Anda di halaman 1dari 32

BAB II LANDASAN TEORI 2.

1 Pajak Secara Umum

2.1.1

Pengertian Pajak

Secara umum pajak adalah iuran wajib dari rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang yang bersifat dapat dipaksakan serta tidak mendapatkan kontraprestasi secara langsung, yang digunakan bagi kepentingan pengeluaran negara. Berikut ini adalah pengertian pajak secara umum menurut beberapa ahli : Menurut Dr. Mardiasmo, MBA., Ak dalam buku Perpajakan: Edisi Revisi 2011 (2011:1) Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk mebayar pengeluaran umum. Pengertian pajak menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang sebagai berikut: Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. (Departemen Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jendral Pajak, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009:2) Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-unsur sebagai berikut: 1. Iuran dari rakyat kepada negara. adalah

8 Yang berhak memungut pajak hanyalah negara. Iuran tersebut berupa uang (bukan barang). 2. Dapat dipaksakan

Jika tidak dipenuhi kewajiban perpajakan maka wajib pajak dapat dikenakan tindakan hukum oleh pemerintah berdasarkan undang-undang. Jadi pajak sifatnya dapat dipaksakan. 3. Berdasarkan undang-undang.

Salah satu karakteristik pokok dari pajak adalah bahwa pemungutannya harus berdasarkan undang-undang. Hal ini disebabkan karena pada hakekatnya pajak adalah beban yang harus dipikul oleh rakyat . 4. Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari negara secara langsung.

Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah. Pemerintah tidak memberikan nilai, penghargaan atau keuntungan kepada wajib pajak secara langsung, wajib pajak hanya bisa merasakan secara tidak langsung bentuk-bentuk kontraprestasi dari pemerintah, seperti melihat banyak dibangunnya fasilitas umum dan prasarana yang dibiayai dari APBN atau APBD. 5. Pajak Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. digunakan untuk pengeluaran umum negara dalam menjalankan

pemerintahannya. Pemerintah dalam menjalankan fungsinya, seperti melaksanakan

9 ketertiban, mengusahakan kesejahtraan, melakukan fungsi pertahanan, dan fungsi penegakan keadilan membutuhkan dana untuk pembiayaannya.

2.1.2

Fungsi Pajak

Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan. Menurut Mardiasmo dalam buku perpajakan (2011:1-2) fungsi pajak yaitu:
1.

Fungsi anggaran (budgetair)

Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara.
2.

Fungsi mengatur (regulerend)

Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi. Contoh: a.Pajak yang tinggi dikenakan terhadap minuman keras untuk mengurangi konsumsi minuman keras. b. Pajak yang tinggi dikenakan terhadap barang-barang mewah untuk

mengurangi gaya hidup konsumtif.

10 c.Tarif pajak untuk ekspor sebesar 0% untuk mendorong ekspor produk Indonesia di pasaran dunia.

2.1.3 Syarat Pemungutan Pajak Menurut Mardiasmo perpajakan (2011:2-3) agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan, maka pemungutan pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut: 1. Pemungutan pajak harus adil (Syarat Keadilan)

Sesuai dengan tujuan hukum, yakni mencapai keadilan, undang-undang dan pelaksanaan pemungutan harus adil. Adil dalam perundang-undangan diantaranya mengenakan pajak secara umum dan merata, serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Sedang adil dalam pelaksanaannya yakni dengan memberikan hak bagi wajib pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada Majelis Pertimbangan Pajak. 2. Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang (Syarat Yuridis)

Di Indonesia, pajak diatur dalam UUD 1945 pasal 23 ayat 2. Hal ini memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik bagi negara maupun warganya. 3. Tidak mengganggu perekonomian (Syarat Ekonomis)

Pemungutan tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi maupun perdagangan, sehingga tidak menimbulan kelesuan perekonomian masyarakat.

