Anda di halaman 1dari 15

REPUBLIK INDONESIA

RENCANA INVESTASI KEHUTANAN INDONESIA

PROGRAM INVESTASI KEHUTANAN

Februari 2012

Ringkasan Eksekutif
PROGRAM INVESTASI KEHUTANAN Ringkasan dari Rencana Investasi Negara
1. 2.

Negara/Wilayah: Permohonan Pendanaan FIP (dalam juta Dollar AS): Focal Point FIP Nasional:

Indonesia Hibah: $37.5 juta Pinjaman: $32.5 juta

3.

4.

Badan Pelaksana Nasional (Koordinasi Rencana Investasi):

Dr. Hadi S. Pasaribu Staf Ahli Bidang Ekonomi dan Perdagangan Internasional, Kementerian Kehutanan (Kemenhut) Indonesia hadispsaribu@yahoo.com Kementerian Kehutanan (Kemenhut) Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Pemerintah Daerah ADB, World Bank, dan IFC Kantor Pusat - Focal Point FIP: Dr. David McCauley Penasehat dan Kepala, Unit Koordinasi Program Perubahan Iklim dmccauley@adb.org Ms. Joyita Mukherjee JMukherjee1@ifc.org TTLs: Dr. Ancha Srinivasan Spesialis Kepala Perubahan Iklim asrinivasan@adb.org Dr. Michael Brady Manajer Program Kehutanan mbrady1@ifc.org Mr. Werner Kornexl Spesialis Senior Perubahan Iklim wkornexl@worldbank.org

5. 6.

MDB yang Terlibat Focal Point FIP MDB dan Pemimpin Proyek/Gugus Tugas Program (TTL):

Dr. Gerhard Dieterle Penasehat gdieterle@worldbank.org

iii

7.

Gambaran Rencana Investasi: Pengalihan Guna Lahan dan Hutan (LULUCF) dan lahan gambut memberikan kontribusi terbesar terhadap emisi gas rumah kaca (GRK) di Indonesia. Penyebab utama dari deforestasi dan degradasi hutan telah diidentifikasi sebagai berikut: (i) perencanaan tata ruang yang tidak efektif; (ii) kurangnya rasa kepemilikan; (iii) manajemen hutan yang tidak efektif; (iv) kurangnya koordinasi tata pemerintah; dan (v) kurangnya kerangka hukum dan penegakan hukum. Delapan tantangan luas yang telah diidentifikasi adalah sebagai berikut: Perhutanan Masyarakat: Investasi di Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) diperlukan dalam beberapa bidang, termasuk pengembangan kapasitas masyarakat untuk terlibat dalam kegiatan kehutanan yang lestari, baik pada kepemilikan lahan pribadi ataupun lahan pemerintah, penguatan institusi - baik untuk pemerintah pusat maupun lokal di propinsi-propinsi untuk meningkatkan kapasitas mereka dalam mendorong praktek pengelolaan kehutanan dalam masyarakat, dan bantuan untuk menghadapi masalah hak dan kepemilikan tanah dalam masyarakat terkait dengan wilayah hutan. Reformasi Tenurial Lahan dan Hutan: Tenurial tanah yang tidak jelas telah berkontribusi dalam program tata ruang yang tidak efektif dan penggunaan serta pengembangan lahan yang tidak lestari dan tidak terkoordinasi. Pemangku kepentingan dalam proses FIP juga mencatat bahwa ketiadaan hak tanah yang pasti adalah halangan bagi investasi berbasis tanah, mata pencaharian masyarakat dan kegiatan konservasi. Penegakan UU Kehutanan dan Pembalakan Liar: Penegakan yang efektif dari peraturan pembalakan akan sangat penting dalam mencapai target REDD+ di Indonesia. Investasi pada kapasitas yang lebih baik dan kebijakan hulu untuk meningkatkan penegakan akan memperbaiki kemampuan untuk mencegah, mendeteksi dan menekan kegiatan yang berkontribusi pada degradasi hutan. Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dan REDD+: Program Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Indonesia adalah sebuah badan penting yang baru dibentuk untuk meningkatkan pengelolaan hutan Indonesia dan pelaksanaan kerangka kerja REDD+. Idealnya, KPH akan bertanggung jawab untuk mengembangkan, melaksanakan, dan/atau mengawasi tata pemerintahan dan pengelolaan hutan pada tingkat tapak, termasuk persiapan rencana partisipatif, penegakan peraturan kehutanan, seperti misalnya kontrol terhadap pembakaran hutan dan kegiatan ilegal lainnya, dan negosiasi dengan masyarakat lokal tentang masalah terkait dengan hak penggunaan tanah dan akses terhadap hutan.
iv

