DEMAM TIFOID
Oleh:
Kristanti Andarini (08080150 Gina Magda Riana (0808015021) Dessy Vinoricka (08080150 Renny Tri Utami (08080150 Putih Amaliana (08080150 Haris Djauhari (08080150 Sri Wahyuni (08080150
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Definisi Demam tifoid adalah penyakit sistemik yang ditandai dengan demam dan nyeri
abdomen dan disebabkan oleh karena penyebaran bakteri Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi1. Demam tifoid masih merupakan penyakit menular yang endemik di Indonesia2.
1.2
Epidemiologi Insidens demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan sanitasi
lingkungan. Di daerah rural (Jawa Barat) 157 kasus per 100.000 penduduk, sedangkan di daerah urban ditemukan 760-810 per 100.000 penduduk. Perbedaan insidens di perkotaan berhubungan erat dengan penyediaan air bersih yang belum memadai serta sanitasi lingkungan dengan pembuangan sampah yang kurang memenuhi syarat kesehatan lingkungan2.
1.3
Etiologi Demam tifoid disebabkan oleh infeksi kuman gram negatif, yaitu S. typhi atau
S.paratyphi. Kuman ini dapat hidup lama dalam air kotor, makanan yang tercemar, dan alas tidur yang kotor3. Masa Inkubasi S. typhi rata-rata 10-14 hari, dengan rentang waktu 3-21 hari, bergantung pada ukuran inokulum dan status imun dan kesehatan pasien1,4 1.4 Patogenesis Penyebaran kuman S. typhi atau S.Paratyphiyaitu secara fekal-oral(Longmore, et al., 2010). Masuknya kuman tersebut ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik, maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam
makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakterimia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik. Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermiten ke dalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskular, gangguan mental, dan koagulasi. Di dalam plak Peyeri, makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia jaringan (S. typhi intra maktrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hiperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plague Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan, dan gangguan organ lainnya2.
1.5
Gambaran Klinis Gejala-gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai berat, dari
asimtomatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian. Pada minggu pertama, gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan bdan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore hari hingga malam hari. Dalam minggu kedua, gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardia relatif (peningkatan suhu 1oC tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali per menit), lidah
yang berselaput (kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali, meteorismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis. Roseolae jarang ditemukan pada orang Indonesia2.
1.6
Diagnosis Berdasarkan gambaran klinis, terdapat keluhan dan gejala yang menyokong yaitu:
febris tipe bertangga, gangguan saluran cerna, dan gangguan pola buang air besar. Dalam pemeriksaan laboratorium, dapat ditemukan jumlah leukosit yang normal, leukopenia atau leukositosis. Jarang ditemukan anemia. Terdapat peningkatan LED, SGOT, SGPT dan fosfatase alkali. Dalam minggu pertama, biakan darah S. typhi positif 75-85%, dalam minggu-minggu berikutnya biakan darah positif berkurang. Biakan tinja positif dalam minggu kedua dan ketiga. Biakan sumsum tulang seringkali posistif, walaupun biakan darah negatif. Pada reaksi widal, titer aglutinin O dan H meningkat, sejak minggu kedua tetap positif selama beberapa bulan/ tahun. Pemeriksaan widal dinyatakan positif bila titer O widal I 1/320 atau titer O widal II naik 4 kali lipat atau titer O widal I negatif, tetapi titer O widal II positif berapapun angkanya. Selain itu, untuk diagosis dapat dilakukan pemeriksaan PCR S. typhi.Diagnosis pasti demam tifoid ditegakkan berdasarkan hasil kultur darah positif terhadap Salmonella3.
