Anda di halaman 1dari 22

PRESENTASI KASUS DERMATITIS KONTAK IRITAN KRONIS

Disusun Oleh : Melan Mulyana G1A211030

Pembimbing : dr. Ismiralda Oke P., Sp.KK

SMF ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN JURUSAN KEDOKTERAN PURWOKERTO

2012

LEMBAR PENGESAHAN PRESENTASI KASUS

DERMATITIS KONTAK IRITAN KRONIS

Disusun oleh: Melan Mulyana G1A211030

Presentasi kasus ini telah dipresentasikan dan disahkan sebagai salah satu tugas di bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Margono Soekarjo Purwokerto.

Purwokerto,

Maret 2012

Pembimbing:

dr. Ismiralda Oke P., Sp.KK

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penyusun panjatkan kepada Allah SWT atas berkat rahmat dan anugerah-Nya sehingga presentasi kasus dengan judul Dermatitis Kontak Iritan Kronis ini dapat diselesaikan. Presentasi kasus ini merupakan salah satu tugas di SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Penyusun menyadari bahwa dalam penulisan laporan kasus ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu penyusun mengharapkan saran dan kritik untuk perbaikan penulisan di masa yang akan datang. Tidak lupa penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada: 1. dr. Ismiralda Oke P., Sp.KK selaku dosen pembimbing. 2. Dokter-dokter spesialis kulit dan kelamin di SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin di RS. Margono Soekarjo. 3. Rekan-rekan Co-Assisten Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin atas semangat dan dorongan serta bantuannya. Semoga presentasi kasus ini bermanfaat bagi semua pihak yang ada di dalam maupun di luar lingkungan RS. Margono Soekarjo.

Purwokerto, Maret 2012

Penyusun

DAFTAR ISI

Halaman BAB I LAPORAN KASUS ............................................................................... 5 A. Identitas Pasien ................................................................................... 5 B. Anamnesis .......................................................................................... 5 C. Pemeriksaan Fisik .............................................................................. 6 D. Resume ............................................................................................... 9 E. Diagnosis Banding ............................................................................. 9 F. Diagnosis Kerja .................................................................................. 9 G. Pemeriksaan penunjang ...................................................................... 9 H. Terapi ................................................................................................. 9 I. Prognosis ............................................................................................ 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 11 A. Definisi ............................................................................................... 11 B. Epidemiologi ...................................................................................... 11 C. Etiologi ............................................................................................... 12 D. Patogenesis ......................................................................................... 12 E. Gejala Klinis ....................................................................................... 14 F. Histopatologi ...................................................................................... 16 G. Diagnosis ............................................................................................ 16 H. Terapi ................................................................................................. 17 I. Prognosis ............................................................................................ 17 BAB III PEMBAHASAN ................................................................................. 18 BAB IV KESIMPULAN .................................................................................. 20

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 21

BAB I LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien Nama Jenis Kelamin Usia Suku Alamat Pekerjaan B. Anamnesis Keluhan utama Riwayat Penyakit Sekarang : Gatal : Pasien datang ke poli kulit kelamin RS. Prof Margono Soekarjo pada tanggal 21 Maret 2012 dengan keluhan gatal di jari tangan kiri. Keluhan ini sudah dirasakan sejak 1 bulan yang lalu. Awalnya kulit terasa gatal, kemudian terlihat kemerahan, kering, : Ny. R : Perempuan : 32 tahun : Jawa : Griya Karen Indah, Sokaraja, Banyumas : Bidan

sehingga sering digaruk dan lama-kelamaan kulit menjadi tebal dan bersisik. Keluhan ini muncul setelah pasien mencuci piring dengan menggunakan sabun cuci piring. Setiap selesai mencuci piring dengan menggunakan sabun tersebut, keluhan yang sama pun selalu muncul, tetapi ketika tidak mencuci piring, walaupun dalam keadaan berkeringat, stress, keluhan tersebut tidak muncul. Pasien pernah berobat dan

mendapatkan salep betamethason. Dengan salep ini, keluhan sedikit berkurang tetapi ketika habis, keluhan pun muncul kembali.

