Anda di halaman 1dari 24

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pneumonia 2.1.1 Definisi Pneumonia Pneumonia adalah penyakit saluran napas bawah (lower respiratory tract (LRT)) akut, biasanya disebabkan oleh infeksi (Jeremy, 2007). Sebenarnya pneumonia bukan penyakit tunggal. Penyebabnya bisa bermacam-macam dan diketahui ada sumber infeksi, dengan sumber utama bakteri, virus, mikroplasma, jamur, berbagai senyawa kimia maupun partikel. Penyakit ini dapat terjadi pada semua umur, walaupun manifestasi klinik terparah muncul pada anak, orang tua dan penderita penyakit kronis (Elin, 2008). 2.1.2 Etiologi Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme yaitu bakteri, virus, jamur, dan protozoa. Tabel 2.1 memuat daftar mikroorganisme dan masalah patologis yang menyebabkan pneumonia (Jeremy, 2007). Tabel 2.1 Daftar mikroorganisme yang menyebabkan pneumonia Infeksi Bakteri Streptococcus pneumoniae Haemophillus influenza Klebsiella pneumoniae Pseudomonas aeruginosa Gram-negatif (E. Coli) Infeksi Virus Influenza Coxsackie Adenovirus Sinsitial respiratori (Jeremy, 2007) 2.1.3 Patogenesis Infeksi Atipikal Mycoplasma pneumoniae Infeksi Jamur Aspergillus

Legionella pneumophillia Histoplasmosis Coxiella burnetii Candida Chlamydia psittaci Nocardia Infeksi Protozoa Pneumocytis carinii Toksoplasmosis Amebiasis Penyebab Lain Aspirasi Pneumonia lipoid Bronkiektasis Fibrosis kistik

Universitas Sumatera Utara

Dalam

keadaan

sehat,

pada

pru

tidak

akan

terjadi

pertumbuhan

mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru. Terdapatnya bakteri di paru merupakan akibat ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dan lingkungan, sehingga mikroorganisme dapat berkembang biak dan berakibat timbulnya sakit. Masuknya mikroorganisme ke saluran napas dan paru dapat memlalui berbagai cara: a. Inhalasi langsung dari udara b. Aspirasi dari bahan-bahan yang ada di nasofaring dan orofaring c. Perluasan langsung dari tempat-tempat lain d. Penyebaran secara hematogen (Supandi, 1992). 2.1.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Pneumonia Diketahui beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya pneumonia yaitu: a. Mekanisme pertahanan paru Paru berusaha untuk mengeluarkan berbagai mikroorganisme yang terhirup seperti partikel debu dan bahan-bahan lainnya yang terkumpul di dalam paru. Beberapa bentuk mekanisme ini antara lain bentuk anatomis saluran napas, reflex batuk, sistem mukosilier, juga sistem fagositosis yang dilakukan oleh sel-sel tertentu dengan memakan partikel-partikel yag mencapai permukaan alveoli. Bila fungsi ini berjalan baik, maka bahan infeksi yang bersifat infeksius dapat dikeluarkan dari saluran pernapasan, sehingga pada orang sehat tidak akan terjadi infeksi serius.. Infeksi saluran napas berulang terjadi akibat berbagai komponen sistem pertahanan paru yang tidak bekerja dengan baik. 2. Kolonisasi bakteri di saluran pernapasan

Universitas Sumatera Utara

Di dalam saluran napas atau cukup banyak bakteri yang bersifat komnesal. Bila jumlah mereka semakin meningkat dan mencapai suatu konsentrasi yang cukup, kuman ini kemudian masuk ke saluran napas bawah dan paru, dan akibat kegagalan mekanisme pembersihan saluran napas, keadaan ini bermanifestasi sebagai penyakit. Mikroorganisme yang tidak menempel pada permukaan mukosa saluran anaps akan ikut dengan sekresi saluran napas dan terbawa bersama mekanisme pembersihan, sehingga tidak terjadi kolonisasi. 3. Pembersihan saluran napas terhadap bahan infeksius Saluran napas bawah dan paru berulangkali dimasuki oleh berbagai mikroorganisme dari saluran napas atas, akan tetapi tidak menimbulkan sakit, ini menunjukkan adanya suatu mekanisme pertahanan paru yang efisien sehingga dapat menyapu bersih mikroorganisme sebelum mereka

bermultiplikasi dan menimbulkan penyakit. Pertahanan paru terhadap bahanbahan berbahaya dan infeksius berupa reflex batuk, penyempitan saluran napas, juga dibantu oleh respon imunitas humoral (Supandi, 1992). 2.1.5 Epidemiologi Insidensi tahunan: 5-11 kasus per 1.000 orang dewasa; 15-45% perlu di rawat dirumah sakit (1-4 kasus), dan 5-10% diobati di ICU. Insidensi paling tinggi pada pasien yang sangat muda dan usia lanjut. Mortalitas: 5-12% pada pasien yang dirawat di rumah sakit; 25-50% pada pasien ICU (Jeremy, 2007). Di United States, insidensi untuk penyakit ini mencapai 12 kasus tiap 1.000 orang dewasa. Kematian untuk pasien rawat jalan kurang dari 1%, tetapi kematian pada pasien yang dirawat di rumah sakit cukup tinggi yaitu sekitar 14% (Alberta Medical Association, 2002). Di negara berkembang sekitar 10-20% pasien yang