BAB II
P-TREATMENT 2.1 Kasus P-Treatment Seorang ibu 45 tahun datang ke dokter dengan keluhan demam 3 hari berturut-turut. Hari pertama demam sudah minum obat penurun panas (paracetamol), namun demam hanya turun sebentar kemudian naik lagi. Demam semakin meningkat saat sore atau menjelang malam hari. Pasien juga mengeluhkan sakit kepala, tidak nafsu makan, mual bahkan muntah berisi makanan, tidak BAB selama 3 hari, sakit kepala (+), badan terasa sangat lemah dan batuk pilek (-). Saat diperiksa keadaan umum tampak sakit sedang, TTV (N: 72 x/menit, RR: 20x/menit, TD: 110/80 mmHg, T: 37,80C), pada pemeriksaan kepala tampak lidah thypoid (+). Pada pemeriksaan fisik didapatkan Nyeri tekan Epigastrium (+), Hasil Uji Lab (Hb : 12.4, Ht : 39.2, Leukosit : 7400, Trombosit : 115000, GDS : 96, Ureum : 21.9, Creatinin : 0.8). dari uji widal didapatkan : Salmonella Thypi O : Salonella Thypi H : 1/320 Salonella Parathypi A-H : 1/80 Salonella Parathypi B-H : 1/80 Salonella Parathypi B-O : 1/160 Salonella Parathypi C-H : 1/160
2. 2. 1 Diagnosis /problem penderita Problem Utama : Demam Problem Tambahan : Sakit kepala, nafsu makan menurun, mual dan muntah, tidak BAB 2. 2. 2 Tujuan Terapi Menurunkan Demam Menghilangkan Sakit Kepala Meningkatkan Nafsu Makan
2. 2. 3 Pemilihan Terapi Advice. Tirah baring dan perawatan sepenuhnya akan mempercepat proses penyembuhan dan mencegah komplikasi. Dalam perawatan perlu sekali dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang diapaki. Posis pasien perlu diperhatikan juga untuk mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik. Terapi non farmakologik. Diet merupakan hal yang penting dalam proses penyembuhan penyakit demam tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhan akan menjadi lama. Penderita tifoid diberi diet bubur saring, kemudian ditingkatkan menjadi bubur kasar, dan akhirnya diberikan nasi. Perubahan diet tersebut disesuaikan dengan tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur saring tersebut ditujukan untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna atau perforasi usus. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa pemberian makanan padat diini yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (menghindari sementara makanan yang berserat) dapat diberikan dengna aman pada pasien demam tifoid. Terapi Farmakologik. Antibiotik yang dipilih adalah golongan kuinolon (siprofloksasin) karena memiliki aktivitas antibakteri yang lebih besar, mencapai kadar bakterisid didalam darah dan jaringan, dan mempunyai toksisitas rendah. Sedangkan golongan kloramfenikol bersifat bakteriostatik dan efek toksiknya juga sangat tinggi, selain itu efek samping kloramfenikol lebih besar yaitu pada sistem hematologi dan mensupresi produksi leukosit sehingga memperlambat penyembuhan luka. Obat mual yang dipilih adalah antagonis reseptor H2, yaitu Ranitidine dengan nama paten Conranin . Obat ini selain digunakan untuk mengatasi keluhan mual yang dirasakan pasien, obat ini juga digunakan untuk diberikan atas indikasi anoreksia, serta sebagai pencegahan terhadap iritasi lambung dari ciproflosaksin (antimikroba). Untuk obat muntah yang dipilih adalah motility promoter metoclopramid, karena farmakodinamik dari metoclopramid yang paling sesuai dengan kasus ini. Dan untuk obat demam yang dipilih adalah paracetamol
Antibiotik
Golongan Obat Efficacy +++ ++ Efek samping: DNA Safety ++ Kontraindikasi: Suitability Cost ++
Kuinolon
(siprofloksasin Farmakodinamik: )
Menghentikan sintesis bakteri dengan menghambat DNA girase, sehingga mencegah
Sering mual,muntah
Obat ini termasuk kategori C sehingga tidak aman bagi ibu hamil Tidak dianjurkan pada anak-anak dan remaja yang dalam masa pertumbuhan Hati-hati pada defisiensi G6PD karena dapat terjadi reaksi anafilaksis Hati-hati pada insufisiensi ginjal karena dapat menyebabkan akumulasi obat,
relaksasi DNA superkoil yang dibutuhkan untuk transkripsi dan duplikasi bakterisid. Farmakokinetik: normal. Bersifat
Diabsorbsi dengan baik dan didistribusikan dalam cairan secara tubuh luas dan
jaringan. Waktu paruh dalam serumberkisar antara 3-7 jam untuk obat yang berbeda-beda. Absorbs peroral terganggu oleh adanya antasida. Diekskresikan terutama melalui ginjal dengan sekresi tubulus dan dengan
filtrasi glomerulus.
Kloramfenikol
++
kuman. Obat ini terikat pada Depresi sumsum tulang, mensupresi ribosom subunit enzim sehingga terbentuk 50s dan produksi leukosit, anemia anemia, aplastik
peptidil retikulositopenia,
ikatan dengan pansitopenia yang ireversibel. pada - Saluran Cerna : diare, enterokolitis,
proses sintesis protein kuman. mual & muntah , glositis Efek toksis kloramfenikol pada sistem hemopoetik sel mamalia diduga berhubungan dengan
kloramfenikol
tercapai dalam 2 jam.masa paruh eliminasinya pada orang dewasa kurang lebih 3 jam.didalam hati kloramfenikol mengalami
gangguan faal hati memanjang. Dalam waktu 24 jam, 80-90% kloramfenikol secara oral yang telah diberikan diekskresi
melalui ginjal.