11 4. Pemungutan pajak harus efisien (syarat finansial)

Sesuai fungsi budgetair, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannya. 5. Sistem pemungutan pajak harus sederhana

Sistem pemungutan pajak yang sederhana akan memudahkan dan medorong masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Syarat ini telah dipenuhi oleh undang-undang perpajakan yang baru. Contoh: a.Bea Materai disederhanakan dari 167 macam tarif menjadi 2 macam tarif. b. 10%. c.Pajak perseroan untuk badan dan pajak pendapatan untuk perseorangan disederhanakan menjadi pajak penghasilan (PPh) bagi badan maupun perseorangan (orang pribadi). Tarif PPN yang beragam disederhanakan menjadi hanya satu tarif, yaitu

2.1.4 Sistem Pemungutan Pajak a. Official Assessment System

adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.

12 Ciri-cirinya: 1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada

pemerintah. 2) 3) Wajib pajak bersifat pasif. Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh

pemerintah. Contoh: Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). b. Self Assessment System

adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak terutang. Ciri-cirinya: 1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada wajib

pajak sendiri. 2) Wajib pajak bersifat aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan

melaporkan sendiri pajak yang terutang. 3) Pemerintah tidak ikut campur hanya mengawasi.

Contoh: Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn.BM). c. With Holding System

13 adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan pemerintah dan bukan wajib pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. Ciri-cirinya: Wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga, pihak selain pemerintah dan wajib pajak. Contoh: PPh ( dimana pemberi kerja, bendaharawan pemerintah, dana pensiun dan sebagainya yang diserahi tanggung jawab untuk memotong pajak terhadap penghasilan yang mereka bayarkan).

2.1.5 Pengelompokan Pajak 1. Menurut golongannya a.Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh: Pajak Penghasilan b. Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan

atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai. 2. Menurut sifatnya

14 a.Pajak Subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contoh: Pajak Penghasilan b. Pajak Objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa

memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. 3. Menurut lembaga pemungutannya a.Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Contoh: Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan Bea Materai. b. Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dan

digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Contoh: Pajak kendaran Bermotor, Pajak Hotel, Pajak Restoran, dan Pajak Hiburan.

2.1.6 Tarif Pajak 1. Tarif sebanding/proposional

15 Tarif berupa persentase yang tetap, terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang proposional terhadap besarnya nilai yang dikenai pajak. Contoh: untuk penyerahan barang kena pajak didalam daerah pabean akan dikenakan pajak pajak pertambahan nilai sebesar 10%. 2. Tarif tetap

Tarif berupa jumlah yang tetap (sama) terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang tetap. Contoh: besarnya tarif bea materai untuk cek dan bilyet giro dengan nilai nominal berapapun adalah Rp. 3.000,00 3. Tarif progresif

Persentase tarif yang digunakan semakin besar bila jumlah yang dikenai pajak semakin besar. Contoh: Pasal 17 Undang-undang No.36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan untuk wajib pajak orang pribadi dalam negeri

Tabel 2.1 Lapisan penghasilan kena pajak Sampai dengan Rp. 50.000.000,00 Di atas Rp. 50.000.000,00 s.d Rp. 250.000.000,00 Di atas Rp. 250.000.000,00 s.d Rp. 500.000.000,00 Tarif Pajak 5% 15% 25%

16 Di atas Rp. 500.000.000,00 30%

4.

Tarif degresif

Persentase yang digunakan semakin kecil jika jumlah yang dikenai pajak semakin besar.

2.2 Pajak Penghasilan (PPh) Secara Umum Pajak Penghasilan (PPh) menurut UU PPh No.36 tahun 2008 pasal 1 adalah pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam satu tahun pajak

2.2.1 Dasar Hukum Pajak Penghasilan (PPh) Dasar hukum Pajak Penghasilan (PPh) adalah Undang-undang Nomor 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan yang berlaku sejak 1 Januari 1984 dan telah mengalami beberapa kali perubahan, yang terakhir yaitu dengan Undang-undang Nomor 36 tahun 2008, yang berlaku mulai 1 Januari 2009. Selain dari Undang-undang, dasar hukum PPh juga terdapat dalam Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan Menteri Keuangan, Keputusan Direktorat Jenderal Pajak, maupun surat edaran Dirjen Pajak.

