EMERGENCY SYSTEM 1
OLEH:
MOH. UBAIDILLAH FAQIH, S.Kep., Ns., M.Kep.
(STAFF PENGAJAR STIKES NU TUBAN)
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................................ii
DAFTAR ISI........................................................................................................................... iii
BAB 1..................................................................................................................................... 1
BAB 1
KONSEP KEGAWATDARURATAN PEMAHAMAN TENTANG
TRIAGE DI UNIT GAWAT DARURAT
Dalam dunia medis, suatu keadaan disebut gawat apabila sifatnya mengancam nyawa
namun tidak memerlukan penanganan yang segera. Contoh untuk keadaan ini adalah:
pasien yang menderita penyakit kanker. Penyakit kanker adalah penyakit yang bisa
mengancam nyawa seseorang, namun tidak terlalu memerlukan tindakan sesegera mungkin
(immediate treatment). Biasanya keadaan gawat dapat dijumpai pada penyakit-penyakit
yang sifatnya kronis, contohnya pada kanker serviks (Wijaya, 2010).
Suatu keadaan disebut darurat apabila sifatnya memerlukan penanganan yang segera.
Contoh untuk keadaan ini adalah: baru saja digigit ular berbisa, sedang mengalami
pendarahan hebat, tengah menderita patah tulang akibat kecelakaan, kehilangan cairan
karena diare hebat, dsb. Meskipun keadaan darurat tidak selalu mengancam nyawa, namun
penanganan yang lambat bisa saja berdampak pada terancamnya nyawa seseorang.
Biasanya keadaan darurat dapat dijumpai pada penyakit-penyakit yang sifatnya akut,
contohnya pada infark miokard akut (Wijaya, 2010).
Keadaan gawat dan darurat dapat juga terjadi bersamaan. Dalam hal ini, nyawa pasien
benar-benar dalam keadaan yang mengkhawatirkan dan diperlukan penanganan yang
segera terhadapnya. Contoh untuk kasus ini adalah seseorang yang telah menderita
penyakit jantung dalam waktu yang lama dan tiba-tiba saja mendapatkan serangan jantung
(heart attack) (Wijaya, 2010).
8. Difteri
9. Murmur/bising jantung, Aritmia
10. Edema/bengkak seluruh badan
11. Epitaksis (mimisan), dengan tanda perdarahan lain disertai dengan demam/febris
12. Gagal ginjal akut
13. Gangguan kesadaran dengan fungsi vital yang masih baik
14. Hematuria
15. Hipertensi berat
16. Hipotensi atau syok ringan hingga sedang
17. Intoksikasi atau keracunan (misal: minyak tanah, atau obat serangga) dengan
keadaan umum masih baik
18. Intoksikasi disertai gangguan fungsi vital
19. Kejang dengan penurunan kesadaran
20. Muntah profus (lebih banyak dari 6x dalam satu hari) baik dengan dehidrasi maupun
tidak
21. Panas/demam tinggi yang sudah di atas 40C
22. Sangat sesak, gelisah, kesadaran menurun, sianosis dengan retraksi hebat dinding
dada/otot-otot pernapasan
23. Sesak tapi dengan kesadaran dan kondisi umum yang baik
24. Syok berat, dengan nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak terukur, termasuk di
dalamnya sindrom rejatan dengue
25. Tetanus
26. Tidak BAK/kencing lebih dari 8 jam
27. Tifus abdominalis dengan komplikasi
(BPJS, 2013)
(BPJS, 2013)
Triase berasal dari bahasa prancis trier bahasa inggris triage danditurunkan dalam
bahasa Indonesia triase yang berarti sortir. Yaituproses khusus memilah pasien berdasar
beratnya cedera ataupenyakit untuk menentukan jenis perawatan gawat darurat. Kiniistilah
tersebut lazim digunakan untuk menggambarkan suatu konseppengkajian yang cepat dan
berfokus dengan suatu cara yangmemungkinkan pemanfaatan sumber daya manusia,
peralatan
sertafasilitas
yang
paling
efisien
terhadap
100
juta
orang
yang
1. Traffic Director
Dalam sistem ini, perawat hanya mengidentifikasi keluhan utama dan memilih antara
status mendesak atau tidak mendesak.Tidak ada tes diagnostik permulaan yang
diintruksikan dan tidak ada evaluasi yang dilakukan sampai tiba waktu pemeriksaan.
2. Spot Check
Pada sistem ini, perawat mendapatkan keluhan utama bersama dengan data subjektif
dan objektif yang terbatas, dan pasien dikategorikan ke dalam salah satu dari 3
prioritas pengobatan yaitu gawat darurat, mendesak, atau ditunda. Dapat
dilakukan beberapa tes diagnostik pendahuluan, dan pasien ditempatkan di area
perawatan tertentu atau di ruang tunggu.Tidak ada evaluasi ulang yang direncanakan
sampai dilakukan pengobatan.
3. Comprehensive
Sistem ini merupakan sistem yang paling maju dengan melibatkan dokter dan perawat
dalam menjalankan peran triage.Data dasar yang diperoleh meliputi pendidikan dan
kebutuhan pelayanan kesehatan primer, keluhan utama, serta informasi subjektif dan
objektif. Tes diagnostik pendahuluan dilakukan dan pasien ditempatkan di ruang
perawatan akut atau ruang tunggu, pasien harus dikaji ulang setiap 15 sampai 60
menit (Iyer, 2004).
B. KLASIFIKASI DAN PENENTUAN PRIORITAS
Berdasarkan Oman (2008), pengambilan keputusan triage didasarkan pada keluhan
utama, riwayat medis, dan data objektif yang mencakup keadaan umum pasien serta hasil
pengkajian fisik yang terfokus. Menurut Comprehensive Speciality Standard, ENA tahun
1999, penentuan triase didasarkan pada kebutuhan fisik, tumbuh kembang dan psikososial
selain pada factor-faktor yang mempengaruhi akses pelayanan kesehatan serta alur pasien
lewat sistem pelayanan kedaruratan.Hal-hal yang harus dipertimbangkan mencakup setiap
gejala ringan yang cenderung berulang atau meningkat keparahannya .
Prioritas adalah penentuan mana yang harus didahulukan mengenai penanganan dan
pemindahan yang mengacu pada tingkat ancaman jiwa yang timbul.Beberapa hal yang
mendasari klasifikasi pasien dalam sistem triage adalah kondisi klien yang meliputi :
1. Gawat, adalah suatu keadaan yang mengancam nyawa dan kecacatan yang
memerlukan penanganan dengan cepat dan tepat
2. Darurat, adalah suatu keadaan yang tidak mengancam nyawa tapi memerlukan
penanganan cepat dan tepat seperti kegawatan
3. Gawat darurat, adalah suatu keadaan yang mengancam jiwa disebabkan oleh
gangguan ABC (Airway / jalan nafas, Breathing / pernafasan, Circulation / sirkulasi),
jika tidak ditolong segera maka dapat meninggal / cacat (Wijaya, 2010)
Berdasarkan prioritas perawatan dapat dibagi menjadi 4 klasifikasi :
KETERANGAN
Keadaan yang mengancam nyawa / adanya
gangguan ABC dan perlu tindakan segera,
misalnya
cardiac
arrest,
penurunan
memerlukan
tindakan
darurat.
Setelah
KETERANGAN
Mengancam jiwa atau fungsi vital, perlu resusitasi
dan
tindakan
bedah
segera,
mempunyai
dan
pemindahan
bersifat
jangan
Kelas IV
Kelas V
jam
Gawat darurat (misalnya henti jantung, syok); tidak
boleh ada keterlambatan pengobatan ; situasi yang
mengancam hidup
Beberapa petunjuk tertentu harus diketahui oleh perawat triage yang mengindikasikan
kebutuhan untuk klasifikasi prioritas tinggi. Petunjuk tersebut meliputi :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Nyeri hebat
Perdarahan aktif
Stupor / mengantuk
Disorientasi
Gangguan emosi
Dispnea saat istirahat
Diaforesis yang ekstrem
Sianosis
C. PROSES TRIAGE
Proses triage dimulai ketika pasien masuk ke pintu UGD. Perawat triage harus mulai
memperkenalkan diri, kemudian menanyakan riwayat singkat dan melakukan pengkajian,
misalnya melihat sekilas kearah pasien yang berada di brankar sebelum mengarahkan ke
ruang perawatan yang tepat.
Pengumpulan data subjektif dan objektif harus dilakukan dengan cepat, tidak lebih dari
5 menit karena pengkajian ini tidak termasuk pengkajian perawat utama. Perawat triage
bertanggung jawab untuk menempatkan pasien di area pengobatan yang tepat; misalnya
bagian trauma dengan peralatan khusus, bagian jantung dengan monitor jantung dan
tekanan darah, dll. Tanpa memikirkan dimana pasien pertama kali ditempatkan setelah
triage, setiap pasien tersebut harus dikaji ulang oleh perawat utama sedikitnya sekali setiap
60 menit.
Untuk pasien yang dikategorikan sebagai pasien yang mendesak atau gawat darurat,
pengkajian dilakukan setiap 15 menit / lebih bila perlu.Setiap pengkajian ulang harus
didokumentasikan dalam rekam medis.Informasi baru dapat mengubah kategorisasi
keakutan dan lokasi pasien di area pengobatan.Misalnya kebutuhan untuk memindahkan
pasien yang awalnya berada di area pengobatan minor ke tempat tidur bermonitor ketika
pasien tampak mual atau mengalami sesak nafas, sinkop, atau diaforesis.(Iyer, 2004).
Bila kondisi pasien ketika datang sudah tampak tanda - tanda objektif bahwa ia
mengalami gangguan pada airway, breathing, dan circulation, maka pasien ditangani
terlebih dahulu. Pengkajian awal hanya didasarkan atas data objektif dan data subjektif
sekunder dari pihak keluarga. Setelah keadaan pasien membaik, data pengkajian kemudian
dilengkapi dengan data subjektif yang berasal langsung dari pasien (data primer)
Alur dalam proses triase:
1. Pasien datang diterima petugas / paramedis UGD.
2. Diruang triase dilakukan anamnese dan pemeriksaan singkat dan cepat (selintas)
untuk menentukan derajat kegawatannya oleh perawat.
3. Bila jumlah penderita/korban yang ada lebih dari 50 orang, maka triase dapat
dilakukan di luar ruang triase (di depan gedung IGD)
4. Penderita dibedakan menurut kegawatnnya dengan memberi kodewarna:
1) Segera-Immediate (merah). Pasien mengalami cedera mengancam jiwa yang
kemungkinan
besar
dapat
hidup
bila
ditolong
segera.
Misalnya:Tension
memungkinkan
untuk
dipulangkan,
maka
penderita/korban
dapat
atau
merekam peristiwa dan objek maupun aktifitas pemberian jasa (pelayanan) yang dianggap
berharga dan penting
Dokumentasi asuhan dalam pelayanan keperawatan adalah bagian dari kegiatan yang
harus dikerjakan oleh perawat setelah memberi asuhan kepada pasien. Dokumentasi
merupakan suatu informasi lengkap meliputi status kesehatan pasien, kebutuhan pasien,
kegiatan asuhan keperawatan serta respons pasien terhadap asuhan yang diterimanya.