Anti Emetik
Obat Antagonis Reseptor H2 (Ranitidine : Conranin) +++ Farmakodinamik : 1. Secara Efficacy +++ Efek samping : kompetitif Diare, jarang menimbulkan Safety ++ Kontraindikasi: Hipersensitif Suitability Cost ++ 2100
menghambat ikatan histamin konstipasi, sakit kepala yang biasanya dengan lambung intrasel sekresi menurun. 2. Poten lambung nokturnal karena menghambat basal, asam sangat asam sekresi lambung tergantung H2 reseptor di berat Interaksi obat: Meningkatkan absorbsi obat Glipizide, potensial Gliburide, Tolbutamide sehingga
hipoglikemia,
Meningkatkan
konsentrasi Nifedipine, Menurunkan absorbsi Ketoconazole, Cefuroxime karena absorbsinya tergantung media asam.
pada histamin (90%). Farmakokinetik: 1. A: Diabsorbsi cepat dari GIT 2. D: Ikatan protein 15%,
++ Farmakodinamik : 1. Berikatan
+ +
++ 850
irreversibel
inhibisi nonkompetitif dengan meningkat pada penggunaan lama, H /K -ATPase (proton pump) Vitamin B12 menurun karena pada sel parietal yang absorbsinya perlu suasana asam, menghambat sekresi ion H+ Sakit kepala (sering) ke dalam lumen lambung. Diare, nyeri perut, mual, pusing,
2. Lebih dari 90% menghambat asthenia, muntah, konstipasi, ISPA, sekresi asam lambung baik nyeri punggung, rash, batuk basal maupun yang
Farmakokinetik : 1. A : cepat di GIT (usus halus), kadar setelah puncak 0,5-3,5 dicapai jam.
lipofilik
sehinga
cepat
difusi melewati membran lipid menuju kanalikuli sel parietal lambung. 3. M : di hepar. Metabolitnya : hydroxymeprazole, carboxylic acid 4. E : lewat urin dan feses T 0,5-1 jam
Efficacy +++ Farmakodinamik : 1. Potensiasi efek kolinergik : 2. Efek langsung pada otot polos 3. Penghambatan dopaminergik sentral Efek pada saluran cerna yaitu memperkuat tonus spingter
Suitability + dan Kontraindikasi : Obstruksi, perdarahan dan perforasi saluran cerna, epilepsi, feokromositoma dan gangguan ekstrapiramidal
gejala ekstrapiramidal.
amplitudo Pada
kontraksi
esofagus.
gaster,
metoklopramid
meningkatkan kontraksi terutama bagian antrum dan deudenum sehingga pengosongan mempercepat lambung,
sedangkan sekresi lambung tidak dipengaruhi. Efek anti emetik timbul berdasarkan mekanisme sentral metoklopramid
Trigger Zone, serta efek perifer dengan syaraf menurunkan viseral kepekaan yang
menghantarkan impuls aferen dari saluran cerna ke pusat muntah. Farmakokinetik : 1. A: Diabsorbsi cepat dari GIT 2. D: Distribusi luas 3. M: di hepar 4. E: Terutama melalui urin
T plasma 2-4 jam Antagonis Reseptor Muskarinik (dimenhidrin at Dramamine) + Farmakodinamik : + + ++ 1200
gangguan
penglihatan, Interaksi obat : antihistamin mempotensiasi efek obat lain yg memp. Efek depresan SSP spt alcohol,
: pada sel efektor GIT, pembuluh obstipasi. darah dan traktus respiratorius. Aksi antikolinergik stimulasi vestibular dan mendepresi fungsi labirin
Farmakokinetik : A:diabsorpsi dgn baik, kerja cepat D:bioavailabilitas bertahan 4-5 jam M:menghambat CYP ZD6. E: T 2.4-8 jam Antagonis Reseptor Serotonin (5HT3) (odansentron : + Farmakodinamik : Antagonis reseptor postrema selektif (5HT3) dan di + + + 2000 72%, dapat
Nyeri kepala, obstipasi, rasa panas di Kontraindikasi : pada muka (flushes) dan perut bagian atas, Ibu hamil, menyusui dan lanjut usia area jarang sekali gangguan ekstraInteraksi obat :
Odansentron Soho)
traktus.solitarius
dan
pada
Beberapa obat lain yang menurunkan kelarens hepar dari antagonis 5HT3, akan merubah T obat tersebut.