Riwayat Penyakit Dahulu

: Riwayat alergi makanan seperti udang, ikan laut, telur disangkal Riwayat alergi debu disangkal Riwayat asma disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga

: Riwayat alergi makanan seperti udang, ikan laut, telur disangkal Riwayat alergi debu disangkal Riwayat asma disangkal Riwayat menderita keluhan yang sama disangkal Riwayat penyakit DM disangkal

Riwayat Sosial

: Pasien tinggal dengan suami, 1 orang anak, dan 1 orang pembantu. Pasien bekerja sebagai bidan. Di rumah, pasien biasa mencuci piring dengan menggunakan sabun cuci piring. Setiap hari pasien mencuci piring sebanyak 4-6 kali dengan durasi sekitar 20 menit. Untuk pekerjaan rumah yang lain, seperti mencuci pakaian,

dikerjakan oleh pembantunya. C. Pemeriksaan Fisik Keadaan Umum Kesadaran Vital Sign TD Nadi RR Suhu Status Generalis : 120/80 mmHg : 84 x/menit : 20 x/menit : Tidak dilakukan pengukuran : Dalam Batas Normal : Baik : Compos Mentis

Status Dermatologis Lokasi Efloresensi : Digiti 2, 3, dan 4 manus sinistra :Skuama halus dengan dasar makula eritematosa, tidak berbatas tegas, regional dan likenifikasi

Gambar 1.1 Ruam yang terdapat pada digiti 2, 3, dan 4 manus sinistra

D. Resume Pasien, perempuan, 32 tahun dengan keluhan gatal di jari tangan kiri. Keluhan ini sudah dirasakan sejak 1 bulan yang lalu. Awalnya kulit terasa gatal, kemudian terlihat kemerahan, kering, sehingga sering digaruk dan lama-kelamaan kulit menjadi tebal dan bersisik. Keluhan ini muncul setelah pasien mencuci piring dengan menggunakan sabun cuci piring. Setiap selesai mencuci piring dengan menggunakan sabun tersebut, keluhan yang sama pun selalu muncul, tetapi ketika tidak mencuci piring, walaupun dalam keadaan berkeringat, stress, keluhan tersebut tidak muncul. Pasien pernah berobat dan mendapatkan salep betamethason. Dengan salep ini, keluhan sedikit berkurang tetapi ketika habis, keluhan pun muncul kembali. Riwayat alergi makanan seperti telur, udang, ikan laut disangkal. Rwayat alergi debu dan dingin disangkal. Riwayat asma disangkal. Riwayat atopi disangkal. Riwayat keluarga yang mempunya keluhan yang sama disangkal. Riwayat sosial, pasien bekerja sebagai bidan dan di rumah, pasien biasa mencuci piring dengan menggunakan sabun cuci piring. Setiap hari pasien mencuci piring sebanyak 4-6 kali dengan durasi sekitar 20 menit. Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya skuama halus dengan dasar makula eritematosa, tidak berbatas tegas, regional dan likenifikasi pada digiti 2, 3, dan 4 manus sinistra.

E. Diagnosis Banding - Dermatitis Kontak Iritan Kronis - Dermatitis Kontak Alergika - Neurodermatitis - Tinea Manus - Skabies

F. Diagnosis Kerja Dermatitis Kontak Iritan Kronis

G. Pemeriksaan Penunjang Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang, usulan pemeriksaan penunjang adalah uji tempel, uji KOH

H. Terapi Medikamentosa : - Kortikosteroid topikal, seperti clobetasol proprianate 0,05% , dioleskan 2 kali sehari - Loratadin 10 mg 1 kali sehari Non Medikamentosa : Menghindari kontak dengan alergen, yaitu sabun pencuci piring. Bila ingin mencuci piring, pasien bisa menggunakan sarung tangan, Setelah mencuci, pasien disarankan membersihkan tangan dari iritan menggunakan pembersih yang ringan. Pasien

disarankan secara teratur memakai pelembab kulit

I.