Dengan demikian dokumentasi keperawatan mempunyai porsi yang besar dari catatan
klinis pasien yang menginformasikan faktor tertentu atau situasi yang terjadi selama
asuhan dilaksanakan. Disamping itu catatan juga dapat sebagai wahana komunikasi dan
koordinasi antar profesi (Interdisipliner) yang dapat dipergunakan untuk mengungkap suatu
fakta aktual untuk dipertanggungjawabkan.
Dokumentasi
keperawatan
asuhan
keperawatan
merupakan
bagian
integral
dari
asuhan
ketrampilan dalam menerapkan standar dengan baik merupakan suatu hal yang mutlak
bagi setiap tenaga keperawatan agar mampu membuat dokumentasi keperawatan secara
baik dan benar.
Dokumentasi yang berasal dari kebijakan yang mencerminkan standar nasional
berperan sebagai alat manajemen resiko bagi perawat UGD. Hal tersebut memungkinkan
peninjau yang objektif menyimpulkan bahwa perawat sudah melakukan pemantauan
dengan tepat dan mengkomunikasikan perkembangan pasien kepada tim kesehatan.
Pencatatan, baik dengan computer, catatan naratif, atau lembar alur harus menunjukkan
bahwa perawat gawat darurat telah melakukan pengkajian dan komunikasi, perencanaan
dan kolaborasi, implementasi dan evaluasi perawatan yang diberikan, dan melaporkan data
penting pada dokter selama situasi serius. Lebih jauh lagi, catatan tersebut harus
menunjukkan bahwa perawat gawat darurat bertindak sebagai advokat pasien ketika terjadi
penyimpangan
standar
perawatan
yang
mengancam
keselamatan
pasien.
(Anonimous,2002).
Pada tahap pengkajian, pada proses triase yang mencakup dokumentasi :
1.
2.
3.
4.
5.
Waktu pengkajian
Riwayat alergi
Riwayat pengobatan
Tingkat kegawatan pasien
Tanda - tanda vital
Pertolongan pertama yang diberikan
Pengkajian ulang
Pengkajian nyeri
Keluhan utama
Riwayat keluhan saat ini
Data subjektif dan data objektif
Periode menstruasi terakhir
Imunisasi tetanus terakhir
Pemeriksaan diagnostik
Administrasi pengobatan
Tanda tangan registered nurse
Rencana perawatan lebih sering tercermin dalam instruksi dokter serta dokumentasi
pengkajian dan intervensi keperawatan daripada dalam tulisan rencana perawatan formal
(dalam bentuk tulisan tersendiri). Oleh karena itu, dokumentasi oleh perawat pada saat
instruksi tersebut ditulis dan diimplementasikan secara berurutan, serta pada saat terjadi
perubahan status pasien atau informasi klinis yang dikomunikasikan kepada dokter secara
bersamaan akan membentuk landasan perawatan yang mencerminkan ketaatan pada
standar perawatan sebagai pedoman.
Dalam
implementasi
perawat
gawat
darurat
harus
mampu
melakukan
dan
S
O
A
P
: data subjektif
: data objektif
: analisa data yang mendasari penentuan diagnosa keperawatan
: rencana keperawatan
5. I
6. E
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Intensive Care Unit (ICU) merupakan ruang perawatan dengan tingkat resiko kematian
pasien yang tinggi. Tindakan keperawatan yang cepat dan tepat sangat dibutuhkan untuk
menyelamatkan pasien. Pengambilan keputusan yang cepat ditunjang data yang
merupakan hasil observasi dan monitoring yang kontinu oleh perawat. Tingkat kesibukan
dan standar perawatan yang tinggi membutuhkan peralatan tehnologi tinggi yang
menunjang. Peralatan yang ditemukan di ICU antara lain bed side monitor, oksimetri,
ventilator, dll yang jarang ditemukan di ruangan lain dan peralatan tersebut ditunjang oleh
tehnologi tinggi. Inovasi tehnologi tetap dibutuhkan dengan tujuan meningkatkan mutu
pelayanan keperawatan di ICU seiring dengan bertambahnya kompleksitas masalah di ICU.
Tele-ICU sudah digunakan 25 tahun yang lalu dengan metode remote telemedicine pada
395 pasien di ICU yang terdapat pada 100 bed di RS. Proyek tersebut menunjukan bahwa
konsultasi televisi memberikan pengaruh lebih besar pada tataran klinik dan pendidikan
daripada konsultasi via telepon. Secara historis demonstrasi tersebut menunjukan bahwa
tele-ICU consultation memiliki keuntungan klinis yang lebih besar seperti mengurangi lama
hari rawat (lenght of stay), meningkatkan pengelolaan dan tranfer pasien trauma, dan
meningkatkan konsultasi untuk pasien kritis.
Pada tahun 2000, Sentara Health-care mengimplementasikan multiside telemedia program.
Saat 1 tahun setelah implementasi dilaporkan bahwa terjadi penurunan mortalitas sebanyak
27 %. Saat ini diestimasikan bahwa 45 sampai 50 program tele-ICU telah mendukung
beberapa ICU.
Tema Tele-ICU, virtual ICU, remote ICU, dan eICU semuanya mengacu pada konsep yang
sama, yaitu merupakan sentralisasi atau pengendalian berdasarkan tim perawatan kritis
dengan menggunakan networking pada bedside ICU tim dan pasien baik melalui audiovisual
maupun sistem komputer. Tim Tele-ICU dapat mendukung kelangsungan hidup dan
mendukung sebagain besar pasien di ICU walaupun dipisahkan secara geografis dari
berbagai Rumah Sakit.
Penggunaan tele-ICU merupakan aplikasi dari solusi 4 topik ICU, yang menurut Needham
(2010) terdiri dari : isu alamiah mengenai medis dan lebih spesifik berkaitan dengan
perawatan kritis, menggunakan pengetahuan sebagai usaha meningkatkan patient safety,
berfokus pada proyek perpindahan pengetahuan, dan model perpindahan pengetahuan
praktik klinik.
1.2 Tujuan
Tujuan dari dibuatnya makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
Kegawatdaruratan tentang konsep dasar ICU dari dr. Triyanto Saudin.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Ruang rawat di RS dengan staf & perlengkapan khusus ditujukan untuk mengelola pasien
dengan penyakit trauma atau komplikasi yang mengancam jiwa( T.E.Oh, 1997)
Ruang rawat di RS dengan staf & perlengkapan khusus untuk merawat dan mengobati
pasien yang terancam jiwa oleh karena kegagalan/ disfungsi suatu organ atau ganda akibat
penyakit, bencana atau komplikasi yang masih ada harapan hidup reversibel( RSS)
2.2 Fungsi ICU
Semua jenis ICU tersebut mempunyai tujuan yang sama, yaitu mengelola pasien yang sakit
kritis sampai yang terancam jiwanya. ICU di Indonesia umumnya berbentuk ICU umum,
dengan pemisahan untuk CCU (Jantung), Unit dialisis dan neonatal ICU. Alasan utama
untuk hal ini adalah segi ekonomis dan operasional dengan menghindari duplikasi peralatan
dan pelayanan dibandingkan pemisahan antara ICU Medik dan Bedah.
Dari segi fungsinya, ICU dapat dibagi menjadi :
1. ICU Medik
2. ICU trauma/bedah
3. ICU umum
4. ICU pediatrik
5. ICU neonatus
6. ICU respiratorik
2.3 Macam Macam ICU
Mengingat bahwa kemampuan dan sarana ditiap rumah sakit sangat bervariatif maka ICU
dikategorikan berdasar kemampuannya, yaitu sebagai berikut :
1. ICU PRIMER.
a. Memiliki kriteria pasien masuk, keluar & rujukan.
b. Memiliki dokter spesialis anestesiologi sebagai kepala
c. Mempunyai dokter jaga 24 jam dengan kemampuan melakukan resusitasi
jantung paru (A-B-C-D-E-F).
d. Konsulen yang membantu harus bisa dihubungi dan dipanggil setiap saat.
e. Memiliki jumlah perawat yang cukup dan sebagian besar terlatih.
f. Mampu dengan cepat melayani pemeriksaan laboratrium tertentu (Hb, Ht,
elektrolit, gula darah & trombosit), sinar-X, fisioterapi.
2. ICU SEKUNDER.
a. Seperti persyaratan ICU PRIMER
b. Ada konsultan intensiv care
c. Mampu merawat dengan alat bantu nafas (ABN).
d. Mampu menyediakan tenaga perawat dengan perbandingan 1:1 untuk pasien dg ABN,
CRRT (continuous renal replacement therapy) dan 2:1 untuk lainnya.
e. > 50% tenaga perawat bersertifikat perawat ICU (minimal pengalaman kerja di ICU > 3
th).
f. Memiliki ruang isolasi dan mampu melakukan prosedur isolasi.
g. Laboratorium dan penunjang bekerja 24 jam
3. ICU TERTIER.
a. Memiliki dokter spesialis dari berbagai disiplin ilmu, dapat dihubungi dan
segera datang bila diperlukan.
b. Dikelola oleh intensivist.
c. Kualitas tenaga perawat : > 75% bersertifikat perawat ICU.
d. Mampu melakukan pemantauan invasif.
e. Memiliki minimal satu tenaga pendidik untuk medis ataupun para medis.
f. Memiliki prosedur pelaporan dan pengkajian.
g. Memiliki staf tambahan lain (tenaga administratif untuk kepentingan ilmiah / penelitian.
2.4 Syarat Ruangan ICU
Jumlah Bed ICU di Rumah Sakit idealnya adalah 1-4 % dari kapasitas bed Rumah Sakit.
Jumlah ini tergantung pada peran dan tipe ICU. Lokasi ICU sebaiknya di wilayah
penanggulangan gawat darurat (Critical Care Area), jadi ICU harus berdekatan dengan Unit
Gawat Darurat, kamar bedah, dan akses ke laboratorium dan radiologi. Transportasi dari
semua aspek tersebut harus lancar, baik untuk alat maupun untuk tempat tidur.
Syarat Ruangan ICU yaitu diantaranya:
1. Ruangan
Setiap pasien membutuhkan wilayah tempat tidur seluas 18,5 m2. untuk kamar isolasi perlu
ruangan yang lebih luas. Perbandingan ruang terbuka dengan kamar isolasi tergantung
pada jenis rumah sakit.
2. Fasilitas Bed
Untuk ICU level III, setiap bed dilengkapi dengan 3 colokan oksigen, 2 udara tekan, 4
penghisap dan 16 sumber listrik dengan lampu penerangan. Peralatan tersebut dapat
menempel di dinding atau menggantung di plafon.
3. Monitor dan Emergency Troli
Monitor dan emergency troli harus mendapat tempat yang cukup. Di pusat siaga, sebaiknya
ditempatkan sentral monitor, obat-obatan yang diperlukan, catatan medik, telepon dan
komputer.
4. Tempat Cuci Tangan
Tempat cuci tangan harus cukup memudahkan dokter dan perawat untuk mencapainya
setiap sebelum dan sesudah bersentuhan dengan pasien (bla memungkinkan 1 tempat tidur
mempunyai 1 wastafel)
5. Gudang dan Tempat Penunjang
Gudang meliputi 25 30 % dari luas ruangan pasien dan pusat siaga petugas. Barang
bersih dan kotor harus terpisah.
2.5 Sarana dan Prasarana
Sarana.
Agar pengelolaan pasien bisa berhasil diperlukan sarana yang memadai.