Universitas Sumatera Utara

memerlukan perawatan di rumah sakit dan angka kematian diantara pasien tersebut lebih tinggi, yaitu sekitar 30-40% (Sajinadiyasa, 2011). Di Indonesia sendiri, insidensi penyakit ini cukup tinggi sekitar 5-35% dengan kematian mencapai 20-50% (Farmacia, 2006). 2.1.6 Klasifikasi Pneumonia a. Pneumonia yang didapat dari komunitas (community acquired pneumonia, CAP): pneumonia yang didapatkan di masyarakat yaitu terjadinya infeksi di luar lingkungan rumah sakit. Infeksi LRT yang terjadi dalam 48 jam setelah dirawat di rumah sakit pada pasien yang belum pernah dirawat di rumah sakit selama > 14 hari (Jeremy, 2007). b. Pneumonia yang didapat dari rumah sakit (nosokomial): pneumonia yang terjadi selama atau lebih dari 48 jam setelah masuk rumah sakit. jenis ini didapat selama penderita dirawat di rumah sakit (Farmacia, 2006). Hampir 1% dari penderita yang dirawat di rumah sakit mendapatkan pneumonia selama dalam perawatannya. Demikian pula halnya dengan penderita yang dirawat di ICU, lebih dari 60% akan menderita pneumonia (Supandi, 1992). c. Pneumonia aspirasi/anaerob: infeksi oleh bakteroid dan organisme anaerob lain setelah aspirasi orofaringeal dan cairan lambung. Pneumonia jenis ini biasa didapat pada pasien dengan status mental terdepresi, maupun pasien dengan gangguan refleks menelan (Jeremy, 2007). d. Pneumonia oportunistik: pasien dengan penekanan sistem imun (misalnya steroid, kemoterapi, HIV) mudah mengalami infeksi oleh virus, jamur, dan mikobakteri, selain organisme bakteria lain (Jeremy, 2007).

Universitas Sumatera Utara

e. Pneumonia rekuren: disebabkan organisme aerob dan aneorob yang terjadi pada fibrosis kistik dan bronkietaksis (Jeremy, 2007). 2.1.7 Faktor Risiko Faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan peningkatan risiko pneumonia antara lain usia > 65 tahun; dan usia < 5 tahun, penyakit kronik (misalnya ginjal, dan paru), diabetes mellitus, imunosupresi (misalnya obat-obatan, HIV), ketergantungan alkohol, aspirasi (misalnya epilepsi), penyakit virus yang baru terjadi (misalnya influenza), malnutrisi, ventilasi mekanik, pascaoperasi, lingkungan, pekerjaan, pendingin ruangan (Jeremy, 2007; Misnadirly, 2008). 2.1.8 Anamnesis Keluhan utama yang sering terjadi pada pasien pneumonia adalah sesak napas, peningkatan suhu tubuh, dan batuk. Pada pasien dengan pneumonia, keluhan batuk biasanya timbul mendadak dan tidak berkurang setelah meminum obat batuk yang biasanya tersedia di pasaran. Pada awalnya keluhan batuk yang tidak produktif, tapi selanjutnya akan berkembang menjadi batuk produktif dengan mucus purulen kekuning-kuningan, kehijau-hijauan, dan seringkali berbau busuk. Pasien biasanya mengeluh mengalami demam tinggi dan menggigil. Adanya keluhan nyeri dada, sesak napas, peningkatan frekuensi pernapasan, lemas, dan kepala nyeri (Supandi, 1992; Jeremy, 2007; Alberta Medical Assosiation, 2011). 2.1.9 Diagnosis Tujuannya adalah untuk menegakkan diagnosis, mengidentifikasi komplikasi, menilai keparahan, dan menentukan klasifikasi untuk membantu memilih antibiotika (Jeremy, 2007). Diagnosis pneumonia utamanya didasarkan klinis,

Universitas Sumatera Utara

sedangkan pemeriksaaan foto polos dada perlu dilakukan untuk menunjang diagnosis, diamping untuk melihat luasnya kelainan patologi secara lebih akurat (Supandi, 1992). 2.1.9.1 Gambaran Klinis Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian atas selama beberapa hari, kemudian diikuti dengan demam, menggigil, suhu tubuh kadang-kadang melebihi 40oC, sakit tenggorok, nyeri otot, dan sendi. Juga disertai batuk, dengan sputum purulen, kadang-kadang berdarah (Supandi, 1992). Pada pasien muda atau tua dan pneumonia atipikal (misalnya Mycoplasma), gambaran nonrespirasi (misalnya konfusi, ruam, diare) dapat menonjol (Jeremy, 2007). 2.1.9.2 Pemeriksaan Penunjang Pada pemeriksaan laboratorium tes darah rutin terdapat peningkatan sel darah putih (White blood Cells, WBC) biasanya didapatkan jumlah WBC 15.00040.000/mm3, jika disebabkan oleh virus atau mikoplasme jumlah WBC dapat normal atau menurun (Supandi, 1992; Jeremy, 2007). Dalam keadaan leukopenia laju endap darah (LED) biasanya meningkat hingga 100/mm3, dan protein reaktif C mengkonfirmasi infeksi bakteri. Gas darah mengidentifikasi gagal napas (Jeremy, 2007). Kultur darah dapat positif pada 20-25% penderita yang tidak diobati. Kadang-kadang didapatkan peningkatan kadar ureum darah, akan tetapi kreatinin masih dalam batas normal (Supandi, 1992). Gambaran radiologis pada pneumonia tidak dapat menunjukkan perbedaan nyata antara infeksi virus dengan bakteri. Pneumonia virus umumnya menunjukkan gambaran infiltrat intertisial dan hiperinflasi. Pneumonia yang

