Anda di halaman 1dari 17

BAB I PENDAHULUAN 1.

1 Latar Belakang Indonesia saat ini sedang menjalankan upaya desentralisasi yang paling cepat dan meluas yang pernah ada dalam sejarah, dimotori oleh kekuatan-kekuatan politik regional yang muncul sejak jatuhnya pemerintahan Suharto yang sentralistik dan otoriter. Walaupun besar dan beragam, Indonesia pada waktu itu memiliki sistem administrasi dan fiskal yang sangat terpusat. Dalam fiskal 1999, misalnya, pemerintah pusat mengumpulkan 94 persen dari pendapatan pemerintah secara umum dan sekitar 60 persen dari pengeluaran daerah dibiayai oleh transfer dari pusat. Sistem ini memperlemah hubungan antara permintaan lokal dan pengambilan keputusan dalam hal pelayanan publik lokal, mengurangi akuntabilitas lokal, dan membuat alokasi yang bersifat ad hoc dari sumberdaya fiskal di seluruh daerah. Desentralisasi mencakup beberapa makna yang mencakup hal-hal berikut yaitu distribusi kewenangan dari pusat ke daerah, yang berarti distribusi kewenangan pemerintah pusat dalam bentuk kewenangan dekonsentrasi dan delegasi kewenangan. Yang pertama adalah pemberian kewenangan ke organ pemerintah pusat di daerah dan yang kedua adalah delegasi kewenangan dari pemerintah pusat ke organ lokal. Sebaliknya, devolusi kewenangan berarti perpindahan kewenangan dari pemerintah pusat ke daerah yang disertai dengan realokasi sumber penerimaan dan pembiayaan. Demokratisasi adalah suatu proses dalam sistem suatu negara menuju bentuk demokrasi,dimana dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh rakyat dan untuk rakyat. Keterkaitan antara desentralisasi dan demokrasi kemudian melahirkan konsep desentralisasi-demokratis atau mode l otonomi daerah berbasis masyarakat (ODBM). Secara prinsipil, ODBM adalah otonomi yang dibingkai dengan demokrasi, dan demokrasi yang berbasis pada partisipasi masyarakat. Semuanya berawal dari masyarakat dan dikembalikan untuk masyarakat. Yaitu otonomi daerah yang dibangun dari partisipasi masyarakat, dikelola secara transparan dan bertanggung jawab
1

oleh masyarakat, dan dimanfaatkan secara responsif untuk masyarakat. Dilihat dari bawah, otonomi daerah berarti ruang dan kapasitas daerah melakukan akses terhadap proses kebijakan di tingkat pusat, supaya kebijakan pusat mempunyai basis yang legitimate di hadapan masyarakat lokal. Dari segi proses, pembuatan kebijakan regional dan nasional harus berlangsung melalui partisipasi masyarakat, sehingga masyarakat tidak semata dijadikan sebagai obyek kebijakan. ODBM juga identik dengan konsep desentralisasi demokratis (democratic decentra lisa tion) , yakni sebagai bentuk pengembangan hubungan sinergis antara pemerintah pusat dengan pemerintah lokal dan antara peme rintah lokal dengan warga masyarakat.

1.2 Tujuan Untuk mengetahui wacana desentralisasi dan demokrasi yang ada di indonesia Untuk mengetahui masalah desentralisasi dan demokrasi yang ada di indonesia

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Distorsi Wacana Praktik otonomi daerah di era refomasi yang dibingkai oleh UU No. 22/1999

mempunyai sejumlah kemajuan ketimbang otonomi daerah masa lalu, tetapi secara empirik juga meni mbulkan sejumlah paradoks dan masalah yang kompleks.

Paradigma otonomi daerah di atas kertas (formalistik) sudah banyak yang berubah tetapi tidak diikuti dengan perubahan pola pikir (pemahaman) secara substantif terhadap otonomi daerah. Banyak orang mempunyai pemahaman secara keliru terhadap otonomi daerah, yang akan saya beberkan di bawah. Pertama, otonomi daerah dalam negara kesatuan berbeda dengan otonomi daerah dalam negara serikat (federal). Wacana ini umumnya dikemukakan oleh para pendukung status quo sentralisme, terutama pemerintahan Megawati dan pendukungnya. Dengan terus-menerus mereproduksi wacana negara kesatuan, rezim Megawati ingin menunjukkan kontrol yang terpusat kepada daerah, dan kelihatannya ia mengidap malaise psikologis terhadap gagasan otonomi daerah yang seluas-luasnya. Kedua, kewenangan selalu menjadi perhatian utama otonomi daerah, sehingga perlu diatur secara tegas. Pandangan ini lebih bersifat instrumentalis ketimbang pandangan
3