(a)Tantangan Utama terkait dengan pelaksanaan REDD+ - Sektor Penggunaan Lahan,

Pengembangan Tanah Terdegradasi dan Pendekatan REDD+: Permintaan global yang meningkat terhadap bubur kertas (pulp) dan kertas, karet dan kelapa sawit, dan peningkatan permintaan domestik di Indonesia terhadap bahan pangan diperkirakan akan menyebabkan konversi tambahan 21-28 juta hektar hutan pada 2030. Sebuah skenario alternatif akan melihat lebih banyak perluasan lahan pertanian yang dilakukan pada lahan non-hutan atau lahan hutan yang terdegradasi.

Konsesi Restorasi Ekosistem:, Dengan keluarnya Peraturan Pemerintah pada 2007, membuka kemungkinan untuk mengalokasikan wilayah Hutan Produksi sebagai Konsesi Restorasi Ekosistem (Ecosystem Restoration Concessions atau ERC), yang mempunyai potensi signifikan untuk menjadi kerangka kerja yang penting dalam pelaksanaan proyek REDD+. Akan tetapi, konsep ERC menghadapi beberapa hambatan, termasuk proses perijinan yang berbelit dan mahal, namun masih memungkinkan diatasi dengan bantuan investasi yang tertarget.

Kesiapan dan Insentif REDD+ berbasis Pasar: Pasar Karbon menawarkan sebuah kesempatan untuk menggunakan insentif finansial dalam membentuk kembali praktek pengelolaan lahan dan hutan. Ada kesempatan untuk mendukung kegiatan REDD+ berbasis pasar, terutama pada tingkat lokal. Percontohan REDD+ Sub-Nasional: Pengembangan REDD+ tingkat sub-nasional di propinsi atau kabupaten percontohan sudah diakui secara luas sebagai salah satu pilar penting dalam REDD+ di Indonesia. Sumber daya bisa digunakan untuk meningkatkan kesiapan dan menguji dan mengembangkan sistem dan pendekatan REDD+ di propinsi uji coba atau lokasi demonstrasi.

(b)

