Anda di halaman 1dari 19

BAB I PENDAHULUAN

Pembedahan prostat transuretral (TURP) masih merupakan salah satu terapi standar dari Hipertropi Prostat Benigna (BPH) yang menimbulkan obstruksi uretra. Operasi ini sudah dikerjakan mulai beberapa puluh tahun yang lalu di luar negeri dan berkembang terus dengan makin majunya peralatan yang dipakai. Terapi ini semakin populer karena trauma operasi pada TURP jauh lebih rendah dibandingkan dengan prostatektomi secara terbuka. TURP adalah operasi kedua terbanyak yang dilakukan oleh ahli bedah setelah operasi katarak pada pria dengan umur lebih dari 65 tahun Karena seringnya tindakan ini dilakuan maka komplikasi tindakan serta pencegahan komplikasi semakin banyak diketahui. Salah satu komplikasi yang penting dari TURP adalah intoksikasi air dan hiponatremi dilusional yang disebut Sindrom TURP yang bisa berakhir dengan kematian. Sindrom TURP adalah suatu komplikasi yang paling sering dan paling menakutkan dalam pembedahan urologi endoskopik. Di tangan para ahli yang berpengalamanpun, Sindrom TUR dapat terjadi pada 2% kasus dengan mortalitas yang masih tinggi. Suatu penelitian yang dilakukan di Filipina menunjukkan angka kekerapan sebesar 6%. Penelitian yang lain menunjukkan frekuensi Sindom TURP sampai 10%. Hampir 5-10% pasien yang menjalani operasi TUR mengalami absorbsi sejumlah kecil (1 -2 liter) cairan. Maka dari itu penting bagi seorang anestesiolog mengetahui manifestasi dari sindrom ini untuk dapat mengambil suatu keputusan yang dapat menyelamatkan pasien dari efek samping yang berbahaya

BAB II TURP

II.1 Definisi
TURP (Transurethral Resection of the Prostate) adalah suatu tindakan endoskopis pengurangan masa prostat (prostatektomi) dengan tujuan agar urin dapat mengalir lancar. Pada operasi ini dilakukan dengan alat endoskopi yang dimasukkan kedalam uretra. Pengerokan jaringan prostat dilakukan dengan bantuan elektrokauter.1

II.2 Indikasi
Secara umum indikasi TURP adalah pasien dengan gejala sumbatan yang menetap, progresif akibat pembesaran prostat, atau tidak dapat diobati dengan terapi obat lagi. Indikasi TURP ialah gejala-gejala dari sedang sampai berat, volume prostat kurang dari 60 gram dan pasien cukup sehat untuk menjalani operasi Operasi ini dilakukan pada prostat yang mengalami pembesaran antara 30-60 gram. 2 Menurut Agency for Health Care Policy and Research guidelines, indikasi absolut pembedahan pada BPH adalah sebagai berikut3 : 1. Retensi urine yang berulang. 2. Infeksi saluran kemih rekuren akibat pembesaran prostat. 3. Gross hematuria berulang. 4. Insufisiensi ginjal akibat obstruksi saluran kemih pada buli. 5. Kerusakan permanen buli atau kelemahan buli-buli. 6. Divertikulum yang besar pada buli yang menyebabkan pengosongan buli terganggu akibat pembesaran prostat.

III.3 Kontraindikasi
TURP merupakan prosedur elektif dan tidak direkomendasikan pada pasien tertentu. Hampir semua kontraindikasinya adalah kontraindikasi relatif, berdasarkan kondisi komorbid pasien dan kemampuan pasien dalam menjalani prosedur bedah dan anestesi. Kontraindikasi relatif antara lain adalah status kardipulmoner yang tidak stabil atau adanya riwayat kelainan perdarahan yang tidak bisa disembuhkan. Pasien yang baru mengalami infark miokard dan dipasang stent arteri koroner sebaiknya ditunda sampai 3 bulan bila akan dilakukan TURP.4 Pasien dengan disfungsi spingter uretra eksterna seperti pada penderita miastenia gravis, multiple sklerosis, atau Parkinson dan/atau buli yang hipertonik tidak boleh dilakukan TURP karena akan menyebabkan inkontinensia setelah operasi. Demikian pula pada pasien yang mengalami fraktur pelvis mayor yang menyebabkan kerusakan sfingter uretra eksterna. TURP akan menyebabkan hilangnya sfingter uretra internal sehingga pasien secara total akan tergantung pada fungsi otot sfingter eksternal untuk tetap kontinen. Jika sfingter eksternal rusak, trauma, atau mengalami disfungsi, pasien akan mengalami inkontinesia.4 Kontrandikasi yang lain adalah pasien kanker prostat yang baru menjalani radioterapi terutama brachyterapi atau krioterapi dan infeksi saluran kencing yang aktif.4