yang substantif. Kalau bicara tentang regulasi maka substansinya adalah kewenangan, kalau bicara tentang kewenangan maka pemilik otonomi hanya pemerintah. Ketiga, otonomi daerah dipahami sebagai otonomi dalam hal uang. Sudah sangat lama berkembang dalam masyarakat suatu pemahaman yang keliru tentang otonomi daerah, yaitu untuk berotonomi daerah harus mencukupi sendiri segala kebutuhannya, terutama dalam bidang keuangan: autonomy means automoney. Keempat, dalam wacana publik selalu terdengar bahwa daerah belum siap dan belum mampu. Wacana ini tidak hanya diungkap oleh elite Jakarta, tetapi juga masyarakat luas. Indikator yang digunakan untuk mengukur kesiapan dan kemampuan adalah uang dan juga kapasitas SDM. Kelima, dengan otonomi daerah maka pusat akan melepaskan tanggung jawabnya untuk memfasilitasi daerah. Wacana ini direproduksi terus-menerus oleh berbagai pihak. Banyak orang khawatir, jangan-jangan dengan otonomi ini pusat akan melepaskan sepenuhnya kepada Daerah, terutama dalam bidang keuangan. Orang lebih takut pada hilangnya subsidi dari pusat, tetapi tidak begitu khawatir terhadap campur tangan pusat. Sebagai konsekuensi negara kesatuan, pusat tetap berkewajiban memberikan subsidi pada daerah, bertanggungjawab terhadap supervisi pelaksanaan pelaksanaan otonomi daerah tidak beres, maka kambing hitamnya bukan hanya daerah tetapi juga pusat yang harus dijadikan sebagai terdakwa karena pusat tidak memberikan uluran tangan melalui subsidi, supervisi dan capacity building. Toh UU No. 22/1999 telah menganut falsafah no mandate without funding, yang berarti setiap pemberian kewenangan dari pemerintah pusat kepada daerah harus disertai dengan dana yang jelas dan cukup. Keenam, dengan otonomi daerah daerah bisa melakukan apa saja. Keleluasaan memang merupakan inti otonomi daerah, tetapi bukan keleluasaan yang liar. Para penganjur desentralisasi dan kebijakan otonomi daerah, bagaimanapun tetap mendorong keleluasaan yang didasarkan pada prinsip local accountability. Kalau meminjam bahasa klasik adalah kebebasan yang bertanggungjawab. Setiap kebijakan dan tindakan pemerintah daerah harus bisa dipertanggungjawabkan secara hukum, tidak bertentangan dengan kepentingan umum, serta harus berbasis pada aspirasi masyarakat. Sebagai contoh, pemda tidak bisa membabibuta membuat Perda untuk mengeruk pajak dan retribusi, tetapi ternyata perda itu bertentangan dengan UU (tidak ada akuntabilitas legal) dan merugikan masyarakat (tidak ada akuntabilitas politik). Kalau pemda tidak sensitif terhadap persoalan akuntabilitas legal dan akuntabilitas politik itu, maka ia akan
4