Prognosis Quo ad vitam Quo ad sanationam : ad bonam : dubia ad bonam

Quo ad fungsionam : ad bonam

10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi DKI merupakan inflamasi pada kulit yang bermanifestasi sebagai eritema, edema ringan dan pecah-pecah (Hogan, 2011). B. Epidemiologi DKI dapat diderita oleh semua orang dari berbagai golongan umur, ras, dan jenis kelamin. Jumlah penderita dermatitis kontak iritan diperkirakan cukup banyak, namun angkanya secara tepat sulit diketahui. Hal ini disebabkan antara lain oleh banyaknya penderita dengan kelainan ringan tidak datang berobat atau bahkan tidak mengeluh (Djuanda et al., 2007). Di Amerika, DKI sering terjadi pada pekerjaan yang melibatkan kegiatan mencuci tangan atau paparan berulang kulit terhadap air, bahan makanan atau iritan lainnya. Pekerjaan yang berisiko tinggi meliputi pelayanan rumah sakit, tukang masak, dan penata rambut. Sekitar 80% dermatitis tangan okupasional karena iritan lebih sering mengenai tukang bersih-bersih, penata rambut dan tukang masak. Prevalensi dermatitis tangan karena pekerjaan ditemukan sebesar 55,6% di ICU dan 69,7% pada pekerja yang sering terpapar. Di Jerman, angka insiden DKI adalah 4,5 setiap 10.000 pekerja.Insiden tertinggi ditemukan pada penata rambut (46,9 kasus per 10.000 pekerja setiap tahunnya), tukang roti dan tukang masak (Hogan, 2011) Pada bayi bisa terjadi dermatitis popok. Hal ini disebkan oleh ureum yang terlepas karena kerja enzim bakteri di feses sehingga menyebabkan dermatitis kontak iritan di glutea, paha atas, dan perut bagian bawah (Harahap, 2000). C. Etiologi Penyebab munculnya dermatitis jenis ini ialah bahan bersifat iritan. Iritan adalah substansi yang akan menginduksi dermatitis pada setiap orang jika terpapar pada kulit dalam konsentrasi yang cukup, pada waktu yang sufisien dengan frekuensi yang sufisien misalnya bahan pelarut, detergen,

11

minyak pelumas, asam, alkali, dan serbuk kayu, minyak, fiberglass, pelarutpelarut organik, dan lain sebagainya (Djuanda et al., 2007); (Keefner & Curry, 2004). Kelainan kulit yang terjadi selain ditentukan oleh ukuran molekul, daya larut, konsentrasi, serta suhu bahan iritan tersebut, juga dipengaruhi faktor lain, di antaranya adalah lama kontak, kekerapan (terus menerus atau berselang), adanya oklusi menyebabkan kulit lebih permeabel, gesekan dan trauma fisik, serta suhu dan kelembaban lingkungan (Djuanda et al., 2007). Faktor individu juga berpengaruh pada dermatitis kontak iritan, misalnya perbedaan ketebalan kulit di berbagai tempat menyebabkan perbedaan permeabilitas. Selain itu, usia, ras, jenis kelamin, penyakit kulit yang pernah atau sedang dialami, juga berpengaruh terhadap terjadinya dermatitis kontak iritan (Djuanda et al., 2007). D. Patogenesis Kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel yang disebabkan oleh bahan iritan melalui kerja kimiawi maupun fisik. Bahan iritan merusak lapisan tanduk, denaturasi keratin, menyingkirkan lemak lapisan tanduk, dan mengubah daya ikat air kulit. Keadaan ini akan merusak sel epidermis (Djuanda et al., 2007). Dermatitis kontak iritan merupakan manifestasi klinis suatu proses inflamasi yang disebabkan karena proses pengeluaran sitokin proinflamasi dari sel-sel kulit (terutama keratinosit) sebagai respon terhadap stimulus kimiawi (Hogan, 2011).. Ada dua jenis bahan iritan, yaitu bahan iritan kuat dan iritan lemah,. Iritan kuat akan menimbulkan kelainan kulit pada pajanan pertama pada hampir semua orang, sedang iritan lemah hanya pada mereka yang paling rawan atau mengalami kontak berulang-ulang. Faktor kontribusi, misalnya kelembaban udara, tekanan, gesekan, dan oklusi, mempunyai andil pada terjadinya kerusakan tersebut (Djuanda et al., 2007). Kebanyakan bahan iritan (toksin) merusak membran lemak (lipid membrane) keratinosit, tetapi sebagian dapat menembus membran sel dan