Sarana peralatan dan kemampuan yang seyogyanya dimiliki oleh ICU antara lain :
1. Mampu resusitasi jantung paru otak.
2. Mampu mengelola jalan nafas & ventilasi
3. Sarana terapi oksigen
4. Pacu jantung temporer
5. Monitor yang kontinyu
6. Laboratorium yang cepat & komprehensif
7. Pelayanan nutrisi
8. Intervensi dengan pompa infus
9. Alat portabel untuk transportasi
Prasarana
Untuk mencapai sistem pelayanan yang demikian maka SDM yang berkecimpung dalam
pelayanan di ICU perlu mendapat pendidikan khusus (tambahan), karena mengelola pasien
sakit kritis di ICU tidak sama dengan mengelola pasien sakit tidak kritis di bangsal
perawatan biasa. Disamping alasan tersebut diatas, pendidikan tambahan diperlukan agar
bahasa yang digunakan dalam mengelola pasien di ICU (yang secara tim) sama dan
tujuan yang sama pula.
2.6 Indikasi dan Kontra Indikasi Pasien Masuk ICU
INDIKASI MASUK ICU
Pasien yang masuk ICU adalah pasien yang dalam keadaan terancam jiwanya sewaktuwaktu karena kegagalan atau disfungsi satu atau multple organ atau sistem dan masih ada
kemungkinan dapat disembuhkan kembali melalui perawatan, pemantauan dan pengobatan
intensif. Selain adanya indikasi medik tersebut, masih ada indikasi sosial yang
memungkinkan seorang pasien dengan kekritisan dapat dirawat di ICU.
KONTRAINDIKASI MASUK ICU
Yang mutlak tidak boleh masuk ICU adalah pasien dengan penyakit yang sangat menular,
misalnya gas gangren. Pada prinsipnya pasien yang masuk ICU tidak boleh ada yang
mempunyai riwayat penyakit menular.
3. Pelayanan Ambulans
Kegiatan pelayanan terpadu didalam satu koordinasi yang memberdayakan ambulans milik
puskesmas, klinik swasta, rumah bersalin, rumah sakit pemerintah maupun swasta, institusi
kesehatan swasta maupun pemerintah (PT. Jasa Marga, Jasa Raharja, Polisi, PMI, Yayasan
dan lain-lain). Dari semua komponen ini akan dikoordinasikan melalui pusat pelayanan yang
disepakati bersama antara pemerintah dengan non pemerintah dalam rangka melaksanakan
mobilisasi ambulans terutama bila terjadi korban massal.
4. Komunikasi
Didalam melaksanakan kegiatan pelayanan kasus gawat darurat sehari-hari memerlukan
sebuah sistem komunikasi dimana sifatnya adalah pembentukan jejaring penyampaian
informasi jejaring koordinasi maupun jejaring pelayanan gawat darurat sehingg seluruh
kegiatan dapat berlangsung dalam satu sistem yang terpadu terkoordinasi menjadi satu
kesatuan kegiatan.
PELAYANAN PADA KEADAAN BENCANA
Pelayanan dalam keadaan bencana yang menyebabkan korban massal memerlukan hal-hal
khusus yang harus dilakukan.
Hal-hal yang perlu dilakukan dan diselenggarakan adalah :
1. Koordinasi dan Komando
Dalam keadaan bencana diperlukan pola kegiatan yang melibatkan unit-unit kegiatan lintas
sektoral yang mana kegiatan ini akan menjadi efektif dan efisien bila berada didalam suatu
komandio dan satu koordinasi yang sudah disepakati oleh semua unsur yang terlibat.
2. Eskalasi dan Mobilisasi Sumber Daya
Kegiatan ini merupakan penanganan bencana yang mengakibatkan korban massal yang
harus melakukan eskalasi atau berbagai peningkatan. Ini dapat dilakukan dengan
melakukan mobilisasi sumber daya manusia, mobilisasi fasilitas dan sarana serta mobilisasi
semua pendukung pelayanan kesehatan bagi korban.
3. Simulasi
Diperlukan ketentuan yang harus ada yaitu prosedur tetap (protap), petunjuk pelaksana
(juklak) dan petunjuk tekhnis (juknis) operasional yang harus dilaksanakan oleh petugas
yang merupakan standar pelayanan. Ketentuan tersebut perlu dikaji melalui simulasi agar
dapat diketahui apakah semua sistem dapat diimplementasikan pada kenyataan dilapangan.
4. Pelaporan, Monitoring dan Evaluasi
Penanganan bencana perlu dilakukan kegiatan pendokumentasian, dalam bentuk pelaporan
baik yang bersifat manual maupun digital dan diakumulasi menjadi satu data yang
digunakan untuk melakukan monitoring maupun evaluasi, apakah yang bersifat
keberhasilan ataupun kegagalan, sehingga kegiatan selanjutnya akan lebih baik.
SISTEM PELAYANAN MEDIK DI RUMAH SAKIT
Harus diperhatian penyediaan saran, prasarana yang harus ada di UGD, ICU,kamar
jenazah, unit-unit pemeriksaan penunjang, seperti radiologi, laboratorium, klinik, farmasi,
gizi, ruang rawat inap, dan lain-lain.
1. HOSPITAL DISASTER PLAN
Rumah sakit harus membuat suatu perencanaan untuk menghadapi kejadian bencana yang
disebut Hospital Disaster Plan baik bersifat yang kejadiannya didalam rumah sakit maupun
eksternal rumah sakit.
2. UNIT GAWAT DARURAT (UGD)
Di dalan UGD harus ada organisasi yang baik dan lengkap baik pembiayaan, SDM yang
terlatih, sarana dengan standar yang baik, sarana medis maupun non medis dan mengikuti
teknologi pelayanan medis. Prinsip utama dalam pelayanan di UGD adalah respone time
baik standar nasional maupun standar internasional.
3. BRIGADE SIAGA BENCANA RS (BSB RS)
Didalam rumah sakit juga harus di bentuk Brigade Siaga Bencana dimana ini merupakan
satuan tugas khusu yang mempunyai tugas memberikan pelayanan medis pada saat-saat
terjadi bencana baik di rumah sakit maupun di luar rumah sakit, dimana sifat kejadian ini
menyebabkan korban massal.
4. HIGH CARE UNIT (HCU)
Suatu bentuk pelayanan rumah sakit bagi pasien yang sudah stabil baik respirasi
hemodinamik maupun tingkat kesadarannya, tetapi masih memerlukan pengobatan
perawatan dan pengawasan secara ketat dan terus menerus, HCU ini harus ada baik di
rumah sakit tipe C dan tipe B.
5. INTENSIVE CARE UNIT (ICU)
Merupakan suatu bentuk pelayanan di rumah sakit multi disiplin. Bersifat khusus untuk
menghindari ancaman kematian dan memerlukan berbagai alat bantu untuk memperbaiki
fungsi vital dan memerlukan sarana tekhnologi yang canggih dan pembiyaan yang cukup
besar.
6. KAMAR JENAZAH
Pelayanan bagi pasien yang sudah meninggal dunia, baik yang meninggal di rumah sakit
maupun luar rumah sakit, dalam keadaan normal sehari-hari ataupun bencana. Pada saat
kejadian massal di perlukan pengorganisasian yang bersifat komplek dimana akan di
lakukan pengidentifikasian korban baik yang dikenal maupun yang tidak dikenal dan
memerluikan SDM yang khusus selain berhubungan dengan hal-hal aspek legalitas.
SISTEM PELAYANAN MEDIK ANTAR RUMAH SAKIT
Berbentuk jejaring rujukan yang dibuat berdasarkan kemampuan rumah sakit dalam
memberikan pelayanan baik dari segi kualitas maupun kuantitas, untuk menerima pasien
dan ini sangat berhubungan dengan kemampuan SDM, ketersediaan fasilitas medis didalam
sistem ambulans.
1. Evakuasi
Bentuk layanan transportasi yang ditujukan dari pos komando, rumah sakit lapangan
menuju ke rumah sakit rujukan atau transportasi antar rumah sakit, baik dikarenakan
adanya bencana yang terjadi di rumah sakit, dimana pasien harus di evakuasi ke rumah
sakit lain. Pelaksanaan evakuasi tetap harus menggunakan sarana yan terstandar
memenuhi kriteria-kriteria yang suah ditentukan berdasarkan standar pelayanan rumah
sakit.
2. Syarat syarat evakuasi
Korban berada dalam keadaan paling stabil dan memungkinkan untuk di evakuasi
0- 4 Menit
4-8 menit
8-10 menit
>10 menit
PENDAHULUAN
Penilaian awal korban cedera kritis akibat cedera multipel merupakan tugas yang
menantang, dan tiap menit bisa berarti hidup atau mati. Sistem Pelayanan Tanggap Darurat
ditujukan untuk mencegah kematian dini (early) karena trauma yang bisa terjadi dalam
beberapa menit hingga beberapa jam sejak cedera (kematian segera karena trauma,
immediate, terjadi saat trauma. Perawatan kritis, intensif, ditujukan untuk menghambat
kematian kemudian, late, karena trauma yang terjadi dalam beberapa hari hingga beberapa
minggu setelah trauma).
Kematian dini diakibatkan gagalnya oksigenasi adekuat pada organ vital (ventilasi tidak
adekuat, gangguan oksigenisasi, gangguan sirkulasi, dan perfusi end-organ tidak memadai),
cedera SSP masif (mengakibatkan ventilasi yang tidak adekuat dan / atau rusaknya pusat
regulasi batang otak), atau keduanya. Cedera penyebab kematian dini mempunyai pola
yang dapat diprediksi (mekanisme cedera, usia, sex, bentuk tubuh, atau kondisi lingkungan).
Tujuan penilaian awal adalah untuk menstabilkan pasien, mengidentifikasi cedera / kelainan
pengancam jiwa dan untuk memulai tindakan sesuai, serta untuk mengatur kecepatan dan
efisiensi tindakan definitif atau transfer kefasilitas sesuai.
Setiap bencana selalu menampilkan bahaya dan kesulitannya masing-masing. Yang akan
dibicarakan berikut ini antara lain adalah petunjuk umum dalam mengelola korban bencana
disamping untuk kegawatan sehari-hari. Mungkin diperlukan modifikasi oleh pemegang
komando bila dianggap diperlukan perubahan.
Bencana adalah setiap keadaan dimana jumlah pasien sakit atau cedera melebihi
kemampuan sistem gawat darurat yang tersedia dalam memberikan perawatan adekuat
secara cepat dalam usaha meminimalkan kecacadan atau kematian (korban massal),
dengan terjadinya gangguan tatanan sosial, sarana, prasarana (Bencana kompleks bila
disertai ancaman keamanan). Bencana mungkin disebabkan oleh ulah manusia atau alam.
Keberhasilan pengelolaan bencana memerlukan perencanaan sistem pelayanan gawat
darurat lokal, regional dan nasional, pemadam kebakaran / rescue, petugas hukum dan
masyarakat. Kesiapan rumah sakit serta kesiapan pelayanan spesialistik harus disertakan
dalam mempersiapkan perencanaan bencana. Secara nasional kegiatan penanggulangan
gawat darurat sehari-hari maupun dalam bencana diatur dalam Sistem Penanggulangan
Gawat Darurat Terpadu (SPGDT S/B) yang harus diterapkan oleh semua fihak termasuk
masyarakat awam, dibagi kedalam subsistem pra rumah sakit, rumah sakit dan antar rumah
sakit.