III.5 Komplikasi
Komplikasi dari dilakukannya TURP adalah : Komplikasi Intraoperatif 1. Perdarahan 2. Perforasi 3. Sindrom TURP 4. Trauma sfingter uretra externa Komplikasi Postoperatif 1. Ejakulasi retrograde
3

2. Infeksi saluran kemih 3. Inkontinensia uri 4. Striktur uretra 5. Myocard infark

BAB III SINDROM TURP


III.1 Definisi Sindrom TURP adalah suatu keadaan klinik yang ditandai dengan kumpulan gejala akibat gangguan neurologik, kardiovaskuler, dan elektrolit yang disebabkan oleh diserapnya cairan irigasi melalui vena-vena prostat atau cabangnya pada kapsul prostat yang terjadi selama operasi. Hiponatremia, hipovolemia, dan kadang hiperamonemia mungkin terjadi.5 III.2 Etiologi Sindrom TURP disebabkan oleh absorbsi masif dari cairan irigasi. Absorbsi masif tersebut tergantung oleh6 : Proses TURP yang lama : absorbsi meningkat jika reseksi dilakukan lebih dari 90 menit. Tekanan intravaskuler meningkat, karena tinggi bagian irigasi lebih dari 60 cm di atas lokasi pembedahan. Banyak sinus prostat yang terbuka. Semakin besar prostat yang direseksi, semakin banyak sinus prostat yang terbuka. Jenis cairan irigan yang digunakan.

Cairan irigasi Reseksi kelenjar prostate transuretra dilakukan dengan mempergunakan cairan irigasi agar daerah yang di irigasi tetap terang dan tidak tertutup oleh darah. Cairan elektrolit / ionik tida k bisa digunakan untuk irigasi saat TURP karena cairan tersebut mendispersi aliran elektrokauter dan menyebabkan hantaran saat operasi. Syarat cairan yang dapat digunakan untuk TURP adalah : isotonik, non-hemolitik, electrically inert,

non-toksik, transparan, mudah untuk disterilisasi dan tidak mahal. Akan tetapi sayangnya cairan yang memenuhi syarat seperti di atas belum ditemukan.6 Untuk TURP biasanya menggunakan cairan nonelektrolit hipotonik sebagai cairan irigasi seperti air steril, Glisin 1,5% (230 mOsm/L), atau campuran Sorbitol 2,7% dengan Mannitol 0,54% (230 Osm/L). Cairan yang boleh juga dipakai tapi jarang digunakan adalah Sorbitol 3,3%, Mannitol 3%, Dekstrosa 2,5-4% dan Urea 1%.6 a. Air steril / akuades (H2O)

Walaupun air steril memiliki banyak kualitas yang diperlukan sebagai cairan irigasi yang ideal, kerugian dalam penggunaannya adalah air dapat menyebabkan hipotonisitas yang ekstrim, hemolisis, hiponatremia delusional dan gagal ginjal serta syok. Air / Akuades (H20) menunjukkan visibilitas yang bagus karena air dengan sifat hipotonisnya melisis sel darah merah, tetapi absorbsi yang signifikan bisa menghasilkan acute water intoxication. Penggunaan air sebagai cairan irigasi dilarang hanya pada reseksi transurethral tumor bladder.6

b. Glycine 1.2%, 1.5%. 2.2%:

Glycine, asam amino endogen dianjurkan sebagai cairan irigasi yang sesuai, mengingat beberapa keuntungannya yaitu : harganya murah walaupun tidak semurah air steril, isotonik dengan plasma hanya pada konsentrasi 2,2% namun efek samping glisin pada konsentrasi ini lebih banyak. Osmolaritas glisin dengan konsentrasi 1,5% adalah 230 mOsm/liter bila dibandingkan dengan osmolalitas serum 290 mOsm/liter sehingga toksisitas ginjal dan kardiovaskular dapat terjadi. Penurunan konsentrasi glisin dapat menyebabkan komplikasi yang lebih banyak akibat hipotonisitasnya sehingga tidak dapat lagi digunakan sebagai cairan irigasi. Keuntungan glisin 1,5% bila dibandingkan dengan air steril adalah tendensitasnya menyebabkan gagal ginjal dan hemolisis yang lebih rendah.6

c. Mannitol 3%

Mannitol dianggap tidak memiliki toksisitas yang disebabkan glisin, namun dapat mendorong air keluar dari sel sehingga dapat menyebabkan overload dari sirkulasi. Disamping itu harganya lebih mahal dibandingkan glisin. Ekskresinya melalui ginjal sehingga akan menurun pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal.6