2.2.2 Subjek Pajak Penghasilan (PPh)

17 Subjek Pajak Penghasilan berdasarkan Undang-Undang PPh No. 36 Tahun 2008 Pasal 1 adalah Orang Pribadi, Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak, Badan, dan Bentuk Usaha Tetap (BUT). Sedangkan menurut UU PPh No 36 Tahun 2008 Pasal 2 dan 3 subjek pajak terdiri dari subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri, yaitu: 1. Subjek Pajak Dalam Negeri adalah: a.Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia; b. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria: 1) 2) Pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; Pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; 3) penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau

Pemerintah Daerah; dan 4) pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara; dan

c. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak. 2. Subjek Pajak Luar Negeri adalah:

a. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua

18 belas) bulan, dan Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat tinggal di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui Badan Usaha Tetap (BUT) di Indonesia. b. Orang Pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan Badan yang tidak didrikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan atau melakukan kegiatan melalui Badan Usaha Tetap (BUT) di Indonesia

2.2.3 Objek Pajak Penghasilan (PPh) Objek Pajak Penghasilan berdasarkan Undang-undang PPh No 36 Tahun 2008 Pasal 4 adalah yang menjadi objek Pajak Penghasilan (PPh) adalah penghasilan yaitu, setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun. Yang termasuk dalam pengertian penghasilan tersebut adalah: a. Penggantian/imbalan dari pekerjaan dalam hubungan kerja. Misalnya gaji, honorarium, upah, tunjangan, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun dan imbalan dalam bentuk lainnya; b. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan;

19 c. Laba usaha; d. Keuntungan dari penjualan/ karena pengalihan harta, termasuk: 1) Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan,

badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal; 2) Keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan, badan lainnya karena

pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, anggota; 3) Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,

pemecahan pengambilan alihan usaha; 4) Keuntungan karena pengalihan harta, berupa bantuan sumbangan dengan

syarat ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan; e. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya; f. Bunga (premium, diskonto, imbalan karena jaminan pengembalian utang); g. Dividen dengan nama dan dalam bentuk apapun; h. Royalti; i. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta; j. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala; k. Keuntungan karena pembebasan utang kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah;

20 l. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing; m. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva; n. Premi asuransi; o. Iuran yang diterima / diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari wajib pajak yang menjalankan usaha/ pekerjaan bebas; p. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak.

2.3 Pajak Penghasilan pasal 22 Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 adalah PPh yang dipungut oleh :
1. Bendaharawan Pemerintah Pusat/Daerah, instansi atau lembaga pemerintah dan lembaga-

lembaga Negara lainnya, berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang. 2. Badan-badan tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta berkenaan dengan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha dibidang lain.

2.3.1 Dasar hukum Pajak Penghasilan Pasal 22 adalah: 1. Pasal 22 Undang-undang No. 7 tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir

dengan Undang-undang No. 36 tahun 2008. 2. Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 210/PMK.03/2008 tentang Perubahan ke

Lima atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 254/KMK.03/2001 tentang

21 Penunjukan Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22, Sifat dan Besarnya Pungutan Serta Tata Cara Penyetoran dan Pelaporannya. 3. Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 154/PMK.03/2010 tentang Pemungutan

Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan dengan Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau kegiatan Usaha di Bidang Lain. 4. Peraturan dirjen Pajak Nomor 23/PJ/2009 tanggal 12 Maret 2009 tentang

Perubahan Kedua Keputusan Dirjen Pajak No. Kep-523/PJ./2001 tentang tarif dan tata cara pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPh Pasal 22 oleh industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor mereka dari pedagang pengumpul. 5. Peraturan Dirjen Pajak Nomor 52/PJ/2008 tanggal 1 januari 2009 Tentang

Perlakuan Pajak Penghasilan atas Penghasilan Penyalur/Distributor Rokok. 6. Keputusan Dijen Pajak Nomor Kep-100/PJ/2003 tanggal 1 April 2003 tentang

perubahan keempat atas keputusan Dirjen Pajak No.Kep-108/PJ/1996 tentang bentuk formulir pemotongan/ pemungutan PPh. 7. Peraturan Dirjen Pajak Nomor : PER - 15/PJ/2011 Tentang Perubahan atas

Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-57/PJ/2010 Tentang Tata Cara dan Prosedur Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan dengan Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain.