Bidang Intervensi Tujuan utama dari Rencana Investasi Kehutanan (FIP) Indonesia

adalah untuk menyediakan pendanaan penghubung awal untuk kesiapan reformasi investasi publik dan swasta yang teridentifikasi melalui kesiapan REDD nasional dan untuk mengatasi halangan yang telah menghambat upaya-upaya di masa lampau dalam memelihara perubahan transformatif dalam pengelolaan dan konservasi hutan dan mencapai janji-janji REDD+. Rencana Investasi Kehutanan telah mengidentifikasi dan mengembangkan beberapa intervensi penting untuk didanai. Intervensi ini telah dirancang berdasarkan konsultasi yang dilakukan selama 2010-2011 bersama dengan Pemerintah Indonesia dan para pemangku kepentingan nasional dan lokal yang menghadiri Misi Gabungan (Joint Mission), lokakarya nasional, dan konsultasi individual. Tiga kelompok intervensi FIP akan meningkatkan kesiapan dan membangun kapasitas nasional dan lokal untuk target jangka pendek, dan juga akan berkontribusi terhadap keberhasilan pelaksanaan dan pencapaian tujuan REDD+ dan perubahan iklim jangka panjang. Rencana Investasi Kehutanan (FI-Plan) untuk Indonesia akan mendukung tiga kelompok intervensi berikut ini: 1. Menguji dan mengembangkan serangkaian upaya REDD+ sub-nasional, dengan mendukung rencana aksi REDD+ di Propinsi Kalimantan Barat; 2. Mendorong pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat yang lestari dan pengembangan institusional; dan 3. Memperkuat peran dari sektor swasta untuk menanggapi insentif REDD+, terutama usaha perhutanan skala kecil, dengan memperkuat skema pengelolaan hutan lestari dengan manfaat penghasilan dari karbon hutan. Kelompok intervensi pertama (didukung oleh ADB) diarahkan pada eksplorasi persilangan antara pengembangan dan difusi dari model yang lebih baik untuk pengelolaan hutan berfokus pada masyarakat dan kemampuan untuk mengambil pendanaan REDD+. Bekerja di Kalimantan Barat, investasi telah dilakukan pada tingkat propinsi untuk mengembangkan sebuah rencana REDD+ yang komprehensif, untuk memasukkan pengembangan kapasitas, pengembangan kebijakan untuk menjawab beberapa faktor pendorong utama, seperti misalnya pembalakan liar dan reformasi tenurial tanah. Hal ini akan disertai dengan upaya pada tingkat kabupaten untuk menyiapkan rencana tata ruang dan penggunaan lahan yang lebih terinci untuk kabupaten terpilih, dan untuk mengembangkan percontohan berfokus pada masyarakat; yang
vi

terakhir akan termasuk kegiatan alternatif yang menggunakan lahan terdegradasi. Pekerjaan ini akan melanjutkan dan dihubungkan dengan Inisiatif Hearth of Borneo yang tengah berlangsung. Kelompok intervensi kedua (didukung oleh World Bank) akan mendorong pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat yang lestari dan pembangunan institusional untuk KPH. Investasi akan mendukung kegiatan berikut ini, tergantung pada kebutuhan lokal dan kepemilikan: dukungan untuk pembangunan kapasitas REDD+ untuk KPH; dukungan untuk perencanaan penggunaan lahan tingkat desa; dukungan untuk pengembangan mata pencaharian masyarakat dan pengelolaan sumber daya alam; dan pengembangan pengaturan insitusional dan teknis untuk REDD+. Kelompok intervensi ketiga (didukung oleh IFC) ditujukan untuk meningkatkan investasi sektor swasta untuk memperkuat kapasitas produktif dan keahlian usaha dari usaha hutan, termasuk usaha plasma serta koperasi masyarakat kecil, termasuk juga perusahaan kehutanan menengah dan besar. Investasi FIP akan berfokus pada pengembangan model usaha hutan yang inovatif dan menguntungkan, dan akan memasukkan pembangunan kapasitas organisasi dan usaha, pelaksanaan pengelolaan hutan lestasi, pengembangan dan penilaian sumber penghasilan ganda seperti misalnya layanan ekosistem (PES) dan NTFP, dan peningkatan akses terhadap mekanisme dukungan finansial dan penciptaan insentif baru. Investasi dan proyek yang dilakukan oleh FIP di ketiga bidang ini akan melibatkan keterlibatan luas dari berbagai ragam pemangku kepentingan pada tingkat masyarakat, kabupaten, propinsi dan nasional pada semua tahapan perancangan dan pelaksanaan. Perhatian khusus akan diberikan kepada masyarakat adat sekaligus menangani permasalahan gender, dan kepada penggunaan pengetahuan dan teknis lokal apabila memungkinkan. Proyek akan dikembangkan dan dilaksanakan dengan mematuhi standar MDB dan standar penjagaan sosial dan lingkungan hidup nasional.