12

merusak lisosom, mitokondria, atau komponen inti. Kerusakan membran mengaktifkan fosfolipase dan melepaskan asam arakidonat (AA),

diasilgliserida (DAG), platelet activating factor = PAF), dan inositida (IP3). AA dirubah menjadi prostaglandin (PG) dan leukotrien (LT). PG dan LT menginduksi vasodilatasi, dan meningkatkan permeabilitas vaskuler sehingga memudahkan transudasi komplemen dan kinin. PG dan LT juga bertindak sebagai kemotraktan kuat untuk limfosit dan neutrofil, serta mengaktivasi selt mast melepaskan histamin, LT, PG lain, dan PAF, sehingga memperkuat perubahan vaskular (Trihapsoro, 2003); (Djuanda et al., 2007). DAG dan second messengers lain menstimulasi ekspresi gen dan sintesis protein, misalnya interleukin-1 (IL-1) dan granulocyte-macrophage colony stimulating factor (GMCSF). IL-1 mengaktifkan sel T helper mengeluarkan IL-2 dan mengekspresi reseptor IL-2, yang menimbulkan stimulasi autokrin dan profilerasi sel tersebut (Djuanda et al., 2007). Keratinosit juga membuat molekul permukaan HLA-DR dan adesi intrasel-1 (ICAM-1). Pada kontak dengan iritan, keratinosit juga melepaskan TNF , suatu sitokin proinflamasi yang dapat mengaktivasi sel T, makrofag, dan granulosit, menginduksi ekspresi molekul adhesi sel dan pelepasan sitokin (Djuanda et al., 2007). Rentetan kejadian tersebut menimbulkan gejala peradangan klasik di tempat terjadinya kontak di kulit berupa eritema, edema, panas, nyeri, bila iritan kuat. Kelainan lemah akan menimbulkan kelainan kulit setelah berulang kali kontak, dimulai dengan kerusakan stratum korneum oleh karena delipidasi yang menyebabkan desikasi dan kehilangan fungsi sawarnya sehingga mempermudah kerusakan sel dibawahnya oleh iritan (Djuanda et al., 2007). E. Gejala Klinis Kelainan kulit yang terjadi sangat beragam, bergantung pada sifat iritan. Iritan kuat memberi gejala akut, sedang iritan lemah memberikan gejala kronik. Berdasarkan penyebab dan pengaruh faktor-faktor tersebut ada yang mengklasifikasikan DKI menjadi 10 macan, dan ada pula yang