22 2.3.2 Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 22

Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 Undang-undang No 36 Tahun 2008 merupakan pembayaran PPh dalam tahun berjalan yang dipungut oleh Bendaharawan baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, Instansi atau lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga Negara lainnya berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan suatu barang, dan badan-badan tertentu baik badan pemerintah maupun swasta berkenaan dengan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain. Adapun PPh Pasal 22 dibagi ke dalam beberapa kelompok yaitu : 1. PPh Pasal 22 Bendaharawan Pemerintah yaitu merupakan pembayaran PPh dalam tahun berjalan yang dipungut oleh bendaharawan pemerintah terhadap rekanan pemerintah sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang. 2. PPh Pasal 22 Impor yaitu PPh yang dipungut oleh Ditjen Bea Cukai dan Bank Devisa sehubungan dengan kegiatan Impor barang (kecuali mendapatkan fasilitas pembebasan dan memperoleh SKB PPh Pasal 22) 3. PPh Pasal 22 atas Industri Produk Tertentu yaitu pungutan PPh yang dilakukan oleh industri produk tertentu ( industri semen, rokok, kertas, baja, dan industri otomotif) atas penjualan hasil produksinya di dalam negeri. 4. PPh Pasal 22 atas penjualan bahan bakar minyak dan gas yaitu PPh yang dipungut oleh Pertamina serta badan usaha lainnya yang bergerak dalam bidang bahan bakar dan gas atas penjualan hasil prtoduksinya di dalam negeri.

23 5. PPh Pasal 22 atas penjualan hasil perhutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan oleh industri atau eksportir.

2.3.1

Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22

Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 Undangundang No 17 tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan adalah: 1. Bank Devisa dan Direktorat Jendral Bea dan Cukai atas impor barang. 2. Direktorat Jendral Anggaran, Bendaharawan Pemerintah baik di tingkat Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang melakukan pembayaran atas pembelian barang. 3. Badan Uasaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah, yang melakukan Pembelian Barang dengan dana yang bersumber dari Anggaran Belanja Negara (APBN) dan atau Belanja Daerah (APBD) kecuali badan-badan tersebut pada butir 4; 4. Bank Indonesia (BI), Badan Penyehatan Pebankan Nasional (BPPN), Badan Urusan Logistik (BULOG), PT Garuda Indonesia, PT Indosat, PT Krakatau Steel, Pertamina dan bank-bank BUMN yang dananya bersumber baik dari APBN maupun non-APBN. 5. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri rokok, industri kertas, industri baja, industri otomotif, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak, atas penjualan hasil produksinya di dalam negeri. 6. Pertamina serta badan usaha lainnya yang bergerak dalam bidang bahan bakar minyak jenis premix, super TT dan gas atas penjualan hasil produksinya.

24 7. Industri dan pengekspor yang bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan, pertanian dan perikanan yang ditunjuk oleh kepala kantor Pelayanan Pajak atas pembelian bahan bakar untuk keperluan industri atau ekspor mereka dari pedagang pengumpul.

2.3.4

Subjek Pajak Penghasilan Pasal 22

Yang termasuk subjek Pajak Penghasilan Pasal 22 adalah: 1. 2. 3. 4. 5. Importir Rekanan Pemerintah Rekanan Badan-badan tertentu Konsumen semen, rokok, kertas, baja, dan otomotif Penyalur atau agen Pertamina dan Badan-badan usaha selain Pertamina yang

bergerak dibidang bahan bakar minyak jenis premix dan gas. 6. Industri dan eksportir dalam sektor perhutanan, perkebunan, pertanian, dan

perikanan.