menghadapi krisis legitimasi dan kepercayaan masyarakat, yang bakal mendorong masyarakat melakukan perlawanan terus-menerus terhadap pemda. Ketujuh, otonomi daerah akan menciptakan raja-raja kecil di daerah dan memindahkan korupsi ke daerah. Wacana ini berkembang sangat kuat karena memang bersandar pada sejumlah bukti-bukti empirik di daerah, misalnya arogansi daerah dan meluasnya korupsi yang dilakukan oleh pemda dan DPRD. Problem ini muncul karena lemahnya akuntabilitas dan kontrol masyarakat. Korupsi terjadi karena tidak ada demokrasi di daerah. Secara formal UU sebenarnya telah menghapus penguasa tunggal yang dulu direkayasa oleh Orde Baru. Namun, secara empirik, untuk membangun akuntabilitas dan pemerintahan yang bersih sangat membutuhkan hadirnya kontrol elemen-elemen masyarakat sipil seperti ormas, LSM, pers, organisasi petani, ombudsman, dan lain-lain. Elemen-elemen ini harus membangun jaringan untuk melakukan daily control terhadap sepak terjang pemda dan DPRD. Kedelapan, otonomi daerah merupakan kesempatan yang baik untuk memberikan kesempatan pada putera daerah. Wacana keasilan (nativisme) ini sudah lama muncul sejak Orde Baru, yang dimaksudkan untuk melawan campur tangan atau titipan dari Jakarta ketika terjadi pemilihan kepala daerah. Sekarang di era otonomi daerah, wacana sangat kuat berkembang. Wacana putera daerah sekarang tidak lagi dimaksudkan untuk melawan intervensi pusat, tetapi lebih bernuansa politik yang eksklusif dan nativis. Dalam era otonomi daerah dan demokrasi, wacana putera daerah sebenarnya tidak terlalu relevan, karena tidak sesuai dengan prinsip pluralisme dan inklusivitas. Daerah lebih baik dipimpin oleh orang luar yang sudah lama mengabdi dan mempunyai komitmen yang serius, daripada dipimpin oleh putera daerah yang sudah lama tercerabut dari lokalitas karena mengembara di tempat lain. Oleh karena itu, otonomi daerah bukan sebagai arena untuk membangkitkan nativisme tetapi untuk memupuk pluralisme. Kesembilan, otonomi daerah merupakan kesempatan bagi daerah untuk melakukan kapling-kapling wilayah dan kekayaannya. Wacana ini berkembang luas dan bahkan dipraktikkan secara empirik di daerah, bahkan di tingkat desa. Banyak daerah yang rebutan lahan, banyak desa yang saling berebut sumber air maupun tanah bengkok. Bagaimanapun masalah eksternalitas tidak bisa dihindari. Banyak sumberdaya suatu daerah berada di daerah lain, banyak masalah di sebuah daerah yang mempunyai akibat pada daerah lain, misalnya limbah pabrik yang mengalir dari satu daerah ke daerah lain.

Dalam otonomi daerah, problem klaim dan kapling itu sebenarnya bisa diselesaikan melalui kontrak kerjasama antar daerah yang menguntungkan satu sama lain. Daftar Masalah Paradigma baru otonomi daerah yang hanya bersifat formalistik, pemahaman yang keliru, komitmen elite yang sangat lemah, kepemimpinan nasional yang lemah tetapi tetap ingin dominan, dan seterusnya menyebabkan praktik otonomi daerah mengandung sejumlah masalah krusial. Ada sejumlah problem krusial populer yang hendak saya tampilkan di bawah ini. 1. Perebutan kewenangan, lempar tanggungjawab Konflik kewenangan antara pusat, provinsi, kabupaten/kota dan juga desa merupakan masalah klasik yang hampir setiap hari bisa dibaca di media massa. Ujung konflik adalah perebutan sumberdaya. Kalau sudah bicara soal kewenangan antar tingkatan pemerintahan akan melakukan klaim, tetapi kalau sudah sampai pada tanggungjawab atau kewajiban mereka saling cuci tangan atau lempar tanggungjawab. Antara pusat dan daerah kini terus berebut soal pertanahan, pelabuhan laut, pelabuhan udara, otorita, kehutanan, PTP, pertambangan, TKI, dan lain-lain. Dulu dari pengadaan sampai perawatan terhadap asetaset itu ditanggung oleh pusat, dan semua hasilnya disedot ke Jakarta. Sekarang di era otonomi daerah, berhubung aset-aset gemuk itu berada di wilayah daerah, maka daerah berusaha merebut kewenangan dari pusat. Tetapi kalau sudah berurusan dengan jalan rusak, banjir, bencana, pengungsian, dll, maka antara pusat dan daerah saling lempar tanggungjawab. Orang pusat akan mengatakan bahwa jalan rusak merupakan tanggungjawab daerah karena sudah diserahkan pada daerah. Sebaliknya orang daerah mengatakan, biarkan jalan rusak itu urusan pusat karena sejak dulu menjadi proyeknya orang pusat. 2. Masalah rekrutmen lokal Rekrutmen lokal secara formal dijamin lebih terbuka dan kompetitif. Akan tetapi rekrutmen kepala daerah yang terbuka dan demokratis itu juga diikuti dengan keterbukaan praktik money politics. Sudah menjadi rahasia umum di berbagai daerah, bahwa para calon kepala daerah selalu mengobral uang untuk membeli secara langsung suara para anggota