d. Dekstrosa 2.5% - 4%

Tidak digunakan lagi secara luas karena dapat menyebabkan membakar jaringan yang direseksi dan berkaitan dengan hiperglikemia apabila diabsorbsi ke dalam sirkulasi. Juga tidak disukai karena membuat lengket instrumen dan sarung tangan ahli bedah saat operasi. 6

e. Cytal

Cytal adalah campuran dari Sorbitol 2.7% dan Mannitol 0.54% banyak digunakan di Amerika Serikat sebagai cairan irigasi, namun tidak popular di India karena harganya yang mahal dan tidak tersedia secara luas. Didalam tubuh, Sorbitol dimetabolisme menjadi fruktosa, yang dapat menimbulkan masalah baru pada pasien yang hipersensitif terhadap fruktosa. 6

f. Urea 1%

Urea dapat menyebabkan kristalisasi pada intrumen selama reseksi maka dari itu tidak dipilih untuk cairan irigasi. Berdasarkan keuntungan dan kerugian tersebut diatas maka glisin 1,5% dan air steril yang paling sering digunakan sebagai cairan irigasi pada operasi urologi endoskopi. 6

III.3 Faktor Risiko Marrero menunjukkan frekuensi Sindrom TURP meningkat bila7: Prostat yang ukurannya lebih dari 45 gr Operasi yang berlangsung lebih dari 90 menit Pasien yang mengalami hiponatremi relative Cairan irigasi 30 liter atau lebih Oleh karena itu TURP hanya boleh dilakukan kalau ahli bedah yakin bahwa operasi pasti dapat diselesaikan tidak lebih dari 90 menit. Tetapi menurut penelitian ternyata Sindrom TURP dapat terjadi pada operasi yang berlangsung 30 menit. Sebaliknya risiko Sindrom TURP akan menurun bila7: Dipakai cairan irigasi yang tidak menimbulkan hemolisis (isotonik) Tekanan cairan irigasi yang masuk (in flow) dijaga serendah mungkin

III.4 Patofisiologi dan Gejala Klinis Sindrom TURP ini muncul intraoperatif maupun postoperatif dengan gejala sakit kepala, kelelahan terus menerus, confusion, sianosis, dispnea, aritmia, hipotensi dan seizure. Selain itu bisa berakibat lebih parah yaitu bisa bermanifestasi overload sirkulasi cairan, toksisitas dari cairan yang digunakan sebagai cairan irigasi. Sindrom TURP bisa terjadi setiap saat dan telah diobservasi awal setelah pembedahan dimulai dan beberapa jam setelah pembedahan selesai Jumlah cairan yang dapat memasuki daerah vaskularisasi dipengaruhi beberapa faktor yaitu : tekanan hidrostatik dari cairan irigasi, jumlah venous sinus yang terbuka, lama reseksi / paparan dan perdarahan vena yang terjadi. Tekanan hidrostatis cairan irigasi yang rendah, semakin banyaknya vena yang terbuka saat reseksi dan semakin lama waktu reseksi meningkatkan absorbsi air ke dalam sistem sirkulasi

1. Overload Sirkulasi

Uptake dari sejumlah kecil cairan irigasi dapat ditunjukkan pada setiap operasi TURP melalui venous netwok of prostatic bed Absorbsi cairan diteliti dengan cara memeriksa udara ekspirasi dari etanol setelah penambahan etanol sampai dengan konsentrasi lebih dari 1% ke dalam cairan irigasi. Uptake dari 1 liter cairan dalam satu jam yang berkaitan dengan penurunan akut dari konsentrasi natrium serum 5-8 mmol/liter adalah jumlah volume yang secara statistik meningkatkan resiko gejala terkait absorpsi (absorption related symptoms).5 Reseksi biasanya berlangsung 45-60 menit dan rata-rata 20mL/menit dari cairan irigasi diserap / diabsorbsi selama operasi TURP. Karena volume sirkulasi yang meningkat, volume darah akan meningkat, tekanan sistolik dan diastolik meningkat dan dapat menyebabkan gagal jantung. Absorbsi cairan mendilusi protein serum dan menurunkan tekanan onkotik darah. Hal ini bersamaan dengan peningkatan tekanan darah mendorong cairan dari vaskular menuju ke kompartmen interstisial, menyebabkan edema paru dan serebri. 5 Ditemukan pada absorbsi langsung ke dalam sirkulasi, hampir lebih dari 70% cairan irigasi terakumulasi dalam ruanginterstisiil (periprostatik, retroperitoneal ). Untuk setiap 100 ml cairan yang memasuki ruangan interstisial 10-15 mEq Na ikut masuk ke dalamnya. Durasi operasi berpengaruh pada jumlah absorbsi dan overload sirkulasi. Morbiditas dan mortalitas ditemukan lebih tinggi pada operasi dengan waktu lebih dari 90 menit. Absorbsi intravaskular dipengaruhi ukuran prostat sedangkan absorbsi interstisial dipengaruhi integritas kapsul prostat. Overload sirkulasi terjadi apabila berat dari prostat lebih dari 45 gr. Faktor penting lainnya adalah tekanan hidrostatik dari prostatic bed . Tekanan ini dipengaruhi ketinggian kolom cairan irigasi dan tekanan dalam kandung kemih saat pembedahan. Tinggi yang ideal dari cairan adalah 60 cm sehingga kira-kira 300 ml cairan dapat dihasilkan per menit untuk mendapatkan penglihatan yang baik. 5