2.3.5 Objek Pajak Penghasilan Pasal 22 Yang merupakan objek pemungutan PPh Pasal 22 adalah: 1. Import barang

25 2. Pembayaran dan pembelian barang yang dilakukan oleh Direktorat Jendral

Anggaran, Bendaharawan Pemerintah baik ditingkat Pusat maupun Pemerintah Daerah. 3. Pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan oleh Badan usaha Milik

Negara dan Badan Usaha Milik Daerah yang dananya dari belanja negara atau belanja daerah. 4. Penjualan hasil produksi di dalam negeri yang dilakukan oleh badan-badan usaha

yang bergerak dibidang usaha industri semen, industri rokok, industri kertas, industri baja, industri otomotif. 5. Penjualan hasil produksi yang dilakukan oleh pertamina dan badan usaha selain

Pertamina yang berherak di bidang bahan bakar jenis premix dan gas. 6. Pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor industri dan

eksportir yang bergerak dalam sector perhutanan, perkebunan, pertanian dan perikanan dari pedagang pengumpul.

2.3.6 Pengecualian dari Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22: Dikecualikan dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22: 1. Impor barang atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan

Perundang-undangan tidak terutang pajak penghasilan. 2. Impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan Pajak Pertambahan

Nilai :

26 a.Barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia berdasarkan asas timbal balik. b. Barang untuk keperluan Badan Internasional yang diakui dan terdaftar

pada Pemerintah Indonesia beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia dan tidak memengang paspor Indonesia. c.Barang kiriman hadiah untuk keperluan ibadah umum, amal, sosial, atau kebudayaan. d. Barang untuk keperluan museum, kebun binatang, dan tempat lain

semacam itu yang terbuka untuk umum. e.Barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. f. Barang untuk keperluan khusus kaum tuna netra dan penyandang cacat lainnya. g. h. Peti atau kemasan lain yang berisi jenazah atau abu jenazah. Barang pindahan.

i. Barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, dan barang kiriman sampai batas jumlah tertentu sesuai dengan perundang-undangan pabean. j. Barang yang diimport oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang ditunjukan untuk kepentingan umum. k. Persenjataan, amunisi, dan perlengkapan militer tertmasuk suku cadang,

yang diperuntukan bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara.

27 l. Barang dan bahan yang dipergunakan untuk menghasilkan barang bagi keperluan pertahanan dan keamanan Negara. m. n. o. Vaksin polio dalam rangka pelaksanaan Pekan Imunisasi Nasional (PIN) Buku-buku pelajaran umum, kitab suci dan buku-buku pelajaran agama. Kapal laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau, kapal angkutan

penyebrangan, kapal pandu, kapal tunda, kapal penangkap ikan, kapal tongkang, dan suku cadang serta alat keselamatan pelayaran atau alat keselamatan manusia yang di impor dan digunakan oleh perusahaan Niaga Nasional atau perusahaan penagkapan ikan nasional. p. Pesawat udara dan suku cadang serta alat keselamatan penerbangan atau

alat keselamatan manuasia, peralatan untuk perbaikan, atau pemeliharaan yang diimpor dan digunakan Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional. q. Kereta api dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikan atau

pemeliharaan serta prasarana yang diimport dan digunakan oleh PT Kereta Api Indonesia. r. Peralatan yang digunakan untuk penyediaan data batas atau info udara wilayah Negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia. 3. Dalam hal impor sementara jika pada waktu impornya nyata-nyata

dimaksudkan untuk diekspor kembali.

28 4. Pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah)

dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah. 5. Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air

minum/PDAM dan benda-benda pos. 6. Emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan dari

emas untuk tujuan ekspor. 7. Pembayaran/pencairan dan Jaring Pengamanan Sosial (JPS) oleh Kantor

Perbendaharaan dan Kas Negara.


8.