DPRD maupun membayar kelompok-kelompok sosial (pers, LSM, ormas, preman) untuk membuat opini publik. 3. Masalah DPRD DPRD di era otonomi daerah sangat kuat. Akan tetapi, secara empirik, DPRD sekarang mengidap banyak penyakit yang membuat muak banyak orang. Penyakit DPRD sekarang jauh lebih kompleks ketimbang penyakit dulu: datang, duduk, dengar, dan duit (D4). DPRD telah melampaui batas-batas kewenangannya dari sekadar fungsi pengawasan menjadi fungsi peradilan, jauh lebih arogan, campur tangan terlalu dalam dalam urusan birokrasi sipil, korup, tidak peka terhadap aspirasi rakyat, dan seterusnya. Di berbagai daerah, praktik perampasan terhadap keuangan daerah baik secara terang-terangan maupun korupsi, dilakukan oleh DPRD, sehingga muncul suara publik bahwa kantor DPRD adalah sarang koruptor. 4. Masalah Keuangan Daerah Keuangan daerah merupakan problem yang sangat krusial dalam implementasi otonomi daerah. Masalah pertama yang paling kontroversial adalah pemda yang sangat bernafsu mengeruk PAD. Tampaknya jargon autonomy is automoney merupakan ortodoksi (ideologi) yang dipegang kuat oleh pemda. Ada sentimen kuat bahwa otonomi akan benar-benar "nyata" apabila daerah bisa meningkatkan peran PAD terhadap anggaran daerah (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah/APBD) yang selama ini kurang dari 20%. Nafsu membara itu tercermin dari berbagai pungutan pemerintah daerah secara legal (dilegalkan dengan Perda) yang merebak di beberapa tempat. Pemda mengeruk pajak dan retribusi yang merugikan masyarakat. Ada yang merupakan pungutan lama yang pernah dihapus dengan berlakunya UU No 18 Tahun 1997, dan tidak sedikit pula pungutanpungutan baru. 5. Inovasi yang Lambat Desentralisasi dan demokrasi lokal tentu menuntut reformasi birokrasi dan inovasi penyelenggaraan pemerintahan. Banyak pemerintah daerah, terutama sosok bupati, secara sadar memprakarsai inovasi penyelenggaraan pemerintahan daerah. Banyak daerah telah mengadopsi gagasan good governance dan reinventing government sebagai bingkai inovasi pemerintahan daerah. Setiap pemerintah daerah sekarang sibuk membuat rencana strategis sebagai pijakan untuk mengarahkan agenda pembangunan, pemerintahan dan
7

perumusan anggaran daerah. Pemda Kebumen telah menggariskan visi ke depan dan melakukan kampanye media besar-besaran untuk mempromosikan local good governance. Kota Surakarta telah melangkah lebih maju menerapkan model perencanaan pembangunan secara partisipatif. Pemda Solok adalah pelari terdepan dalam desentralisasi yang maju terdepan dalam mendorong desentralisasi kewenangan dan keuangan kepada nagari. Demikian juga dengan kabupaten Selayar yang maju dalam melakukan devolusi keuangan kepada desa secara lebih pasti. Dan lain-lain. Tentu saja berbagai inovasi itu tidak cukup merata di semua daerah. Banyak kabupaten yang tidak sempat berpikir tentang inovasi pemerintahan karena bupatinya sibuk mengumpulkan harta haram melalui korupsi, seperti yang terjadi di Klaten dan Kepulauan Riau. Bahkan inovasi yang terjadi di sebuah kabupaten pun masih terbatas pada penampilan sosok bupati. 6. Masalah Ketidakpercayaan (Distrust) desentralisasi dan demokrasi lokal telah mendorong tumbuhnya kemitaraan dan kerjasama yang terbuka antara pemerintah daerah dengan unsur-unsur nonpemerintah. Banyak bupati sangat sadar bahwa kemajuan daerah harus dibangun dengan kemitraan strategis antara pemerintah daerah, sektor swasta dan elemen-elemen masyarakat sipil (seperti NGO dan perguruan tinggi). Mereka mulai membuka diri membangun kemitraan dengan NGO lokal maupun internasional untuk keperluan partisipasi dalam perencanaan pembangunan, penelitian, pelatihan maupun asistensi teknis lainnya. Sejauh yang bisa dilihat, ada perubahan model kemitraan dari era sebelumnya ke era sekarang. Model kemitraan di masa lalu sangat bersifat subordinatif, yang menempatkan lembaga mitra (konsultan, perguruan tinggi, LSM) sebagai tukang bayaran untuk membantu (baca: menjustifikasi) kerja-kerja proyek pemerintah daerah tanpa proses pembelajaran dan menyentuh problem-problem krusial dalam dalam masyarakat. Meskipun paradigma itu belum hilang secara sempurna, tetapi model kemitraan sekarang mulai mengarah pada semangat keseteraan dan pembelajaran. Di sisi lain kemitraan akan menumbuhkan trust serta membuat lembaga-lembaga mitra sebagai struktur mediasi yang menjembatani respons pemerintah daerah dengan partisipasi (voice, akses dan kontrol) masyarakat. Perpaduan antara respons dan partisipasi akan membuka ruang-ruang publik di daerah serta mendorong akuntabilitas pemerintah daerah dan membuat kebijakan lokal lebih legitimate di mata masyarakat. Tetapi,
8

