Anda di halaman 1dari 4

Balada Mahasiswa Muslim di Jepang

Details Created on Monday, 11 June 2012 02:40 Written by Hifizah Nur "Syukyou tte, omoshiroi ne.." (1). Terngiang kata-kata teman satu lab yang sering ngobrol di sela-sela kesibukan kami mengerjakan penelitian dan tugas-tugas kuliah. Satu tahun bergaul, mungkin banyak hal yang sering ia lihat dariku. Sangat jauh berbeda dari kebiasaan anak-anak muda di Jepang meskipun temannya ini sudah tidak bisa digolongkan muda lagi. Bagaimana tidak, usia berbeda sepuluh tahun. Sudah menikah dan punya anak pula, tapi biarlah... bergaul dengan anak-anak muda, semangat menjadi tetap muda. Awalnya saya agak khawatir memegang teguh prinsip-prinsip Islam di lingkungan yang jauh dari nilai-nilai agama ini, apalagi saya satu-satunya perempuan di lab. Berjilbab pula. Teman-teman satu laboraturium pun, mulanya terkesan sangat hati-hati bersikap dengan saya. Namun, setelah sering ngobrol dan sharing informasi tentang Indonesia, lambat laun mereka menjadi lebih nyantai berhadapan dengan saya yang mahluk asing ini. KTP Jepang untuk orang asing disebut certificate of alien registration. Kalau sedang bercanda, kata alien sering kami plesetkan artinya sebagai mahluk luar angkasa.

Syukurlah anak-anak muda Jepang ini baik-baik. Mungkin juga karena mereka calon guru. Belajar ilmu psikologi juga selain ilmu pendidikan. Jadi, mereka paham perbedaan budaya antarbangsa, apalagi mulai banyak anak-anak muslim yang bersekolah di sekolah Jepang. Masalah perbedaan budaya di sekolah Jepang mulai merebak dengan semakin banyaknya orang-orang asing yang bekerja dan menetap di Jepang. Tentu pengetahuan mendalam tentang berbagai budaya dunia, juga Islam, menjadi salah satu hal penting yang perlu dipelajari oleh mereka. Untuk urusan komunikasi, karena mereka mendapat training mengajar anak-anak, alhamdulillah sampai sekarang tidak ada masalah. Kemampuan bahasa Jepang yang saya pelajari dengan serius sejak datang ke negeri Sakura ini juga sangat membantu memuluskan jembatan komunikasi dengan mereka. Awalnya mereka sering melihat saya sholat di dalam lab. Kebetulan ruangan lab terbuka, tidak ada sekat, kecuali meja-meja belajar setinggi pinggang yang disediakan untuk seluruh penghuni lab. Dari situ, setiap kali ada waktu santai saat makan siang, kami sering ngobrol tentang berbagai hal. Seringkali mereka bertanya tentang Islam dan juga tentang Indonesia. Pernah satu kali mereka meminta saya bercerita tentang riwayat pernikahan. Ketika saya bilang, lulus S1, langsung menikah, mereka sangat kaget. Apa lagi ketika mereka tahu, saya menikah tanpa berpacaran dulu. Tambah heboh deh. Kok jaman sekarang masih ada ya menikah tanpa pacaran? Indonesia, apa masih seperti Jepang zaman Edo (2) ya? Begitu kali pikir mereka. Saya bilang kepada mereka, Saya tidak ingin main-main dalam urusan yang satu ini (hubungan pria dan wanita). Saya tidak ingin memboroskan waktu saya untuk hal yang sia-sia. Makanya, saya memilih untuk langsung menikah. Teman-teman cuma geleng-geleng kepala, heran mendengar alasan saya. Di Jepang sebenarnya ada juga gaya pernikahan model dijodohkan. Namun, yang berminat dengan gaya seperti itu sedikit. Kalau tidak ada jalan lain, karena mencari sendiri sulit, barulah mereka minta dijodohkan oleh orang tua atau atasan tempat bekerja. Selain itu, di zaman sekarang sangat jarang ada anak lulus kuliah langsung menikah. Kata menikah baru terpikir dalam kamus hidup mereka setelah bekerja selama beberapa tahun. Mungkin karena perlu mengumpulkan uang untuk persiapan berumah tangga. Range usia pernikahan di Jepang sekitar 30 tahun untuk pria dan 25 atau 27 tahun untuk wanita. Jadi, ketika tahu saya menikah pas setelah lulus S1 dengan suami yang baru masuk program doktor, teman-teman satu lab semakin heran. Tidak terbayang bagi mereka bagaimana suami saya membayar biaya kuliah sambil menghidupi istri dan anak. Kalau muslim percaya bahwa rezeki itu sudah diatur Sang Khaliq. Alhamdulillah, rumah tangga saya baik-baik saja sampai saat ini.