Impor kembali (re-impor) yang meliputi barang-barang yang telah diekspor

kemudian diimpor kembali dalam kualitas yang sama atau barang-barang yang telah diekspor untuk keperluan perbaikan, pengerjaan, dan pengujian yang telah memenuhi syarat yang ditentukan oleh Direktorat Jendral Bea dan Cukai.

2.3.7 Saat Terutang Pajak Penghasilan Pasal 22 Saat terutang Pajak Penghasilan Pasal 22 adalah: 1. Atas impor terutang pada saat pembayaran Bea Masuk Impor yang mendapat

fasilitas penundaan/pembebasan bea masuk, PPh pasal 22 dipungut pada saat penyelesaian dokumen PIB. 2. Pembelian barang yang dananya berasal dari APBN/APBD, PPh Pasal 22 terutang

pada saat pembayaran atas pembelian barang tertentu.

29 3. Pembelian barang oleh badan-badan tertentu yang ditunjuk sebagai pemungut,

terutang pada saat pembayaran. 4. Penjualan hasil produksi bahan bakar minyak, terutang pada saat penerbitan Surat

Pemerintah Pengeluaran Barang (DO) 5. Pembelian hasil perhutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan oleh

industri/eksportir, terutang pada saat pembelian. 6. Penjualan hasil semen, rokok, kertas, baja, dan otomotif, terutang pada saat

pembayaran.

2.3.8 Dasar dan Tarif Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Dasar pemungutan PPh Pasal 22 adalah: 1. Nilai impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar perhitungan bea masuk

yaitu CIF ditambah dengan Bea Masuk dan pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan ketentuan kepabeanan di bidang impor. 2. 3. Harga jual lelang. Harga pembelian.

Tarif Pemungut PPh Pasal 22 terdiri dari :

30 1. PPh Pasal 22 Impor

Direktorat Jendral Bea dan Cukai dan Bank Devisa wajib memungut pajak penghasilan pasal 22 atas impor barang (kecuali mendapat fasilitas pembebasan dan memperoleh SKB pajak PPh Pasal 22) dengan tarif sebagai berikut : a. Yang menggunakan API (Angka Pengenal Impor) sebesar 2,5% dari Nilai impor. b. Yang tidak mengunakan API sebesar 7,5% dari nilai impor.

c. Yang tidak dikuasai sebesar 7,5% dari harga jual lelang.

2.

PPh Pasal 22 Bendaharawan dan BUMN/BUMD

Apabila Bendaharawan Pemerintah, BUMN/BUMD, Bank Indonesia, BPPN, BULOG, PT. Telkom, PT. PLN, PT. Garuda Indonesia, Pertamina dan Bank-bank BUMN yang melakukan pembelian barang yang dananya bersumber dari dana APBN/APBD, maka pemungut tersebut wajib memungut PPh Pasal 22 sebesar 1,5% dari jumlah harga pembelian (tidak termasuk PPN) Apabila melakukan pembayaran atas pembelian barang tersebut. 3. PPh Pasal 22 atas industri produk tertentu.

Badan usaha yang bergerak dibidang industri semen, industri rokok, industri kertas, industri baja, dan industri otomotif yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak, wajib melakukan pemungutan PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksinya di dalam negeri dengan tarif sebagai berikut:

31

Tabel 2.1 Tarif dan dasar pengenaan PPh Pasal 22 atas produk tertentu Jenis Industri Industri semen Industri rokok Industri kertas Industri baja Industri otomotif Tarif 0,25% 0,15% 0,10% 0,30% 0,45% Dasar Perhitungan DPP PPN Harga bandrol (Final) DPP PPN DPP PPN DPP PPN

4.