desentralisasi dan demokrasi lokal juga menyajikan problem rendahnya kepercayaan, bahkan distrust, antar elemen. Partai dan parlemen lokal adalah dua elemen utama yang menunai badai distrust paling serius di mata masyarakat karena keduanya tidak mempertanggungjawabkan mandat yang telah diberikan oleh rakyat. 7. Masalah Desentralisasi dan Otonomi Desa Desa sejak lama berada dalam konteks formasi negara (state formation) yang hirarkhis-sentralistik. Pemerintahan desa sebenarnya merupakan wujud konkret selfgoverning community yang dibentuk secara mandiri oleh masyarakat. Bahkan desa punya otonomi asli karena usianya jauh lebih tua ketimbang negara atau kabupaten. Tetapi kehidupan desa tidaklah tunggal dan homogen, karena masuknya negara dan modal ke desa. Ketika desa sudah diintegrasikan ke negara, self-governing community tidak ada lagi. Tangan-tangan negara ikut bermain di desa. Negara juga menjadikan desa sebagai keranjang sampah, yang membawa semua urusan politik, pembangunan, dan administratif ke desa. Negara juga bertindak menjadi pengawal masuknya modal ke desa sehingga terjadilah kapitalisasi yang sudah dimulai sejak Revolusi Hijau. Praktik desentralisasi desa mulai dari kebijakan sampai praktik empirik pengelolaan kekuasaan, mengandung sejumlah kelemahan :
pertama bisa dilihat dari sisi paradigmatik atau pemahaman terhadap

desentralisasi dan otonomi daerah. Desentralisasi dan otonomi daerah kerapkali dipahami secara sempit hanya sebagai bentuk penyerahan urusan secara administratif, otonomi dalam keuangan, maupun pengelolaan kewenangan pemerintah.
kedua bisa dibidik dari sisi kebijakan maupun regulasi pemerintah. UU No.

22/1999 desa.

justru

lebih

menekankan

otonomi

daerah

berbasis

pada

kabupaten/kota, sehingga tidak memberikan jaminan formal bagi otonomi


ketiga, dari sisi praktik empirik, desa hanya mempunyai kewenangan yang

sangat terbatas karena semuanya telah dikuasai kabupaten/kota. Setiap urusan pemerintahan dan keuangan desa dikendalikan dengan regulasi kabupaten. Pembagian tanah bengkok dan pengarem-arem saja, kabupaten campur tangan ke desa.