Universitas Sumatera Utara

disebabkan oleh kuman Pseudomonas sering memperlihatkan adanya infiltrate bilateral atau bronkopneumonia. 2.1.10 Penatalaksanaan a. Terapi antibiotika awal: menggambarkan tebakan terbaik berdasarkan pada klasifikasi pneumonia dan kemungkinan organisme, karena hasil mikrobiologis tidak tersedia selama 12-72 jam. Tetapi disesuaikan bila ada hasil dan sensitivitas antibiotika (Jeremy, 2007). b. Tindakan suportif: meliputi oksigen untuk mempertahankan PaO 2 > 8 kPa (SaO 2 < 90%) dan resusitasi cairan intravena untuk memastikan stabilitas hemodinamik. Bantuan ventilasi: ventilasi non invasif (misalnya tekanan jalan napas positif kontinu (continous positive airway pressure), atau ventilasi mekanis mungkin diperlukan pada gagal napas. Fisioterapi dan bronkoskopi membantu bersihan sputum (Jeremy, 2007). 2.2 Antibiotika 2.2.1 Definisi Antibiotika Antibiotika adalah zat-zat kimia yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri, yang memiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan kuman. Peresepan antibiotika untuk pasien yang tidak membutuhkan dapat mengakibatkan resistensi (Setiabudy, 2007). 2.2.2 Pilihan Antibiotika dan Posologi Setelah dokter menetapkan perlu diberikannya antibiotika kepada pasien, cara berikutnya adalah memilih antibiotika, serta menentukan dosis dan cara pemberian. Dalam memilih antibiotika yang tepat harus dipertimbangkan faktor

Universitas Sumatera Utara

sensitivitas bakterinya terhadap antibiotika, keadaan tubuh hospes, dan faktor biaya pengobatan (Setiabudy, 2007). Untuk mengetahui kepekaan mikroba terhadap antibiotika secara pasti perlu dilakukan pembiakan kuman penyebab infeksi, yang diikuti dengan uji kepekaan. Bahan biologik dari hospes untuk pembiakan, diambil sebelum pemberian antibiotika. Setelah pengambilan bahan tersebut, terutama dalam keadaan penyakit infeksi yang berat, terapi dengan antibiotika dapat dimulai dengan memilih antibiotika yang tepat berdasarkan gambaran klinik pasien. Dalam praktek sehari-hari tidak mungkin melakukan pemeriksaan biakan pada setiap terapi penyakit infeksi. Bila dapat diperkirakan kuman penyebab dan pola kepekaannya, dapat dipilih antibiotika yang tepat. Bila dari hasil uji kepekaan ternyata pilihan antibiotika semula tadi tepat serta gejala klinik jelas membaik dapat dilanjutkan terus dengan menggunakan antibiotika tersebut. Dalam hal hasil uji sensitivitas menunjukkan ada antibiotika yang lebih efektif, sedangkan dengan antibiotika semula gejala klinik penyakit menunjukkan perbaikan-perbaikan yang meyakinkan, antibiotika semula tersebut sebaiknya dilanjutkan. Tetapi bila hasil perbaikan klinik kurang memuaskan, antibiotika yang diberikan semula dapat diganti dengan yang lebih tepat, sesuai dengan hasil uji sensitivitas (Setiabudy, 2007). Pada infeksi berat seringkali harus segera diberikan antibiotika sementara sebelum diperoleh hasil pemeriksaan mikrobiologik. Pemilihan ini harus didasarkan pada pengalaman empiris yang rasional berdasarkan perkiraan etiologi yang paling mungkin serta antibiotika terbaik untuk infeksi tersebut. Memilih antibiotika yang didasarkan pada luas spektrum kerjanya, tidak dibenarkan karena

Universitas Sumatera Utara

hasil terapi tidak lebih unggul daripada hasil terapi dengan antibiotika berspektrum sempit, sedangkan superinfeksi lebih sering terjadi dengan antibiotika berspektrum luas (Setiabudy, 2007). Tabel 2.2 Daftar nama kuman penyebab pneumonia dan terapi empiris antibiotika yang digunakan Antibiotika Pilihan Yang Agen Penyebab Tanggapan Digunakan Antibiotika Lain Eritromisin Klaritromisin Legionella dengan atau atau azitromisin, tanpa rifampin rifampin, siprofloksasin doksisiklin dengan rifampin, ofloksasin Doksisiklin, Klaritromisin Selama Mycoplasma eritromisin atau azitromisin, 1-2 minggu pneumoniae rifampin, siprofloksasin atau ofloksasin Doksisiklin, Klaritromisin Selama Chlamydia eritromisin atau azitromisin, 1-2 minggu pneumoniae Siprofloksasin atau ofloksasin Doksisiklin Eritromisin, Chlamydia kloramfenikol psittaci

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.2 Sambungan Antibiotika Yang Digunakan Pilihan Tanggapan

Agen Penyebab S. pneumonia Sensitif terhadap penisilin (MIC < 0,1 ug/ml)

Antibiotika Lain Penisilin G atau Sefalosporin: V sefazolin,

Resistensi sedang terhadap penisilin (MIC 0,1-1 ug/ml)