Proses pengelolaan bencana diatur dalam Sistem Komando Bencana. Kendali biasanya
ditangan Bakornas-PB (Banas) / Satkorlak-PB / Satlak-PB, namun bisa juga pada penegak
hukum seperti pada kasus kriminal / terorisme atau penyanderaan. Kelompok lain bisa
membantu pemegang kendali. Jaringan transportasi dan komunikasi antar instansi harus
sudah dimiliki untuk mendapatkan pengelolaan bencana yang berhasil.
Tingkat respons atas bencana.
Akan menentukan petugas dan sarana apa yang diperlukan ditempat kejadian :
Respons Tingkat I : Bencana terbatas yang dapat dikelola oleh petugas sistim gawat darurat
dan penyelamat lokal tanpa memerlukan bantuan dari luar organisasi.
Respons Tingkat II : Bencana yang melebihi atau sangat membebani petugas sistim gawat
darurat dan penyelamat lokal hingga membutuhkan pendukung sejenis serta koordinasi
antar instansi. Khas dengan banyaknya jumlah korban.
Respons Tingkat III : Bencana yang melebihi kemampuan sumber sistim gawat darurat dan
penyelamat baik lokal atau regional. Korban yang tersebar pada banyak lokasi sering terjadi.
Diperlukan koordinasi luas antar instansi.
TRIASE.
Triase adalah proses khusus memilah pasien berdasar beratnya cedera atau penyakit
(berdasarkan yang paling mungkin akan mengalami perburukan klinis segera) untuk
menentukan prioritas perawatan gawat darurat medik serta prioritas transportasi
(berdasarkan ketersediaan sarana untuk tindakan). Artinya memilih berdasar prioritas atau
penyebab ancaman hidup. Tindakan ini berdasarkan prioritas ABCDE yang merupakan
proses yang sinambung sepanjang pengelolaan gawat darurat medik. Proses triase inisial
harus dilakukan oleh petugas pertama yang tiba / berada ditempat dan tindakan ini harus
dinilai ulang terus menerus karena status triase pasien dapat berubah. Bila kondisi
memburuk atau membaik, lakukan retriase.
Triase harus mencatat tanda vital, perjalanan penyakit pra RS, mekanisme cedera, usia, dan
keadaan yang diketahui atau diduga membawa maut. Temuan yang mengharuskan
peningkatan pelayanan antaranya cedera multipel, usia ekstrim, cedera neurologis berat,
tanda vital tidak stabil, dan kelainan jatung-paru yang diderita sebelumnya.
Survei primer membantu menentukan kasus mana yang harus diutamakan dalam satu
kelompok triase (misal pasien obstruksi jalan nafas dapat perhatian lebih dibanding
amputasi traumatik yang stabil). Di UGD, disaat menilai pasien, saat bersamaan juga
dilakukan tindakan diagnostik, hingga waktu yang diperlukan untuk menilai dan
menstabilkan pasien berkurang.
Di institusi kecil, pra RS, atau bencana, sumber daya dan tenaga tidak memadai hingga
berpengaruh pada sistem triase. Tujuan triase berubah menjadi bagaimana memaksimalkan
jumlah pasien yang bisa diselamatkan sesuai dengan kondisi. Proses ini berakibat pasien
cedera serius harus diabaikan hingga pasien yang kurang kritis distabilkan. Triase dalam
keterbatasan sumber daya sulit dilaksanakan dengan baik.
Saat ini tidak ada standard nasional baku untuk triase. Metode triase yang dianjurkan bisa
secara METTAG (Triage tagging system) atau sistim triase Penuntun Lapangan START
(Simple Triage And Rapid Transportation). Terbatasnya tenaga dan sarana transportasi saat
bencana mengakibatkan kombinasi keduanya lebih layak digunakan.
Tag Triase
Tag (label berwarna dengan form data pasien) yang dipakai oleh petugas triase untuk
mengindentifikasi dan mencatat kondisi dan tindakan medik terhadap korban.
Triase dan pengelompokan berdasar Tagging.
Prioritas Nol (Hitam) : Pasien mati atau cedera fatal yang jelas dan tidak mungkin
diresusitasi.
Prioritas Pertama (Merah) : Pasien cedera berat yang memerlukan penilaian cepat serta
tindakan medik dan transport segera untuk tetap hidup (misal : gagal nafas, cedera torakoabdominal, cedera kepala atau maksilo-fasial berat, shok atau perdarahan berat, luka bakar
berat).
Prioritas Kedua (Kuning) : Pasien memerlukan bantuan, namun dengan cedera yang kurang
berat dan dipastikan tidak akan mengalami ancaman jiwa dalam waktu dekat. Pasien
mungkin mengalami cedera dalam jenis cakupan yang luas (misal : cedera abdomen tanpa
shok, cedera dada tanpa gangguan respirasi, fraktura mayor tanpa shok, cedera kepala
atau tulang belakang leher tidak berat, serta luka bakar ringan).
Prioritas Ketiga (Hijau) : Pasien degan cedera minor yang tidak membutuhkan stabilisasi
segera, memerlukan bantuan pertama sederhana namun memerlukan penilaian ulang
berkala (cedera jaringan lunak, fraktura dan dislokasi ekstremitas, cedera maksilo-fasial
tanpa gangguan jalan nafas, serta gawat darurat psikologis).
Sebagian protokol yang kurang praktis membedakakan prioritas 0 sebagai Prioritas
Keempat (Biru) yaitu kelompok korban dengan cedera atau penyaki kritis dan berpotensi
fatal yang berarti tidak memerlukan tindakan dan transportasi, dan Prioritas Kelima
(Putih)yaitu kelompok yang sudah pasti tewas.
Bila pada Retriase ditemukan perubahan kelas, ganti tag / label yang sesuai dan pindahkan
kekelompok sesuai.
Triase Sistim METTAG.
Pendekatan yang dianjurkan untuk memprioritasikan tindakan atas korban. Resusitasi
ditempat.
Triase Sistem Penuntun Lapangan START.
Berupa penilaian pasien 60 detik dengan mengamati ventilasi, perfusi, dan status mental
(RPM : R= status Respirasi ; P = status Perfusi ; M = status Mental) untuk memastikan
kelompok korban (lazimnya juga dengan tagging) yang memerlukan transport segera atau
tidak, atau yang tidak mungkin diselamatkan atau mati. Ini memungkinkan penolong secara
cepat mengidentifikasikan korban yang dengan risiko besar akan kematian segera atau
apakah tidak memerlukan transport segera. Resusitasi diambulans.
Triase Sistem Kombinasi METTAG dan START.
Sistim METTAG atau sistim tagging dengan kode warna yang sejenis bisa digunakan
sebagai bagian dari Penuntun Lapangan START. Resusitasi di ambulans atau di Area
Tindakan Utama sesuai keadaan.
PENILAIAN DITEMPAT DAN PRIORITAS TRIASE
Bila jumlah korban serta parahnya cedera tidak melebihi kemampuan pusat pelayanan,
pasien dengan masalah mengancam jiwa dan cedera sistem berganda ditindak lebih dulu.
Bila jumlah korban serta parahnya cedera melebihi kemampuan *) dst dibawah algoritma
Algoritma Sistem START :
Hitam = Deceased (Tewas) ; Merah = Immediate (Segera), Kuning = Delayed (Tunda) ; Hijau
= Minor.
Semua korban diluar algoritma diatas : Kuning.
Disini tidak ada resusitasi dan C-spine control.
Satu pasien maks. 60 detik. Segera pindah kepasien berikut setelah tagging.
Pada sistem ini tag tidak diisi, kecuali jam dan tanggal. Diisi petugas berikutnya.
*) tenaga dan fasilitas pusat pelayanan, pasien dengan peluang hidup terbesar dengan
paling sedikit manghabiskan waktu, peralatan dan persediaan, ditindak lebih dulu. Ketua Tim
Medik mengatur Sub Tim Triase dari Tim Tanggap Pertama (First Responders) untuk secara
cepat menilai dan men tag korban. Setelah pemilahan selesai, Tim Tanggap Pertama
melakukan tindakan sesuai kode pada tag. (Umumnya tim tidak mempunyai tugas hanya
sebagai petugas triase, namun juga melakukan tindakan pasca triase setelah triase selesai).
1. Pertahankan keberadaan darah universal dan cairan.
2. Tim tanggap pertama harus menilai lingkungan atas kemungkinan bahaya, keamanan
dan jumlah korban dan kebutuhan untuk menentukan tingkat respons yang memadai (Rapid
Health Assessment / RHA).
3. Beritahukan koordinator propinsi (Kadinkes Propinsi) untuk mengumumkan bencana serta
mengirim kebutuhan dan dukungan antar instansi sesuai yang ditentukan oleh beratnya
kejadian (dari kesimpulan RHA).
4. Kenali dan tunjuk pada posisi berikut bila petugas yang mampu tersedia :
- Petugas Komando Bencana.
- Petugas Komunikasi.
- Petugas Ekstrikasi/Bahaya.
- Petugas Triase Primer.
- Petugas Triase Sekunder.
- Petugas Perawatan.
- Petugas Angkut atau Transportasi.
5. Kenali dan tunjuk area sektor bencana :
- Sektor Komando / Komunikasi Bencana.
- Sektor Pendukung (Kebutuhan dan Tenaga).
- Sektor Bencana.
- Sektor Ekstrikasi / Bahaya.
- Sektor Triase.
- Sektor Tindakan Primer.
- Sektor Tindakan Sekunder.
- Sektor Transportasi.
6. Rencana Pasca Kejadian Bencana :
7. Kritik Pasca Musibah.
8. CISD (Critical Insident Stress Debriefing).
Sektor Tindakan Sekunder bisa berupa Sektor Tindakan Utama dimana korban kelompok
merah dan kuning yang menunggu transport dikumpulkan untuk lebih mengefisienkan
persedian dan tenaga medis dalam resusitasi-stabilisasi.
TINDAKAN DAN EVAKUASI MEDIK
Tim Medik dari Tim Tanggap Pertama (bisa saja petugas yang selesai melakukan triase)
mulai melakukan stabilisasi dan tindakan bagi korban berdasar prioritas triase, dan
kemudian mengevakuasi mereka ke Area Tindakan Utama sesuai kode prioritas. Kode
merah dipindahkan ke Area Tindakan Utama terlebih dahulu.
TRANSPORTASI KORBAN
Koodinator Transportasi mengatur kedatangan dan keberangkatan serta transportasi yang
sesuai. Koordinator Transportasi bekerjasama dengan Koordinator Medik menentukan
rumah sakit tujuan, agar pasien trauma serius sampai kerumah sakit yang sesuai dalam
periode emas hingga tindakan definitif dilaksanakan pada saatnya. Ingat untuk tidak
membebani RS rujukan melebihi kemampuannya. Cegah pasien yang kurang serius dikirim
ke RS utama. (Jangan pindahkan bencana ke RS).
PERIMETER
Perimeter Terluar.
Mengontrol kegiatan keluar masuk lokasi. Petugas keamanan mengatur perimeter sekitar
lokasi untuk mencegah masyarakat dan kendaraan masuk kedaerah berbahaya. Perimeter
seluas mungkin untuk mencegah yang tidak berkepentingan masuk dan memudahkan
kendaraan gawat darurat masuk dan keluar.