13

mengklasifikasikan menjadi 2 macam, yaitu DKI akut, termasuk luka bakar kimiawi dan DKI kumulatif. Berikut ini merupakan jenis-jenis DKI. 1. DKI akut DKI akut terjadi setelah satu atau beberapa bahan-bahan iritan kuat sehingga terjadi kerusakan epidermis yang bersifat peradangan. Penyebabnya adalah iritan kuat, misalnya larutan asam sulfat dan asam hidroklorid atau basa kuat, misalnya natrium dan kalium hidroksida. Biasanya karena kecelakaan dan reaksi segera timbul (Harahap, 2000); (Djuanda et al., 2007). Pada umumnya kelainan kulit muncul segera, intensitas reaksi sebanding dengan konsentrasi dan lamanya kontak dengan iritan, terbatas pada tempat kontak. Kulit terasa pedih, panas, rasa terbakar, kelainan yang terlihat berupa eritema, edema, bula, mungkin juga nekrosis. Pinggir kelainan kulit berbatas tegas, dan pada umumnya asimetris (Djuanda et al., 2007). 2. DKI akut lambat Kelainan kulit baru terlihat setelah 8-24 jam atau lebih. Bahan iritan yang menimbulkan reaksi akut lambat, misalnya podofilin, antralin, asam fluorohidrogenat, sehingga dermatitis kontak iritan akut lambat. Contohnya ialah dermatitis yang disebabkan oleh bulu serangga yang terbang malam hari (dermatitis venenata), penderita baru merasa pedih setelah esok harinya, pada awalnya terlihat eritema dan sorenya sudah menjadi vesikel atau bahkan nekrosis (Djuanda et al., 2007). 3. Dermatitis Kontak Iritan Kronis Nama lain dermatitis ini ialah dermatitis iritan kumulatif, disebabkan oleh kontak dengan iritan lemah yang berulang-ulang (faktor fisik, misalnya gesekan, trauma mikro, kelembaban rendah, panas atau dingin; juga bahan, contohnya detergen, sabun, pelarut, tanah, bahkan air) (Harahap, 2000); (Djuanda et al., 2007). Dermatitis kontak iritan kronis mungkin terjadi karena karena kerjasama berbagai faktor. Bisa jadi suatu bahan secara sendiri tidak cukup kuat menyebabkan dermatitis kontak iritan tetapi bila bergabung dengan faktor lain baru mampu.

14

Kelainan baru nyata setelah berhari-hari, berminggu-minggu, berbulanbulan, bahkan bisa bertahun-tahun kemudian. Sehingga waktu dan rentetan kontak merupakan faktor yang paling penting. Dermatitis iritan kumulatif ini merupakan dermatitis kontak iritan yang paling sering ditemukan (Djuanda et al., 2007). Gejala klasik berupa kulit kering, eritema, skuama, lambat laun kulit tebal (hiperkeratosis) dan likenifikasi, batas kelainan tidak tegas. Bila kontak terus berlangsung, akhirnya kulit dapat retak seperti luka iris (fisur) seperti pada kulit tumit tukang cuci yang sering terkena detergen. Ada kalanya kelainan hanya berupa kulit kering atau skuama tanpa eritema sehingga diabaikan oleh penderita (Djuanda et al., 2007). DKI kumulatif sering berhubungan dengan pekerjaan, oleh karena itu lebih banyak ditemukan di tangan dibandingkan dengan di bagian lain. Contoh pekerjaan yang berisiko tinggi untuk DKI kumulatif yaitu tukang cuci, kuli bangunan, montir di bengkel, juru masak, tukang kebun, dan penata rambut (Hogan, 2011); (Djuanda et al., 2007). 4. Reaksi iritan Raksi iritan merupakan dermatitis iritan subklinis pada seseorang yang terpajan dengan pekerjaan basah, misalnya penata rambut dan pekerja logam dalam beberapa bulan pertama pelatihan (Djuanda et al., 2007). 5. DKI traumatik Kelainan kulit berkembang lambat setelah trauma panas atau laserasi. Gejala seperti dermatitis numularis, penyembuhan lambat, paling cepat 6 minggu. Paling sering terjadi di tangan (Djuanda et al., 2007). 6. DKI noneritematosa DKI noneritematosa merupakan bentuk subklinis DKI, ditandai perubahan fungsi sawar stratum korneum tanpa disertai kelainan klinis (Djuanda et al., 2007).