vii

(c) Hasil yang Diharapkan dari Pelaksanaan Rencana Investasi Pengurangan deforestasi dan degradasi hutan dan lahan gambut, dan peningkatan konservasi melalui pengelolaan lanskap dan sistem untuk pengunaan sumber daya alam yang lebih baik di seluruh wilayah pulau, propinsi dan kabupaten di Indonesia. Indikator termasuk perubahan luas dari cakupan hutan alami dan hutan alami yang terdegradasi. Peningkatan pengelolaan sumber daya hutan pada tingkat lokasi, lintas sektoral dan lintas wilayah. Indikator termasuk bukti dari koordinasi yang lebih kuat di dalam dan diantara kelompok pemangku kepentingan utama (pemerintah, kementerian, masyarakat lokal, dan rekanan swasta dan pembangunan) untuk pengelolaan sumber daya hutan. Lingkungan yang lebih baik yang mendukung REDD+ dan pengelolaan lestari wilayah hutan dan non-hutan untuk perlindungan, produksi dan konservasi. Indikator termasuk: i) perubahan dari jangkauan dimana pertimbangan/solusi untuk lingkungan hidup / GRK / deforestasi diintegrasikan ke dalam proses penciptaan insentif / kebijakan dan program ekonomi baru; ii) wilayah hutan yang ada dalam tenurasi dan hak pengelolaan yang jelas dan non-diskriminatif, termasuk pengakuan terhadap hak adat dan masyarakat lokal lainnya; dan iii) sejauh mana masyarakat adat dan masyarakat setempat (laki-laki dan perempuan) mempunyai akses terhadap informasi yang relevan secara tepat waktu dan dengan cara yang bisa diterima oleh budaya setempat. Akses terhadap sumber daya finansial yang bisa diprediksi dan cukup, termasuk insentif berbasis hasil untuk REDD+ dan peluasan keterlibatan sektor swasta. Indikator termasuk peningkatan dana melalui skema berbasis hasil yang ditawarkan oleh kemitraaan bilateral, FCPF Carbon Fund atau mekanisme lainnya. (d) Hubungan ke kegiatan yang didukung oleh FCPF dan Program UN-REDD Ketiga MDB (ADB, Work Bank, IFC) yang mendukung Pemerintah RI dalam pembuatan program dan pelaksanaan FI-Plan masing-masing memiliki keterlibatan jangka panjang dan signifikan di Indonesia. Intervensi FIP akan melengkapi dan dibuat dengan mempertimbangkan keterlibatan MDB lainnya dalam sektor kehutanan dan pengunaan lahan. Ketiga MDB akan bekerja sama dalam mendukung Pemerintah RI dalam wilayah kebijakan bersama, melakui lokakarya gabungan dan dialog kebijakan. Upaya-upaya sinergi berbagai kegiatan dari ketiga MDB akan dilanjutkan selama persiapan dan pelaksanaan proyek.