Resistensi tinggi terhadap Penisilin (MIC > 1 ug/ml)

H. influenzae

S. aureus

Dosis untuk penyakit berat: Penisilin IV: sefuroksim, 0,5 juta unit/4 jam Sefuroksim: sefotaksim, 750 mg/8 jam IV Seftriakson: seftizoksim, 2 g/hari IV Sefotaksim: seftriakson, 2 g/6 jam IV Vankomisin: sefalosporin oral 1 g/12 jam IV Penisilin G: Vankomisin Tingkat resistensi 2-3 juta unit/4 sedang: jam seftriakson, 0,1-1 ug/ml; 80% sefotaksim. biasanya sensitif Agen oral: terhadap makrolida, sefalosporin sefuroksim, sefodoksim Vankomisin Imipenem Resistensi tingkat tinggi: > 1 ug/ml; 20% perlu vankomisin Sefalosporin Tetrasiklin; generasi kedua atau ketiga, betalaktamklaritromisin, betalaktamase, azitromisin, fluorokuinolon, trimetoprinkloramfenikol sulfametoksazol Nafsilin/oxasillin Sefazolin atau dengan atau sefuroksim, tanpa rimfapisin atau vankomisin, gentamisin klindamisin, trimetoprinsulfametoksazol,

Universitas Sumatera Utara

Enterobakteriaceae (E. coli, Klebsiella, Proteus, Enterobacter) (Barlett, 2001)

Sefalosporin generasi kedua atau ketiga dengan/tanpa aminoglikosida

fluorokuinolon Aztreonam, imipenem, betalaktambetalaktamase

2.2.2.1 Golongan Betalaktam Antibiotika ini dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok penisilin dan sefalosporin. A. Kelompok Penisilin Penisilin diperoleh dari jamur Penicillium chrysogenum dari berbagai jenis yang dihasilkannya, perbedaannya hanya pada gugus samping-R saja. Penisillin bersifat bakterisid dan bekerja dengan cara menghambat sintesis dnding sel. Efek samping yang terpenting adalah reaksi yang dapat menimbulkan urtikaria, dan kadang-kadang reaksi analfilaksis dapat menjadi fatal (Elin, 2008). 1. Benzilpenisilin: penisilin G bersifat bakterisid terhadap kuman Gram-positif (khususnya cocci) dan hanya beberapa kuman negatif. Penisilin G tidak tahanasam, maka hanya digunakan sebagai injeksi i.m atau infus intravena. Ikatan dengan protein plasma lebih kurang 60%; plasma t nya sangat singkat, hanya 30 menit dan kadar darahnya cepat menurun. Eksresinya berlangsung sebagian besar melalui transport aktif tubuler dari ginjal dan dalam keadaan utuh. Aktivitas penisilin G masih dinyatakan dalam Unit Internasional (UI) (Tjay, 2007). 2. Fenoksimetilpenisilin: Penisilin-V; derivate semisintesis ini tahan asam dan memiliki spektrum kerja yang dapat disamakan dengan pen-G, tetapi terhadap kuman negatif (antara lain suku Nesseira dan bacilli H. influenzae) 5-10 kali

Universitas Sumatera Utara

lebih lemah. Resorpsi penisilin-V tidak diuraikan oleh asam lambung. Ikatan dengan protein plasma lebih kurang 80%, plasma t 30-60 menit. Sebagian besar zat dirombak di dalam hati, dan rata-rata 30% dieksresikan lewat kemih dalam keadaan utuh. Dosis oral 3-6 dd 25-500 mg 1 jam sebelum makan, atau 2 jam sesudah makan (Tjay, 2007; Elin, 2008). 3. Ampisilin: penisilin broad spectrum ini tahan asam dan lebih luas spektrum kerjanya yang meliputi banyak kuman gram-negatif yang hanya peka bagi penisilin-G dalam dosis intravena tinggi. Kuman-kuman yang memproduksi penisilinase tetap resisten terhadap ampisilin (dan amoksisilin). Ampisilin efektif terhadap E. coli, H. influenzae, Salmonella, dan beberapa suku Proteus. Resorpsinya dari usus 30-40% (dihambat oleh makanan), plasma t nya 1-2 jam. Ikatan dengan protein plasmanya jauh lebih ringan daripada penisilin G dan penisilin V. Eksresinya berlangsung melalui ginjal yaitu 30-45% dalam keadaan utuh aktif dan sisanya sebagai metabolit. Efek samping berkaitan dengan gangguan lambung-usus dan alergi. Dosis untuk oral 4 dd sehari 0,5-1 g (garam-K atau trihidrat) sebelum makan (Tjay, 2007; Elin, 2008). 4. Amoksisilin: derivat hidroksi dengan aktivitas sama seperti ampisilin. Resorpsinya lebih lengkap (80%) dan pesat dengan kadar darah dua kali lipat. Ikatan dengan protein plasma dan t nya lebih kurang sama, namun difusinya ke jaringan dan cairan tubuh lebih baik. Kombinasi dengan asam klavulanat efektif terhadap kuman yang memproduksi penisilinase. Efek samping yang umum adalah gangguan lambung-usus dan radang kulit lebih jarang terjadi. Dosis untuk oral 3 dd 375-1.000 mg, anak-anak < 10 tahun 3 dd 10 mg/kg, juga diberikan secara i.m/i.v (Istiantoro, 2007; Tjay, 2007; Elin, 2008).