Kesulitan menjadi mahasiswa muslim sebenarnya cukup banyak. Diantaranya ketika dengan berat hati saya harus menolak acara minum-minum yang sangat sering kali diadakan oleh dosen dan teman-teman. Kali pertama, ketika disambut sebagai mahasiswa baru, saya bersedia datang untuk menghormati mereka. Kali kedua, selesai presentasi penelitian tengah semester, kembali diadakan acara minum-minum. Saat itu perasaan tidak nyaman melihat orang meminum minuman keras sampai setengah mabuk, menguat. Ketika acara minum-minum kembali diadakan, akhirnya saya dengan sopan meminta izin untuk tidak ikut lagi acara-acara seperti itu kepada dosen pembimbing. Berkat komunikasi yang terjalin baik sejak awal masuk kuliah, dosen saya memberi izin untuk tidak hadir dengan alasan agama. Acara minum-minum ini selain biayanya sangat mahal, karena harga minuman yang mahal, juga dilakukan di malam hari. Saat-saat penting bagi saya untuk membangun keakraban di keluarga. Acara minum-minum ini adalah budaya bagi orang Jepang sebagai ajang untuk penghormatan kepada dosen dan juga alumni-alumni senior. Juga sebagai ajang bersosialisasi, serta membuka sekat-sekat antara senior-junior atau dosen-mahasiswa yang sangat dipegang teguh oleh mereka di harihari biasa. Selain kampus, karyawan-karyawan perusahaan di seluruh Jepang juga pasti melakukan hal seperti ini. Suatu kali, saat makan sore sambil menunggu kuliah malam, teman saya bertanya tentang makanan apa saja yang tidak boleh dimakan oleh orang Islam. Saya bilang selain daging babi dan minuman keras, juga unsur-unsur minuman keras dan babi yang terkandung di dalam bahan makanan meskipun sedikit. Misalnya di dalam margarin, emulsifier, mirin, dan lainnya. Teman saya ini lahir dari keluarga pendeta Budha. Tumbuh dalam lingkungan yang cukup religius sehingga dikenal sebagai anak yang sangat baik di antara teman-temannya. Ternyata di dalam ajaran Budha, ia cerita, tidak diperbolehkan memakan daging apa pun. Hmm... tapi kok kamu makan daging sih? tanya saya yang sering melihatnya membeli bekal makan siang berupa daging. Mukanya memerah, Duh, kena deh.. ujarnya malu. Sepertinya meskipun religius, seperti orang Jepang lainnya, dalam hal makanan ia sangat longgar.

Teman-teman satu lab sangat menghormati prinsip saya yang sangat berhati-hati dalam hal makanan ini. Pernah ketika mengadakan Nabe Party (3), mereka sengaja membuat satu porsi berbahan dasar ikan dan sayuran demi saya. Belum lagi ketika mereka mengadakan pesta ice cream atau membeli snack, pasti sebelum memberikannya ke saya, diperiksa dulu ingredient di bungkus makanannya, apakah ada bahan-bahan yang tidak bisa saya makan. Kalau ternyata ada, mereka akan menyodorkan cemilan yang aman untuk saya nikmati.

Menjadi mahasiswa muslim di Jepang memiliki tantangan yang berat. Selalu berada di antara tarikan antara ingin memegang teguh prinsip Islam dan bertarung dengan keinginan untuk menghormati budaya di mana saya tinggal. Terutama ketika harus mengkomunikasikan nilai-nilai Islam tanpa menyinggung perasaan teman-teman Jepang. Menjaga hubungan baik dengan dosen dan teman-teman, serta memperlihatkan kesungguhan dalam menuntut ilmu, saya rasa menjadi hal yang sangat penting. Harapan saya inginnya hubungan baik ini membuka jalan bagi orang-orang Indonesia lain yang ingin melanjutkan studi ke Jepang. Kalau citra saya buruk saat ini, tentu akan membuat nama Indonesia dan Islam menjadi buruk dan bisa menutup kesempatan bagi teman-teman Indonesia lainnya yang ingin menuntut ilmu di kampus ini. Meskipun awalnya ragu, ternyata setelah dijalankan, mereka sangat menaruh hormat kepada saya karena keteguhan memegang prinsip Islam. Saya pun menjadi bertambah yakin akan janji Allah, bahwa Dia akan meneguhkan kedudukan orang-orang yang menegakkan agama-Nya. Alhamdulillah, kendala mengkomunikasikan prinsip-prinsip Islam, mulai mendapat titik terang. Baru-baru ini, tim mahasiswa, dosen, dan staf international exchange center dari Nagoya University, universitas di kota sebelah, membuat semacambooklet tentang kehidupan mahasiswa muslim di kampus (klik di sini)Teman-teman mahasiswa dari Indonesia memiliki andil besar dalam pembuatan booklet ini. Tujuan utama dari pembuatan booklet ini tentu saja agar orang-orang Jepang jadi lebih memahami perbedaan antara kehidupan muslim dengan masyarakat Jepang. Juga untuk mencari celah yang bisa dipakai untuk menjembatani perbedaan tersebut. Setelah mendapatkan informasi tentang booklet ini, saya langsung menyebarkannya ke dosen dan teman-teman Jepang yang sering berinterkasi dengan saya lewat Facebook. Dosen saya sendiri menyambutnya dengan antusias. Beliau berjanji akan menyebarkannya ke pihak kampus. Teman saya pun memberi komentar positif dan menganggap ini salah satu bacaan yang wajib dibaca oleh para calon guru. Syukurlah, saya berharap booklet ini bisa menjadi salah satu jalan memuluskan interaksi mahasiswa muslim yang mendapat rezeki untuk kuliah di Jepang setelah ini. Selain itu, semoga booklet ini bisa memberikan informasi yang positif tentang Islam sebagai penyeimbang informasi negatif yang datang dari media barat. Siapa tahu setelah melihat booklet ini ada orang Jepang yang tertarik untuk mempelajari Islam lebih dalam dan ingin menjadi muslim. Tinggal bagaimana kita bisa menjadi duta Islam, menerapkan nilai-nilai luhur itu dalam keseharian kita, untuk membuktikan ketinggian Islam dihadapan masyarakat Jepang. Semoga suatu saat Islam mewarnai bumi sakura ini. Aamiin... Ditulis oleh Hifizah Nur, mahasiswa program master di Aichi University of Education, Kariya City, Jepang