viii

Rancangan dari Rencana Investasi FIP mengikuti sebuah proses konsultatif yang mencari masukan dari perwakilan berbagai badan penting Pemerintah RI, dari badan / negara donor utama, LSM, dan sektor swasta. Masukan lebih lanjut diminta melalui proses peninjauan publik secara online. Program FIP akan mendukung inisiatif-inisiatif lain, termasuk organisasi multilateral, bilateral, swasta dan non-pemerintahan. Selain LoI dengan Norwegia, inisiatif REDD+ termasuk Indonesia-Australia Forest Carbon Partnership (IAFCP) dan program yang didanai oleh Pemerintah Jerman, Jepang, Inggris, Korea dan Amerika Serikat. The United Nations REDD Program (UN-REDD) juga aktif di Indonesia. Selain itu, berbagai kegiatan REDD+ sub nasional dan sukarela juga tengah dijalankan. Proses persiapan rencana FIP bekerja sama dengan FORDA, lembaga penelitian dibawah Kementerian Kehutanan yang merupakan pelaksana dari Dana Persiapan Forest Carbon Partnership Facility (FCPF). Hibah ini memberikan dukungan kesiapan pada tingkat nasional dan sub-nasional dan akan mendedikasikan sumber daya mereka kepada wilayah intervensi FIP untuk melengkapi upaya pada pekerjaan analisa (terutama penilaian factor pendorong deforestasi historis pada tingkat kabupaten), riset sosio-ekonomi, pembangunan kapasitas dan pelaksanaan kegiatan Permanent Sample Plots and Monitoring dan penentuan Tingkat Rujukan Emisi. Pelaksanaan program FIP juga akan mengacu pada keberhasilan dan analisa yang dihasilkan oleh UN-REDD. UN-REDD bekerja sama dengan FCPF dalam menilai kegiatan pembagian keuntungan. UN-REDD juga melaksanakan kegiatan persiapan di Sulawesi Tengah, yang menunjukkan hasil yang bernilai, terutama pada pelaksanaan prinsip FPIC dan pembangunan kapasitas pada tingkat propinsi.

ix

8.

Hasil Utama yang Diharapkan dari Pelaksanaan Rencana Investasi (konsisten dengan Kerangka Kerja Hasil FIP): Indikator Keberhasilan Tingkat deforestasi hutan yang lebih rendah di wilayah proyek (diukur dalam ha); Indikator penurunan degradasi lahan gambut di wilayah proyek; Jumlah investasi sektor non-hutan yang diidentifikasikan telah menangani pendorong deforestasi dan degradasi hutan, atau untuk meningkatkan cadangan karbon hutan.

Hasil Pengurangan tekanan pada ekosistem hutan

Pengelolaan hutan dan lanskap hutan yang lestari untuk menghadapi pendorong deforestasi dan degradasi hutan

Bukti bahwa keputusan untuk melindungi dan mengelola sumber daya hutan dengan lebih baik telah diintegrasi dalam perencanaan dan proses pelaksanaan penggunaan lahan dan tata ruang pada tingkat propinsi, kabupaten, Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dan/atau pemegang hak (masyarakat/perusahaan); Bukti bahwa Undang-Undang dan peraturan dalam proyek/program telah diharmonisasi, ditegakkan dan dimonitor antara tingkat subnasional dan nasional; Jumlah investasi sektor non-hutan yang terindentifikasi dan disiapkan.

Pemberdayaan masyarakat lokal dan masyarakat adat (IP)

Perubahan di daerah yang diakui di bawah sistem pengaturan lokal yang aktif, termasuk pengaturan adat; Bukti adanya akses yang efektif bagi masyarakat lokal untuk menyampaikan keluhan dan mekanisme penanganannya.

Kapasitas yang meningkat untuk menangani faktor pendorong langsung dan tidak langsung dari deforestasi dan degradasi hutan

Bukti bahwa kapasitas untuk merencanakan proses dalam KPH dan institusi regional lainnya tengah ditingkatkan dalam wilayah program; Akses publik yang lebih baik terhadap data dan informasi tentang pengelolaan hutan dan lahan gambut.

Sumber daya baru dan tambahan yang ditentukan untuk proyek hutan dan yang terkait dengan hutan

Faktor dukungan untuk pendanaan FIP; pendanaan dari sumber daya lain (kontribusi yang dibagi-bagi oleh pemerintah, MDB, mitra multilateral dan bilateral lainnya, LSM, sektor swasta) Persiapan rancangan proyek untuk intervensi

9.