Universitas Sumatera Utara

5. Coamoksiklav terdiri dari amoksilin dan asam klavulanat (penghambat beta laktamase). Asam klavulanat sendiri hampir tidak memiliki antibakterial. Tetapi dengan menginaktifkan penisilinase, kombinasi ini aktif terhadap bakteri penghasil penisilinase yang resisten terhadap amoksisilin (Tjay, 2007). 6. Penisilin antipseudomonas: obat ini diindikasikan untuk infeksi berat yang disebabkan oleh Pseudomonas aeruginosa. Selain itu juga aktif terhadap beberapa kuman gram negatif, termasuk Proteus spp dan Bacteroides fragilis (Tjay, 2007). B. Kelompok Sefalosporin Sefalosporin diperoleh dari jamur Cephalorium acremonium yang berasal dari Sicilia. Sefalosporin merupakan antibiotika betalaktam dengan struktur, khasiat, dan sifat yang banyak mirip penisilin, tetapi dengan keuntungankeuntungan antara lain spektrum antibakterinya lebih luas tetapi tidak mencakup enterococci dan kuman-kuman anaerob serta resisten terhadap penisilinase, tetapi tidak efektif terhadap Staphylococcus yang resisten terhadap metisilin (Istiantoro, 2007; Elin, 2008). Berdasarkan sifat farmakokinetika, sefalosporin dibedakan menjadi dua golongan. Sefaleksim, sefaklor, dan sefadroksil dapat diberikan per oral karena diabsorpsi melalui saluran cerna. Sefalosporin lainnya hanya dapat diberikan parenteral. Sefalotin dan sefapirin umumnya diberikan secara i.v. karena menimbulkan iritas pada pemberian i.m. Beberapa sefalosporin generasi ketiga misalnya mosalaktam, sefotaksim, seftizoksim, dan seftriakson mencapai kadar tinggi dalam cairan serebrospinal, sehingga bermanfaat untuk pengobatan meningitis purulenta. Selain itu sefalosporin juga melewati sawar plasenta,

Universitas Sumatera Utara

mencapai kadar tinggi dalam cairan synovial dan cairan perikardium. Pada pemberian sistemik kadar sefalosporin generasi ketiga dalam cairan mata relatif tinggi, tapi tidak mencapai vitreus. Kadar dalam empedu umumnya tinggi terutama sefoperazon. Kebanyakan sefalosporin dieskresi dalam bentuk utuh ke urin, kecuali sefoperazon yang sebagian besar dieskresi melalui empedu. Oleh karena itu dosisnya harus disesuaikan pada pasien gangguan fungsi ginjal (Elin, 2008). Reaksi alergi merupakan efek samping yang paling sering terjadi. Reaksi anafiilaksis dengan spasme bronkus dan urtikaria dapat terjadi. Reaksi silang biasanya terjadi pada pasien dengan alergi penisilin berat, sedangkan pada alergi penisilin yang ringan dan sedang kemungkinannya kecil. Sefalosporin merupakan zat yang nefrotoksik, walaupun jauh kurang toksis dibandingkan dengan aminoglikosida. Kombinasi sefalosporin dengan aminoglikosida mempermudah terjadinya nefrotoksisitas (Elin, 2008). Yang termasuk dalam kelompok sefalosporin adalah: 1. Sefalosporin generasi pertama: sefalotin, sefazolin, sefradin, sefaleksin, dan sefadroksil. Terutama aktif terhadap kuman gram positif. Golongan ini efektif terhaap sebagina besar S. aureus dan streptokokus termasuk Str. pyogenes, Str. viridans, dan Str. pneumoniae. Bakteri gram positif yang juga sensitif adalah Clostridium perfringens, dan Corinebacterium diphtheria. Sefaleksim, sefradin, sefadroksil aktif pada pemberian per oral. Obat ini diindikasikan untuk infeksi salura kemih yang tidak berespons terhadap obat lain atau yang terjadi selama kehamilan, infeksi saluran napas, sinusitis, infeksi kulit dan jaringan lunak (Tjay, 2007; Elin, 2008).

Universitas Sumatera Utara

2. Sefalosporin generasi kedua: Sefaklor, sefamandol, sefmetazol, sefuroksim. Dibandingkan dengan generasi pertama, sefalosporin generasi kedua kurang aktif terhadap bakteri gram positif, tetapi lebih aktif terhadap gram negatif, misalnya H. Influenza, E. Coli, dan Klebsiella. Golongan ini tidak efektif terhadap kuman anaerob. Sefuroksim dan sefamandol lebih tahan terhadap penisilinase dibandingkan dengan generasi pertama dan memiliki aktivitas yang lebih besar terhadap H. Influenzae dan N. Gonorrheae (Tjay, 2007; Elin, 2008). 3. Sefalosporin generasi ketiga: sefoperazon, sefotaksim, seftriakson, sefiksim, sefodoksim, sefprozil. Golongan ini umumnya kurang efektif terhadap kokus gram positif dibandingkan dengan generasi pertama, tapi jauh lebih aktif terhadap Enterobacteriaceae termasuk strain penghasil penisilinase (Elin, 2008). Aktivitasnya terhadap gram negatif lebih kuat dan lebih luas lagi dan meliputi Pseudomonas dan Bacteroides, khususnya seftazidim (Tjay, 2007). 4. Sefalosporin generasi keempat: sefepim dana sefpirom. Obat-obat baru ini sangat resisten terhadap laktamase, sefepim juga aktif sekali terhadap pseudomonas (Tjay, 2007). C. Antibiotika Laktam Lainnya 1. Imipenem: khasiat bakterisidnya berdasarkan perintangan sintesis dinding-sel kuman. Spektrum kerjanya luas meliputi, banyak kuman gram-positif dan negatif termasuk Pseudomonas, Enterococcus, dan Bacteroides, juga kuman patogen anaerob. Tahan terhadap kebanyakan betalaktamase kuman, tetapi berdaya menginduksi produksi enzim ini. Oleh ginjal dehidropeptidase-1 dirombak menjadi metabolit nefrotoksis, maka hanya digunakan terkombinasi

