Anda di halaman 1dari 4

Hubungan

Oleh Jufitasari Lima menit berlalu setelah waktu dari orang yang kuharapkan akan datang menjemputku. Jam tanganku menunjukkan pukul tujuh lebih empat puluh lima menit. Berjanji memberi kebahagiaan dari segala muram yang aku rasakan. Menghilangkan kelu dari setiap kegelisahan. Membawaku sejenak untuk merasakan surga kehidupan. Membuatku melayang dalam mabuk cinta seperti banyak orang katakan. Aku berharap seperti orang bercita, mendapat keajaiban dalam menyusuri gelap yang mendebu. Tak sempat kuselesaikan lamunanku. Seorang lelaki manis datang menghampiriku. Berdiri tegap disaat ku menengadah. Jelas, begitu jelas wajah kekasih yang kudambakan. Hatiku berbunga tak terkira, seperti aku akan dibawa ke dalam surga. maaf, jadi menunggu lama. iya, tak apalah baru lima menit. Selama apapun akan kutunggu untuk merasakan indah dunia yang kau janjikan. Tak menunggu lama. Bagaikan kucing diberi ikan setelah penggorengan. Akupun ikut tanpa sanggahan. Mendekap mesara hangat tubuhnya, seperti tak ingin menyiakannya dibawa angin malam yang begitu menyengat pori kulit. Segenggam tangan penuh kehangatan menghampiri tanganku , yang erat melekat pada bidang rata beisi getar jantung yang membara. Warna-warni cintaku tak berujung begitu saja. Setelah beberapa lama dekapan yang kuberikan, dengan hanyutan lamunanku yang tak berujung. Membayangkan masa depan indah bersamanya. seperti ratna galih yang memperjunagkan cinta mereka, meski kukuh ditentang orang tua. Namun, tak begitu dengan kami. Anganku terhenti ketika skuternya diparkir tepat di depan tempat remang. Seperti gerakan penghematan listrik. hahahhaha, tawa lirih kusemburkan. kenapa? Sudah tahu tempat ini? Atau mungkin sudah pernah kesini? ratapnya dengan penuh khawatir. tidak, hanya saja sedikit aneh. Karena menurut orang tempat remang ini penuh dengan kemesuman. hm,,,disini lah tempat surga dunia yang aku janjikan. Jangan khawatir, percaya denganku kan? iya, aku percaya, kamu bisa menjaga semua. Senyum merekah di bibir manisnya. Meski sedikit keheranan, kuikuti langkahnya masuk ke dalam. Sambil menunggu ia memesan tempat, aku melihat dan memperhatikan setiap lekuk ruangan. Di berbagai sudut kulihat tak ada yang berbeda dari tempat seperti kafe lainnya. Salah satu sudut dihiasi dengan LED besar yang menampilkan video artis dengan tulisan mengikuti suaranya. Mengalunkan suara merdu yang kutahu hanya lah suntingan belaka. Di sudut lain terlihat hiasan yang cukup unik. Mic menggantung dengan ukuran yang tak biasa. Meski remang tapi masih terlihat jelas seluruh isi ruangan. Pasangan muda-mudi seperti kami hilir mudik keluar dari lorong seperti persembunyian. Tempat yang kukira hanya toko biasa, menampilkan semua tanpa pembatas dan ruangan lain dari sisi yang kujamahi. Terlihat bersih dan elegan ketika kusapa setiap suasana. Di sudut ketiga terpampang pasangan kekasih yang memadu janji. Mengucapkan seluruh angan-angan

manis kepada bunga ranum yang siap merekah indah. Dari sisi ini bisa kutangkap kemanakah aku akan ditunjukkan surga yang dijanjikan. Saling melepaskan ikrar untuk hubungan kami. Namun di tempat istimewa hanya untuk berdua. Tertawa lepas sambil melolongkan suara yang tak tahu nyaring atau meledak kedengarannya. Tiba-tiba suara halus dekat telingaku. Membuyarkan angan yang aku dapatkan dari setiap deskripsi yang digambarkan. Suara persuasi yang membawaku meluberkan seluruh imajinasiku. surga dunia sudah menunggu kita. apakah benar surga dunia yang kau janjikan? Ikrar untuk hubungan kita? aku tidak akan pernah mengaburkan harapanmu. apa kamu bisa menjaga kepercayaanku? aku tak akan pernah mengecewakanmu. Sungguh manis kata-kata merdu itu di telingaku. Membuatku yakin akan kucuran cinta yang ia lairkan di setiap denyut nadiku. Meluas hingga seluruh darahku. Bergelimang menegakkan tubuhku. Kami melewati lorong-lorong gelap seperti remaja lainnya. aku menatap lorong yang dipenui ruangan di setiap sudutnya. Mendengar suara rombeng yang tak jelas arahnya. Hingga akhirnya aku tiba di sebuah ruangan cukup luas untuk kami berdua. Menghembuskan nafas setiap angan dan cita bersama. Ruang gelap dengan LED besar dan layar kecil di dalam meja. Tak lupa alat penting untuk menyalurkan suara hingga speaker yang dipasang tepat di dua sudut ruangan. Dilengkapi penghitung waktu untuk menemani kami dalam melepaskan hasrat kerinduan yang tak pernah padam. Pembatas waktu yag ingin kuhilangkan, agar kebersamaan kami tak pernah berhenti. Kulihat jam di tangan, menunjukkan pukul delapan malam. Masih ada waktu dua jam bersamanya, melewati indahnya kebutaan dari setiap indra yang terpasang. Sebelum kosku ditutup karena waktu maksimal yang ditentukan. Ia memilih lagu dan memutarnya dengan tikus diatas meja. Dengan merdu dia memulai pembicaraan. sayang apa kamu bahagia sama aku? siapa yang tak bahagia jika kau selalu membeikan surga dunia di setiap waktuku. terima kasih sayang, kamu sudah memberikan arti dalam hidupku. Suasana hangat menyapu dan membungkus hati dan tubuh kami. Melindungi kami dari pendingin yang sedari tadi memperhatikan tamu yang menempati ruang ini seperti halnya kami. Tanpa enggan kami pun berdendang ria dengan alat yang telah siap. Siap untuk sarana kami meniupkan dan menghembuskan perasaan yang memenatkan jiwa. Kerinduan yang lama tak terjamah sikap lembutnya. Setelah hampir satu bulan tanpa pertemuan, kami pun menhempaskannya malam ini. Bagai air laut yang diterpa angin, menyemburkan ombak yang siap pecah menabrak karang. Jengkal yang luas dari jari-jarinya menggelayut rata di setiap lekuk dan lingkar tubuhku. Hingga tak terasa, pandang kami bertemu. Perasaanku menerjang dalam dari setiap emosinya. Dekat dan dekat hingga tipisnya jarak di antara nafas yang kami hembuskan. Hingga tak berjarak seperti saling tukar udara di antara kami. Ciuman itu tak membuat kami bosan di setiap pertemuan. Mic yang sedari tadi menemani genggaman kami akhirnya dibiarkan tak berfungsi di atas meja, menyaksikan kami bergelut bak usus yang melilit, meliuk-liuk seperti akar yang tak terpisahkan. Pendingin yang mendukung untuk