PPh Pasal 22 atas penjualan bahan bakar minyak dan gas

Sedangkan Pertamina serta badan usaha lain yang bergerak dibidang bahan bakar minyak jenis premix, super TT, dan gas ditunjuk sebagai pemungut PPh pasal 22 yang bersifat final atas penjualan hasil produksinya kepada penyalur, agen, dan dealer. Adapun tarif yang dipungutnya sebagai berikut:

32

Tabel 2.2 Tarif dan dasar pengenaan PPh pasal 22 atas penjualan bahan bakar minyak dan gas Jenis Produk Premium Solar Premix/super TT Minyak tanah Gas LPG Pelumas SPBU Swasta 0,3% x penjualan 0,3% x penjualan 0,3% x penjualan 0,3% x penjualan 0,3% x penjualan 0,3% x penjualan SPBU Pertamina 25% x penjualan 0,25% x penjualan 0,3% x penjualan 0,3% x penjualan 0,3% x penjualan 0,3% x penjualan

Adapula badan usaha industri dan eksportir yang bergerak dalam seKtor perhutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak wajib melakukan pemungutan PPh Pasal 22 atas pembelian bahanbahan berupa hasil perhutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan untuk keperluan industri dan eksport dari pedagang pengumpul sebesar 1,5%. 2.4 Pajak Penghasilan Pasal 22 Bendaharawan

33 2.4.1 Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 22 Bendaharawan Pajak penghasilan Pasal 22 Bendaharawan adalah Pajak Penghasilan yang dipungut oleh Bendaharawan Pemerintah Pusat/Daerah, instansi, atau lembaga pemerintahan dan lembaga-lembaga negara lainnya berkenaan dengan pembayaran atau pembelian atau penyerahan barang yang dananya berasal dari APBN atau APBD.

2.4.2 Pemungut PPh Pasal 22 Bendaharawan Pemungut pajak sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 236/KMK.03/2003 sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan adalah: 1. Bank devisa dan Direktorat Jendral Bea dan Cukai atas impor barang. 2. Direktorat Jendral Anggaran, Bendaharawan Pemerintah baik pusat atau daerah yang melakukan pembayaran atas pembelian barang. 3. BUMN/BUMD yang melakukan pembelian barang dengan dana yang digunakan berasal dari APBN/APBD.

2.4.3 Subjek dan Objek Pajak Penghasilan Pasal 22 Bendaharawan Yang bertindak sebagai subjek pajak penghasilan pasal 22 bendaharawan adalah rekanan pemerintah yang telah terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) baik badan maupun perorangan yang telah mendapat persetujuan atau penunjukan dari Pemerrintah

34 Pusat maupun Pemerintah Daerah yang menerima pembayaran untuk penyerahan barang atau jasa yang dibiayai dari APBN/APBD. Objek pemungutan PPh Pasal 22 Bendaharawan adalah penyerahan barang yang dibiayai dari APBN dan atau APBD, sepanjang tidak termasuk sebagai penghasilan yang dikenakan pemotongan PPh Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 26.

2.4.4 Pengecualian Pajak Penghasilan Pasal 22 Bendaharawan Pembayaran berikut ini adalah yang dikecualikan dari pemungutan PPh Pasal 22 Bendaharawan Pemerintah yang secara otomatis tanpa ada Surat Keterangan Bebas (SKB) Pajak Penghasilan Pasal 22, yaitu: 1. Pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp 1.000.000,00 dan tidak merupakan jumlah yang terpecah-pecah. 2. Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum, (PDAM), dan bendabenda pos. 3. Pembayaran yang diterima karena penyerahan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan proyek pemerintah yang dibiayai dengan hibah luar negeri. 4. Pembayaran oleh bendaharawan kepada orang pribadi atau pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan untuk keperluan pembangunan yang memerlukan persyaratan khusus dengan pihak pemerintah.

