Anda di halaman 1dari 6

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang Suatu bangsa dapat dikatakan semakin baik apabila tingkat pendidikan penduduknya tinggi, derajat kesehatanya tinggi, usia harapan hidupnya panjang dan pertumbuhan fisiknya optimal. Balita dengan status gizi yang baik dan sehat, ia dapat lebih aktif merespon semua perubahan yang ada di lingkunganya secara baik. (Khomsan, 2006) Balita yang sehat akan mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang normal dan wajar, yaitu sesuai standar pertumbuhan fisik balita pada umumnya dan memiliki kemampuan sesuai standar kemampuan balita seusianya. Selain itu balita yang sehat tampak senang, mau bermain, berlari, berteriak, meloncat, memanjat, tidak berdiam diri saja. Balita yang sehat kelihatan berseriseri, kreatif, dan selalu ingin mencoba sesuatu yang ada di sekelilingnya. Jika ada sesuatu yang tidak diketahuinya ia berkata, sehingga pengetahuan yang dimilikinya selalu bertambah. Agar balita tumbuh dan berkembang secara optimal menjadi balita yang sehat dan cerdas, kebutuhan dasar balita harus terpenuhi yang meliputi 7 aspek, yaitu: kasih sayang, kesehatan, pendidikan,
1

pengasuhan, bermain dan berkreasi, lingkungan yang sehat dan orang tua yang ikut KB.(Depkes, 2006) Tingkat pengetahuan gizi ibu adalah kemampuan seorang ibu dalam memahami konsep dan prinsip serta informasi yang berhubungan dengan gizi. Pengetahuan ibu tentang pemilihan makanan yang baik dan benar untuk mencapai hidup yang sehat, ternyata dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: faktor ekonomi, faktor sosial, faktor budaya, kondisi kesehatan dan sebagainya. Pemahaman dan pengetahuan gizi ibu yang terbatas akan

mempengaruhi pola pemenuhan gizi balita, sehingga penerapan pola konsumsi makanan belum sehat dan belum berimbang. Pada suatu keluarga, ibu berperan sabagai pengatur makanan keluarga. Oleh karena itu ibu merupakan sasaran utama pendidikan gizi keluarga (Sjahmien, 2002 dan Suhardjo, 2003) Di Indonesia saat ini balita kelompok di bawah lima tahun (balita) menunjukan prevalensi paling tinggi untuk penyakit kurang energi, protein (KEP), dan defisiensi Vit A serta anemia defisiensi zat besi. (santoso, 1999) KEP merupakan defisiensi (energi dan protein) yang paling berat dan meluas terutama pada balita. Pada umumnya penderita KEP berasal dari keluarga yang berpenghasilan rendah. (Supariasa, 2002)

Kurang Energi Protein (KEP) pada balita dan balita-balita merupakan salah satu masalah yang masih memerlukan perhatian khusus. Karena masalah tersebut akan berdampak pada penurunan intelektual dan produktifitas yang akhirnya berdampak pada kualitas sumber daya manusia dan pembangunan nasional. (Baliwati, 2004) Jawa Tengah tahun 2010, rata-rata kecukupan konsumsi energi balita usia 24-59 bulan sekitar 106,4 %, dan sebanyak 21,6% balita, mengkonsumsi energi di bawah kebutuhan minimal. sedangkan rata-rata kecukupan konsumsi protein balita usia 24-59 bulan sekitar 140,5%. Persentase balita usia 24-59 bulan yang mengkonsumsi protein di bawah kebutuhan minimal adalah 17,7%. ( RISKESDAS, 2010) Status gizi balita merupakan gambaran dari status gizi masyarakat. Rendahnya status gizi balita akan menjadi masalah pada sumber daya manusia. Apabila pada saat rawan gizi balita tidak memperoleh zat gizi yang dibutuhkan, maka balita tersebut akan rentan terhadap penurunan status gizi. (Komari, 2000) Menurut Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2010, Di Provinsi Jawa Tengah terdapat 6,4 % balita berstatus gizi buruk, 7,8% gizi kurang. Kota Semarang berdasarkan data dari DKK tahun 2011 terdapat 862 balita (2,08%) berstatus gizi kurang, 52 balita (0,12%) berstatus gizi buruk dari total 41.379 balita. Dari 1478 balita umur 2459 bulan yang tersebar di Kelurahan Gayamsari terdapat kasus gizi

kurang yang merupakan kasus terbanyak se-kelurahan di Kota Semarang sejumlah 52 balita atau 3,51 % dan kasus gizi buruk sebanyak 0,2%. (DKK Semarang, 2011) Oleh karena itu, peneliti ingin mengetahui apakah ada hubungan pengetahuan gizi ibu, tingkat kecukupan energi protein balita dan status gizi balita umur 24-59 bulan di Kelurahan Gayamsari Kecamatan Gayamsari Kota Semarang.

B. Perumusan Masalah Apakah terdapat hubungan antara pengetahuan gizi ibu tingkat kecukupan energi dan protein balita dengan status gizi balita usia 24 59 bulan di Kelurahan Gayamsari Kota Semarang ?

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Untuk mengetahui apakah ada hubungan antara pengetahuan gizi ibu tingkat kecukupan energi dan protein balita dengan status gizi balita usia 24 59 bulan di Kelurahan Gayamsari Kecamatan Gayamsari Kota Semarang. 2. Tujuan khusus a. Mendeskripsikan status gizi balita di Kelurahan Gayamsari Kota Semarang. b. Mendeskripsikan tingkat kecukupan energi balita di Kelurahan Gayamsari Kota Semarang. c. Mendeskripsikan tingkat kecukupan protein balita di Kelurahan Gayamsari Kota Semarang. d. Mendeskripsikan tingkat pengetahuan gizi ibu di Kelurahan Gayamsari Kota Semarang. e. Menganalisis hubungan pengetahuan gizi ibu dengan status gizi balita di Kelurahan Gayamsari Kota Semarang. f. Menganalisis hubungan tingkat kecukupan energi dengan status gizi balita di Kelurahan Gayamsari Kota Semarang. g. Menganalisis hubungan tingkat kecukupan protein dengan status gizi balita di Kelurahan Gayamsari Kota Semarang.

D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Peneliti. Dapat mengetahui tentang pengetahuan gizi ibu tingkat kecukupan energi protein balita dan status gizi balita di Kelurahan Gayamsari Kota Semarang serta dapat memberikan informasi kepada pelaksana kesehatan setempat 2. Bagi Masyarakat. Diharapkan para orang tua terutama ibu dapat

meningkatkan pengetahuan tentang macam makanan yang bergizi dan terus memantau keadaan gizi anak balitanya sehingga dapat memberikan asupan zat gizi yang cukup dan seimbang. 3. Bagi Pelaksana Kesehatan dan institusi terkait. Dapat mengetahui status gizi balita di daerah tersebut dan sebagai acuan untuk perbaikan status gizi balita di daerah tersebut.

Anda mungkin juga menyukai