(1) Agama itu menarik ya? (2) Salah satu zaman pemerintahan di Jepang (tahun 1603-1868 M) yang ditandai oleh aturan sosial yang ketat (Wikipedia http://en.wikipedia.org/wiki/Edo_period) (3) Nabe Party: Pesta membuat sup sayuran yang dicampur daging atau ikan. Panci yang dipakai terbuat dari batu, yang biasa disebut Nabe.


Comments

< Prev Next >

0# anna 2013-01-16 07:21 waah keren mba bisa istiqamah. sya pengen bgt lanjut kuliah di jepang mba,jurusan farmasi tpatnya, di univ mana ya yg bgus? tapi impian sya itu tdk mendapat perstujuan dri ortu. apalagi ortu sya ilmu agamanya dlm bgt. mnurut mba apa yg harus sya lakukan? arigatou... Reply | Reply with quote | Quote

0# fahmi azain 2012-10-31 09:48 wahhh bagus ceritanya kak. jadi ingin ke jepang saya. Reply | Reply with quote | Quote

0# Abenk 2012-10-13 10:07 Asslkm Mbak, Seneng baca tulisan mbak, semoga terus diteguhkan imannya. Benar menjadi duta Islam diluar sana. Semangat ya Mbak, Wskm... Reply | Reply with quote | Quote

0# deva lusiana 2012-08-31 03:30 assalamualaikum.. wr.wb salam kenal saya deva, ada beberapa pertanyaan yang ingin saya tanyakan kepada mba.. boleh kah share melalui emai?

terima kasih Reply | Reply with quote | Quote

+2# laila 2012-08-06 14:20 Terima kasih banyak tulisannya. Sangat informatif dan bermanfaat, terutama bagi para muslim yg berniat melanjutkan studi ke Jepang. Reply | Reply with quote | Quote

0# Nurhidayati 2012-07-11 07:24 As.mb, salam kenal..mb saya lg cari2 bahan untuk lanjut ke Jepang..univers itas mana ya yang ada jurusan psikologinya? terima kasih...semoga sukses mb..btw, pas pertama kali ke jepang mb udh bs bhs Jepang? Reply | Reply with quote | Quote

0# Hifizah Nur 2012-06-12 02:15 Mbak Dewi, terima kasih komentarnya.. Memang berat ya mbak, tinggal di lngkungan yang sangat berbeda dengan kita. Tapi insya Allah akan semakin dewasa dan matang dalam menyikapi masalahmasalah yang kita temui ke depannya... Mungkin senseinya mbak tahu kali, kalau muslim itu tidak minum-minum, jadi enggak pernah diajak. Tapi saya pikir, yang penting tetap berpikir positif, dan menjaga hubungan baik dengan sensei dan teman-teman se-lab. Insya Allah suatu saat mereka akan mengerti ketulusan kita... Ganbarimasyou mbak Dewi.. Reply | Reply with quote | Quote

0# dewi utami iriani 2012-06-11 05:31 mba ...enak ya lingkungannya, kalau saya jadinya bener-bener terasing, masalahnya sensee saya lebih senang dengan orang2 yang senang minum-minum,ini diungkapkan sendiri oleh dia ketika memilih sekretaris baru, hiks. jadi kalau ada pesta kecil di lab, saya tdk pernah diikutsertakan, seperti kata suami, memegang akidah itu seperti memegang bara api, makin erat dipegang, makin panas. Salam, Dewi Utami, Chiba, Matsudo

Anda mungkin juga menyukai