Metode
deteksi
virus
dengan
teknik
PCR
Saat ini, upaya deteksi adanya infeksi oleh virus dengue tidak lagi terbatas mengadalkan metode kultur virus konvensional, tetapi juga dengan metode reaksi berantai polimerase atau yang lebih akrab disebut teknik PCR. Teknik PCR adalah suatu metode enzimatis untuk melipatgandakan secara eksponensial suatu sekuen nukleotida (bagian dari gen) tertentu secara in vitro (di luar tubuh organisme hidup; misalnya di dalam tabung reaksi-peny). Metode ini kali pertama dikembangkan pada 1985 oleh Kary B. Mullis, seorang peneliti di perusahaan CETUS corporation. Metode ini sekarang telah banyak digunakan untuk berbagai macam analisis dan rekayasa genetika. Pada awal perkembangannya, teknik ini ditujukan untuk melipat gandakan molekul DNA, tetapi kemudian pula untuk melipatgandakan molekul RNA. Prinsip diagnosis laboratoris penyakit DBD dengan teknik PCR adalah untuk melacak susunan RNA virus dengue. RNA virus dengue diperoleh dari ekstaksi serum, plasma darah, atau sel dari jaringan tubuh yang terinfeksi virus dengue. Di Indonesia, Pusat Studi Bioteknologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, mengembangkan suatu teknik deteksi virus dengue teknik PCR, yang disebut teknik Multiplex RT-PCR yang dapat mengidentifikasi virus dengue pada pasien Demam Berdarah Dengue (DBD) hanya dalam waktu empat jam. Deteksi virus dengue dengan teknik ini diharapkan mampu mempercepat diagnosis virus penyebab penyakit DBD, dn secara langsung akan mampu mempercepat pula pemberian terapi yang tepat. Sebagaimana kita ketahui, di Indonesia virus dengue tipe 3 adalah tipe yang patut diwaspadai karena berhubungan dengan kasus-kasus DBD yang fatal. Jika dibandingkan dengan teknik Multiplex RT-PCR, deteksi secara konvensional melalui media kultur sel setidaknya diperlukan waktu satu minggu untuk mengidentifikasi tipe virus dengue yang menginfeksi pasien, apakah virus dengue 1,2,3 atau tipe 4, yang masingmasing memerlukan penanganan yang berbeda. Hal ini tentu amat merugikan karena memperlambat diagnosis dan pemberian terapi yang cepat dan tepat. Namun, sayangnya biaya pemeriksaan Multiplex RT-PCR yang sekitar RP 300.000 ini, dirasakan masih terlalu mahal bagi sebagian besar masyarakat. Semoga pada masa mendatang, biaya pemeriksaan ini akan lebih terjangkau.
PENDAHULUAN
Sampai saat Demam Berdarah Dengue ( DBD ) masih merupakan masalah kesehatan, bersifat endemis dan timbul sepanjang tahun. Penyakit ini walau banyak terjadi pada anakanak, namun terdapat kecenderungan peningkatan jumlah penderita dewasa serta menyebabkan morbiditas dan mortalitas. Diagnosis laboratoris DBD baik pada anak maupun dewasa belum pernah dibedakan secara jelas, di mana masih memakai kriteria umum yaitu isolasi virus dengan cara kultur, pemeriksaan serologis dengan mendeteksi antibodi anti-dengue, maupun pemeriksaan asam nukleat dari RNA virus dengue yang sekaligus dapat mendeteksi jenis serotipe virus dengue yang diperlukan tidak saja untuk keperluan epidemiologi, namun salah satu faktor yang kemungkinan dapat mengarah pada gradasi berat ringannya gejala infeksi virus dengue. Konsekuensinya, diperlukan pemahaman prosedur pemeriksaan yang dapat dilakukan secara rutin maupun untuk penelitian, beserta interpretasi hasil uji laboratorisnya. Pengertian mengenai kinetik replikasi virus dengue dan respons terhadap host, demikian juga untuk pengumpulan dan penanganan spesimen diperlukan untuk mengklarifikasi kekuatan dan kelemahan dari berbagai uji/metode diagnosis infeksi virus dengue.