8. Masalah Demokratisasi Desa Sebagai miniatur negara Indonesia, desa menjadi arena politik paling dekat bagi relasi antara masyarakat dengan pemegang kekuasaan (perangkat desa). Di satu sisi, para perangkat desa menjadi bagian dari birokrasi negara yang mempunyai segudang tugas kenegaraan: menjalankan birokratisasi di level desa, melaksanakan program-program pembangunan, memberikan pelayanan administratif kepada masyarakat, serta melakukan kontrol dan mobilisasi warga desa. Tugas penting pemerintah desa adalah sebagai kepanjangan tangan birokasi pemerintah dengan memberi pelayanan administratif (suratmenyurat) kepada warga. Sudah lama birokratisasi surat menyurat itu mereka anggap sebagai pelayanan publik, meskipun hal itu yang membutuhkan adalah negara, bukan masyarakat. Akuntabilitas publik sebenarnya merupakan isu yang sangat penting bagi demokrasi pemerintahan desa. Tetapi secara empirik akuntabilitas tidak terlalu penting bagi kades. Ketika kades sudah memainkan fungsi sosialnya dengan baik, maka kades cenderung mengabaikan akuntabilitas di hadapan masyarakat. Ia tidak perlu mempertanggungjawabkan program, kegiatan dan keuangannya, meski yang terakhir ini sering menjadi problem yang serius. Lemahnya transparansi adalah problem lain yang melengkapi lemahnya akuntabilitas pemerintah desa, yang bisa dilihat dari sisi kebijakan, keuangan dan pelayanan administratif. Kebijakan desa umumnya dirumuskan dalam kotak hitam oleh elite desa tanpa melalui proses belajar dan partisipasi yang memadai. Masyarakat desa, yang menjadi obyek risiko kebijakan, biasanya kurang mengetahui informasi kebijakan dari proses awal. Pemerintah desa sudah mengaku berbuat secara transparan ketika melakukan sosialisasi (sebuah istilah yang sangat populer di mata birokrasi Indonesia) kebijakan (yang hampir final) kepada warga masyarakat. Tetapi sosialisasi adalah sebuah proses transparansi yang lemah, karena proses komunikasinya berlangsung satu arah dari pemerintah desa untuk memberi tahu (informasi) dan bahkan hanya untuk meminta persetujuan maupun justifikasi dari warga. Lemahnya partisipasi (voice, akses dan kontrol) masyarakat merupakan sisi lain dari lemahnya praktik demokrasi di tingkat desa. Di zaman Orde Baru, dua institusi yang seharusnya menjadi basis partisipasi (LMD dan LKMD) ternyata tidak memainkan peran penting mewadahi partisipasi masyarakat, karena keduanya adalah institusi korporatis untuk pengendalian masyarakat dan wadah oligarki elite desa. Sampai sekarang, elite desa tidak mempunyai pemahaman yang memadai tentang partisipasi. Bagi kepala desa,
10

partisipasi adalah bentuk dukungan masyarakat terhadap kebijakan pembangunan pemerintah desa. Karena mengikuti instruksi dari atas, pemerintah desa memobilisasi gotong-royong dan swadaya masyarakat (yang keduanya dimasukkan sebagai sumber penerimaan APBDes) untuk mendukung pembangunan desa yang didesain secara sentralistik. Alasan mengapa praktik desentralisasi dan demokrasi lokal masih menghadapi sejumlah masalah. Alasan mengapa praktik desentralisasi dan demokrasi lokal masih menghadapi sejumlah kerentanan dan bermasalah adalah karena pada sejumlah daerah di Indonesia pada umumnya mewarisi tradisi politik feodal, otoritarian, birokratis dan sentralistik. Para gubernur misalnya, sangat marah karena kekuasaannya atas bupati-bupati dipreteli oleh UU No. 22/1999. Gubernur sekarang tidak bisa lagi memerintah bupati, memanipulasi DAU, atau mengutip pajak-pajak daerah seperti dulu. Oleh karena itu para gubernur menuntut agar otonomi daerah diletakkan di provinsi atau meminta agar kekuasaan dan kewenangan mereka dipulihkan seperti sedia kala. Sementara, bupati sekarang mempunyai kekuasaan dan kewenangan yang sangat besar. DPRD Kabupaten/kota sekarang memiliki kekuasaan dan kewenangan luar biasa, yang mereka gunakan untuk menekan bupati/walikota dengan senjata Laporan Pertanggungjawaban. Tetapi ulah DPRD yang tidak bertanggungjawab itu dengan mudah bisa dipadamkan oleh bupati/walikota setelah memperoleh kucuran duit, proyek dan fasilitas. Paradigma patron-klien (yang menekankan hubungan vertikal secara hirarkhissentralistis) memang eksploitatif dan menciptakan ketergantungan. Tetapi penguasa bawahan sanggup untuk loyal, bertanggungjawab dan memelihara prinsip Asal Bapak Senang (ABS) pada penguasa atasan. Asalkan keuntungan dan kekayaan mereka tidak diganggu oleh siapapun, termasuk oleh masyarakat yang dikuasainya. Karena itu, para penguasa menganggap bahwa desentralisasi dan demokrasi sebagai gangguan jika tidak mendatangkan keuntungan dan kekayaan bagi mereka. Problem akut dalam praktik desentralisasi dan demokrasi lokal di Indonesia juga dapat dilihat dari sisi masyarakat. Kerentanan otonomi daerah di satu sisi dan masih kuatnya dominasi elite di sisi lain disebabkan karena lemahnya kekuatan masyarakat sipil (civil society).