2. Water Intoxication

Beberapa pasien dengan sindrom TURP menunjukkan gejala intoksikasi air dan kelainan neurologis disebabkan karena peningkatan jumlah air dalam otaknya. Pasien awalnya menjadi somnolen, inkoheren dan gelisah. Kejang dapat berkembang menjadi koma dalam posisi deserebrasi. Terdapat klonus dan respon Babinski positif. Papiledema, yaitu pupil yang terdilatasi dan bereaksi lambat dapat terjadi. EEG menunjukkan tegangan rendah bilateral. Gejala ini muncul apabila level Natrium turun sampai di bawah 15-20 mEq / liter di bawah level normal. 5 3. Hyponatremia Hiperosmolaritas

Kehilangan natrium klorida dari cairan ekstraseluler atau penambahan air yang berlebihan pada cairan ekstra seluler akan menyebabkan penurunan konsentrasi natrium plasma. Kehilangan natrium klorida primer biasanya terjadi pada dehidrasi hipoosmotik dan berhubungan dengan volume cairan ekstraseluler. Natrium penting dalam fungsinya untuk eksitasi sel, terutama pada jantung dan otak. Hiponatremia dapat terjadi pasien yang mengalami TURP melalui berbagai mekanisme5 : 1. Dilusi serum Na akibat kelebihan absorbsi cairan irigasi 2. Hilangnya Na menuju aliran cairan irigasi pada tempat reseksi prostat 3. Hilangnya Na menuju ruangan interstisial pada periprostat dan retroperitoneal 4. Jumlah besar glisin menstimulasi pelepasan atrial natriuretik peptida pada kelebihan volume cairan menyebabkan natriuresis..

Gejala hiponatremia adalah gelisah, kebingungan, inkoheren, koma dan kejang. Ketika Na serum turun sampai di bawah 120 mEq / liter, hipotensi dan penurunan kontraktilitas miokardial terjadi. Dibawah 115 mEq / l, bradikardi dan perluasan dari kompleks QRS pada EKG dapat terjadi, ektopik ventrikuler dan inversi gelombang T dapat terjadi. Di bawah 100 mEq / liter maka kejang umum, koma, henti nafas, Ventricular Tachycardia (VT), Ventricular Fibrillation (VF) dan henti jantung terjadi. Kebutuhan Na dihitung berdasarkan formula :
10

Sodium Deficit = Normal serum Na - Estimated serum Na x Volume of body water Namun gangguan fisiologis yang menyebabkan gangguan system saraf pusat bukanlah hiponatremia tersebut melainkan hipoosmolalitas yang terjadi. Seperti yang kita tahu bahwa sawar darah otak bersifat impermeabel terhadap natrium namun permeabel terhadap air. Edema serebri terjadi akibat hipoosmolalitas akut yang terjadi meningkatkan tekanan intrakranial, menyebabkan bradikardi dan hipertensi (Cushing reflex). 5