Konsep Proyek dan Program dalam Rencana Investasi: MDB Jumlah FIP yang Diminta Sektor ($ juta)1 Publik/ TOTAL Hibah Pinja Swasta man 17.5 17.5 Publik Pembiayaa Hibah n Bersama Untuk MDB yang Persiapan diharapkan Permohon ($ juta) an ($ juta) 6.0 0.5

Judul Konsep Proyek/Program

Investasi dengan fokus pada Masyarakat untuk Menangani Deforestasi dan Degradasi Hutan (CFIADD+) Mendorong Pengelolaan SDA Lestari Berbasis Masyarakat dan Pengembangan Institusional Memperkuat Usaha Kehutanan untuk Memitigasi Emisi Karbon TOTAL

ADB

WB

17.5

17.5

Publik

0.0

0.5

IFC

35.0 70.0

2.5 37.5

32.5 32.5

Swasta

99.0 105.0

0.3 1.3

Termasuk persiapan hibah dan nilai proyek/program. xi

10.

Kerangka Waktu (tentatif) Pencapaian yang Disetujui: Persetujuan Sub-Panitia FIP Persetujuan Direksi MDB

Proyek 1: Investasi dengan fokus pada Mei 2013 Juli 2013 Masyarakat untuk Menangani Deforestasi dan Degradasi Hutan (CFIADD+) Proyek 2: Mendorong Pengelolaan Oktober 2012 Januari 2013 SDA Lestari Berbasis Masyarakat dan Pengembangan Institusional Proyek 3: Memperkuat Usaha Oktober 2012 Januari 2013 Kehutanan untuk Memitigasi Emisi Karbon 11. Hubungan dengan Program Kegiatan FCPF dan UN-REDD: - Lihat item 7 (d) di atas

xii

12.

Mitra Lain yang terlibat dalam perancangan dan pelaksanaan Rencana Investasi: Pemerintah Daerah, Sektor Swasta, dan LSM. Mitra Pembangunan Lainnya: Bidang kolaborasi akan dieksplorasi dengan beberapa institusi riset internasional yang berbasis di Indonesia seperti misalnya Center for International Forestry Research (CIFOR) dan World Agroforestry Center (ICRAF) dan Australian Center for International Agricultural Research (ACIAR). Organisasi Masyarakat Sipil dengan pengalaman berkolaborasi dengan masyarakat lokal dan pemerintah daerah dalam penegakan hukum dan tata pemerintahan hutan (FLEG), reformasi tenurial hutan dan lahan, pembangunan lahan terdegradasi, dan perancangan skema berbasis insentif akan menjadi mitra yang penting dalam menyediakan bantuan teknis. Untuk kegiatan di Kalimantan Barat, proyek akan dibuat berdasarkan kemitraan yang sudah ada antara ADB dan WWF Indonesia dalam mendukung rencana aksi Pemerintah RI dalam kerangka kerja strategis Inisiatif Hearth of Borneo. Mitra lainnya akan diidentifikasikan berdasarkan pada lokasi geografis akhir program. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Desa (PNPM-Desa) dari Pemerintah RI adalah mitra potensial untuk pendanaan tingkat desa. Mitra sektor swasta termasuk: usaha perhutanan masyarakat (contohnya: koperasi, perusahaan skala kecil, dll), manufaktur, penanaman modal, program pendanaan pemerintah, bank domestik dan Badan Usaha Kehutanan Milik Negara.

xiii

13.

Memperkuat Usaha Hutan untuk Memitigasi Emisi Karbon Konsultasi dengan Indigenous People2 dan Masyarakat Setempat:

Perencanaan untuk misi FIP dan pengembangan rencana investasi Pemerintah RI dengan dukungan dari ketiga MDB dilangsungkan melalui proses multi pemangku kepentingan, dan dengan konsultasi serta koordinasi dengan badan relevan lainnya, termasuk Dewan Kehutanan Nasional (DKN). Dewan ini, dibentuk pada Kongres Kehutanan Indonesia pada tahun 1999, mewakili landasan nasional untuk dialog multi pemangku kepentingan dan dibagi dalam lima kamar, salah satu diantara terdiri dari masyarakat setempat, termasuk masyarakat adat. Konsultasi diadakan pada tahapan awal dari Rencana Investasi untuk mengidentifikasi pemangku kepentingan utama, mendapatkan perspektif mereka tentang faktor pendorong deforestasi dan degradasi hutan, upaya-upaya yang tengah diambil, permasalahan yang dihadapi dan harapan mereka. Serangkaian pertemuan dilakukan oleh DKN yang melibatkan pemangku kepentingan di masyarakat madani, pemimpin LSM dan pemerintah daerah di beberapa propinsi di Jawa, Sumatra dan Kalimantan. Melihat keragaman dari pemangku kepentingan dan sebaran geografis dari kegiatan, pertemuan dan lokasi pertemuan tambahan untuk umpan balik diatur untuk membangun konsensus diantara pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, wakil sektor swasta, masyarakat berbasis hutan termasuk perempuan, organisasi masyarakat sipil dan mitra pembangunan nasional dan internasional. Keterlibatan pemangku kepentingan akan berlanjut selama tahapan perancangan dari proyek tertentu, sesuai dengan peraturan dan prosedur yang ditetapkan untuk persiapan proyek yang diadopsi oleh masing-masing MDB. Berbagai pemangku kepentingan, termasuk masyarakat adat dan setempat akan dilibatkan dalam fase pembentukan dari setiap proyek, termasuk penyempurnaan dari indikator tingkat proyek untuk kerangka kerja hasil. Keterlibatan Sektor Swasta: Investasi sektor swasta akan didorong dan didukung untuk memperkuat kapasitas produktif dan keahlian usaha dari usaha kehutanan, termasuk plasma dan usaha kecil masyarakat dan koperasi, sekaligus juga perusahaan kehutanan menengah dan besar.

14.

Dalam sistem Indonesia, istilah Indigenous People adalah Masyarakat Adat

xiv

Informasi Relevan Lainnya: Hutan, Orang dan Ekonomi Indonesia Hutan Indonesia sangat penting, bukan hanya untuk pembangunan ekonomi nasional dan mata pencaharian masyarakat setempat, tetapi juga untuk perlindungan lingkungan hidup global. Indonesia memiliki kurang lebih 94 juta hektar hutan alami dan tanaman, mewakili sekitar 52% dari total wilayah daratan. Indonesia juga mempunyai sektiar 17 juta hektar lahan gambut yang memberikan fungsi ekologi dan penyimpan karbon yang penting. Hutan Indonesia memberikan habitat bagi 17% spesies burung, 16% dari reptile dan amfibi, 12% mamalia, dan 10% tanaman di seluruh dunia. Lebih penting lagi, wilayah yang ditunjuk sebagai lahan Hutan Negara juga merupakan tempat tinggal bagi sekitar 50 60 juta orang. Kegiatan dan industri berbasis hutan adalah sumber lapangan pekerjaan besar di Indonesia, dan sistem produksi plasma dan industri hutan masing-masing diperkirakan berkontribusi sekitar 3-4% dari GDP. Lingkungan yang Mendukung Kebijakan dan Peraturan Dalam tahun-tahun belakangan ini, REDD+ telah menjadi bidang yang penting dalam pengembangan kebijakan di Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan (Forestry Research and Development Agency/FORDA) dari Kemenhut menjadi ketua pada tahun 2008 dengan membentuk Aliansi Iklim Hutan Indonesia (Indonesia Forest Climate Alliance/IFCA), untuk mengutarakan pendekatan nasional sebagai tanggapan atas pergerakan kesempatan yang muncul dari negosiasi internasional tentang tindakan dan pendanaan iklim. Dalam pertemuan G-20 di Pittsburgh pada tahun 2009, Pemerintah RI membuat komitmen untuk mengurangi emisi hingga 26% pada 2020 dari tingkat kegiatan seperti biasa (BAU) dan hingga 41% dengan bantuan internasional. Pada Mei 2010, Indonesia menandatangani sebuah Surat Kesanggupan (Letter of Intent/LoI) dengan Norwegia untuk melakukan sebuah inisiatif berbasis kinerja untuk mempercepat kegiatan pendukung REDD+. Untuk menangani pengelolaan dan pelaksanaan dari inisiatif ini, pada bulan Oktober 2011, Presiden RI membentuk sebuah Gugus Tugas REDD+ tingkat tinggi yang dikepalai oleh Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) dan termasuk pejabat tinggi dari kementerian dan badan terkait. Pemerintah RI telah membangun sebuah Rencana Aksi Nasional Penuruan Emisi Gas Rumah Kaca atau RAN GRK, sebuah payung rencana untuk mengurangi emisi sesuai dengan komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi GRK. Sebuah rancangan Strategi Nasional REDD+ yang merupakan bagian dari RAN GRK tengah dikembangkan melalui proses konsultatif dengan berbagai pemangku kepentingan. Rancangan strategi ini menekankan upaya untuk mereformasi tata pemerintahan dalam kehutanan dan perencanaan tata ruang yang terkait dengan hutan dan lahan gambut.
xv