11

Ruang publik civil society memang menghadirkan wacana dan gerakan demokratisasi yang semarak, tetapi polarisasi ideologis dan kepentingan adalah sajian yang jauh lebih menonjol. Gerakan demokratisasi yang didorong oleh aktor-aktor civil society harus berhadapan dengan praktik-praktik kekerasan yang dimainkan oleh elemen masyarakat lainnya. Di Indonesia, baik di pusat maupun di daerah partai politik bukanlah pendukung otentik demokratisasi melainkan sebagai bagian dari pemeliharaan status quo yang harus direformasi. Semua ini memang tidak mengehentikan gerakan demokratisasi meski harus dibayar dengan risiko kekerasan, tetapi gerakan civil society terseok-seok, tungganglanggang dan menghadapi anomalie yang serius. Agenda Perubahan Bagaimana membuat desentralisasi dan demokrasi lokal bisa bekerja dengan baik? Bagaimana mendorong dan mendesakan perubahan? Siapa yang memulai? Dari mana memulainya? Untuk menjawab sejumlah pertanyaan tersebut adalah dengan melakukan sejumlah pendekatan strategis yang biasa digunakan untuk mendorong desentralisasi dan demokrasi lokal bisa bekerja. Seperti tabel tipologi pendekatan strategis desentralisasi dan demokrasi yang disajikan seperti yang ada di bawah ini.

Tipologi pendekatan strategis desentralisasi dan demokrasi lokal

12

Agen

Struktur Crafting elite Konvergensi elite Kepemimpinan yang kuat Kerangka kebijakan dan legal. Capacity building Reorganisasi dan reformasi birokrasi

Negara

Masyarakat

Pendidikan politik masyarakat Penguatan voice aktoraktor masyarakat sipil.

Penguatan institusi lokal Penguatan partisipasi masyarakat Jaringan sosial Aksi kolektif organisasi masyarakat sipil

Bagaimanapun perubahan tidak mungkin berhasil dengan cepat meski dengan revolusi sosial, dan tidak ada satu pun pendekatan yang berjalan dengan baik dan tanpa kendala adalah karena adanya lingkaran setan yang betul-betul rumit. Masing-masing pendekatan dapat dianalisis baik secara teoretik dan empirik, yang kemudian penting untuk membangun pendekatan paling kuat untuk mendesakkan perubahan. Sebuah pendekatan mengatakan bahwa kondisi transisional masyarakat Indonesia sekarang ini membutuhkan hadirnya kepemimpinan transformatif, yakni pemimpin visioner, bersih, berbasis massa, bertangan besi dan berani mengambil risiko termasuk berani menjadi korban reformasi. Di Indonesia, solusi kepemimpinan ini hanya masuk akal secara teoretik, tetapi tidak masuk akal secara empirik. Solusi kepemimpinan mungkin bersifat voluntaristik, karena tidak ada tanda-tanda cerah yang melahirkan pemimpin yang bersih, bertangan bersih, dan berbasis massa. Pendekatan lain yang bersifat voluntaristik adalah konvergensi elite, yang menekankan perlunya konsensus bersama di kalangan elite untuk membawa Indonesia keluar dari kritis, dan sekaligus menjadi titik awal untuk membangun Indonesia yang demokratis dan desentralistik. Dalam hal ini yang menjadi masalah dasarnya bukan terletak pada lemahnya kapasitas, tetapi

