternal dilakukan untuk mengeradikasi infeksi. PROFILAKSI OPERATIF Risiko infeksi luka setelah tindakan bedah saraf yang bersih adalah 2-5 % dikebanyakan rumah-sakit bila tanpa profilaksi antibiotika (bukan di Indonesia tentunya). Penggunaan antibiotika pada operasi bedah saraf bersih tetap kontroversial, walau beberapa penelitian menunjukan penurunan infeksi luka dengan profilaksi antibiotik. Antibiotika harus diberikan sebelum insisi kulit; tak ada manfaat yang diketahui dengan dosis pasca bedah. Agen yang umum digunakan adalah yang memperlihatkan aktifitas bakteriosidal yang baik terhadap infeksi stafilokokus, penisilin resisten

penisilinase, sefalosporin generasi kedua, dan vankomisin. ANTIBIOTIKA UNTUK INFEKSI PADA PASIEN BEDAH SARAF Perlunya memberikan yang beraktifitas berjangkauan luas berpegang pada terapi empiris kombinasi, yang diganti dengan yang lebih spesifik berdasar hasil kultur dan tes sensitifitas. Pada pasien gawat dengan infeksi SSP, pada keadaan tertentu diperlukan penetrasi SSP. Tabel menunjukkan terapi untuk organisme yang telah diketahui namun belum ada hasil tes sensitifitas. Ampisilin dan penisilin G memberikan kadar CSS yang baik dalam keadaan inflamasi dan umum digunakan pada pasien bedah saraf dalam menghadapi meningitis. Penisilin resisten penisilinase seperti metisilin, nafsilin, dan oksasilin adalah untuk dugaan atau telah dibuktikan adanya infeksi S. aureus. Senyawa ini tidak mempunyai aktifitas terhadap basili gram negatif atau S. faecalis, namun menghambat S. pyogenes dan S. pneumoniae pada konsentrasi yang memadai. Strain S. aureus resisten penisilin mampu merubah protein terikat penisilin, membuatnya resisten terhadap semua penisilin dan sefalosporin. Vankomisin, sebuah antibiotika glikopeptida, satu-satunya antibiotika yang secara konsisten sensitif terhadap strain ini dan terhadap S. epidermidis koagulase negatif. Glikopeptida yang lebih baru, teikoplanin, dieliminasi lebih lambat, ditolerasi lebih baik, dan lebih poten dari vankomisin. Penisilin antipseudomonal berperan dalam terapi karena seringnya infeksi P. aeruginosa. Piperasilin aktif menghadapi P. aeruginosa dan juga aktif terhadap patogen gram negatif lainnya seperti Klebsiella dan Enterobacter. Luasnya spektrum piperasilin menyebabkannya populer diruangan perawatan, umumnya dikombinasi dengan aminoglikosida. Tabel 8-4 Dosis Antibiotika Untuk Infeksi SSP Pada Dewasa ------------------------------------------------------Antibiotika Dosis Harian Interval (jam) ------------------------------------------------------Penisilin 20-40 juta u 4 Ampisilin 12 gr 4

Nafsilin, oksasilin 9-12 gr 4 Vankomisin 2 gr 12 Pipersilin 300 mg/kgBB 4 Seftriakson 50 mg/kgBB 12 Sefotaksim 12 gr 4 Seftizoksim 6-9 gr 8 Seftazidim 6-12 gr 8 Genta, tobramisin 5 mg/kgBB 8 Amikasin 14 mg/kgBB 8 Trimetop-sulfametoks 10 mg(Tmp)/kgBB Kloramfenikol 4-6 gr 6 Metronidazol 30 mg/kgBB 6 -------------------------------------------------------