disebabkan stimulasi vagus ketika 5-HT dilepaskan di usus saat merespon obat
heparoleh sitokrom P450 diikuti glukoronidase atau konjugasi sulfat. 4. E : primer dieksresi melalui urin. T :4 jam
Anti Piretik Obat Paracetamol Efficacy +++ Farmakodinamik: Safety ++ Suitability ++ Cost ++
efek samping: peningkatan ringan Kontraindikasi : Penyakit hati, lansia hati yang ikterus yang obat
bila
penggunaan
pembentukan demam dan lesi mukosa respon Kelainan darah pancreatitis akut, terhadap kerusakan hati. dapat
maupun pusat
interleukin mengatur
sehingga
kembali
pengontrol
suhu di hipotalamus sehingga memudahkan pelepasan dengan jalan vasodilatasi. Farmakokinetik: Diabsorbsi cepat dan sempurna melalui saluran cerna, konsentrasi tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu setengah jam dan masa paruh plasma antara 1-3 jam. Dietabolisme oleh enzim
mikrosom hati. Dieksresi melalui ginjal Ibuprofen ++ Farmakodinamik: ++ efek samping: iritasi ++ mukosa Kontraindikasi: polip hidung, angioedema, dan ++
Antiinflamasi tidak terlalu kuat, lambung, perdarahan dandiare hebat. reaksi broncospastik terhadap aspirin efek analgesik sama seperti Efek samping lain pruritus, tinitus, pusing, anxietas, meningitis aseptik, cairan. Agranulositosis,
aspirin.
pada dosis yang lebih besar anemia aplastik. Efek terhadap ginjal daripada efek analgetiknya. Farmakokinetik: Absorbsi ibuprofen cepat melalui lambung dan kadar maksimum dalam plasma dicapai setelah 1-2 jam. Waktu paruh dalam plasma sekitar 2 jam. Eksresinya berupa gagal ginjal akut, nefritis interstitial dan sindroma nefrotik
berlangsung cepat dan lengkap. Dosis sebagai analgesik 4 kali 400 mg sehari tetapi sebaiknya dosis optimal setiap orang
2. 2. 4 Resep Obat
PRAKTEK DOKTER BERSAMA dr. Renny Tri Utami Jl. Pramuka Ujung RT. 04 No. 01 SIP:097/A/P/u/05
R/ Sanmol 500 mg tab No. X S 3 dd tab I prn R/ Conranin 150 mg tab No. X S 2 dd tab I p.c. R/ Primperan 5 mg tab No. XV S 3 dd tab I a.c. R/ Lapiflox 250 mg tab No. XV S 3 dd tab I p.c.
: : :
2. 2. 5 Komunikasi terapi : 2. 2. 5. 1 Informasi penyakit : 1. Demam thypoid merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman Salmonella thypi (S.thypi) dan Salmonella parathypi (S.parathypi). 2. Masuknya kuman Salmonella thypi (S.thypi) dan Salmonella parathypi (S.parathypi) ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian
kuman dimusnahkan di dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. 2. 2. 5. 2 Informasi tujuan terapi : 1. Meredakan demam 2. Menghilangkan rasa sakit kepala 3. Menghilangkan mual dan muntah 4. Meningkatkan nafsu makan 2. 2. 5. 3 Informasi obat : 1. Ciprofloxaxin Obat ini merupakan anti mikroba untuk demam thypoid. Obat ini diberikan dua kali sehari. Dapat diberikan bersama makanan. 2. Ranitidin Obat ini merupakan obat tukak lambung. Obat ini diberikan dua kali sehari. Dapat diberikan diantara waktu makan dan sebelum tidur. 3. Metoklopramid Obat ini digunakan untuk mual muntah. Obat ini diberikan tiga kali sehari. Dapat diberikan setengah jam sebelum makan. 4. Parasetamol Obat ini digunakan untuk menurunkan demam sekaligus untuk meringankan rasa sakit kepala. Obat ini diminum tiga hari sekali sesudah makan. Jika panas telah turun, maka obat dihentikan. 2. 2. 6 Monitoring dan Evaluasi 1. Pasien perlu kontrol dalam 3 hari untuk mengetahui obat sudah berefek atau tidak. 2. Jika setelah 3 hari, belum ada perbaikan klinis maka perlu dilakukan kembali evaluasi terhadap pemberian obat dan kondisi pasien dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang meliputi pemeriksaan kultur darah. 3. Perlu edukasi pada pasien, untuk bed rest selama pengobatan dan menjaga higiene perorangan.
DAFTAR PUSTAKA 1. David P, Samuel M. Salmonellosis. In: Harrisons Principles of Internal Medicine.Vol 1. 18th ed. Mc Graw Hill. 2. Djoko W. Demam Tifoid. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Vol 3. Jakarta: Interna Publishing; 2009. 3. SMF Ilmu Penyakit Dalam RSU Soetomo. Demam Tifoid. In: Pedoman Diagnosis dan Terapi. Surabaya: Rumah Sakit Umum Dokter Soetomo; 2008. 4. Murray L. Infectious Disease: Enteric Fever. In: Oxford Handbook of Clinical Medicine. 8th ed. New York: Oxford University Press; 2010.