4. Glycine Toxicity

Kelebihan glisin yang diabsobrsi ke sirkulasi bersifat toksik pada jantung dan retina dan dapat menyebabkan hiperammonia. Pada pasien glisin 1,5% berhubungan efek subakut dari miokardium, muncul sebagai depressi atai inverse gelombang T. pada EKG 24 jam setelah pembedahan. Absorbsi lebih dari 500 ml menunjukkan dua laki resiko jangka panjang acute myocardial infarction. ini yang menyebabkan jumlah mortalitas yang lebih tinggi antara operasi transuretra vs open prostatectomy masih diperdebatkan oleh urologis hingga saat ini. Dilutional hypocalcemia juga dapat menjadi penyebab gangguan kardiovaskular ketika glisin di absorbsi. Namun kalsium dijaga tetap normal secara cepat dengan mobilisasi kalsium dari tulang. Glisin adalah asam amino yang berperan sebagai neurotransmitter utama pada system saraf pusat. Tempat kerja glisin adalah terutama pada batang otak dan medulla spinalis berbeda dengan neurotransmitter lainnya yaitu GABA yang bekerja pada area subkortikal dan kortikal area. Mekanisme kerjanya diakibatkan dari hiperpolarisasi dari membran postsinaps dengan meningkatkan hantaran klorida. Pada konsentrasi tinggi menyebabkan efek pada sistem saraf pusat dan gangguan penglihatan. Glycolic acid, formal dan formaldehyde adalah metabolit lain dari glisin yang juga menyebabkan gangguan penglihatan. Tanda seseorang mengalami toksisitas glisin adalah mual, muntah, respirasi lambat, kejang, spell apneoea dan sianosis, hipotensi, oligouria, anuria dan kematian. 5 Nilai normal glisin pada pria adalah 13-17 mg / liter. Glycine toxicity jarang pada pasien TURP mungkin karena hampir seluruh glisin yang diabsorbsi ditahan pada ruang periprostatik dan retroperitoneal yang tidak memiliki efek sistemik. 5

11

5. AmmoniaToxicity

Amonia adalah produk mayor dari metabolisme glisin. Konsentrasi ammonia yang tinggi menekan pelepasan norepinefrin dan dopamine dalam otak. Hal ini menyebabkan encephalopati TURP syndrome. Namun hal ini jarang terjadi pada manusia. Karakteristik toksisitas yang terjadi adalah satu jam setelah pembedahan. Pasien tiba-tiba mual dan muntah dan menjadi koma. Ammonia darah meningkat menjadi 500 mikromol / liter (nilai normal : 11-35 mikromol / liter). Hyperammonemia dapat bertahan sampai lebih dari 10 jam paska operasi karena glisin secara kontinu diabsorbsi dari ruang periprostat. 5 Mekanisme mengapa hiperammonia tidak diderita oleh semua pasien yang mengalami TURP masih belum jelas. Hiperamonia mengimplikasikan bahwa tubuh tidak dapat memetabolisme glisin secara sempurna melalui glisin cleavage system., citric acid cycle dan konversi glycolic dan glioxylic acid. 5 Mekanisme lain yang dapat menjelaskan adalah defisiensi arginin. Amonia normalnya diubah menjdi urea dalam hati melalui ornithine cycle. Arginin adalah produk intermediet dari siklus ini. Defisiensinya menandakan bahwa ornithine cycle tidak berlangsung sempurna dan terjadi akumulasi amonia. 5

6. Hipovolemi, Hipotensi

Tanda hemodinamika klasik dari Sindrom TURP, ketika glisin digunakan sebagai cairan irigasi,terdiri dari transient arterial hipertension, yang bisa tidak muncul jika pendarahan berlebihan, diikuti dengan perpanjangan hipertensi. Pelepasan substansi jaringan prostatik dan endotoksin menuju sirkulasi dan asidosis mtabolik yang bisa berkontribusi terhadap hipotensi. Kehilangan darah saat Sindrom TURP akan menimbulkan hipovolemia, menyebabkan kehilangan kemampuan mengangkut oksigen secara signifikan sehingga bisa menuju iskemia myokardial dan infark miokard. Kehilangan darah berkorelasi dengan ukuran kalenjar prostat yang direseksi, lamanya pembedahan dan skill dari operator. Rata-rata kehilangan darah saat TURP adalah 10ml/gram dari reseksi prostat. 5
12

7. Gangguan Penglihatan

Salah satu komplikasi dari Sindrom TURP adalah kebutaan sementara, pandangan berkabut, dan melihat lingkaran disekitar objek. Pupil menjadi dilatasi dan tidak merespons. Lensa mata normal. Gejala bisa muncul bersamaan dengan gejala lain dari Sindom TURP atau bisa juga menjadi gejala yang tersembunyi. Penglihatan kembali normal 8-48 jam setelah pembedahan. Kebutaan TURP disebabkan oleh disfungsi retina yang kemungkinan karena keracunan glisin. Karena itu persepsi dari cahaya dan refleks mengedipkan mata dipertahankan dan respon pupil terhdap cahaya dan akomodasi hilang pada kebutaan TURP, tidak seperti kebutaan yang disebabkan karena disfungsi kortikal serebri. 5