12

Sefalosporin generasi ketiga memberikan kemajuan yang besar dalam terapi pasien bedah saraf yang kompleks. Sefotaksim dan Seftriakson mempunya penetrasi CSS yang baik, hingga memungkinkan pengobatan terhadap kebanyakan meningitis gram negatif yang sebelumnya memerlukan terapi intratekal. Klebsiella, Proteus, Serratia, dan Enterobacter biasanya sensitif terhadap sefalosporin spektrum luas ini. Namun konsentrasi yang dicapai tidak cukup untuk stafilokokus. Metronidazol memiliki aktifitas yang baik terhadap bakteria anaerob termasuk B. fragilis dan menembus SSP dengan baik. Neurotoksisitas seperti ataksia pernah dijumpai dan dapat membingungkan bila digunakan sebagai regimen untuk infeksi SSP, namun untungnya efek samping ini jarang. Sebagai tambahan atas aktifitasnya yang baik terhadap B. fragilis, klindamisin adalah antistafilokokal yang baik. Antibiotika yang belum teruji namun menjanjikan untuk menindak infeksi gram negatif resisten adalah fluorokuinolon, imipenum, dan aztreonam.

Anda mungkin juga menyukai

  • Glaukoma
    Glaukoma
    Dokumen14 halaman
    Glaukoma
    Vita Sari
    Belum ada peringkat
  • Lapsus Vita Mata Katarak
    Lapsus Vita Mata Katarak
    Dokumen14 halaman
    Lapsus Vita Mata Katarak
    Vita Sari
    Belum ada peringkat
  • Subdural
    Subdural
    Dokumen16 halaman
    Subdural
    Muhammad Yusuf Arief Akbar
    Belum ada peringkat
  • Abses Otak
    Abses Otak
    Dokumen21 halaman
    Abses Otak
    Vita Sari
    Belum ada peringkat
  • Abses Otak
    Abses Otak
    Dokumen21 halaman
    Abses Otak
    Vita Sari
    Belum ada peringkat
  • Hematoma Subdural
    Hematoma Subdural
    Dokumen66 halaman
    Hematoma Subdural
    Indra Setiawan Harefa
    Belum ada peringkat
  • Bab 2
    Bab 2
    Dokumen41 halaman
    Bab 2
    Vita Sari
    Belum ada peringkat
  • Subdural
    Subdural
    Dokumen16 halaman
    Subdural
    Muhammad Yusuf Arief Akbar
    Belum ada peringkat
  • Bab 2
    Bab 2
    Dokumen41 halaman
    Bab 2
    Vita Sari
    Belum ada peringkat
  • BA Saluran Nafas
    BA Saluran Nafas
    Dokumen25 halaman
    BA Saluran Nafas
    Vita Sari
    Belum ada peringkat
  • BAB I Vita THT
    BAB I Vita THT
    Dokumen2 halaman
    BAB I Vita THT
    Vita Sari
    Belum ada peringkat
  • Appendiks
    Appendiks
    Dokumen15 halaman
    Appendiks
    Fhienda Yani Lubis
    Belum ada peringkat
  • Daftar Pustaka
    Daftar Pustaka
    Dokumen2 halaman
    Daftar Pustaka
    Vita Sari
    Belum ada peringkat
  • BAB 1 Hidronefross
    BAB 1 Hidronefross
    Dokumen7 halaman
    BAB 1 Hidronefross
    Vita Sari
    Belum ada peringkat
  • Furunkel
    Furunkel
    Dokumen7 halaman
    Furunkel
    Vita Sari
    Belum ada peringkat
  • Glaukoma
    Glaukoma
    Dokumen14 halaman
    Glaukoma
    Vita Sari
    Belum ada peringkat
  • Jajanan Sehat
    Jajanan Sehat
    Dokumen12 halaman
    Jajanan Sehat
    Vita Sari
    Belum ada peringkat
  • Perikondritis
    Perikondritis
    Dokumen12 halaman
    Perikondritis
    Vita Sari
    Belum ada peringkat
  • Vita
    Vita
    Dokumen33 halaman
    Vita
    Vita Sari
    Belum ada peringkat