35 2.4.5 Dasar Pemungutan dan Tarif Pajak Penghasilan Pasal 22 Bendaharawan. Dasar pengenaan pemungutan PPh Pasal 22 Bendaharawan Pemerintah adalah jumlah harga pembelian (tidak termasuk PPN) atas penyerahan barang atau pembelian barang, Pemungut pajak atau Bendaharawan Pemerintah tersebut wajib melakukan pemungutan PPh Pasal 22 bendaharawan Pemerintah dengan tarif sebesar 1,5% (satu setengah persen). Di bawah ini adalah cara perhitungan PPh Pasal 22 Bendaharawan Pemerintah: PPh Pasal 22 = 1,5% x Jumlah harga pembelian Jika di dalam hal jumlah pembelian/ pembayaran sudah termasuk PPN, maka perhitungannya yaitu: PPh Pasal 22 = 100 x jumlah harga pembelian x 1,5% 110 2.4.6 Tata Cara Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Bendaharawan. Pajak Penghasilan Pasal 22 Bendaharawan Pemerintah atas pembelian barang yang dilakukan oleh Bendaharawan Pemerintah yang dananya berawal dari APBN/APBD terutang pada saat dikeluarkannya pembayaran atau penyerahan kwitansi kepada rekanan pemerintah. Pemungutan dilakukan pada saat pembayaran atas pembelian barang dengan cara penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 22 oleh bendaharawan Pemerintah ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro yang ditunjuk oleh Menkeu dengan menggunakan sarana Surat

36 Setoran Pajak (SSP) yang diisi atas nama Wajib Pajak rekanan serta ditandatangani oleh Bendaharawan Pemerintah tersebut.

2.4.7 Tata Cara Penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 22 Bendaharawan Mengenai hal dalam penyetoran PPh Pasal 22 Bendaharawan Pemerintah, Pemungut pajak/bendaharawan pemerintah wajib menyetorkan PPh Pasal 22 Bendaharawan Pemerintah pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran atau penyerahan kuitansi kepada rekanan Pemerintah. Jika hari jatuh tempo penyetoran bertepatan dengan hari libur, maka penyetoran dapat dilakukan pada hari selanjutnya. Penyerotan pembayaran pajak tersebut harus disetor ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro setempat yang telah ditunjuk oleh Menkeu. Dalam hal penyetoran PPh Pasal 22 Bendaharawan Pemerintah, pemungut pajak menggunakan sarana Surat Setoran Pajak (SSP) dengan atas nama wajib pajak (rekanan) yang ditandatangani oleh Bendaharawan Pemerintah yang berlaku sebagai bukti pemungutan pajak dan kredit pajak bagi rekanan dalam pelaporan SPT Tahunan. Di dalam pelaporan PPh Pasal 22, Bendaharawan Pemerintah harus mengisi Surat Setoran Pajak (SSP) rangkap lima, yaitu: Lembar ke 1 : Untuk Wajib Pajak (rekanan) Lembar ke 2 : Untuk Kantor Pelayanan Pajak melalui KPKN ( Kantor Pemberdaharaan Kas Negara )

37 Lembar ke 3 : Untuk KPP sebagai lampiran SPT masa Lembar ke 4 : Untuk Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro Lembar ke 5 : Untuk arsip Pemungut/Bendaharawan Pemerintah

2.4.8

Tata Cara Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 22 Bendaharawan Setelah melakukan penyetoran PPh Pasal 22 Bendaharawan Pemerintah ke Bank Persepsi

atau Kantor Pos dan Giro dengan menggunakan sarana Surat Setoran Pajak (SSP), pemungut pajak wajib melaporkan hasil penyetorannya dengan menggunakan sarana Surat Premberitahuan masa (SPT masa) PPh Pasal 22 Formulir (F.1.1.32.02) dengan dilampiri SSP atas pungutan terhadap rekanan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dimana Bendaharawan Pemerintah tersebut terdaftar sebagai pemungut pajak. Bendaharawan Pemerintah atau pemungut pajak harus melaporkan penyetorannya menggunakan SPT yang dilampir dengan SSP lembar ke tiga, paling lambat 14 (empat belas) hari setelah Masa Pajak berakhir ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dimana Bendaharawan Pemerintah tersebut terdaftar sebagai pemungut pajak PPh Pasal 22 Bendaharawan Pemerintah. Jika dalam hal jatuh tempo bertepatan dengan hari libur, maka pelaporan dilakukan pada hari sebelumnya. Apabila kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda sesuai pasal 7 UU KUP sebesar Rp 50.000,00.

38

Anda mungkin juga menyukai