8. Perforasi

Perforasi dari kandung kemih bisa terjadi saat TURP berkaitan dengan instrumen pembedahan, pada reseksi yang sukar, distensi berlebihan dari kantung kemih dan letusan didalam kantung kemih. Perforasi instrumen dari kapsul prostatik telah diestimasi terjadi pada 1% dari pasien yang melakukan TURP. Tanda awal dari perforasi, yang sering tidak diperhatikan adalah penurunan kembalinya cairan irigasi dari kantung kemih. Dan diikuti oleh nyeri abdomen, distensi dan nausea. Bradikardi dan hipotensi arterial juga ditemukan. Juga ada resiko tinggi kesalahan diurese spontan. Pada perforasi intraperitoneal, gejalanya berkembang lebih cepat. Nyeri alih bahu yang berkaitan dengan iritasi pada diafragma merupakan gejala khas Pallor, diaphoresis, rigiditas abdomen, nausea, muntah dan hipotensi bisa terjadi. Perforasi ekstraperitonial, pergerakan refleks dari ekstemitas bawah bisa terjadi. 5 Letusan didalam kantung kemih jarang terjadi. Kauter dari jaringan prostat dipercaya bias membebaskan gas yang mudah terbakar. Secara normal, tidak cukup oksigen yang terdapat didalam kantung kemih agar bisa terjadi letusan. Tetapi jika udara masuk bersama dengan cairan irigasi akan bisa berakibat timbulnya ledakan. 5

13

9. Koagulopati

DIC (Disseminated Intravasculer Coagulation) bisa terjadi berkaitan dengan pelepasan partikel prostat yang kaya akan jaringan thrombopalstin menuju sirkulasi yang menyebabkan fibrinolisis sekunder. Dilutional trombositopenia bisa memperbusuk situasi. DIC bisa dideteksi pada darah dengan timbulnya penurunan jumlah platelet, FDP (Fibrin Degradation Products) yang tinggi (FDP > 150 mg/dl) dan plasma fibrinogen yang rendah (400 mg/dl). 5

10. Bakteremia, Septisemia dan Toksemia

Sekitar 30% dari semua pasien TURP memiliki urin yang terinfeksi saat preoperatif. Ketika prostat sinus vena terbuka dan digunakan irigasi dengan tekanan tinggi, maka bakteri akan masuk menuju sirkualsi. Pada 6% pasien, bakteremia menjadi septisemia. Absorbsi dari endotoksin bakteri dan produksi toksin dari koagulasi jaringan akan berakibat keadaan toksik pada pasien postoperatif. Gemetar yang parah, demam, dilatasi kapiler dan hipertensi bisa terjadi secara temporer pada pasien ini. 5

11. Hipotermia

Hipotermia merupakan observasi yang selalu dilakukan pada pasien yang akan dilakukan TURP. Penurunan dari suhu tubuh akan mengubah situasi hemodinamika, yang mengakibatkan pasien menggigil dan peningkatan konsumsi oksigen. Irigasi kandung kemih merupakan sumber utama dari hilangnya panas dan penggunaan cairan irigasi pada suhu ruangan menghasilkan penurunan suhu tubuh sekitar 1o C - 2oC. Ini diperburuk oleh keadaan ruangan operasi yang bersuhu dingin. Pasien geriatri diduga akan mengalami hipotermia karena disfungsi otonom. Vasokonstriksi dan asidosis bisa berefek pada jantung dan berkontribusi terhadap manifestasi sistem saraf pusat. Menggigil juga bisa diperparah oleh pendarahan dari tempat reseksi. 5

14

Bila pasien mengalami anestesi umum, maka diagnosa dari sindrom TURP menjadi sulit dan sering terlambat. Salah satu tanda sindromTURP jika pasien sedang mendapatkan anestesi adalah kenaikan dan penurunan tekanan darah yang tidak dapat diterangkan sebabnya. Perubahan EKG dapat berupa irama nodal, perubahan segmen ST, munculnya gelombang U, dan komplek QRS yang melebar. Pada pasien yang mengalami sindrom TURP, pulihnya kembali kesadaran karena anestesi dan khasiat muscle relaxant dapat terlambat. 5 III.5 Penatalaksanaan Terapi Sindrom TURP meliputi koreksi berbagai mekanisme patofisiologikal yang bekerja pada homeostasis tubuh. Idealnya terapi tersebut harus dimulai sebelum tejadi komplikasi sistem saraf pusat dan jantung yang serius. Ketika Sindrom TURP didiagnosa, prosedur pembedahan sebaiknya diakhiri secepatnya. Kebanyakan pasien bisa dimanajemen dengan restriksi cairan dan diuretic loop. 7 Identifikasi gejala awal sindrom TURP dan pencegahan, penting untuk mencegah efek yang fatal bagi pasien yang mengalami pembedahan endoskopik. Hiponatremia yang terjadi sebelum operasi harus dikoreksi terutama pada pasien yang menggunakan obat-obatan diuretic dan diet rendah garam. Antibiotic profilaksis memiliki peran dalam pencegahan bakterimia dan septisemia. Central Venous Pressure (CVP) monitoring atau kateterisasi arteri pulmonalis diperlukan untuk pasien dengan penyakit jantung. Tinggi ideal cairan irigasi adalah 60 cm. Untuk mengurangi timbulnya sindrom TURP operator harus membatasi diri untuk tidak melakukan reseksi lebih dari 1 jam. Di samping itu beberapa operator memasang sistotomi suprapubik terlebih dahulu sebelum reseksi diharapkan dapat mengurangi penyerapan air ke sistemik. Untuk kasus dengan operasi lebih dari satu jam staging TURP harus dilakukan. Kapsul prostat harus dijaga dan distensi kandung kemih harus dicegah. Caranya dengan sering mengosongkan kandung kemih.7 Koreksi hiponatremia sebaiknya dilakukan dengan diuresis dan pemberian salin hipertonis 3-5% secara lambat dan tidak lebih dari 0,5 meq/per 1 jam atau tidak lebih cepat dari 100 ml/jam. Tepatnya 200 ml salin hipertonis diperlukan untuk mengkoreksi hiponatremia. Pemberian secara cepat dari salin akan mengakibatkan edema paru dan central pontine myelinolysis. Dua pertiga dari salin hipertonis mengembalikan serum sodium dan osmolaritas,
15