Jalur untuk Transport Korban
Petugas keamanan bersama petugas medis menetapkan perimeter sekitar lokasi bencana
yang disebut Zona Panas. Ditentukan jalur yang dinyatakan aman untuk memindahkan
korban ke perimeter kedua atau zona dimana berada Area Tindakan Utama. Tidak
seorangpun diizinkan melewati perimeter Zona Panas untuk mencegah salah menempatkan
atau memindahkan pasien secara tidak aman tanpa izin. Faktor lain yang mempengaruhi
kemantapan Zona Panas antaranya lontaran material, api, jalur listrik, bangunan atau
kendaraan yang tidak stabil atau berbahaya.
Keamanan.
Mengamankan penolong dan korban. Petugas keamanan mengatur semua kegiatan dalam
keadaan aman bagi petugas rescue, pemadaman api, evakuasi, bahan berbahaya dll. Bila
petugas keamanan melihat keadaan berpotensi bahaya yang bisa membunuh penolong
atau korban, ia punya wewenang menghentikan atau merubah operasi untuk mecegah risiko
lebih lanjut.
Semua anggota Tim Tanggap Pertama dapat bekerja bersama secara cepat dan efektif
dibawah satu sistem komando yang digunakan dan dimengerti, untuk menyelamatkan
hidup, untuk meminimalkan risiko cedera serta kerusakan.
PENILAIAN AWAL.
Penilaian awal mencakup protokol persiapan, triase, survei primer, resusitasi-stabilisasi,
survei sekunder dan tindakan definitif atau transfer ke RS sesuai. Diagnostik absolut tidak
dibutuhkan untuk menindak keadaan klinis kritis yang diketakui pada awal proses. Bila
tenaga terbatas jangan lakukan urutan langkah-langkah survei primer. Kondisi pengancam
jiwa diutamakan.
Survei Primer.
Langkah-langkahnya sebagai ABCDE (airway and C-spine control, breathing, circulation and
hemorrhage control, disability, exposure/environment).
Jalan nafas merupakan prioritas pertama. Pastikan udara menuju paru-paru tidak
terhambat. Temuan kritis seperti obstruksi karena cedera langsung, edema, benda asing
dan akibat penurunan kesadaran. Tindakan bisa hanya membersihkan jalan nafas hingga
intubasi atau krikotiroidotomi atau trakheostomi.
Nilai pernafasan atas kemampuan pasien akan ventilasi dan oksigenasi. Temuan kritis bisa
tiadanya ventilasi spontan, tiadanya atau asimetriknya bunyi nafas, dispnea, perkusi dada
yang hipperresonans atau pekak, dan tampaknya instabilitas dinding dada atau adanya
defek yang mengganggu pernafasan. Tindakan bisa mulai pemberian oksigen hingga
pemasangan torakostomi pipa dan ventilasi mekanik.
Nilai sirkulasi dengan mencari hipovolemia, tamponade kardiak, sumber perdarahan
eksternal. Lihat vena leher apakah terbendung atau kolaps, apakah bunyi jantung terdengar,
pastikan sumber perdarahan eksternal sudah diatasi. Tindakan pertama atas hipovolemia
adalah memberikan RL secara cepat melalui 2 kateter IV besar secara perifer di ekstremitas
atas. Kontrol perdarahan eksternal dengan penekanan langsung atau pembedahan, dan
tindakan bedah lain sesuai indikasi.
Tetapkan status mental pasien dengan GCS dan lakukan pemeriksaan motorik. Tentukan
adakah cedera kepala atau kord spinal serius. Periksa ukuran pupil, reaksi terhadap cahaya,
kesimetrisannya. Cedera spinal bisa diperiksa dengan mengamati gerak ekstremitas
spontan dan usaha bernafas spontan. Pupil yang tidak simetris dengan refleks cahaya
terganggu atau hilang serta adanya hemiparesis memerlukan tindakan atas herniasi otak
dan hipertensi intrakranial yang memerlukan konsultasi bedah saraf segera.
Tidak adanya gangguan kesadaran, adanya paraplegia atau kuadriplegia menunjukkan
cedera kord spinal hingga memerlukan kewaspadaan spinal dan pemberian
metilprednisolon bila masih 8 jam sejak cedera (kontroversial). Bila usaha inspirasi
terganggu atau diduga lesi tinggi kord leher, lakukan intubasi endotrakheal.
Tahap akhir survei primer adalah eksposur pasien dan mengontrol lingkungan segera. Buka
seluruh pakaian untuk pemeriksaan lengkap. Pada saat yang sama mulai tindakan
pencegahan hipotermia yang iatrogenik biasa terjadi diruang ber AC, dengan memberikan
infus hangat, selimut, lampu pemanas, bila perlu selimut dengan pemanas.
Prosedur lain adalah tindakan monitoring dan diagnostik yang dilakukan bersama survei
primer. Pasang lead ECG dan monitor ventilator, segera pasang oksimeter denyut. Monitor
memberi data penuntun resusitasi. Setelah jalan nafas aman, pasang pipa nasogastrik
untuk dekompresi lambung serta mengurangi kemungkinan aspirasi cairan lambung. Katater
Foley kontraindikasi bila urethra cedera (darah pada meatus, ekimosis skrotum / labia major,
prostat terdorong keatas). Lakukan urethrogram untuk menyingkirkan cedera urethral
sebelum kateterisasi.
RESUSITASI DAN PENILAIAN KOMPREHENSIF
Fase Resusitasi.
Sepanjang survei primer, saat menegakkan diagnosis dan melakukan intervensi, lanjutkan
sampai kondisi pasien stabil, tindakan diagnosis sudah lengkap, dan prosedur resusitatif
serta tindakan bedah sudah selesai. Usaha ini termasuk kedalamnya monitoring tanda vital,
merawat jalan nafas serta bantuan pernafasan dan oksigenasi bila perlu, serta memberikan
resusitasi cairan atau produk darah.
Pasien dengan cedera multipel perlu beberapa liter kristaloid dalam 24 jam untuk
mempertahankan volume intravaskuler, perfusi jaringan dan organ vital, serta keluaran urin.
Berikan darah bila hipovolemia tidak terkontrol oleh cairan. Perdarahan yang tidak terkontrol
dengan penekanan dan pemberian produk darah, operasi. Titik capai resusitasi adalah
tanda vital normal, tidak ada lagi kehilangan darah, keluaran urin normal 0,5-1 cc/kg/jam,
dan tidak ada bukti disfungsi end-organ. Parameter (kadar laktat darah, defisit basa pada
gas darah arteri) bisa membantu.
Survei Sekunder.
Formalnya dimulai setelah melengkapi survei primer dan setelah memulai fase resusitasi.
Pada saat ini kenali semua cedera dengan memeriksa dari kepala hingga jari kaki. Nilai lagi
tanda vital, lakukan survei primer ulangan secara cepat untuk menilai respons atas
resusitasi dan untuk mengetahui perburukan. Selanjutnya cari riwayat, termasuk laporan
petugas pra RS, keluarga, atau korban lain.
Bila pasien sadar, kumpulkan data penting termasuk masalah medis sebelumnya, alergi dan
medikasi sebelumnya, status immunisasi tetanus, saat makan terakhir, kejadian sekitar
kecelakaan. Data ini membantu mengarahkan survei sekunder mengetahui mekanisme
cedera, kemungkinan luka bakar atau cedera karena suhu dingin (cold injury), dan kondisi
fisiologis pasien secara umum.
Pemeriksaan Fisik Berurutan.
Diktum jari atau pipa dalam setiap lubang mengarahkan pemeriksaan. Periksa setiap
bagian tubuh atas adanya cedera, instabilitas tulang, dan nyeri pada palpasi. Periksa
lengkap dari kepala hingga jari kaki termasuk status neurologisnya.
PEMERIKSAAN PENCITRAAN DAN LABORATORIUM.
Pemeriksaan radiologis memberikan data diagnostik penting yang menuntun penilaian awal.
Saat serta urutan pemeriksaan adalah penting namun tidak boleh mengganggu survei
primer dan resusitasi. Pastikan hemodinamik cukup stabil saat membawa pasien keruang
radiologi.
Pemeriksaan Laboratorium saat penilaian awal.
Paling penting adalah jenis dan x-match darah yang harus selesai dalam 20 menit. Gas
darah arterial juga penting namun kegunaannya dalam pemeriksaan serial digantikan oleh
oksimeter denyut. Pemeriksaan Hb dan Ht berguna saat kedatangan, dengan pengertian
bahwa dalam perdarahan akut, turunnya Ht mungkin tidak tampak hingga mobilisasi otogen
cairan ekstravaskuler atau pemberian cairan resusitasi IV dimulai.
Urinalisis dipstick untuk menyingkirkan hematuria tersembunyi. Skrining urin untuk
penyalahguna obat dan alkohol, serta glukosa, untuk mengetahui penyebab penurunan
kesadaran yang dapat diperbaiki. Pada kebanyakan trauma, elektrolit serum, parameter
koagulasi, hitung jenis darah, dan pemeriksaan laboratorium umum lainnya kurang berguna
saat 1-2 jam pertama dibanding setelah stabilisasi dan resusitasi.
PENUTUP.
Indonesia adalah super market bencana. Semua petugas medis bisa terlibat dalam
pengelolaan bencana. Semua petugas wajib melaksanakan Sistim Komando Bencana dan
berpegang pada SPGDT-S/B pada semua keadaan gawat darurat medis baik dalam
keadaan bencana atau sehari-hari. Semua petugas harus waspada dan memiliki
pengetahuan sempurna dalam peran khusus dan pertanggung-jawabannya dalam usaha
penyelamatan pasien.
Karena banyak keadaan bencana yang kompleks, dianjurkan bahwa semua petugas harus
berperan-serta dan menerima pelatihan tambahan dalam pengelolaan bencana agar lebih
terampil dan mampu saat bencana sebenarnya.
RUJUKAN.
1. Seri PPGD. Penanggulangan Penderita Gawat Darurat / General Emergency Life Support
(GELS). Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT). Cetakan Ketiga.
Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Departemen Kesehatan R.I. 2006.
2. Penanggulangan Kegawatdaruratan sehari-hari & bencana. Departemen Kesehatan R.I.
Jakarta : Departemen Kesehatan, 2006.
3. Tanggap Darurat Bencana (Safe Community). Departemen Kesehatan R.I. Jakarta :
Departemen Kesehatan, 2006.
4. Prosedur Tetap Pelayanan Kesehatan Penanggulangan Bencana dan Penaanganan
Pengungsi. Departemen Kesehatan R.I. Pusat Penanggulangan Masalah Kesehatan. Tahun
2002.
5. Advanced Trauma Life Support. Course for Physicians 6th. edition. American College of
Surgeons, 55 East Erie Street, Chicago, IL 60611-2797.
6. Multiple Casualty Insidents. Available at http://www.vgernet.net/bkand/state/multiple.html.
Kehalaman utama.
tindakan definitif jarang dilakukan di level yang rendah dan diupayakan untuk segera
dievakuasi.
b. Pengorganisasi sumber-sumber daya medis di dalam daerah Misi PBB ditentukan oleh
kemampuan terapi dan evakuasi masing - masing level. Harus diantisipasi juga akan adanya
kesulitan atau keterlambatan dalam evakuasi, level ini harus meningkatkan kemampuan
terapinya. Holding Policy (juga dikenal sebagai Evacuation Policy / kebijakan evakuasi) di
dalam Misi adalah sebagai keseimbangan antara kemampuan terapi setiap level dengan
ketersediaan sarana evakuasi. Hal ini dicapai dengan cara menentukan waktu maksimum
seorang pasien dapat dirawat pada masing masing level.