15

7. DKI subyektif DKI ini disebut juga DKI sensori; kelainan kulit tidak terlihat namun penderita merasa seperti tersengat (pedih) atau terbakar (panas) setelah kontak dengan bahan kimia tertentu, misalnya asam laktat (Djuanda et al., 2007). F. Histopatologi Gambaran histologik dermatitis kontak iritan tidak khas. Pada dermatitis kontak iritan akut (oleh iritan primer), dalam dermis terjadi vasodilatasi dan sebukan sel mononuklear di dermis bagian atas. Eksositosis di epidermis disertai spongiosis dan edema intrasel, dan akhirnya terjadi nekrosis epidermal. Pada keadaan berat, kerusakan epidermis ini dapat menimbulkan vesikel atau bula. Di dalam vesikel atau bula ditemulan limfosit dan neutrofil (Djuanda et al., 2007) G. Diagnosis Diagnosis dermatitis kontak iritan didasarkan atas anamnesis yang cermat dan pengamatan gambaran klinis. Dermatitis kontak iritan akut lebih mudah diketahui karena munculnya lebih cepat sehingga penderita pada umumnya masih ingat apa yang menjadi penyebabnya. Sebaliknya, dermatitis kontak iritan kronis, timbulnya lambat serta mempunyai variasi gambaran klinis yang luas, sehingga adakalanya sulit dibedakan dengan dermatitis kontak alergi. Untuk itu diperlukan uji tempel untuk bahan yang dicurigai (Djuanda et al., 2007) H. Terapi Upaya pengobatan DKI yang terpenting adalah menghindari pajanan bahan iritan, baik yang bersifat mekanik, fisik, maupun kimiawi serta menyingkirkan faktor yang memperberat. Bila hal ini dapat dilaksanakan dengan sempurna, dan tidak terjadi komplikasi, maka DKI tersebut akan sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan topikal, mungkin cukup dengan pelembab untuk memperbaiki kulit kering (Djuanda et al., 2007). Apabila diperlukan, untuk mengatasi peradangan dapat diberikan kortikosteroid topikal misalnya hidrokortison, atau untuk kelainan yang

16

kronis dapat diawali dengan kortikosteroid yang lebih kuat. Pemakaian alat pelindung diri yang adekuat diperlukan bagimereka yang bekerja dengan bahan iritan, sebagai salah satu upaya pencegahan (Djuanda et al., 2007). I. Prognosis Bila bahan iritan penyebab dermatitis tersebut tidak dapat disingkirkan dengan sempurna, maka prognosisnya kurang baik. Keadaan ini sering terjadi pada dermatitis kontak iritan kronik yang penyebabnya multifaktor, juga pada penderita atopi (Djuanda et al., 2007).

17

BAB III PEMBAHASAN

DKI sering terjadi di pekerjaan yang melibatkan kegiatan mencuci tangan atau paparan berulang kulit terhadap air, bahan makanan atau iritan lainnya (Hogan, 2011). Pasien pada kasus ini adalah seorang wanita yang sering melakukan aktivitas mencuci piring setiap harinya, melibatkan tangan dengan menggunakan sabun cuci piring. Sabun cuci piring merupakan salah satu bahan iritan. Iritan adalah substansi yang akan menginduksi dermatitis pada setiap orang jika terpapar pada kulit, dalam konsentrasi yang cukup, pada waktu yang cukup dengan frekuensi yang adekuat. Masing-masing individu memiliki predisposisi yang berbeda terhadap berbagai iritan (Keefner & Curry, 2004); (Djuanda et al., 2007). Dari anamnesis dikatakan keluhan muncul sejak 1 bulan yang lalu. Awalnya kulit terasa gatal, kemudian terlihat kemerahan, kering, sehingga sering digaruk dan lama-kelamaan kulit menjadi tebal dan bersisik. Keluhan ini muncul setelah pasien mencuci piring dengan menggunakan sabun cuci piring. Setiap selesai mencuci piring dengan menggunakan sabun tersebut, keluhan yang sama pun selalu muncul, tetapi ketika tidak mencuci piring, walaupun dalam keadaan berkeringat, stress, keluhan tersebut tidak muncul. Pasien pernah berobat dan mendapatkan salep betamethason. Dengan salep ini, keluhan sedikit berkurang tetapi ketika habis, keluhan pun muncul kembali. Riwayat alergi makanan seperti telur, udang, ikan laut disangkal. Rwayat alergi debu disangkal. Riwayat asma disangkal. Riwayat atopi disangkal. Riwayat keluarga yang mempunya keluhan yang sama disangkal. Riwayat sosial, pasien bekerja sebagai bidan dan di rumah, pasien biasa mencuci piring dengan menggunakan sabun cuci piring. Setiap hari pasien mencuci piring sebanyak 4-6 kali dengan durasi sekitar 20 menit. Dari kondisi tersebut dapat dilihat adanya faktor lama dan frekuensi paparan yakni adanya paparan yang berulang tapi ringan pada pasien. Dari faktor lingkungan, aktivitas mencuci menggunakan tangan yang sering setiap harinya