Universitas Sumatera Utara

dengan suatu penghambat enzim yaitu silastatin. Dosis terkombinasi dengan cilastatin i.v. sebagai infus 250-1.000mg setiap 5 jam (Tjay, 2007). Efek samping sama dengan antibiotika betalaktam lainnya. Neurotoksisitas pernah dilaporkan pada dosis sangat tinggi dan pada pasien gagal ginjal (Elin, 2008). 2. Meropenem sama dengan imipenem, tetapi lebih tahan terhadap enzim di ginjal sehingga dapat diberikan tanpa silastin. Penetrasinya ke dalam semua jaringan baik termasuk ke dalam cairan serebrospinal sehingga efektif terhadap meningitis bakterial. Dosisnya untuk intravena atau infus 10-120 mg/kg dalam 3-4 dosis atau setiap 8-12 jam (Elin, 2008). 2.2.2.2 Golongan Makrolida Kelompok antibiotika ini terdiri dari eritromisin dengan derivatnya klaritromisin, roksitromisin, azitromisin, dan diritromisin. Semua makrolida diuraikan dalam hati, sebagian oleh sistem enzim oksidatif sitokrom-P450 menjadi metabolit inaktif. Pengecualian adalah metabolit OH dari klaritromisin dengan aktivitas cukup baik. Eksresinya berlangsung melalui empedu, tinja serta kemih, terutama dalam bentuk inaktif (Elin, 2008). Efek samping yang terpenting adalah pengaruhnya bagi lambung-usus berupa diare, nyeri perut, nausea, dan kadang-kadang muntah, yang terutama terlihat pada eritromisin akibat penguraiannya oleh asam lambung. Eritromisin pada dosis tinggi dapat menimbulkan ketulian yang reversibel. Semua makrolida dapat mengganggu fungsi hati, yang tampak sebagai peningkatan nilai-nilai enzim tertentu dalam serum (Iriantoro, 2007; Elin, 2008). a. Eritromisin memiliki spektrum antibakteri yang hampir digunakan sama dengan penisilin, sehingga obat ini digunakan sebagai alternatif pengganti

Universitas Sumatera Utara

penisilin (Elin, 2008). Eritromisin bersifat bakteriostatis terhadap bakteri gram-positif. Mekanisme kerjanya melalui pengikatan reversibel pada ribosom kuman, sehingga sintesis proteinnya dirintangi. Absorpsinya tidak teratur, agak sering menimbulkan efek samping saluran cerna, sedangkan masa paruhnya singkat, maka perlu ditakar sampai 4 x sehari. Eritromisin merupakan pilihan pertama khususnya pada infeksi paru-paru dengan Legionella pneumophila dan Mycoplasna pneumonia. Eritromisin

menyebabkan mual, muntah, dan diare. Dosis: oral 2-4 dd 250-500 mg pada saat perut kosong selama maksimal 7 hari (Tjay, 2007; Elin, 2008). b. Azitromosin dan klaritromisin merupakan derivat dari eritromisin. Memiliki sifat farmakokinetik yang jauh lebih baik dibandingkan eritomisin, antara lain resorpsinya dari usus lebih tinggi karena lebih tahan asam, begitu pula daya tembus ke jaringan dan intra-seluler. Azitromisin mempunyai t 1/2 13 jam yang memungkinkan pemberian dosis hanya 1 atau 2 kali sehari. Makanan memperburuk resorpsinya, maka sebaiknya diminum pada saat perut kosong (Tjay, 2007). 2.2.2.3 Golongan Aminoglikosida Aminoglikosida dihasilkan oleh jenis-jenis fungi Streptomyces dan

Micromonospora. Aminoglikosida bersifat bakterisid berdasarkan dayanya untuk menembus dinding bakteri dan mengikat diri pada ribosom di dalam sel. Proses translasi (RNA dan DNA) diganggu sehingga biosintesis proteinnya dikacaukan. Spektrum kerjanya luas yaitu aktif terhadap bakteri gram positif dan gram negatif. Yang termasuk ke dalam golongan ini adalah streptomisin, gentamisin, amikasin, kanamisin, neomisin, dan paramomisin (Tjay, 2007).

Universitas Sumatera Utara

a.