Kebijakan evakuasi ini ditentukan oleh:
1. Keterbatasan evakuasi disebabkan oleh tidak tersedianya sarana evakuasi,
keterbatasan operasional, cuaca atau topografi.
2. Kebutuhan akan sumber-sumber daya medis, misal ketika diperkirakan ada banyak
pasien maka waktu evakuasi diperpendek.
3. Ketersediaan sarana medis, misal sedikitnya fasilitas maka waktu evakuasi juga
relatif singkat.
2. Fitness for Evacuation. Kondisi klinis pasien adalah ukuran utama dalam
menentukan waktu dan cara evakuasi antar level perawatan.
3. Evacuation Time to Medical Facillity. Evakuasi harus dilakukan dalam satu waktu
yang tepat, yang memungkinkan tindakan life or limb-saving secepat mungkin.
Direkomendasikan bahwa evakuasi korban ke fasilitas level 2 atau 3 harus tidak
lebih dari 4 jam dari waktu kejadian.
4. Evakuasi udara. Meskipun tidak selalu mungkin, idealnya evakuasi medis dilakukan
dengan helikopter khusus, tindakan awal oleh Forward Medical Team yang
dilengkapi dengan peralatan dan suplai life-support. Jika tidak ada level 2 dan atau 3
di dalam daerah Misi, maka helikopter atau pesawat terbang sayap tetap harus
disediakan untuk Medevac ke berbagai fasilitas medis.
c. Evakuasi Medis (Medevac)
Medevac akan dilaksanakan jika fasilitas medis setempat tidak mampu memberikan terapi
yang diperlukan. Kebijakan dan tata cara Medevac adalah sebagai berikut:
1. Staf Internasional, Personil Militer dan sipil dapat dievakuasi dengan biaya dari
Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk memastikan perawatan dan tindakan lebih lanjut.
Staf lokal, keluarga dan anak-anak mereka dapat dievakuasi dalam situasi darurat
atau jika kondisi mengancam nyawa.
2. Dalam situasi darurat, Chief of the Misin atau Force Commander dapat secara
langsung menyetujui evakuasi medis, setelah konsultasi dengan FMedO dan Chief
Administration Officer (CAO). Tidak diperlukan persetujuan lebih dulu dari Markas
Besar PBB di dalam daerah Misi .
3. Evakuasi dapat melalui darat maupun udara dan menuju ke fasilitas medis terdekat
dengan selalu memperhatikan kondisi penyakit atau luka-luka dan jenis terapi yang
diperlukan .Kendaraan untuk transportasi harus diberi tanda dengan jelas yaitu
Palang Merah atau Bulan Sabit Merah.
4. Pengobatan sebelum dan selama evakuasi penting untuk didokumentasikan dengan
baik dan disertakan bersama pasien ke fasilitas medis selanjutnya. Sebaiknya pasien
didampingi oleh dokter atau perawat yang merawat pasien tersebut.
5. Untuk persalinan, macam-macam penyakit psikiatris yang memerlukan
penyembuhan lebih lama, sebaiknya dievakuasi ke tempat untuk cuti atau repatriasi
kepada negara asal.
6. Jika suatu negara lebih menyukai evakuasi personilnya sendiri yang bertentangan
dengan pendapat petugas medis yang berwenang atau FMedO, maka evakuasi ini
menjadi tanggung jawab negara dan biaya dari negara yang bersangkutan.
7. Pada kasus bukan gawat darurat, harus ada persetujuan Markas Besar PBB terlebih
dahulu sebelum dilakukan Medevac. Pada kasus gawat darurat, hal ini tidak
diperlukan, walaupun demikian Markas PBB diberitahukan segera setelah Medevac
8. Setelah mempunyai sertifikat kesehatan dari dokter pemeriksa, salinan sertifikat
kesehatan harus disampaikan kepada direktur, MSD, yang selanjutnya akan
menyetujui atau menolak kembali ke tempat tugas. Pada kasus penyakit atau luka-
luka serius, pasien tidak kembali ke tempat tugas dengan biaya PBB. Hal ini tidak
berlaku pada kasus bukan gawat darurat.
d. Repatriasi Medis
Repatriasi Medis apakah evakuasi pasien atau korban kembali ke negara asal atau
Negara orang tuanya. Kebijakan dan tata cara mengenai repatriasi adalah sebagai berikut:
1. Repatriasi dengan alasan medis berlaku bagi semua personil yang tidak mampu lagi
kembali bertugas di darah misi, atau yang memerlukan penanganan yang tidak
tersedia di dalam daerah Misi. Secara umum, 30 hari adalah waktu yang ditetapkan
dalam Holding Policy.
2. Repatriasi Medis adalah tanggung jawab FMedO, dengan berkoordinasi dengan
Komandan Kontingen nasional serta Chief Administration Officer (CAO). Pada pasien
yang direpatriasi maka perawatan medik lebih lanjut adalah satu tanggung jawab
Negara yang bersangkutan.
3. Personil Militer yang datang ke daerah Misi dalam kondisi tidak layak untuk bertugas
akan dipulangkan segera dengan biaya dari Negara pengirim pasukan. Jika
repatriasi diperlukan pada kondisi medis kronis yang didiagnosa atau sedang dalam
terapi pada saat menjalankan tugas dalam misi, maka biaya repatriasi sudah
disiapkan untuk Negara pengirim pasien.
4. Wanita hamil direpatriasi pada akhir bulan kelima kehamilan.
5. Semua personil dengan gejala klinis atau tanda tanda AIDS harus segera
direpatriasi.
6. Otorisasi repatriasi harus diperoleh dari direktur, Medical Services Division / Divisi
Layanan Medis. Rekomendasi tertulis harus disampaikan oleh FMedO atau dokter
yang berwenang, tanpa menghiraukan apakah biaya harus ditanggung oleh PBB,
pemerintah atau pribadi yang bersangkutan. Jika sudah disetujui, maka CAO akan
memproses untuk menyusun repatriasi oleh Misi atau kontingen dengan biaya yang
paling ekonomis.
7. Jika mungkin, rotasi reguler atau penerbangan rutin dapat digunakan untuk
repatriasi. Pembayaran uang saku perjalanan dan biaya terminal dapat disetujui jika
kasusnya menjadi tanggungan PBB, dan uang saku bagasi adalah sesuai dengan
rotasi personil. Jika memerlukan pendamping, maka ini dibatasi tanpa uang saku.
8. Untuk kasus yang memerlukan repatriasi medis segera, pesawat terbang militer atau
sipil dapat disewa. PBB sejak 1989 bekerja sama dengan pemerintah Swiss dalam
layanan ambulance udara untuk operasi operasi pemeliharaan perdamaian.
Layanan ini disediakan oleh La Garde Aerienne Suisse de Sauvetage (REGA).
REGA juga menyediakan personnel dan perlengkapan medis selama evakuasi.
9. Manajemen korban massal dan bencana
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Di Rumah Sakit banyak terjadi pemandangan yang sering kita lihat seperti
pengangkatan pasien yang darurat atau kiritis, karena itu pengangkatan penderita
membutuhkan cara-cara tersendiri. Setiap hari banyak penderita diangkat dan dipindahkan
dan banyak pula petugas paramedik/penolong yang cedera karena salah mengangkat.
Keadaan dan cuaca yang menyertai penderita beraneka ragam dan tidak ada satu
rumus pasti bagaimana mengangkat dan memindahkan penderita saat mengangkat dan
memindahkan penderita.
Tranportasi bukanlah sekedar mengantar pasien ke rumah sakit. Serangkaian tugas
harus dilakukan sejak pasien dimasukkan ke dalam ambulans hingga diambil alih oleh pihak
rumah sakit.
Pasien yang menjalani rawat inap di rumah sakit, pasti akan mengalamai proses
pemindahan dari ruang perawatan ke ruang lain seperti untuk keperluan medical check up,
ruang operasi, dll. Hal ini akan mengakibatkan resiko low back point baik bagi pasien
maupun bagi perawat. Bila pasien akan melakukan operasi biasanya akan dipindahkan ke
ruang transit sebelum masuk ke ruang operasi.
1.2
RUMUSAN MASALAH
TUJUAN
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Transportasi Pasien
Transportasi Pasien adalah sarana yang digunakan untuk mengangkut penderita/korban
dari lokasi bencana ke sarana kesehatan yang memadai dengan aman tanpa memperberat
keadaan penderita ke sarana kesehatan yang memadai.
Seperti contohnya alat transportasi yang digunakan untuk memindahkan korban dari
lokasi bencana ke RS atau dari RS yang satu ke RS yang lainnya. Pada setiap alat
transportasi minimal terdiri dari 2 orang para medik dan 1 pengemudi (bila memungkinkan
ada 1 orang dokter). Prosedur untuk transport pasien antaralain yaitu :
Prosedur Transport Pasien
Pastikan pasien terikat dengan baik dengan tandu. Tali ikat keamanan digunakan ketika
pasien siap untuk dipindahkan ke ambulans, sesuaikan kekencangan tali pengikat sehingga
dapat menahan pasien dengan aman.
11.
Tenangkan pasien.
2.2 Teknik Pemindahan Pada Pasien
Teknik pemindahan pada klien termasuk dalam transport pasien, seperti pemindahan
pasien dari satu tempat ke tempat lain, baik menggunakan alat transport seperti ambulance,
dan branker yang berguna sebagai pengangkut pasien gawat darurat.
memindahkan klien dari tempat tidur ke branker. Brankar dan tempat tidur ditempatkan
berdampingan sehingga klien dapat dipindahkan dengan cepat dan mudah dengan
menggunakan kain pengangkat. Pemindahan pada klien membutuhkan tiga orang
pengangkat
2. Pemindahan klien dari tempat tidur ke kursi
Perawat menjelaskan prosedur terlebih dahulu pada klien sebelum pemindahan. Kursi
ditempatkan dekat dengan tempat tidur dengan punggung kursi sejajar dengan bagian
kepala tempat tidur. Emindahan yang aman adalah prioritas pertama, ketika memindahkan
klien dari tempat tidur ke kursi roda perawat harus menggunakan mekanika tubuh yang
tepat.
3. Pemindahan pasien ke posisi lateral atau prone di tempat tidur
a.
b.
Letakan tangan pasien yang dekat dengan perawat ke dada dan tangan yang jauh ari
perawat, sedikit kedapan badan pasien
c.
Letakan kaki pasien yang terjauh dengan perawat menyilang di atas kaki yang terdekat
d.
e.
f.
g.
Kenali kemampuan diri dan kemampuan pasangan kita. Nilai beban yang akan
2.
diangkat secara bersama dan bila merasa tidak mampu jangan dipaksakan
3.
Ke-dua kaki berjarak sebahu kita, satu kaki sedikit didepan kaki sedikit sebelahnya
4.
5.
Tubuh sedekat mungkin ke beban yang harus diangkat. Bila terpaksa jarak maksimal
tangan dengan tubuh kita adalah 50 cm
7.
8.