sedangkan 1/ 3 meredistribusi air dari sel menuju ruang ekstraseluler, dimana akan diterapi dengan terapi diuretik menggunakan furosemide. 7 Furosemide sebaiknya diberikan dengan dosis 1 mg/kg bb secara intravena. Tetapi, penggunaan furosemide dalam terapi Sindrom TURP dipertanyakan karena meningkatkan ekskresi natrium. Oleh sebab itu 15% manitol disarankan sebagai pilihan, dalam kaitan dengan kerjanya yang bebas dari ekskresi natrium dan kecenderungan untuk meningkatkan osmolaritas ekstraseluler. Oksigen harus diberikan dengan penggunaan nasal kanul. Edema paru sebaiknya dimanajemen dengan intubasi dan ventilasi dengan penggunaan 100% oksigen. 7 Gas darah, hemoglobin dan serum sodium dinilai. Kalsium intravena bisa digunakan untuk merawat gangguan gangguan jantung akut saat pembedahan. Kejang sebaiknya diterapi dengan diazepam / midazolam / barbiturat / dilantin aau penggunaan pelemas otot tergantung dari tingkat keparahannya. Gejala hiponatremia yang bisa berakibat seizure bisa dihubungkan dengan dosis kecil dari midazolam (2-4 mg), diazepam (3-5 mg), thiopental (50-100 mg). Kehilangan darah diterapi dengan transfusi PRC. Pada kasus dengan DIC, maka fibrinogen 3-4 gram sebaiknya diberikan secara intravena diikuti dengan infus heparin 2000 unit secara bolus ( dan kemudian diberikan 500 unit tiap jam). Fresh Frozen Plasma (FFP) dan platelet juga bias digunakan tergantung dari jenis koagulasinya.8 Drainase pembedahan dari cairan retroperitoneal pada kasus perforasi bisa menurunkan morbiditas dan mortalitas secara signifikan. Arginin dapat diberikan sebagai tambahan infuse glisin untuk menurunkan efek toksik dari glisin pada jantung. Mekanisme bagaimana arginin memproteksi jantung belum diketahui. Phenytoin yang diberikan secara intravena (10-20 mg/kg) juga harus dipertimbangkan untuk memperoleh aktivitas antikonvulsan. Intubasi endotrakeal secara umum disarankan untuk mencegah aspirasi sampai status mental pasien menjadi normal. Jumlah dan kadar salin hipertonik (3-5 %) diperlukan untuk mengkoreksi hiponatremia menjadi batas / level yang aman, yang didasarkan konsentrasi serum sodium pasien. Solusi salin hipertonis harus tidak diberikan dengan kecepatan tidak lebih dari 100 ml/jam sehingga tidak menimbulkan eksaserbasi overload dari cairan sirkulasi. Hipotermi dapat dihindari dengan meningkatkan suhu ruang operasi, penggunaan selimut hangat dan menggunakan cairan irigasi dan intravena yang telah dihangatkan sampai suhu 370 C.8 Manajemen pasien yang mengalami koma harus meliputi oksigenasi, sirkulasi yang memadai, penurunan tekanan intrakranial, penghentian kejang, terapi infeksi, menjaga
16

keseimbangan asam basa dan elektrolit dan suhu tubuh. Pemantauan yang dilakukan glukosa, elektrolit (Na, K, Ca,. Cl, CO3, PO4), urea kreatinin, osmolaritas, glisin, dan

amonia.Pemeriksaan gas darah dapat melihat PH, PO2, PCO2, dan karbonat. Perlu juga dilakukan EKG untuk memonitor fungsi kardiovaskular. 7