Keuntungan Bersama yang Diharapkan dari Investasi FIP Kegiatan dan investasi untuk mengurang deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia harus dapat memberikan keuntungan bersama. Hal ini termasuk, yang terutama, perbaikan ekonomi lokal, peningkatan pemasukan individual, dan pengentasan kemiskinan pada masyarakat yang bergantung pada hutan. Pengelolaan lansekap lestari juga akan mendorong industri hilir dengan produksi bernilai tambah tinggi, melalui investasi pada dan promosi melalui teknologi informasi, badan ekonomi dan penggunaan sumber daya pada tingkat sub-nasional. Perlindungan atas hutan Indonesia juga menjaga layanan ekosistem vital. Hal ini termasuk

perlindungan daerah aliran sungai dan kualitas badan air, kesuburan tanah, kontrol atas banjir dan erosi, kontrol atas hama, pengurangan kebakaran hutan, dan pemeliharaan habitat binatang liar dan ikan. Keuntungan lain bisa termasuk pemasukan nasional yang lebih tinggi dari kegiatan kehutanan, promosi kesetaraan gender, penyediaan layanan ekosistem seperti misalnya kualitas air yang lebih baik, dan perlindungan keanekaragaman hayati Pengaturan Pelaksanaan Para MDB, bersama dengan Pemerintah RI, akan memilih badan penerapan dan mitra pelaksanaan berdasarkan pada kapasitas untuk bekerja lintas sektor, bekerja secara konsultatif dengan masyarakat dan melaksanakan kegiatan proyek. Pada tingkat nasional, sebuah Komite Pengarah (Steering Committee/SC) akan mengawasi pelaksanaan FI-Plan. SC akan bersifat lintas sektor dan multi pihak. Rencana dan Instrumen Pembiayaan Program FIP yang diusulkan memiliki sebuah kombinasi dari hibah FIP dan pembiayaan pinjaman bersifat lunak. Proyek yang didukung ADB dan WB bersifat hibah murni, sedangkan proyek yang didukung IFC akan menggunakan pinjaman lunak dengan tambahan pendanaan hibah FIP. Selain daripada dana FIP, pembiayaan bersama yang signifikan juga nampak. ADB telah mengidentifikasikan pendanaan bersama dari berbagai sumber, dengan sumber lebih banyak yang bisa ditentukan selama fase perancangan proyek. WB memprediksi pembiayaan bersama dari berbagai kegiatan yang melengkapi dan donor lainnya, juga ditentukan sebelum pelaksanaan proyek. IFC bermaksud untuk meningkatkan pinjaman FIP dengan dana internal selain membuka kemungkinan dari investasi pihak swasta.

xvi

Anda mungkin juga menyukai