Informasi bahwa area tempat pasien akan dipindahkan telah siap untuk menerima
pasien tersebut serta membuat rencana terapi
Dokter yang bertugas harus menemani pasien dan komunikasi antar dokter dan
perawat juga harus terjalin mengenai situasi medis pasien
Tuliskan dalam rekam medis kejadian yang berlangsung selama transport dan
evaluasi kondisi pasien
2. Profesional beserta dengan pasien: 2 profesional (dokter atau perawat) harus menemani
pasien dalam kondisi serius.
Salah satu profesional adalah perawat yang bertugas, dengan pengalaman CPRatau
khusus terlatih pada transport pasien kondisi kritis
Profesioanl
kedua
dapat
dokter
atau
perawat.
Seorang
dokter
harus
Transport monitor
Cairan intravena dan infus obat dengan syringe atau pompa infus dengan baterai
Monitoring intermiten: Tekanan darah, nadi , respiratory rate (level 1 pada pasien
pediatri, Level 2 pada pasien lain).
administrasi.
Tujuan Rujukan
Tujuan system rujukan adalah agar pasien mendapatkan pertolongan pada fasilitas
pelayanan keseshatan yang lebih mampu sehinngga jiwanya dapat terselamtkan, dengan
demikian dapat meningkatkan AKI dan AKB
Cara Merujuk
Langkah-langkah rujukan adalah :
1.
a)
Pada tingkat kader atau dukun bayi terlatih ditemukan penderita yang tidak dapat
ditangani sendiri oleh keluarga atau kader/dukun bayi, maka segera dirujuk ke fasilitas
pelayanan kesehatan yang terdekat,oleh karena itu mereka belum tentu dapat menerapkan
ke tingkat kegawatdaruratan.
b)
menentukan tingkat kegawatdaruratan kasus yang ditemui, sesuai dengan wewenang dan
tanggung jawabnya, mereka harus menentukan kasus manayang boleh ditangani sendiri
dan kasus mana yang harus dirujuk.
2.
Meminta petunjuk dan cara penangan untuk menolong penderita bila penderita tidak
mungkin dikirim.
5.
6.
Pengiriman Penderita
7.
b)
Harus kunjungan rumah, penderita yang memerlukan tindakan lanjut tapi tidak
melapor
Jalur Rujukan
Alur rujukan kasus kegawat daruratan :
1. Dari Kader
Dapat langsung merujuk ke :
d.
a.
Puskesmas pembantu
b.
c.
Puskesmas pembantu
b)
BAB III
PENUTUP
3.1
Simpulan
Transportasi Pasien adalah sarana yang digunakan untuk mengangkut penderita/korban
dari lokasi bencana ke sarana kesehatan yang memadai dengan aman tanpa memperberat
keadaan penderita ke sarana kesehatan yang memadai.
Transportasi pasien dapat dibedakan menjadi dua, transport pasien untuk gawat darurat
dan kritis.
3.2
Saran
Transport pasien sangat penting bagi prioritas keselamatan pasien menuju rumah sakit
atau sarana yang lebih memadai. Oleh karena itu transport pasien berperan penting dalam
mengutamakan keselamatan pasien.
REFERENSI
Perry & Potter . 2006 . Fundamental Keperawatan Volume II . Indonesia : Penerbit
Buku Kedokteran EGC
Suparmi Yulia, dkk . 2008 . Panduan Praktik Keperawatan . Indonesia : PT Citra Aji
Parama
Perry, Petterson, Potter . 2005 . Keterampilan Prosedur Dasar . Indonesia : Penerbit
Buku Kedokteran EGC
John A. Boswick, Ir., MD . Perawatan Gawat Darurat . Indonesia : Penerbit Buku
Kedokteran EGC
Oleh:
Triyo
Rachmadi,S.Kep.
A. Pendahuluan
Manusia bukan kambing, karena itu pengangkatan penderita membutuhkan caracara tersendiri. Setiap penderita diangkat dan dipindahkan, dan banyak pula petugas
kesehatan yang melakukan pemindahan penderita menderita cedera karena salah
mengangkat, mungkin karena tidak tahu, tetapi mungkin pula karena sikap acuh.
Keadaan cuaca yang menyertai penderita beraneka ragam, dan tidak ada satu rumus
pasti bagaimana mengangkat dan memmindahkan penderita. Tulisan ini bertujuan
memberikan garis-garis besar yang harus diperhatikan pada saat mengangkat dan
memindahkan penderita.
B. Mekanika tubuh pada saat pengangkatan
Tulang yang paling kuat ditubuh manusia adalah tulang panjang, dan yang paling
kuat diantaranya adalah tulang paha (femur). Otot-otot yang yang beraksi pada tulang
tulang tersebut juga paling kuat.
Dengan demikian maka pengangkatan harus dilakukan dengan tenaga terutama pada
paha, dan bukan dengan membungkuk.
Angkatlah dengan paha, bukan dengan punggung
Diantara kelompok otot, maka kelompok fleksor lebih kuat dibandingkan kelompok
ekstensor. Dengan demikian pada saat mengangkat tandu, tangan harus menghadap
ke depan, dan bukan kebelakang. Semakin dekat akan kesumbu tubuh, semakin ringan
pengangkatan. Dengan demikian maka usahakan agar tubuh sedekat mungkin kebeban
(tandu dan sebagainya) yang akan diangkat. Kaki menjadi tumpuan utama saat
mengangkat. Jarak antara kedua kaki yang paling baik saat mengangkat adalah
berjarak sebahu kita. Kenali kemampuan diri sendiri bila merasa tidak mampu, mintalah
pertolongan petugas lain, dan jangan memaksakan mengangkat karena akan
membahayakan penderita, pasangan dan kita sendiri.
C. Panduan Dalam Pengangkatan Penderita
1. Kenali kemampuan diri dan kemampuan pasangan kita. Nilailah beban yang akan
diangkat secara bersama, dan bila merasa tidak mampu, jangan paksakan, selalu
komunikasi secara teratur dengan pasangan kita
2. Kedua kaki berjarak sebahu kita, satu kaki sedikit didepan kaki sebelahnya
3. Berjongkok, jangan membungkuk, saat mengangkat, punggung harus selalu dijaga
lurus
4. Tangan yang memegang menghadap kedepan. Jarak antara kedua tangan yang
memegang (misalnya tandu) minimal 30 cm
5. Tubuh sedekat mungkin kebeban yang harus diangkat. Bila terpaksa, jarak maksimal
tangan kita ketubuh kita adalah 50 cm
6. Tangan memutar tubuh saaat mengangkat
7. Panduan diatas juga berlaku saat menarik atau mendorong penderita
E. Panduan Untuk Memindahkan Penderita
Pemindahan penderita dapat secara :
a. Emergensi
b. Non emergensi
Pemindahan penderita dalam keadaan emergensi contohnya adalah :
1. Ada api, atau bahaya api atau ledakan
2. Ketidak mampuan menjaga penderita terhadap bahaya lain pada TKP (benda jatuh
dan sebagainya)
3. Usaha mencapai penderita lain yang urgen
4. Ingin RJP penderita, yang tidak mungkin dilakukan ditempat tersebut
Apapun cara pemindahan penderita, selalu ingat kemungkinan pada patah tulang leher
(vertikal) bila penderita trauma.
1. Pemindahan emergensi
a. Tarikan baju
Kedua tangan penderita harus diikat untuk mencegah naik kearah kepala waktu
baju ditarik. Bila tidak sempat, masukkan kedua tangan dalam celananya sendiri.
b. Tarikan selimut
Penderita ditaruh dalam selimut, yang kemudian ditarik
c. Tarikan lengan
Dari belakang penderita, kedua lengan paramedik masuk dibawah ketiak
penderita, memegang
d. Ekstrikasi cepat
Dilakukan pada penderita dalam kendaraan yang harus dikeluarkan secara
cepat.
2. Pemindahan Non-emergensi
Dalam keadaan ini dapat dilakukan urutan pekerjaan normal, seperti kontrol TKP,
survai lingkungan, stabilisasi kendaraan dan sebagainya.
a. Pengangkatan dan pemindahan secara langsung
Oleh 2 atau 3 petugas, harus diingat bahwa cara ini tidak boleh dilakukan bila
ada kemungkinan fraktur servikal. Prinsip pengangkatan tetap harus diindahkan.
karena kemungkinan akan melengkung (alat ini mahal harganya, karena terbuat dari
logam khusus).
3. Long spine board
Sebenarnya bukan alat pemindahan, tetapi alat fiksasi. Sekali penderita di fiksasi
atas LSB ini. Tidaka akan diturunkan lagi, sampai terbukti tidak ada fraktur vertikal,
karena itu harus terbuat dari bahan yang tidak akan mengganggu pemeriksaan
ronsen.
Pemindahan penderita ke atas LSB memerlukan tehnik khusus yaitu memakai log
roll setelah penderita diatas LSB selalu dilakukan Strapping, lalu LSB diletakkan
diatas stretcher.
4. Short spine board dan KED (Kendrick extrication device)
Lebih merupakan alat ekstrikasi. Setelah selesai ekstriksi, tetap penderita harus
diletakkan pada alat pemindah yang lain.
AMBULANCE
Ambulans Gawat Darurat yang memiliki peralatan memadai, petugas yang professional dan
kecepatan dalam merespons setiap keadaan darurat. Selain itu Evakuasi pasien kritis antar
rumah sakit baik didalam maupun antar kota juga tidak lepas dari kebutuhan akan
pelayanan Ambulans Gawat Darurat.
Dalam rangka mengembangkan pelayanan pra rumah sakit tersebut Pro Emergency
menyelenggarakan pelayanan Ambulans Gawat Darurat yang dilengkapi peralatan gawat
darurat (Emergency kit) yang lengkap dan dioperasikan oleh petugas yang terlatih.
Tujuan
1. Mendekatkan sarana pelayanan kesehatan gawat darurat kepada pasien/ korban atau
kegiatan yang beresiko timbulnya kecelakaan/gawat darurat medik.
2. Mengurangi angka kematian dan kecacatan penderita dengan kasus gawat darurat medik /
trauma.
3.
Meningkatkan bentuk pelayanan Ambulans Gawat Darurat yang profesional.
Bentuk Pelayanan
Pelayanan ambulans meliputi :
1. Evakuasi medis di dalam dan luar kota
2.
B. Breathing
- Bag valve mask
- Nasal Canule
- Simple mask
- Rebreathing mask
- Non Rebreathing mask
- Conector Canule ( kanul bagging )
- Pocket mask
C. Circulation
- Infus set
- IV catheter
- Cairan infus
- Spuit
- Tensimeter
- Stetoscope
- Poley catheter
- Urine bag
- Karet stuing
- Kasa steril
- Perban gulung 5,10 cm
- Balut cepat
- Mitela
- Elastik perban
- Aluminium foil
D. Emergency Drugs & Disinfectant
- Adrenalin / Epineprin
- Sulfas atropin 0.25 mg
- Kalmethason
- Buscopan
- Dextrose 40 %
- Lasik
Pincet anatomis
pincet cirurgis
Artery clem
Plester
Penlight
Elektroda EKG
Thermometer
Gastric tube
Neck Collar
II. DI LUAR BOX EMERGENCY
Tabung oksigen 1 m3
Tabung oksigen m3 ( portable )
Regulator / Flowmeter oksigen
Safety belt
Spalk / bidai
Scoope strecher
Long spine board
Urinal / pispot
Neirbeken
Head immobilizer
Kendrick extrication device
Electric Suction
Manual Suction
Handscoen
Masker
Alat tenun
III. Optional
Pulse oksimeter
Defibrilator
AED
Ventilator fortable
Tensimeter digital
Search..