Diagnosis infeksi virus Dengue, selain dengan melihat gejala klinis, juga dilakukan dengan pemeriksaan darah di laboratorium. Pada Demam Dengue (DD), saat awal demam akan dijumpai jumlah leukosit (sel darah putih) normal, kemudian menjadi leukopenia (sel darah putih yang menurun) selama fase demam. Jumlah trombosit pada umumnya normal, demikian pula semua faktor pembekuan, tetapi saat epidemi/wabah dapat dijumpai trombositopenia (jumlah trombosit yang menurun ). Enzim hati dapat meningkat ringan. Pada Demam Berdarah Dengue (DBD), pemeriksaan laboratorium menunjukkan trombositopenia dan hemokonsentrasi. Pada kasus syok/SSD, selain ditemukan hasil laboratorium seperti DBD di atas, juga terdapat kegagalan sirkulasi ditandai dengan terjadi penurunan demam disertai keluarnya keringat, ujung tangan dan kaki teraba dingin, nadi cepat atau bahkan melambat hingga tidak teraba serta tekanan darah tidak terukur. Seringkali sesaat sebelum syok, penderita mengeluh nyeri perut, beberapa tampak sangat lemah dan gelisah. Dalam menegakkan diagnosis infeksi virus Dengue diperlukan pemeriksaan untuk mendeteksi adanya antibodi spesifik terhadap virus Dengue di dalam serum penderita baik berupa IgM antidengue maupun IgG antidengue. Penting diketahui bahwa IgG antidengue bersifat diagnostik, dapat menjadi parameter terjadinya dugaan infeksi dengue sekunder akut. Hal ini sesuai dengan teori yang masih dianut sampai saat ini, yaitu teori heterologous infection maupun ADE (Antibody Dependent Enhancement).Jadi IgG yang terdeteksi dalam pemeriksaan laboratorium tidak menunjukkan adanya proteksi atau sekedar infeksi virus dengue di masa lampau. Diagnosis yang telah ditegakkan dengan pemeriksaan klinis dan laboratoris (WHO,1997), ditunjang dengan pemeriksaan serologis adanya baik IgM anti dengue ataupun IgG anti dengue yang idealnya diikuti kadarnya ( apabila memungkinkan ), hal
ini akan mempertajam diagnosis DBD. Pemeriksaan lanjutan untuk mengetahui serotipe Den1,2,3,4 dari virus dengue saat ini banyak dilakukan dengan metode molekuler yaitu nested RT-PCR ( Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction ).Untuk wabah DBD yang sekarang merebak di Indonesia saat ini, idealnya pemeriksaan dilanjutkan tidak hanya sampai serotipe namun untuk melihat subtipe, yang akhir-akhir ini diduga sebagai strain baru.
PT PCR
Reverse transcription polymerase chain reaction (RT-PCR) merupakan variasi dari polymerase chain reaction (PCR), sebuat teknik laboratorium yang biasanya digunakan dalam biologi molekular untuk menghasilkan sejumlah gandaan bagian tertentu untai DNA atau yang dikenal dengan Amplifikasi. Dalam RT-PCR, sebaliknya, untai RNA pertama-tama di transkrip balik menjadi DNA komplemen (complementary DNA, atau cDNA) menggunakan enzim reverse transcriptase, dan cDNA yang dihasilkan akan digandakan sepertihalnya PCR pada umumnya. Reverse transcription PCR (RT-PCR) jangan dirancukan dengan Real-Time Polymerase Chain Reaction (Q-PCR/qRT-PCR), yang biasanya terjadi kesalahan dalam penggunaan singkatan. Jadi RT-PCR merupakan singkatan dari Reverse-Transcription Polymerase Chain Reaction dan bukan kependekan dari Real-Time PCR. Biasanya Real-Time PCR disingkat dengan Q-PCR atau qPCR atau yang sebenarnya adalah Quantitative PCR.
diturunkan hingga mencapai suhu anealing yang bervariasi tergantung primer yang digunakan, konsentrasi, probe dan konsentrasinya jika digunakan, dan juga konsentrasi kation. Perhatian utama saat memilih temperatur anealing optimal adalah melting temperatur dari primer dan probe (jika digunakan). Temperatur annealing dipilih untuk PCR tergantung langsung pada panjang dan komposisi dari primer tersebut. Hal ini merupakan hasil dari perbedaan ikatan hidrokarbon antara A-T (2 ikatan) dan G-C (3 ikatan). Temperatur annealing biasanyaberkisar 5 derajat di bawah Tm terendah dari pasangan primer yang digunakan. Tahap akhir adalah Amplifikasi PCR yang merupakan proses dimana dilakukannya perpanjangan DNA menggunakan Primer yang memerlukan Taq DNA polymerase yang termostabil, biasanya pada suhu 72C, yang merupakan suhu optimal untuk aktivitas enzim polymerase. Lamanya masa inkubasi tiap temperatur, perubahan suhu dan jumlah siklus dikontrol secara terprogram menggunakan programmable thermal cycler. Analaisa produk PCR tergantung pada kebutuhann PCR. Jika menggunakan PCR konvensional, maka produk PCR dapat dideteksi dengan agarose gel electrophoresis dan ethidium bromide (atau dye nukleotida lainnya).
Kurva RNA standar dibuat dengan cara amplifikasi gen DENV-3 pada plasmid. Sampel yang berasal dari otak mencit, kultur sel, nyamuk Aedes aegepty dan darah dipreparasi untuk dilakukan qRT-PCR. Sampel darah juga dianalisis menggunakan metode ELISA dan nested PCR. Sampel nyamuk untuk qRT-PCR dambil dari bagian tubuh sedangkan bagian kepala digunakan untuk Immunoflouroassay. Hasil penelitian menunjukkan bahwa qRT-PCR sensitive karena dapat mendeteksi RNA DENV pada semua sampel yang terinfeksi (100%). Sensitifitas qRT-PCR berbeda untuk setiap strain DENV (r berbeda). Perbedaan ini disebabkan perbedaan perbandingan transkrip RNA terinfeksi dengan RNA yang tidak terinfeksi. Sensitivitas qRT-PCR juga ditunjukkan dengan hasil analisis sampel darah. Metode qRTPCR lebih sensitif dibandingkan metode ELISA dan nested-PCR. Selektifitas qRT-PCR terbukti dengan tidak teramplifikasi strain flavivirus (CHK, WN dan JE). qRT-PCR juga dapat digunakan untuk tujuan surveillance melalui deteksi jumlah RNA dalam serum pada post onset days (POD). Jumlah RNA yang teramplifikasi tidak linier pada masa awal infeksi. Aedes aegepty yang terbukti positif dapat digunakan untuk memonitor kecepatan infeksi oleh vektor dan dapat dijadikan peringatan awal epidemic dengue.