membuat kehangatan, dan suara-suara instrumen musik yang kami putar, membuat malam itu lebih gesit dari malam-malam pertemuan kami sebelumnya. Cukup lama gumulan angan itu kami lakukan. Hingga akhirnya ponselku berdering keras memecahkan atmosfir yang kami rangkai sedemikian indahnya. ahh. lenguh terakhir yang melenyapkan sejenak komunikasi kami, gambar kecewa yang ia lontarkan. maaf, sebentar aku angkat dulu telponnya. dari siapa? biasa, ibu kos. Waktunya bermimpi lagi sayang. Akhirnya aku menjawab telepon. Dari jauh kidengar ibu kos dengan dendang lamanya. Menyuruh pulang karena waktu membuat pulau di atas kapuk harus dimulai. sudah malam, kenapa belum pulang? iya sebentar lagi juga pulang, masih mencari makanan, bu. cepat pulang ya, sudah waktunya istirahat, ingat kondisi kamu belum sembuh benar. Angin malam bisa membuatmu terkapar lagi. siap. Aku ingat kok. Sudah dulu ya. Ia mengingatkan akan penyakit yang baru saja meninggalkanku, memberikan jejak sakit ketika dingin menyapaku. Ibu kos yang selalu mengkhawatirkan anak-anaknya meskipun tidak keluar dari vaginanya, tidak pernah berlindung di rahimya, dan tidak pernah berbagi gizi dengannya. Namun, ia begitu memperhatikan keselamatan kami. Selama menelepon ternyata ia membereskan barang-barang kami yang berserakan dan berantakan karena lilitan tadi. Tak lupa juga ia mengancingkan baju yang terbuka sedemikian rupa. Karena ia mengerti dan paham akan arti panggilan ponsel yang barusan kuterima. Hingga saat selesai mendengar nasihat kami langsung pulang dengan skuternya yang dengan sabar menunggu kami. Sepanjang perjalanan menuju tempat persewaanku, dia diam dan merasakan dekapan yang kembali kuhjamkan pada tubuhnya yang tegap. Sampai di tempat ia pun berpamitan dan tak lupa sebuah kecupan mendarat di kening, mata, pipi, hingga bibir yang menandakan kami untuk menunggu pertemuan kembali, dan menumpuk rindu yang tak kunjung padam meski dibiaskan dengan pertemuan. Ia pun pergi dengan sekuternya dan aku masuk menuju kosan, disana ibu kos telah menunggu di sofa tempat kami biasa bercerita. sudah berkurang rindunya? iya lumayan, tapi rindu itu tak berujung meski telah bertemu dan memanjakan dengan cumbuan. rindu itu memang tak akan pernah berakhir karena kalian memupuknya dengan asmara dan nafsu yang selalu kalian bebaskan saat bertemu, suasana akan berubah jika pernikahan telah berumur panjang. Bahkan rasa rindu, cinta, dan kasih sayang akan memudar seiring berjalannya kebersamaan. inilah masa muda. Hanya cinta untuk memenuhi nafsu yang ditonjolkan, tak pernah berpikir akan adanya kejenuhan yang melanda. ya sudah waktunya membuat pulau kan? iya selamat malam bu. mimpi indah nak.

Senyum yang tak pernah hilang dari wajah keriput yang masih menunjukkan cerah dan riang kepada semua insan yang menatapnya, menemaniku dalam pembuatan pulau yang tak tahu kapan berakhirnya. Kututup pintu dan kukunci rapat semuanya untuk memastikan akan baik-baik saja. (diciptakan di saat matahari yang masih tertutup awan hitam, di tempat berserakannya pulau kapuk).

Anda mungkin juga menyukai