All News
Suggest URL
Submit News
RSS Posts
Contact Us
Advertise
AMBULANCE 118
Do you want to share?
Do you like this story?
YOUR GOOGLE ADSENSE CODE HERE (300x250)
YOUR GOOGLE ADSENSE CODE HERE (300x250)
biasa. Bila ada bencana dengan sendirinya para korban akan diangkut dengan segala
macam kendaraan tanpa koordinasi yang baik. Dalam keadaan bencana ambulan-ambulan
118 dapat segera tiba di tempat dan berfungsi sebagai rs lapangan.
Syarat penderita
Seorang penderita gawat darurat dapat ditransportasikan bila penderita tersebut siap
(memenuhi syarat) untuk ditransportasikan, yaitu:
Gangguan pernafasan dan kardiovaskuler telah ditanggulangi resusitasi : bila diperlukan,
perdarahan dihentikan, luka ditutup, patah tulang di fiksasi dan selama transportasi
(perjalanan) harus di monitor :
a. Kesadaran
b. Pernafasan
c. Tekanan darah dan denyut nadi
d. Daerah perlukaan
3. Prinsip transportasi Pre Hospital
Untuk mengangkat penderita gawat darurat dengan cepat & aman ke rs / sarana kesehatan
yang memadai, tercepat & terdekat.
a. Panduan mengangkat penderita
Kenali kemampuan diri dan kemampuan team work
Nilai beban yang diangkat,jika tidak mampu jangan dipaksa
Selalu komunikasi, depan komando
Ke-dua kaki berjarak sebahu, satu kaki sedikit kedepan
Berjongkok, jangan membungkuk saat mengangkat
Tangan yang memegang menghadap ke depan (jarak +30 cm)
Tubuh sedekat mungkin ke beban (+ 50 cm)
Jangan memutar tubuh saat mengangkat
Panduan tersebut juga berlaku saat menarik/mendorong
b. Pemindahan emergency :
Tarikan baju
Tarikan selimut
Tarikan lengan
Ekstrikasi cepat (perhatikan kemungkinan terdapat fraktur servical)
4. Panduan memindahkan penderita (secara emergency, non emergency)
a. Contoh pemindahan emergency adalah :
Ada api, bahaya api atau ledakan
Ketidakmampuan menjaga penderita terhadap bahaya lain
Usaha mencapai penderita lain yang lebih urgen
Rjp penderita tidak mungkin dilakukan di tkp tersebut
Catatan : apapun cara pemindahan penderita selalu ingat kemnungkinan patah tulang
leher (servical) jika penderita trauma
b. Pemindahan non emergency :
Pengangkatan dan pemindahan secara langsung
Pengangkatan dan pemindahan memakai sperei
(tidak boleh dilakukan jika terdapat dugaan fraktur servical)
c. Mengangkat dan mengangkut korban dengan satu atau dua penolong :
Penderita sadar dengan cara :
human crutch satu / dua penolong, yaitu dengan cara dipapah dengan dirangkul dari
samping
Penderita sadar tidak mampu berjalan
Untuk satu penolong dengan cara :
piggy back yaitu di gendong, dan cradel yaitu di bopong, serta drag yaitu diseret
Untuk dua penolong dengan cara :
two hended seat yaitu ditandu dengan kedua lengan penolong, atau fore and aft carry
yaitu berjongkok di belakang penderita.
Penderita tidak sadar
Untuk satu penolong dengan cara:
cradel atau drag
Untuk dua penolong dengan cara :
fore and aft carry
5. Syarat alat transportasi
Syarat alat transportasi yang dimaksud disini adalah :
a. Jenis ambulans di dinas ambulans gawat darurat 118
AGD 118 Basic
Mampu menanggulangi gangguan A (airway), B (breathing), C (circulation) dalam batasbatas Bantuan Hidup Dasar. Juga dilengkapi dengan alat-alat ekstrikasi, fiksasi, stabilisasi
dan transportasi
AGD 118 Paramedik
Dilengkapi dengan semua alat/obat untuk semua jenis kegawat-daruratan medik dan
petugasnya harus ada Paramedik III.
AGD 118 Sepeda Motor
Tentu saja motor ini bukan alat evakuasi, namun lebih bersifat membawa UGD ke
penderita. Peralatannya seperti AGD 118 Paramedik dan awaknya harus Paramedik III
b. AGD 118 harus mampu:
Idealnya sampai di tempat pasien dalam waktu 6-8 menit agar dapat mencegah kematian
karena sumbatan jalan nafas, henti nafas, henti jantung atau perdarahan masif (to save life
and limb)
Berkomunikasi dengan pusat komunikasi, rumah sakit dan ambulans lainnya
Melakukan pertolongan pada persalinan
Melakukan transportasi pasien dari tempat kejadian ke RS atau dari RS ke Rs
Menjadi rumah sakit lapangan dalam penanggulangan bencana.
c. Alat-alat medis
Alat alat medis yang diperlukan adalah : resusitasi : manual, otomatik, laringgoskop, pipa
endo / nasotracheal, o2, alat hisap, obat-obat, infus, untuk resusitasi-stabilisasi : balut, bidai,
tandu (vakum matras), ecg transmitter , incubator, untuk bayi, alat-alat untuk persalinan
Alat-alat medis ini dapat disederhanakan sesuai dengan kondisi local. Tiap ambulan 118
dapat berfungsi untuk penderita gawat darurat sehari-hari maupun sebagai rs lapangan
dalam keadaan bencana, karena diperlengkapi dengan tenda sehingga dapat menampung 8
10 penderita , alat hisap : 1 manual- 1 otomatik dengan o2- 1 dengan mesin, botol
infus sehingga kalau ada 10 ambulan 118, 200 penderita dapat segera dipasang infus. Dan
2 x 10 20 tenaga perawat ccn
d. Personal
Ketenagaan pada ambulans sebaiknya jangan awam murni karena dapat mengakibatkan
cedera lebih lanjut. Dalam satu ambulans sebaiknya ada 2 petugas yang berakreditasi:
First Responder/Penanggap Pertama
Orang awam yang telah mendapatkan pelatihan gawat darurat lengkap (bukan P3K)
Paramedik dasar (paramedik I).
Tenaga perawat yang sudah mendapatkan pelatihan gawat darurat dasar. Perawat biasa
pengetahuannya tidak cukup untuk dapat membantu penderita gawat darurat.
Paramedik lanjutan (paramedik II dan III)
Paramedik dasar yang telah mendapat pengetahuan dan keterampilan gawat darurat
lanjutan. Pengetahuan medis paramedik III seharusnya sama dengan pengetahuan seorang
dokter emergensi, dengan tingkat kompetensi yang sedikit lebih rendah. Sebagai contoh
adalah krikotirotomi jarum yang masih dapat dilakukan paramedik III, namun krikotirotomi
surgikal hanya dapat dilakukan seorang dokter.
e. Lingkaran tugas paramedik
Pada dasarnya tugas di ambulans adalah lingkaran tugas yang terdiri atas persiapan
respons - kontrol TKP - akses - penilaian awal keadaan penderita dan resusitasi ekstrikasi
evakuasi transportasi ke rumah sakit yang sesuai, lalu kembali ke persiapan.
Persiapan
Fase persiapan dimulai saat mulai bertugas atau kembali ke markas setelah menolong
penderita
Respons
Pengemudi harus dapat mengemudi dalam berbagai cuaca. Cara mengemudi harus dengan
cara defensif (defensive driving). Rotator selalu dinyalakan, sirene hanya dalam keadaan
terpaksa. Mengemudi tanpa mengikuti protokol, akan mengakibatkan cedera lebih lanjut,
baik pada diri sendiri, lingkungan maupun penderita.
Kontrol TKP
Diperlukan pengetahuan mengenai daerah bahaya, harus diketahui cara parkir, serta kontrol
lingkungan.
Akses ke penderita
Masuk ke dalam rumah atau ke dalam mobil yang hancur, tetap harus memakai prosedur
yang baku.
Penilaian keadaan penderita dan pertolongan darurat
Hal ini sedapatnya dilakukan sebelum melakukan ekstrikasi ataupun evakuasi.
Ekstrikasi
Mengeluarkan penderita dari jepitan memerlukan keahlian tersendiri. Penderita mungkin
berada di jalan raya, dalam mobil, dalam sumur, dalam air ataupun dalam medan sulit
lainnya. Setiap jenis ekstrikasi memerlukan pengetahuan tersendiri, agar tidak menimbulkan
cedera lebih lanjut.
Evakuasi dan transportasi penderita
6. Cara transportasi
Sebagian besar penderita gawat darurat di bawa ke rumah sakit dengan menggunakan
kendaraan darat yaitu ambulan. Tujuan dari transportasi ini adalah memindahkan penderita
dengan cepat tetapi aman, sehingga tidak menimbulkan perlukaan tambahan ataupun syock
pada penderita. Jadi semua kendaraan yang membawa penderita gawat darurat harus
berjalan perlahan-lahan dan mentaati semua peraturan lalu lintas.
Bagi petugas ambulan 118 berlaku :
Waktu berangkat mengambil penderita, ambulan jalan paling cepat 60 km/jam. Lampu
merah (rorator) dinyalakan, sirine kalau perlu di bunyikan Waktu kembali kecepatan
maksimum 40 km/jam, lampu merah (rorator) dinyalakan dan sirine tidak boleh
dibunyikan Semua peraturan lalu lintas tidak boleh dilanggar
DAFTAR PUSTAKA
Grant HD et al, in Emergency Care, 7th.ed. , Prentice Hall, 1996
McSwain NE; Pre-Hospital Care; in Feliciano, Moore & Mattox (eds);Textbook of trauma; 3rd
ed.; pp107-121; 1996
Soedarmo S. Operasionalisasi ambulans, AGD 118, 2003
Pusponegoro AD. Pertolongan penderita trauma pra-rumah sakit. Jakarta: Ambulans Gawat
Darurat 118;2001.
Panduan Gawat darurat, Departemen Kesehatan RI, 2001
METODE TRANSPORTASI DAN KOMUNIKASI AMBULANCE PRO HEALTH, for better
life.htm
WWW.SHOCK.COM
DAFTAR PUSTAKA
1. Ernesater, A. et all (2009). Telenurses Experience of Working with Computerized
2. Decision Support : Supporting, Inhibiting, and Quality Improving. Journal of Advance
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous, 2002.Disaster Medicine. Philadephia USA : Lippincott Williams
ENA, 2005.Emergency Care.USA : WB Saunders Company
Iyer, P. 2004. Dokumentasi Keperawatan : Suatu Pendekatan Proses Keperawatan.Jakarta :
EGC
Oman, Kathleen S. 2008. Panduan Belajar Keperawatan Emergensi. Jakarta : EGC
Wijaya, S. 2010. Konsep Dasar Gawat Darurat. Denpasar : PSIK FK
BPJS Kesehatan, Panduan Praktis Penjaminan Layanan Kesehatan Darurat Medis,
(Jakarta: Pusat Layanan Informasi BPJS Kesehatan 2013), hlm. 17-26.