13

pada struktur birokrasi negara yang terlalu besar, dominatif, feodal, korup, dan lain-lain. Ketika struktur birokrasi ini masih mencengkeram, maka capacity building hanya mampu membuahkan peningkatan kapasitas personal tetapi tetap tidak mampu membuahkan perubahan secara institusional. Birokrasi yang lemah kapasitasnya tetapi tetap dominan selalu menjadi sorotan publik. Karena itu agenda reformasi birokrasi hanya masuk akal secara teoretis, tetapi tidak masuk akal secara empirik. Tanpa menafikkan pendekatan yang berpusat pada negara, pendekatan di sektor masyarakat, terutama pada kuadran keempat (struktur dan masyarakat), merupakan pendekatan paling kuat untuk mendesakkan perubahan. Sejarah menunjukkan bahwa transisi demokrasi di belahan dunia dimulai dari kebangkitkan civil society, bukan karena pemimpin yang bermurah hati. Ada sejumlah agenda dan tantangan berkelanjutan di arena civil society untuk membuat desentralisasi dan demokrasi lokal bekerja. Pertama, membuka ruang publik seluas-luasnya secara bebas dan otonom melalui forum-forum di level komunitas, organisasi masyarakay sipil, organisasi rakyat, kampus dan seterusnya. Kedua, memprakarsai resolusi konflik dan membina perdamaian, sekaligus menumbuhkan pluralisme di tengah-tengah konteks multikultural masyarakat. Ketiga, menggelar pendidikan politik masyarakat di berbagai ranah untuk mendekonstruksi pendidikan hegemonik massa lalu dan sekaligus mendorong tumbuhnya kesadaran kritis dan civic culture masyarakat. Keempat, memperkuat institusi lokal, prakarsa lokal, dan partisipasi masyarakat (voice, akses dan kontrol) masyarakat dalam proses pemerintahan dan pembangunan. Kelima, mentransformasikan gerakan civil society yang berbasis pada kelas menengah kota menjadi jaringan dan gerakan sosial secara massif yang berbasis pada berbagai komunitas dan organisasi rakyat di tingkat lokal. Meskipun demokratisasi dan desentralisasi dapat menyebabkan banyak masalah baru, meskipun gerakan civil society untuk perubahan terseok-seok, tetapi semua itu tidak boleh berhenti. Kita tidak boleh mundur ke belakang. Semuanya harus digerakkan maju untuk mencapai kemenangan di masa depan. Bagaimanapun juga desentralisasi dan demokratisasi yang berbasis pada gerakan civil society merupakan kekuatan pendorong perubahan mencapai masyarakat Indonesia yang makmur, sejahtera dan berkeadilan.

14

BAB III KESIMPULAN Praktik otonomi daerah di era refomasi yang dibingkai oleh UU No. 22/1999

mempunyai sejumlah kemajuan ketimbang otonomi daerah masa lalu, tetapi secara empirik juga meni mbulkan sejumlah paradoks dan masalah yang kompleks. Perubahan paradigma otonomi daerah di atas kertas (formalistik) tetapi tidak diikuti dengan
15

perubahan pola pikir (pemahaman) secara substantif terhadap otonomi daerah. Sehingga banyak orang mempunyai pemahaman secara keliru terhadap otonomi daerah, yaitu :

Otonomi daerah dalam negara kesatuan berbeda dengan otonomi daerah dalam negara serikat (federal). Kewenangan selalu menjadi perhatian utama otonomi daerah. Otonomi daerah secara sempit dipahami hanya sebagai milik pemerintah daerah, serta tidak lebih sebagai domain hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, atau autonomy within bureaucracy.

Otonomi daerah dipahami sebagai otonomi dalam hal uang. yaitu untuk berotonomi daerah harus mencukupi sendiri segala kebutuhannya, terutama dalam bidang keuangan: autonomy means automoney.

Dalam wacana publik selalu terdengar bahwa daerah belum siap dan belum mampu. Dengan otonomi daerah maka pusat akan melepaskan tanggung jawabnya untuk memfasilitasi daerah. Dengan otonomi daerah daerah bisa melakukan apa saja. Otonomi daerah akan menciptakan raja-raja kecil di daerah dan memindahkan korupsi ke daerah. Otonomi daerah merupakan kesempatan yang baik untuk memberikan kesempatan pada putera daerah. Otonomi daerah merupakan kesempatan bagi daerah untuk melakukan kaplingkapling wilayah dan kekayaannya

Akibat adanya kekeliruan dalam pemahaman tersebut, serta komitmen elite yang sangat lemah, kepemimpinan nasional yang lemah tetapi tetap ingin dominan dan semacamnya, menyebabkan timbulnya masalah masalah krusial, seperti : 1. Perebutan kewenangan, lempar tanggungjawab 2. Masalah rekrutmen lokal 3. Masalah DPRD 4. Masalah Keuangan Daerah 5. Inovasi yang Lambat 6. Masalah Ketidakpercayaan (Distrust) 7. Masalah Desentralisasi dan Otonomi Desa

16

Meskipun demokratisasi dan desentralisasi dapat menyebabkan banyak masalah baru, meskipun gerakan civil society untuk perubahan terseok-seok, tetapi semua itu tidak boleh berhenti. Kita tidak boleh mundur ke belakang. Semuanya harus digerakkan maju untuk mencapai kemenangan di masa depan. Bagaimanapun juga desentralisasi dan demokratisasi yang berbasis pada gerakan civil society merupakan kekuatan pendorong perubahan mencapai masyarakat Indonesia yang makmur, sejahtera dan berkeadilan.

17

Anda mungkin juga menyukai