III.6 Komplikasi Komplikasi yang dapat terjadi dari sindrom TURP adalah sebagai berikut : Sianotik Hipotensi Cardiac arrest Gejala neurologi : mula-mula mengalami letargi dan kemudian tidak sadar, pupil mengalami dilatasi dan dapat terjadi kejang tonik klonik dan dapat berakhir dengan koma Koagulopati Pada Sindrom TUR dapat terjadi Disseminated Intravasculer Coagulation (DIC) yang terjadi akibat lepasnya partikel prostat yang mengandung tromboplastin dalam jumlah besar ke dalam peredaran darah dan menyebabkan fibrinolisis sekunder. DIC ini dapat diketahui dari turunnya kadar trombosit dan meningkatnya Fibrin Degradation Product (FDP) serta kadar fibrinogen yang rendah Bakteriemia dan Sepsis Pada 30% penderita yang dilakukan TURP sudah terjadi infeksi sebelum operasi. Bila sinus vena prostat terbuka sebelum operasi dan dilakukan irigasi dengan tekanan tinggi maka kuman bisa masuk ke dalam peredaran darah dan terjadi bakteremia. Pada 6% pasien bakteremia ini menyebabkan sepsis Hipotermi Hipotermi sering terjadi pada pasien yang mengalami TURP. Irigasi kandung kencing merupakan penyebab penting kehilangannya panas tubuh dan hal ini ditambah dengan suhu kamar operasi yang rendah. Hipotermi sering terjadi pada penderita lanjut usia karena gangguan saraf otonomik.

17

BAB IV KESIMPULAN
Dari tulisan di atas adapun kesimpulan sebagai berikut :

1.

Reseksi prostat transurethral sering membuka jaringan ekstensif sinus vena pada prostat dan memungkinkan absorbsi sistemik dari cairan irigasi. Absorbsi dari cairan dalam jumlah yang besar (2 liter atau lebih) menghasilkan konstelasi gejala dan tanda yang disebut dengan sindrom TURP.

2.

Cairan yang tersering digunakan sebagai cairan irigasi adalah air steril dan glisin yang bersifat hipotonik.

3.

Sindrom TURP dipengaruhi beberapa hal diantaranya : terbukanya sinus prostat saat pembedahan, tekanan irigasi, durasi operasi dan cairan irigasi yang bersifat hipotonik.

4.

Manifestasi klinis yang muncul diakibatkan karena peningkatan jumlah air (larutan hipotonik) yang menyebabkan dilutional hiponatremia, hipoosmolalitas, hiperglisinemia, hiperammonemia.

5.

Sindrom TURP ini muncul intraoperatif maupun postoperatif dengan gejala sakit kepala, kelelahan terus menerus, confusion, sianosis, dispnea, aritmia, hipotensi dan seizure. Selain itu bisa berakibat lebih parah yaitu bisa bermanifestasi overload sirkulasi cairan, toksisitas dari cairan yang digunakan sebagai cairan irigasi.

6.

Prinsip penanganan sindrom TURP yang utama adalah pencegahan, restriksi cairan, diuretic loop, serta terapi intensif untuk pasien yang mengalami koma.

18

DAFTAR PUSTAKA

1. Transurethral Resection of the Prostate. Available at : http://www.mayoclinic.com/health/turp/MY00633/. Accessed on : July 1, 2012. 2. Pembesaran prostat jinak. Available at: http://www.klikdokter.com/medisaz/read/2010/07/05/12/pembesaran-prostat-jinak. Accessed on : July 1, 2012. 3. Collins MA. Transurethral Resection of the Prostate. Available at : http://emedicine.medscape.com/article/449781-overview#a1. Accessed on : July 1, 2012. 4. Marrero AS, Prodigalidad AM, Ambrosio AZ. Prediction and Early Diagnosis of Transurethral Prostatectomy Syndrome. Available at : http://members.tripod.com/nktiuro/paper2.htm. Accessed on : July 1, 2012. 5. Moorthy HK, Philip S. TURP Syndrome - Current Consept in Pathology and Physiology. Indian J Urology 2001; 17 : 97-102. 6. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical Anesthesiology. 4th ed. New York : McGraw- Hill. 2006. p. 838 60. 7. Mutlu M, Titiz M. Hyponatremia and Neurological Manifestation of TURP syndrome.The Internet Journal of Anesthesiology 2007; 12(1): 235 70. 8. Hahn RG. Fluid Absobrtion in Endoscopy Surgery. British Journal of Anesthesiology 2006; 96:8-20.

19

Anda mungkin juga menyukai