Amikasin: merupakan turunan kanamisin. Obat ini tahan terhadap 8 dari 9 enzim yang merusak aminoglikosida, sedangkan gentamisin dapat dirusak oleh 5 dari enzim tersebut. Terutama diindikasikan untuk infeksi berat gram negatif yang resisten terhadap gentamisin. Guna menghindari resisten, jangan digunakan lebih dari 10 hari (Tjay, 2007).

b. Gentamisin: spektrum antibakterinya luas, tapi tida efektif terhadap kuman anaerob, kurang efektif terhadap Str. Hemolyticus. Bila digunakan pada infeksi berat yang belum diketahui penyebabnya, sebaiknya dikombinasi dengan penisilin dan/atau metronidazol (Elin, 2008). Dosis harian 5 mg/kg dalam dosis terbagi tiap 8 jam (bila fungsi ginjal normal). Sebaiknya pemberian jangan melebihi 7 hari. Dosis lebih tinggi kadang-kadang diperlukan pada neonatus dan defisiensi imunologis (Tjay, 2007; Elin, 2008). 2.2.2.4 Golongan Fluorokuinolon a. Kloramfenikol: berkhasiat bakteriostatik terhadap hampir semua kuman grampositif dan sejumlah kuman gram-negatif, juga terhadap Chlamydia trachomatis dan Mycoplasma. Bekerja bakterisid terhadap S. pneumonia, dan H. influenzae. Mekanisme kerjanya berdasarkan perintangan sintesis polipeptida kuman. Resorpsinya dari usus cepat dan lengkap dengan bioavaibilitas 75-90%. Ikatan dengan protein plasma lebih kurang 50% , t nya rata-rata 3 jam. Dalam hati 90% zat ini dirombak menjadi glukuronida inaktif. Eksresinya melaui ginjal, terutama sebagai metabolit inaktif dan lebih kurang 10% secara utuh. Efek samping umum berupa gangguan lambung-usus, neuropati optis dan perifer, radang lidah dan mukosa mulut. Tetapi yang sangat

Universitas Sumatera Utara

berbahaya adalah depresi sumsum tulang yang dapat berwujud dalam bentuk anemia (Tjay, 2007; Elin, 2008). b. Vankomisin: antibiotika glikopeptida ini dihasilkan oleh Streptpmyces orientalis. Berkhasiat bakterisid terhadap kuman Gram-positif aerob dan anaerob termasuk Staphylococcus yang resistensi terhadap metisilin. Daya kerjanya berdasarkan penghindaran pembentukan peptidoglikan. Penting sekali sebagai antibiotika terakhir pada infeksi parah jika antibiotika yang lain tidak ampuh lagi. Obat ini juga digunakan bila terdapat alergi untuk penisilin/sefalosporin. Resorpsinya dari usus sehat sangat buruk, tetapi lebih baik pada enteris. Vankomisin mempunyai t nya 5-11 jam. Eksresinya berlangsung 80% melalui kemih. Efek sampingnya berupa gangguan fungsi ginjal, terutama pada penggunaan lama dosis tinggi, juga neuropati perifer, reaksi alergi kulit, mual, dan demam. Kombinasinya dengan aminoglikosida meningkatkan risiko nefro dan ototoksisitas. Dosis untuk infeksi parah i.v. (infuse) 1 g dalam 200 ml larutan NaCl 0,9% (atau glukosa 5%) setiap 12 jam dengan jangka waktu minimal 2 jam (Elin, 2008). c. Doksisiklin: derivat long-acting ini berkhasiat bakteriostastik terhadap kuman yang resisten terhadap tetrasiklin atau penisilin. Resorpsinya dari usus hampir lengkap. Bioavaibilitasnya tidak dipengaruhi oleh makanan atau susu seperti tetrasiklin, namun tidak boleh dikombinasi dengan logam berat (besi, aluminium, dana bismuth). Doksisiklin mempunyai t yang panjang (14-17 jam), sekali sehari 100 mg setelah dimulai, dengan loading dose 200 mg. Efek samping dapat mengakibatkan borok kerongkongan bila ditelan dalam keadaan berbaring atau dengan terlampau sedikit air( Tjay, 2007; Elin, 2008).

Universitas Sumatera Utara

2.2.3 Sebab-Sebab Kegagalan Terapi Kepekaan kuman terhadap antibiotika tertentu tidak dapat menjamin efektivitas klinis. Faktor berikut dapat menjadi penyebab kegagalan terapi: a. Dosis kurang Dosis suatu antibiotika seringkali bergantung dari tempat infeksi, walaupun kuman penyebanya sama. Sebagai contoh dosis penisilin G yang diperlukan untuk mengobati meningitis oleh Pneumococcus jauh lebih tinggi daripada dosis yang diperlukan untuk pengobatan infeksi saluran napas bawah yang disebabkan oleh kuman yang sama. b. Masa terapi yang kurang Konsep lama yang menyatakan bahwa untuk setiap jenis infeksi perlu diberikan antimikroba tertentu selama jangka waktu tertentu kini telah ditinggalkan. Pada umunya para ahli cenderung melakukan individualisasi masa terapi, yang sesuai dengan tercapai respon klinik yang memuaskan. Namun untuk penyakit tertentu seperti tuberkulosis paru tetap dipertahankan masa terapi yang cukup walaupun perbaikan klinis cepat terlihat. c. Kesalahan dalam menetapkan etiologi Demam tidak selalu disebabkan oleh kuman, virus, jamur, parasit, reaksi obat, dan lain-lain dapat meningkatkan suhu badan. Pemberian antibiotika yang lazim diberikan dalam keadaan ini tidak bermanfaat. d. Pilihan antibotika yang kurang tepat Suatu daftar antibiotika yang dinyatakan efektif dalam uji sensitivitas tidak dengan sendirinya menyatakan bahwa setiap antibiotika akan memberikan aktivitas klinik yang sama. Disini dokter harus dapat mengenali dan memilih