18

pada pasien merupakan aktivitas yang melibatkan gesekan dan berisiko terjadinya trauma mikro serta kelembaban rendah. Secara klinis pada kasus dapat digolongkan menjadi DKI kumulatif/kronis. Hal ini sesuai dengan hal-hal yang tercakup didalamnya yakni penyebabnya adalah iritan lemah, onset berhari-hari, berminggu-minggu, dan bahkan bertahuntahun, kulit tampak kering, kemerahan, bersisik, terjadi penebalan kulit, dan bila terus-terusan dapat retak. adanya riwayat kontak berulang-ulang dan berhubungan dengan pekerjaan. Selain itu juga dari anamnesis didapatkan informasi tidak adanya riwayat atopi atau riwayat alergi pada pasien. Dari pemeriksaan fisik ditemukan skuama halus dengan dasar makula eritematosa, difus, regional, serta likenifikasi yang terletak pada digiti 2, 3, dan 4 manus sinistra. Hal ini sesuai dengan gejala klinis pada DKI kronis, yaitu pada pemeriksaan fisiknya ditemukan kulit kering, eritema, skuama, lambat laun kulit tebal (hiperkeratosis) dan likenifikasi, batas kelainan tidak tegas. Diagnosis banding dari DKI pada pasien ini adalah DKA, neurodermatitis, tinea manus, dan skabies. Berikut ini merupakan alasan-alasan diagnosis banding tersebut disingkirkan. 1. DKA Gejala klinis DKA hampir mirip dengan DKI, yaitu gatal. Pada yang akut biasanya didapatkan adanya bercak eritema, edema, papulovesikel, vesikel dan bula. Pada yang kronis biasanya terlihat kering, berskuama, papul, likenifikasi, dan juga fisur. Pada pasien ini eritema pada kulitnya tidak berbatas tegas, sedangkan pada DKA eritemanya berbatas tegas. Untuk mendukung diagnosis DKI maka perlu dilakukan uji tempel sehingga dapat dipastika kalau pasien ini tiidak menderita DKA (Djuanda et al., 2007). 2. Neurodermatitis Neurodermatitis merupakan peradangan kulit kronis, gatal sekali, berbatas jelas, ditandai dengan likenifikasi akibat garukan yang berulang. Pada neurodermatitis, gatal biasanya timbul ketika seseorang berada dalam keadaan stress (Radmanesh & Sharifi, 2011). Pada pasien ini, gatal tidak timbul ketika

19

pasien sedang dalam keadaan stress sehingga diagnosis neurodermatitis bisa disingkirkan 3. Tinea manus Tinea manus hampir mirip dengan dermatitis. Tanda klinis yang membedakannya yaitu kelainannya berbatas tegas, tepi lesi aktif (menunjukkan peradangan), sedangkan pada pasien ini tidak didapatkan adanya tanda-tanda tersebut (Graham & Burns, 2005). Untuk memastikannya, bisa dilakukan uji KOH (Djuanda et al., 2007). 4. Skabies Skabies merupakan penyakit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi terhadap Sarcoptes scabei. Predileksi skabies di antaranya adalah sela-sela jari tangan. Pasien ini tidak menderita skabies, karena tidak didapatkan 4 tandatanda kardinal, yaitu pruritus nokturnal, menyerang manusia secara berkelompok, adanya kanalikulus, dan ditemukannya tungau (Djuanda et al., 2007). Upaya pengobatan DKI yang terpenting adalah menghindari pajanan bahan iritan, baik yang bersifat mekanik, fisis atau kimiawi serta menyingkirkan faktor yang memperberat. Bila dapat dilakukan dengan sempurna dan tanpa komplikasi, maka tidak perlu pengobatan topikal dan cukup dengan pelembab untuk memperbaiki kulit yang kering. Apabila diperlukan untuk mengatasi peradangan dapat diberikan kortikosteroid topikal. Pemakaian alat perlindungan yang adekuat diperlukan bagi mereka yang bekerja dengan bahan iritan sebagai upaya pencegahan. Untuk DKI kronis, secara topikal diberikan salep mengandung steroid dengan potensi sangat tinggi, yaitu clobetasol proprianate 0,05% dengan pemberian 2 kali sehari. Steroid ini diberikan karena sebelumnya pasien mendapatkan pengobatan betamethason tetapi efeknya kurang poten. Untuk menghilangkan rasa gatal, diberikan antihistamin (loratadin 10 mg 1 tablet/hari). Pasien disarankan secara teratur memakai pelembab kulit dan menghindari pajanan dengan sabun cuci piring. Jika terpaksa harus mencuci piring, pasien disarankan untuk menggunakan sarung tangan.

20

BAB IV KESIMPULAN

1.

DKI merupakan inflamasi pada kulit yang bermanifestasi sebagai eritema, edema ringan dan pecah-pecah

2.

DKI sering terjadi di pekerjaan yang melibatkan kegiatan mencuci tangan atau paparan berulang kulit terhadap air, bahan makanan atau iritan lainnya

3.

DKI diklasifikasikan menjadi beberapa jenis, di antaranya adalah DKI akut dan DKI kronis

4.

Pasien pada kasus ini menderita DKI kronis karena sering terpapar oleh iritan lemah secara berulang-ulang dan dari hasil anamnesis serta pemeriksaan fisik mengarah ke DKI kronis

5.

Pengobatan DKI kronis dilakukan secara medikamentosa, yaitu dengan pemberian kortikosteroid topikal dan anti histamin serta non medikamentosa yaitu edukasi tentang penyakit dan cara untuk mencegah paparan yang berulang

21

DAFTAR PUSTAKA

Djuanda, A. et al., 2007. Ilmu penyakit Kulit dan Kelamin. 7th ed. Jakarta: FKUI. Graham, R. & Burns, T., 2005. Lecture Notes Dermatologi. 8th ed. Jakarta: Erlangga. Harahap, M., 2000. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hipokrates. Hogan, D.J., 2011. Irritant Contact Dermatitis. [Online] Available at: http://emedicine.medscape.com/article/1049353-overview [Accessed 25 Maret 2012]. Keefner, D.M. & Curry, C.E., 2004. Contact Dermatitis. In Handbook of Nonprescription Drugs. 12th ed. Washington: APA. Radmanesh, M. & Sharifi, M., 2011. Lichen simplex chronicus, neurotic excoriation and nodular. Iranian Journal of Dermatology, 14(1). Trihapsoro, I., 2003. Dermatitis Kontak Alergik Pada Pasien Rawat Jalan di RSUP Haji Adam malik Medan. USU.

22

Anda mungkin juga menyukai