Universitas Sumatera Utara

antibiotika yang secara klinis merupakan obat terpilih untuk suatu kuman tertentu. Sebagai contoh obat terpilih untuk infeksi S. faecalis adalah ampisilin, walaupun secara in vitro kuman tersebut juga dinyatakan sensitif terhadap sefamandol atau gentamisin. e. Faktor pasien Keadaan umum yang buruk dan gangguan mekanisme pertahanan tubuh (selular dan humoral) merupakan faktor penting yang menyebabkan gagalnya terapi antibotika. Sebagai contoh obat imunosupresan, AIDS (Setiabudy, 2007). 2.2.4. Drug Related Problems ( DRP ) Drug related problems adalah sebuah kejadian atau problem yang melibatkan terapi obat penderita yang mempengaruhi pencapaian outcome. Drug Related Problems (DRP) merupakan suatu kejadian yang tidak diharapkan dari pengalaman pasien atau diduga akibat terapi obat sehingga potensial mengganggu keberhasilan penyembuhan yang dikehendaki (Cipolle, 1998). DRP dapat diatasi atau dicegah ketika penyebab dari masalah tersebut dipahami dengan jelas. Dengan demikian perlu untuk mengidentifikasi dan mengkategorikan DRP dan penyebabnya. Jenis-jenis DRP dan penyebabnya menurut standar disajikan sebagai berikut: A. Indikasi tanpa obat 1. Pasien dengan kondisi terbaru membutuhkan terapi obat yang terbaru. 2. Pasien yang kronik membutuhkan lanjutan terapi obat. 3. Pasien dengan kondisi kesehatan yang membutuhkan kombinasi farmakoterapi untuk mencapai efek sinergis atau potensiasi.

Universitas Sumatera Utara

4. Pasien dengan resiko pengembangan kondisi kesehatan baru dapat dicegah dengan penggunaan terapi prophylactic drug atau premedication. B. Terapi Obat yang Tidak Perlu 1. Pasien yang mendapatkan obat yang tidak tepat indikasi. 2. Pasien yang keracunan karena obat atau hasil pengobatan. 3. Pengobatan pada pasien pengkonsumsi obat, alkohol dan rokok. 4. Pasien dalam kondisi pengobatan yang lebih baik diobati dengan non drug therapy. 5. Pasien dengan multiple drugs untuk kondisi dimana hanya single drug therapy dapat digunakan. 6. Pasien dengan terapi obat dengan penyembuhan dapat menghindari reaksi yang merugikan dengan pengobatan lainnya. C. Salah Obat 1. Pasien dimana obatnya tidak efektif. 2. Pasien alergi. 3. Pasien penerima obat yang paling tidak efektif untuk indikasi pengobatan. 4. Pasien dengan faktor resiko pada kontraindikasi penggunaan obat. 5. Pasien menerima obat efektif tetapi least costly. 6. Pasien menerima obat efektif tetapi tidak aman. 7. Pasien yang terkena infeksi resisten terhadap obat yang digunakan. D. Dosis Terlalu Rendah 1. Pasien menjadi sulit disembuhkan dengan terapi obat yang digunakan. 2. Pasien menerima kombinasi produk yang tidak perlu dimana single drugs dapat memberikan pengobatan yang tepat.

Universitas Sumatera Utara

3. Dosis yang digunakan terlalu rendah untuk menimbulkan respon. 4. Konsentrasi obat dalam serum pasien di bawah range terapeutik yang diharapkan. 5. Obat prophylaxis (presugikal) antibiotik diberikan terlalu cepat. 6. Dosis dan flexibility tidak cukup untuk pasien. 7. Terapi obat berubah sebelum terapeutik percobaan cukup untuk pasien. 8. Pemberian obat terlalu cepat. 9. Pasien alergi E. Reaksi Obat yang Merugikan 1. Pasien dengan faktor resiko yang berbahaya bila obat digunakan. 2. Ketersediaan dari obat dapat menyebabkan interaksi dengan obat lain atau makanan pasien. 3. Efek dari obat dapat diubah oleh substansi makanan pasien. 4. Efek dari obat diubah enzyme inhibitor atau induktor dari obat lain. 5. Efek dari obat diubah dengan pemindahan obat dari binding cite oleh obat lain. 6. Hasil laboratorium dapat berubah karena gangguan obat lain. F. Dosis Terlalu Tinggi 1. Dosis terlalu tinggi 2. Konsentrasi obat dalam serum pasien diatas therapeutic range obat yang diharapkan. 3. Dosis obat meningkat terlalu cepat. 4. Obat, dosis rute, perubahan formulasi yang tidak tepat. 5. Dosis dan interval flexibility tidak tepat

Universitas Sumatera Utara

G. Kepatuhan 1. Pasien tidak menerima aturan pemakaian obat yang tepat (penulisan obat, pemberian, pemakaian). 2. Pasien tidak menuruti (ketaatan) rekomendasi yang diberikan untuk pengobatan. 3. Pasien tidak mengambil obat yang diresepkan karena harganya mahal. 4. Pasien tidak mengambil beberapa obat yang diresepkan karena kurang mengerti. 5. Pasien tidak mengambil beberapa obat yang diresepkan secara konsisten karena merasa sudah sehat (Cipolle, 2008).

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai