Anda di halaman 1dari 51

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Luka bakar merupakan cedera yang cukup sering dihadapi para dokter. Luka bakar berat dapat menyebabkan morbiditas dan derajat cacat yang relatif tinggi dibandingkan dengan cedera oleh sebab lain. Biaya yang dibutuhkan untuk penanganannya pun tinggi. Di Amerika Serikat, kurang lebih 250.000 orang mengalami luka bakar membutuhkan tindakan emergensi, dan sekitar 210 penderita luka bakar meninggal dunia. Di Indonesia, belum ada angka pasti mengenai luka bakar, tetapi dengan bertambahnya jumlah penduduk serta industri, angka luka bakar tersebut makin meningkat. Luka bakar menyebabkan hilangnya integritas kulit dan juga menimbukan efek sistemik yang sangat kompleks. Luka bakar biasanya dinyatakan dengan derajat yang ditentukan oleh kedalaman luka bakar. Beratnya luka bergantung pada dalam, luas, dan letak luka. Selain beratnya luka bakar, umur dan keadaan kesehatan penderita sebelumnya merupakan faktor yang sangat mempengaruhi prognosis1. Penyebab amputasi terdiri dari defek lahir congenital (5%), penyakit oklusi arterial (60%), trauma (30%), dan tumor (5%). Amputasi akibat trauma paling sering terjadi pada usia anatara 17-55 tahun (71% pria). Lebih banyak mengenai anggota gerak bawah dengan ratio 10:1 dibandingkan dengan anggota gerak atas. Trauma pada ekstremitas melibatkan kerusakan pada vaskuler atau nervus, luka bakar, dingin, dan fraktur yang tidak menyembuh. Dalam kasus

tersebut, dapat menyebabkan sepsis yang akan berakhir dengan kematian sehingga amputasi seringkali merupakan pilihan terbaik2. Kejadian amputasi pada kasus luka bakar jarang ditemukan. Pada beberapa kasus, amputasi dapat menurunkan angka kejadian kematian. Pada penelitian yang dilakukan pada NSW Severe Burn Injury, Concord Hospital, Australia , pada 1858 pasien dari Januari 1980 hingga Januari 2004, terdapat 34 amputasi pada 27 pasien. Dimana terdapat 23 pria (usia 14-64 tahun) dan 4 wanita (usia 34-85 tahun). Sebagian besar amputasi disebabkan oleh luka bakar setelah kecelakaan lalu lintas dan beberapa kasus lainnya disebabkan oleh luka bakar listrik tegangan tinggi dengan tingkat harapan hidup 89%3. Pada beberapa penelitian, ada beberapa faktor yang berpengaruh pada kejadian amputasi pada luka bakar yang kemudian akan berpengaruh pada angka harapan hidup pasien. Namun hal ini belum diteliti secara menyeluruh dan mendalam.

1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang pemikiran di atas, maka diperlukan suatu penelitian untuk mengetahui gambaran karakteristik kejadian amputasi pada pasien luka bakar di RumahSakit Wahidin Sudirohusodo Makassar periode 1 Agustus 2007 1 Agustus 2012

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui gambaran karakteristik kejadian amputasi pada pasien luka bakar di RumahSakit Wahidin Sudirohusodo Makassar periode 1 Agustus 2007 1 Agustus 2012 1.3.2 Tujuan Khusus
a) Mengetahui gambaran kejadian amputasi pada pasien luka bakar

berdasarkan jenis luka bakar


b) Mengetahui gambaran kejadian amputasi pada pasien luka bakar

derajat III

1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah :
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya ilmu pengetahuan

dan memicu penelitian lainnya, khususnya yang berkaitan dengan kejadian amputasi pada pasien luka bakar. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi instansi terkait dalam menentukan arah kebijakan kesehatan di masa akan datang.
c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi berharga untuk

meningkatkan pelayanan terhadap penderita luka bakar bagi rumah sakit yang bersangkutan.

d. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan ilmu dan pengalaman yang berharga bagi peneliti.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh. Kejadian ini dapat disebabkan oleh trauma benda tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik, atau gigitan hewan. Luka bakar merupakan hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh yang disebabkan oleh suhu, listrik, atau zat kimia1. Amputasi berasal dari kata amputare (latin atau apocope (yunani) yang berarti pancung. Pemancungan dalam arti tindakan bedah membuang anggota gerak (ekstremitas) seluruh/ bagian dalam saja, sesuatu yang menonjol/ tonjolan atau alat (organ) tubuh2.

2.2 Epidemiologi Luka bakar merupakan cedera yang cukup sering dihadapi para dokter. Luka bakar berat dapat menyebabkan morbiditas dan derajat cacat yang relatif tinggi dibandingkan dengan cedera oleh sebab lain. Biaya yang dibutuhkan untuk penanganannya pun tinggi. Di Amerika Serikat, kurang lebih 250.000 orang mengalami luka bakar membutuhkan tindakan emergensi, dan sekitar 210 penderita luka bakar meninggal dunia. Di Indonesia, belum ada angka pasti mengenai luka bakar, tetapi dengan bertambahnya jumlah penduduk serta industri, angka luka bakar tersebut makin meningkat1.

Survey Kayne dan Newman didapatkan 5830 amputasi baru yang disebabkan oleh beberapa sebab. Mereka menemukan 70% dari amputasi disebabkan oleh penyakit infeksi dan vaskuler, trauma 22%, tumor 5%, dan deformitas congenital 3%. Kebanyakan amputasi karena penyakit terjadi pada usia 61-70 thn, untuk trauma 21-30 tahun, dan untuk tumor 11-20 tahun. Perbandingan antara pria dan wanita adalah 2,1:1 pada penyakit , 7,2:1 pada trauma, 1,5:1 pada tumor, dan 1,5:1 pada deformitas congenital. Perbandingan antara amputasi ekstremitas bawah dan atas adalah 1:1. Distribusi amputasi bawah lutut berdasarkan tingkatan Syme adalah transtibial 9%, knee disarticulation 1% , transfemoral 35%, dan hip disarticulation 2%2. Kejadian amputasi pada kasus luka bakar jarang ditemukan. Pada beberapa kasus, amputasi dapat menurunkan angka kejadian kematian. Pada penelitian yang dilakukan pada NSW Severe Burn Injury, Concord Hospital, Australia , pada 1858 pasien dari Januari 1980 hingga Januari 2004, terdapat 34 amputasi pada 27 pasien. Dimana terdapat 23 pria (usia 14-64 tahun) dan 4 wanita (usia 34-85 tahun). Sebagian besar amputasi disebabkan oleh luka bakar setelah kecelakaan lalu lintas dan beberapa kasus lainnya disebabkan oleh luka bakar listrik tegangan tinggi dengan tingkat harapan hidup 89%3.

2.3 Etiologi Penyebab luka bakar yang tersering adalah terbakar api langsung yang dapat dipicu atau diperparah dengan adanya cairan yang mudah terbakar seperti

bensin, gas kompor rumah tangga, cairan cairan dari tabung pemantik api, yang akan menyebabkan luka bakar pada seluruh atau sebagian tebal kulit1. Penyebab luka bakar lainnya adalah pajanan suhu tinggi dari matahari, listrik, maupun bahan kimia. Bahan kimia ini bisa berupa asam atau basa kuat. Asam kuat menyebabkan nekrosis koagulasi, denaturasi protein dan rasa nyeri yang hebat. Asam hidrofluorida mampu menembus jaringan sampai ke dalam dan menyebabkan toksisitas sistemik yang fatal, bahkan pada luka yang kecil sekalipun. Alkali atau basa kuat yang banyak terdapat dalam rumah tangga antara lain cairan emutih pakaian (bleaching), berbagai cairan pembersih, dll. Luka bakar yang disebabkan oleh basa kuat akan menyebabkan jaringan mengalami nekrosis yang mencair (liquefactive necrosis). Kemampuan alkali menembus jaringan lebih dalam lebih kuat daripada asam, kerusakan jaringan lebih berat karena sel mengalami dehidrasi dan terjadi denaturasi protein dan kolagen. Rasa sakit baru timbul belakangan sehingga penderita sering terlambat datang untuk berobat dan kerusakan jaringan sudah meluas.1 Luka bakar listrik tegangan tinggi lebih sering berakhir dengan amputasi dibandingkan dengan luka bakar jenis lain. Angka amputasi pada luka bakar ini hingga 71,4%. Kerusakan tungkai pada luka bakar listrik tegangan tinggi dapat terjadi begitu luas sehingga dibutuhkan major amputasi. Luka bakar listrik tegangan rendah juga dapat memicu amputasi minor4

2.4 Patofisiologi Kulit adalah organ terluar tubuh manusia dengan luas 0,025 m2 pada anak baru lahir sampai 1m2 pada orang dewasa. Apabila kulit terbakar atau terpajan suhu tinggi, pembuluh kapiler dibawahnya, area sekitarnya dan area yang jauh sekali pun akan rusak dan menyebabkan permeabilitasnya meningkat. Terjadilah kebocoran cairan intrakapiler ke interstisial sehingga terjadi udem dan bula yang mengandung banyak elektrolit. Rusaknya kulit akibat luka bakar akan mengakibatkan hilangnya fungsi kulit sebagai barier dan penahan penguapan1. Kedua penyebab di atas dengan cepat menyebabkan berkurangnya cairan intravaskular. Pada luka bakar yang luasnya kurang dari 20%, mekanisme kompensasi tubuh masih bisa mengatasinya. Bila kulit yang terbakar luas (lebih dari 20%), dapat terjadi syok hipovolemik disertai gejala yang khas, seperti gelisah, pucat, dingin, berkeringat, nadi kecil dan cepat, tekanan darah menurun, dan produksi urin berkurang. Pembengkakan terjadi perlahan, maksimal terjadi setelah delapan jam1. Pembuluh kapiler yang terpajan suhu tinggi rusak dan permeabilitas meninggi. Sel darah yang ada di dalamnya ikut rusak sehingga dapat terjadi anemia. Setelah 12-24 jam, permeabilitas kapiler mulai membaik dan terjadi mobilisasi serta penyerapan kembali cairan dari ruang interstisial ke pembuluh darah yang ditandai dengan meningkatnya diuresis1. Luka bakar umumnya tidak steril. Kontaminasi pada kulit mati yang merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan kuman, akan mempermudah infeksi. Infeksi ini sulit diatasi karena daerahnya tidak tercapai oleh pembuluh

kapiler yang mengalami trombosis. Padahal, pembuluh ini membawa sistem pertahanan tubuh atau antibiotik. Kuman penyebab infeksi pada luka bakar, selain berasal dari kulit penderita sendiri, juga dari kontaminasi kuman saluran napas atas dan kontaminasi kuman di lingkungan rumah sakit. Infeksi nosokomial biasanya sangat berbahaya karena kumannya banyak yang sudah resisten terhadap berbagai antibiotik1. Pada awalnya, infeksi biasanya disebabkan oleh kokus Gram positif yang berasal dari kulit sendiri atau dari saluran napas, tetapi kemudian dapat terjadi invasi kuman Gram negatif. Pseudomonas aeruginosa yang dapat menghasilkan eksotoksin protease dan toksin lain yang berbahaya, terkenal sangat agresif dalam invasinya pada luka bakar. Infeksi pseudomonas dapat dilihat dari warna hijau pada kasa penutup luka bakar. Kuman memproduksi enzim penghancur keropeng yang bersama dengan eksudasi oleh jaringan granu lasi membentuk nanah1. Infeksi ringan dan noninvasif (tidak dalam) ditandai dengan keropeng yang mudah terlepas dengan nanah yang bayak. Infeksi yang invasif ditandai dengan keropeng yang kering dengan perubahan jaringan di tepi keropeng yang mula-mula sehat menjadi nekrotik; akibatnya, luka bakar yang mula-mula derajat dua menjadi derajat tiga. Infeksi kuman menimbulkan vaskulitis pada pembuluh kapiler di jaringan yang terbakar dan menimbulkan trombosis1. Bila penderita dapat mengatasi infeksi, luka bakar derajat dua dapat sembuh dengan meninggalkan cacat berupa parut. Penyembuhan ini dimulai dari sisa elemen epitel yang masih vital, misalnya sel kelenjar sebasea, sel basal, sel kelenjar keringat, atau sel pangkal rambut. Luka bakar derajat dua yang dalam

mungkin meninggalkan parut hipertrofik yang nyeri, gagal, kaku dan secara estetik sangat jelek1. Luka bakar derajat tiga yang dibiarkan sembuh sendiri akan mengalami kontraktur. Bila ini terjadi di persendian maka fungsi sendi dapat berkurang atau hilang. Pada luka bakar berat dapat ditemukan ileus paralitik. Pada fase akut, peristaltis usus menurun atau berhenti karena syok. Juga peristaltis dapat menurun karena kekurangan ion kalium. Stres atau beban faali serta hipoperfusi daerah splangnikus pada penderita luka bakar berat dapat menyebabkan terjadinya tukak di mukosa lambung atau duodenum dengan gejala yang sama dengan gejala tukak peptik. Kelainan ini dikenal sebagai tukak Curling atau stress ulcer. Aliran darah ke lambung berkurang sehingga terjadi iskemia mukosa. Bila keadaan ini berlanjut, dapat timbul ulkus akibat nekrosis mukosa lambung. Yang dikhawatirkan pada tukak Curling ini adalah penyulit perdarahan yang tampil sebagai hematemesis dan/atau melena1. Fase permulaan luka bakar merupakan fase katabolisme sehingga keseimbangan protein menjadi negatif. Protein tubuh banyak hilang karena

eksudasi, metabolisme tinggi, dan mudah terjadi infeksi. Penguapan berlebihan dari kulit yang rusak juga memerlukan kalori tambahan. Tenaga yang diperlukan tubuh pada fase ini terutama didapat pembakaran protein dari otot skelet. Oleh karena itu, penderita menjadi sangat kurus, otot mengecil, dan berat badan menurun. Kecacatan akibat luka bakar bisa sangat hebat, terutama bila mengenai wajah. Penderita mungkin mengalami beban kejiwaan berat akibat cacat tersebut., sampai bisa menimbulkan gangguan jiwa yang disebut schizophrenia postburn.1

10

2.5 Derajat dan Luas Luka Bakar Luas luka bakar Luas luka bakar dinyatakan dalam persen terhadap luas seluruh tubuh. Pada orang dewasa digunakan rumus 9, yaitu luas kepala dan leher, dada, punggung, perut, pinggang dan bokong, ekstremitas atas kanan, ekstremitas atas kiri, paha kanan, paha kiri, tungkai dan kaki kanan, serta tungkai dan kaki kiri masing-masing 9%, sisanya 1% adalah daerah genitalia. Rumus ini membantu untuk menaksir luasnya permukaan tubuh yang terbakar pada orang dewasa1. Pada anak dan bayi digunakan rumus lain karena luas relatif permukaan kepala anak lebih besar. Karena perbandingan luas permukaan bagian tubuh anak kecil berbeda, dikenal rumus 10 untuk bayi dan rumus 10-15-20 untuk anak1. Untuk anak, kepala dan leher 15%, badan depan dan belakang masingmasing 20%, ekstremitas atas kanan dan kiri masing-masing 10%, ekstremitas bawah kanan dan kiri masing-masing 15%.1

Gambar 1. Rule of Nine5

11

Derajat luka bakar Kedalaman luka bakar ditentukan oleh tingginya suhu dan lamanya

pajanan suhu tinggi. Luka bakar derajat satu hanya mengenai epidermis dan biasanya sembuh dalam 5-7 hari; misalnya tersengat matahari. Luka tampak sebagai eritema dengan keluhan rasa nyeri atau hipersensitivitas setempat. Luka bakar derajat dua mencapai kedalaman dermis, tetapi masih ada elemen epitel sehat tersisa. Elemen epitel tersebut, misalnya sel epitel basal, kelenjar sebasea, kelenjar keringat, dan pangkal rambut. Dengan adanya sisa sel epitel ini, luka dapat sembuh sendiri dalam dua sampai tiga minggu. Gejala yang timbul adalah nyeri, gelembung atau bula berisi cairan eksudat yang keluar dari pembuluh karena permeabilitas dindingnya meningkat. Luka bakar derajat tiga meliputi seluruh kedalaman kulit dan mungkin subkutis, atau organ yang memungkinkan penyembuhan dari dasar luka; biasanya diikuti dengan terbentuknya eskar yang merupakan jaringan nekrosis akibat denaturasi protein jaringan kulit. Oleh karena itu, untuk mendapatkan kesembuhan harus dilakukan skin grafting. Kulit tampak pucat abu-abu gelap atau hitam, dengan permukaan lebih rendah dari jaringan sekeliling yang masih sehat. Tidak ada bula dan tidak terasa nyeri.1 Luka bakar derajat empat yang melibatkan otot, tendon, dan tulang sering direkomendasikan untuk amputasi atau beberapa perbaikan yang signifikan. Dilaporkan pada 10 tahun (1995-2004) pada pusat luka bakr dengan luka bakar derajat empat pada ekstremitas bawah, terdapat 21 pasien (40 tungkai) dengan usia rata-rata 45 tahun dengan luas luka bakar rata-rata 24% dan luka bakar derajat empat 9%, tujuh tungkai (18%) disarankan untuk amputasi5.

12

Gambar 2. Kedalaman Luka Bakar berdasarkan United States6

2.6 Indikasi Amputasi Penyebab amputasi terdiri dari defek lahir congenital (5%), penyakit oklusi arterial (60%), trauma (30%), dan tumor (5%). Amputasi akibat trauma paling sering terjadi pada usia anatara 17-55 tahun (71% pria). Lebih banyak mengenai anggota gerak bawah dengan ratio 10:1 dibandingkan dengan anggota gerak atas. Trauma pada ekstremitas melibatkan kerusakan pada vaskuler atau nervus, luka bakar, dingin, dan fraktur yang tidak menyembuh. Hal ini dapat menyebabkan ekstremitas kurang fungsional. Dalam kasus tersebut, amputasi awal, dalam upaya menyelamatkan anggota gerak seringkali merupakan pilihan terbaik2. Indikasi amputasi terbagi menjadi dua yaitu2 : Live saving (contohnya trauma yang disertai keadaan yang mengancam nyawa ; perdarahan dan infeksi) Limb saving (memanfaatkan kembali kegagalan fungsi ekstremitas secara maksimal seperti pada kelainan congenital dan keganasan)

13

Tujuan utama amputasi adalah penyembuhan atau menghentikan penyakit, tetapi kebanyakan penderita juga berharap adanya perbaikan fungsi, hal ini tergantung pada 5 faktor yaitu kemampuan keseluruhan, mental dan fisik penderita, ketinggian amputasi, puntung amputasi, prostetik, dan rehabilitasi2. Berdasarkan penelitian di Department of Burnsm Ji Shui Tan Hospital, Beijing, indikasi dilakukannya amputasi pada pasien luka bakar adalah nekrosis total pada ekstremitas, nekrosis sekunder dikarenakan thrombosis, perdarahan atau rupture pembulur darah besar, dan kegagalan penyembuhan jaringan lunak7.

2.7 Penatalaksanaan Non medikamentosa Upaya pertama saat terbakar adalah mematikan api pada tubuh, misalnya dengan menyelimuti dan menutup bagian yang terbakar untuk menghentikan pasokan oksigen pada api yang menyala. Pertolongan pertama setelah sumber panas dihilangkan adalah merendam daerah luka bakar dalam air atau menyiramnya dengan air mengalir selama sekurang-kurangnya lima belas menit. Upaya pendinginan ini, dan upaya mempertahankan suhu dingin pada jam pertama akan menghentikan proses koagulasi protein sel di jaringan yang terpajan suhu tinggi. Yang akan terus berlangsung walaupun api telah dipadamkan, sehingga destruksi tetap meluas. Oleh karena itu, merendam bagian yang terbakar selama lima belas menit pertama dalam air sangat bermanfaat untuk menurunkan suhu jaringan sehingga kerusakan lebih dangkal dan diperkecil, luka yang

14

sebenarnya menuju derajat dua dapat berhenti pada derajat satu, atau luka yang akan menjadi tingkat tiga dihentikan pada tingkat dua atau satu1. Pada luka bakar ringan prinsip penanganan utama adalah mendinginkan daerah yang terbakar dengan air, mencegah infeksi dan memberi kesempatan sisasisa sel epitel untuk berproliferasi, dan menutup permukaan luka. Luka dapat dirawat secara tertutup atau terbuka. Pada luka bakar berat, selain penanganan umum seperti pada luka bakar ringan, kalau perlu, dilakukan resusitasi segera bila penderita menunjukkan gejala syok. Bila penderita menunjukkan gejala terbakarnya jalan nafas, diberikan campuran udara lembab dan oksigen. Kalau terjadi udem laring, dipasang pipa endotrakea atau dibuat trakeostomi. Trakeostomi berfungsi untuk membebaskan jalan napas, mengurangi ruang mati, dan memudahkan pembersihan jalan napas dari lendir atau kotoran. Bila ada dugaan keracunan CO, segera diberikan oksigen murni1. Pemberian cairan intravena Sebelum infus diberikan, luas dan dalamnya luka bakar harus ditentukan secara teliti. Kemudian, jumlah cairan infus yang akan diberikan dihitung. Ada beberapa cara untuk menghitung kebutuhan cairan ini1,3. Cara Evans
1. Luas luka dalam % x BB dalam kg menjadi mL NaCl per 24 jam. 2. Luas luka dalam % x BB dalam kg menjadi mL plasma per 24 jam.

Keduanya merupakan pengganti cairan yang hilang akibat udem. Plasma diperlukan untuk mengganti plasma yang keluar dari pembuluh da

15

meninggikan tekanan osmosis sehingga mengurangi perembesan keluar dan menarik kembali cairan yang telah keluar. 3. Sebagai pengganti cairan yang hilang akibat penguapan, diberikan 2.000 cc glukosa 5% per 24 jam. Separuh jumlah 1+2+3 diberikan dalam 8 jam pertama. Sisanya diberikan dalam 16 jam berikutnya. Pada hari kedua diberikan setengah jumlah cairan hari pertama. Pada hari ketiga diberikan setengah jumlah cairan hari kedua. Penderita mula-mula dipuasakan karena peristaltis usus terhambat pada keadaan prasyok, dan mulai diberikan minum segera setelah fungsi usus normal kembali. Kalau diuresis pada hari ketiga memuaskan dan penderita dapat dikurangi, bahkan dihentikan1,2. Cara lain yang banyak dipakai dan lebih sederhana adalah menggunakan rumus Baxter, yaitu luas luka bakar dalam % x BB dalam kg x 4mL larutan Ringer. Separuh dari jumlah cairan ini diberikan dalam 8 jam pertama, sisanya diberikan dalam 16 jam. Hari pertama terutama diberikan kristaloid yaitu larutan ringer laktat . Hari kedua diberikan setengah cairan pertama1. Intinya, status hidrasi penderita luka bakar luas harus dipantau terusmenerus. Keberhasilan pemberian cairan dapat diihat dari diuresis normal yaitu sekurang-kurangnya 1000-1500mL/24jam atau 1 mL/kgBB/jam dan

3mL/kgBB/jam pada pasien anak. Yang penting juga adalah pengamatan apakah sirkulasi normal atau tidak1,3. Besarnya kehilangan cairan pada luka bakar luas disertai resusitasi yang tidak betul dapat menyebabkan ketidakseimbangan elektrolit. Hiponatremia

16

sebagai gejala keracunan air dapat menyebabkan udem otak dengan tanda-tanda kejang. Kekurangan ion K akibat banyaknya kerusakan sel dapat diketahui dari EKG yang menunjukkan depresi segmen ST atau gelomabang U.

Ketidakseimbangan elektrolit ini juga harus dikoreksi namun bukan menjadi prioritas utama dalam resusitasi cairan emergensi manajemen primer pasien trauma1. Tindakan bedah Pemotongan eskar atau eskarotomi dilakukan pada luka bakar derajat tiga yang melingkar pada ekstremitas atau tubuh karena pengerutan keropeng dan pembengkakan yang terus berlangsung dapat mengakibatkan penjepitan yang membahayakan sirkulasi sehingga bagian distal bisa mati. Tanda dini penjepitan adalah nyeri, kemudian kehilangan daya rasa sampai kebas pada ujung-ujung distal. Keadaan ini harus cepat ditolong dengan membuat irisan memanjang yang membuka keropeng sampai jepitan terlepas1. Debridemen diusahakan sedini mungkin untuk membuang jaringan mati dengan jalan eksisi tangensial. Tindakan ini dilakukan sesegera mungkin setelah keadaan penderita menjadi stabil karena eksisi tangensial juga menyebabkan perdarahan. Biasanya eksisi dini ini dilakukan pada hari ke-3 sampai ke-7, dan pasti boleh dilakukan pada hari ke-10. Eksisi tangensial sebaiknya tidak dilakukan lebih dari 10% luas permukaan tubuh, karena dapat terjadi perdarahan yang cukup banyak. Luka bakar yang telah dibersihkan atau luka granulasi dapat ditutup dengan skin graft yang umumnya diambil dari kulit penderita sendiri (skin

grafting autologus). Penutupan luka bakar dengan bahan biologis seperti kulit

17

mayat atau kulit binatang atau amnion manusia dapat dilakukan jika terdapat keterbatasan luas kulit penderita atau terlalu payah. Walaupun kemungkinan ditolak, bahan tersebut dapat berfungsi sementara sebagai penghalang penguapan berlebihan, pencegah infeksi yang lebih parah, dan mengurangi nyeri. Namun, sedikit demi sedikit penutup sementara ini harus diganti dengan kulit penderita sendiri sebagai penutup permanen1. Sebaiknya pada penderita luka bakar derajat dua dalam dan derajat tiga dilakukan skin grafting untuk mencegah terjadinya keloid dan jaringan parut yang hipertropik. Skin grafting dapat dilakukan sebelum hari kesepuluh, yaitu sebelum timbulnya jaringan granulasi1,3. Luka bakar menyebabkan komplikasi fisik dan psikologis yang membutuhkan rehabilitasi yang terpadu dan terkoordinasi dengan tim yang sudah terlatih. Rehabilitasi ini terfokus pada pencegahan pada masalah jangka panjang seperti skar, kontraktur, dan beberapa masalah lainnya. Amputasi setelah luka bakar dapat merupakan komplikasi yang berhubungan dengan kontraktur atau kulit yang mudah pecah8. Amputasi merupakan hal yang jarang dilakukan pada penderita luka bakar kecuali dengan beberapa indikasi. Batas amputasi ditentukan oleh luas dan jenis penyakit. Batas amputasi pada kasus trauma ditentukan oleh peredarah darah yang adekuat. Amputasi dapat dilakukan pada ekstremitas bawah ataupun ekstremitas atas. Batas amputasi ekstremitas bawah yang lazim dipakai disebut batas amputasi klasik. Pada ekstremitas atas tidak ada batas amputasi yang dipakai. Secara umum, amputasi dilakukan sedistal mungkin. Amputasi juga dapat dibedakan

18

menjadi amputasi mayor dan minor. Amputasi mayor adalah amputasi tungkai di atas pergelangan kaki atau lengan di atas pergelangan tangan. Amputasi minor adalah amputasi suatu bagian kecil seperti jari tangan atau kaki1. Selain itu, juga dikenal dua macam amputasi yaitu9 : Amputasi di bawah lutut (below knee amputation) Ada 2 metode pada amputasi jenis ini yaitu amputasi pada

nonischemiclimb dan ischemic limb. Hal ini dibedakan erhubungan dengan caramenutup flap yang berbeda. Pada amputasi jenis ini dikenal tensionmyodesis dan myoplasty. Tension myodesis adala mengikatkan kelompok otot tulang dengan tulang, sedangkan myoplasty adalah menjahitkan otot dengan jaringan lunak pada sisi yang lain yaitu pada otot atau fasiasebelahnya. Cara ini berguan untuk menstabilkan stump dan sangat ditekankan untuk penderita yang masih aktif dan masih muda. Amputasi diatas lutut (above knee amputation Amputasi ini memegang angka penyembuhan tertinggi pada pasiendengan penyakit vaskuler perifer. Amputasi jenis ini merupakan tebanyak kedua setelah amputasi bawah lutut. Pada amputasi jenis ini persendian lutut hilang, maka harus dipikirkan yang terbaik yang dapatmenyangga berat badan. Prosthesis yang konvensional membutuhkan jarak 9 10 cm dari distal stump sehingga bisa berfungsi seperti sendi lutut. Amputasi tulang setinggi 5 cm atau kurang dari distal trochanter minor akan mempunyai fungsi dan kekuatan penggunaan postesis sama dengan hip disarticulation.

19

Amputasi menyebabkan stress fisik dan psikologis bagi pasien, menurunkan kualitas hidup, dan pergerakan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa adanya kondisi psikologis yang buruk pada pasien yang harus menjalani amputasi. Angka mortalitas kejadian amputasi pada luka bakar dipengaruhi oleh keputusan atau waktu dilakukannya amputasi. Penelitian yang dilakukan oleh Yowler menujukkan bahwa amputasi yang cepat dilakukan memiliki angka mortalitas 13,6 % sedangkan amputasi yang lambat memiliki angka mortalitas 50%. Amputasi yang lambat dilakukan dikarenakan adanya luka bakar yang dalam sehingga menyebabkan infeksi. Ada beberapa hal yang harus

dipertimbangkan oleh tim kesehatan dalam pengambilan keputusan yaitu mekanisme cedera, tingkat keparahan, dan komplikasi. Identifikasi yang cepat mengenai kemungkinan penyembuhan tungkai dapat menurunkan kejadian infeksi dan meningkatkan angka harapan hidup10. Medikamentosa Antibiotik sistemik spektrum luas diberikan untuk mencegah infeksi. Yang banyak dipakai adalah golongan aminoglikosida yang efektif terhadap pseudomonas. Bila ada infeksi, antibiotik diberikan berdasarkan hasil biakan dan uji kepekaan kuman. Untuk mengatasi nyeri, paling baik diberikan opiat melalui intravena dalam dosis serendah mungkin yang bisa menghasilkan analgesia yang adekuat namun tanpa disertai hipotensi. Selanjutnya, diberikan pencegahan tetanus berupa ATS dan/atau toksoid. Luka bakar derajat satu dan dua yang menyisakan elemen epitel berupa kelenjar sebasea, kelenjar keringat, atau pangkal rambut, dapat diharapkan

20

sembuh sendiri, asal dijaga supaya elemen epitel tersebut tidak hancur atau rusak karena infeksi. Oleh karena itu, perlu dilakukan pencegahan infeksi. Pada luka lebih dalam, perlu diusahakan secepat mungkin membuang jaringan kulit yang mati dan memberi obat topikal yang daya tembusnya tinggi sampai mencapai dasar jaringan mati. Perawatan setempat dapat dilakukan secara terbuka atau tertutup. Ada beberapa jenis obat yang dianjurkan seperti golongan silver sulfadiazine dan yang terbaru MEBO (moist exposure burn ointment). Obat topikal yang dipakai dapat berbentuk larutan, salep atau krim. Antibiotik dapat diberikan dalam bentuk sediaan kasa (tulle). Antiseptik yang dipakai adalah yodium povidon atau nitras-argenti 0,5%. Kompres nitras-argenti yang selalu dibasahi tiap 2 jam efektif sebagai bakteriostatik untuk semua kuman. Obat ini mengendap sebagai garam sulfida atau klorida yang memberi warna hitam sehingga mengotori semua kain. Krim silver sulfadiazine 1% sangat berguna karena bersifat bakteriostatik, mempunyai daya tembus yang cukup, efektif terhadap semua kuman, tidak menimbulkan resistensi, dan aman. Krim ini dioleskan tanpa pembalut, dan dapat dibersihkan dan diganti setiap hari. Keuntungan perawatan terbuka adalah mudah dan murah. Permukaan luka yang selalu terbuka menjadi dingin dan kering sehingga kuman sulit berkembang. Kerugiannya, bila digunakan obat tertentu, misalnya nitras-argenti, alas tidur menjadi kotor. Penderita dan keluarga pun merasa kurang enak karena melihat luka yang tampak kotor. Sedapat mungkin luka yang tampak kotor. Sedapat mungkin luka dibiarkan terbuka setelah diolesi obat.

21

Perawatan

tertutup

dilakukan

dengan

memberikan

balutan

yang

dimaksudkan untuk menutup luka dari kemungkinan kontaminasi, tetapi tutupnya sedeikian rupa sehingga masih cukup longgar untuk berlangsungnya penguapan. Keuntungan perawatan tertutup adalah luka tampak rapi, terlindung, dan enak bagi penderita. Hanya, diperlukan tenaga dan dan lebih banyak pembalut dan antiseptik. Kadang suasana luka yang lembap dan hangat memungkinkan kuman untuk berkembang biak. Oleh karena itu, bila pembalut melekat pada luka, tetapi tidak berbau, sebaiknya jangan dilepaskan, tetapi ditunggu sampai terlepas sendiri.1

22

BAB III KERANGKA KONSEP

3.1 Dasar Pemikiran Variabel yang Diteliti Berdasarkan argumentasi ilmiah yang telah kami susun pada tinjauan kepustakaan terdapat beberapa karakteristik yang berhubungan dengan kejadian amputasi pada pasien luka bakar yaitu : jenis luka bakar dan derajat luka bakar. Dari pengukuran tersebut maka variabel independen yang diteliti adalah jenis luka bakar dan derajat luka bakar. Variabel independen ini akan diukur untuk dilihat karakteristiknya terhadap variabel dependen dalam hal ini amputasi.

3.2 Kerangka Konsep

23

3.3 Variabel yang Diteliti Variabel dependen adalah pasien luka bakar yang diamputasi Variabel independen :
a) Jenis luka bakar

b) Derajat luka bakar

3.4 Definisi Operasional Variabel Penelitian dan Kriteria Objektif 1. Pasien luka bakar yang mengalami amputasi Definisi : Pasien yang dinyatakan mengalami luka bakar dan menjalani amputasi (pembuangan suatu anggota gerak atau anggota badan lain) berdasarkan diagnosis dokter yang tercatat dalam rekam medis. 2. Jenis luka bakar Definisi : Jenis luka bakar merupakan hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh yang disebabkan oleh beberapa factor yaitu suhu, listrik, atau zat kimia. Kriteria objektifnya adalah : a. Kimia b. Listrik c. Api d. Dingin 3. Derajat luka bakar Definisi : derajat luka bakar menggambarkan kedalaman luka bakar.

24

Kriteria objektif nya : a. Luka bakar derajat dua mencapai kedalaman dermis, tetapi masih ada elemen epitel sehat tersisa. Gejala yang timbul adalah nyeri, gelembung atau bula berisi cairan eksudat yang keluar dari pembuluh karena permeabilitas dindingnya meningkat. b. Luka bakar derajat tiga meliputi seluruh kedalaman kulit dan mungkin subkutis, atau organ. Kulit tampak pucat abu-abu gelap atau hitam, dengan permukaan lebih rendah dari jaringan sekeliling yang masih sehat. Tidak ada bula dan tidak terasa nyeri.

25

BAB IV METODE PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah studi epidemiologi deskriptif dengan menggunakan data sekunder yang diperoleh dari data rekam medik. Penelitian deskriptif ini bertujuan untuk memperoleh gambaran distribusi, frekuensi. dan mengidentifikasi kemungkinan faktor predisposisi amputasi pada pasien luka bakar.

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di wilayah Rumah Sakit Umum Pusat DR. Wahidin Sudirohusodo Makassar mulai tanggal 3 September 2012 10 September 2012. Alasan pemilihan lokasi ini adalah :

Rumah Sakit Umum Pusat DR. Wahidin Sudirohusodo ini adalah rumah

sakit yang merupakan tempat rujukan yang mempunyai fasilitas pengobatan untuk penderita luka bakar. Rumah Sakit Umum Pusat DR. Wahidin Sudirohusodo Rumah merupakan

rumah sakit pendidikan di daerah Makassar Rumah Sakit Umum Pusat DR. Wahidin Sudirohusodo Rumah sakit ini

mempunyai dokumen medik yang memadai sehingga data-data penderita dapat dicatat dengan baik

26

4.3 Populasi dan Sampel 4.3.1. Populasi Semua pasien yang pernah dirawat dengan diagnosa luka bakar dan menjalani amputasi di Rumah Sakit Umum Pusat DR. Wahidin Sudirohusodo Makassar pada periode 1 Agustus 2007 1 Agustus 2012. 4.3.2. Sampel Pasien dengan diagnosa luka bakar dan mengalami amputasi yang pernah dirawat di rumah sakit tersebut pada periode 1 Agustus 2007 1 Agustus 2012. 4.3.3. Cara Pengambilan Sampel Teknik pengambilan sampel adalah dengan metode total sampling yaitu semua populasi dijadikan sebagai sampel. 4.3.4. Kriteria Seleksi 4.3.4.1. Kriteria Inklusi Terdaftar sebagai penderita luka bakar yang mengalami amputasi di rawat inap Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo Makassar periode 1

Agustus 2007 1 Agustus 2012. 4.3.4.2. Kriteria Ekslusi Tidak terdaftar sebagai penderita luka bakar yang mengalami amputasi di rawat inap di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo Makassar periode 1

Agustus 2007 1 Agustus 2012.

27

4.4 Jenis Data dan Insturumen Penelitian 4.4.1. Jenis Data Jenis data dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari rekam medik subjek penelitian. 4.4.2. Instrumen Penelitian Alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa daftar tilik dengan tabel-tabel tertentu untuk mencatat data yang dibutuhkan dari rekam medik.

4.5. Manajemen Penelitian 4.5.1. Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan setelah meminta perizinan dari pihak pemerintah dan instansi tempat diadakannya penelitian, dalam hal ini adalah Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo Makassar.Kemudian dilakukan

pengamatan dan pencatatan langsung berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan terhadap pasien dan data dari rekam medik ke dalam daftar tilik yang telah disediakan sebelumnya. 4.5.2. Teknik Pengolahan Data dan Penyajian Data Pengolahan dilakukan dengan menggunakan metode komputerisasi yang selanjutnya disajikan dalam bentuk tabel dan diagram.

28

4.6. Etika Penelitian a. Menyertakan surat pengantar yang ditujukan kepada pihak pemerintah setempat sebagai permohonan izin untuk melakukan penelitian. b. Berusaha menjaga kerahasiaan identitas pasien sehingga diharapkan tidak ada pihak yang merasa dirugikan atas penelitian yang dilakukan.

29

BAB V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

5.1 Sekilas Sejarah Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahldin Sudirohusodo Dua tahun setelah negara Indonesia merdeka, tepatnya tahun 1947 terdapat banyak korban revolusi yang mempertahankan kemerdekaan. Para pejuang bangsa memerlukan perawatan. Oleh karena itu dipinjamkan dua bangsal Rumah Sakit Jiwa yang telah berdiri sejak tahun 1925 sebagai bangsal bedah dan penyakit dalam. Kedua bangsal ini merupakan cikal bakal berdirinya Rumah Sakit Umum Dadi. Kemudian pada tahun 1957, Pemerintah Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan mendirikan RSU Dadi di lokasi rumah sakit jiwa sebagai rumah sakit propinsi yang terletak di Jalan Benteng No. 34 (kini Jalan Lanto Dg. Pasewang). Sejak tahun tersebut, baik Rumah Sakit Jiwa maupun Rumah Sakit Umum Dadi masing-masing membangun gedung-gedung tanpa adanya suatu

perencanaan, akhirnya tercipta suatu kondisi yang memberikan kesan bahwa Rumah Sakit Umum Dadi adalah rumah sakit yang sumpek, kurang penerangan, ventilasi yang tidak memadai dan berbagai kekurangan lainnya. Melihat kondisi tersebut, Gubernur Propinsi Sulawesi Selatan (ketika itu), Prof. Dr. Ir. H. Ahmad Amiruddin dan Menteri Kesehatan RI dr. H. Suwarjono Soerjadiningrat membicarakan dan akhirnya sepakat memindahkan Rumah Sakit Umum Dadi ke lokasi yang lebih strategis sebagai rumah sakit rujukan dan rumah sakit pendidikan.

30

Pada tahun 1963 mulai dilaksanakan pembelian tanah di Tamalanrea tidak jauh dari kampus Universitas Hasanuddin. Pembangunan gedung pertama dilakukan pada tahun 1988 yaitu gedung adminsitrasi. Atas bantuan Rektor Universitas Hasanuddin yang menghibahkan tanah seluas 8 ha, maka pada tahun 1990 pembangunan gedung-gedung baru mulai dilaksanakan dengan kapasitas 2100 tempat tidur. Rumah sakit ini mulai dioperasikan pada tahun 1993 dengan status Rumah Sakit Umum Pusat Kelas A sesuai SK Menteri Kesehatan No. 283/Menkes/SK/1992, Pada tahun 1994 RS Dadi berubah menjadi rumah sakit vertical milik departemen kesehatan dengan nama RS Dr.Wahidin Sudirohusodo berdasarkan surat keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

No.540/SK/VI/1994 sebagai rumah sakit umum kelas A yang digunakan oleh Fakultas Kedokteran sebagai tempat pendidikan calon dokter, dokter spesialis dan subspesialis serta sebagai rumah sakit rujukan tertinggi di kawasan timur Indonesia. Untuk mendukung operasionalnya, berbagai fasilitas diupayakan dalam membantu pelayanan kesehatan di kawasan timur Indonesia, maka pada saat bersamaan diadakan penambahan tenaga medis dan paramedis, sehingga pada bulan maret 1994 BOR di Ruang Perawatan Bedah dan Penyakit Dalam mencapai BOR di atas 90%. Di samping itu beberapa kegiatan baru telah mulai dilaksanakan antara lain terlaksananya operasi jantung, dibukanya spesialisasi bedah thoraks, pengobatan batu ginjal dan ESWL dan pelayanan USG mata baik A Scan dan B Scan melalui laser Yab dan hingga kini telah melayani subspesialisasi.

31

Seiring dengan perkembangan dan kemajuan ini, pada bulan Januari 1998 lalu, RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo mendapat pengakuan "Akreditasi Penuh" dari Komite Akreditasi Rumah Sakit Pusat. Pada tahun 1998 dengan dikelurkannya UU. No. 30 tahun 1997, maka Rumah Sakit DR. Wahidin Sudirohusodo berubah status menjadi unit Pengguna Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNPB). Pada tahun 2000 dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah RI No. 125 tahun 2000 RSUP Dr Wahidin Sudirohusodo beralih status kelembagaannya menjadi perusahaan jawatan ( Perjan ) Rumah Sakit DR Wahidin Sudirohusodo Makassar. Pada tanggal 13 Juni 2005, Pemerintah kembali mengeluarkan Peraturan Pemerintah RI.No.23 tahun 2005 tentang perubahan status rumah sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo dari Perusahaan Jawatan ( Perjan ) menjadi Badan Layanan Umum (BLU) RS.Dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar.

5.2

Keadaan Geografis RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo terletak di Kecamatan Tamalanrea, 11

km dari pusat kota Makassar, Rumah sakit ini dibangun di atas tanah seluas 16 ha dengan luas gedung seluruhnya 12,6 ha dengan batas-batas sebagai berikut: 1. Sebelah utara : Jalan ke utara menuju daya, terdapat kantor dan asrama kaveleri kodam VII wirabuana dan jalan poros Makassar-Maros 2. Sebelah Selatan : terdapat bangunan Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin yang diantarai oleh sebuah DAM buatan

32

3.

Sebelah Barat

: terdapat

gedung

perkuliahan

dan

perkantoran

Universitas Hasanuddin 4. Sebelah Timur : terdapat kantor Dinas Pendidikan Sulawesi Selatan dan Pondok Pesantren IMMIM

5.3

Sarana Dan Prasarana RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo memilki tenaga 1191 orang belum

termasuk tenaga kontrak dan dokter-dokter yang menempuh pendidikan. Adapun rinciannya adalah sebagai berikut: a. Dokter ahli : 136 orang b. Dokter umum : 30 orang c. Dokter gigi : 10 orang d. Sarjana Kesehatan Masyarakat e. Sarjana keperawatan : 1 orang f. Paramedis perawat : 508 orang g. Paramedis non perawat : 199 orang h. Apoteker : 10 orang i. Non medis lainnya : 114 orang j. Tenaga kontrak : 119 orang Sarana dan fasilitas yang tersedia di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo sebagai rumah sakit tipe A dan sebagai pusat rujukan dari propinsi-propinsi di sekitarnya, yakni sebagai berikut: : 12 orang

33

Dua puluh dua (22) poliklinik spesialisasi dan subspesialisasi dan

dilengkapi dengan alat-alat seperti diagnostik jantung. Sepuluh (10) buah kamar operasi untuk 11 jenis pembedahan seperti bedah

toraks, bedah saraf, bedah minor untuk THT.


Fasilitas tempat tidur VIP : 14 buah Kelas I : 24 buah Kelas II : 136 buah Kelas III : 205 buah ICU dewasa : 8 buah ICU anak : 7 buah ICCU : 6 buah

5.4

Landasan Hukum Landasan hukum badan layanan umum (BLU) RS.Dr.wahidin

sudirohudoso makassar adalah peraturan pemerintah No.23 tahun 2005.

5.5

Usaha Rumah Sakit Usaha rumah sakit terdiri dari usaha dapur gizi, laundry, kantin, parker,

wartel, incenerator, dan sewa gedung.

5.6

Visi, Misi Dan Tujuan Visi

34

Visi RS wahidin sudirohusodo adalah " menjadi rumah sakit yang mandiri, prima serta unggul dalam teknologi, manajemen dan sumber daya manusia di kawasan Indonesia timur pada tahun 2015. Rumah sakit yang mandiri merupakan tujuan yang ingin diwujudkan dari pelaksana manajemen RS.Wahidin sudirohusodo dalam pengelolaan uang yang mandiri. Prima adalah wujud pelayanan kesehatan di RS.DR.wahidin sudirohusodo yang berorientasi pada kepentingan pelanggan dan standarisasi professional Unggul dalam teknologi dan manajemen merupakan kemampuan RS.DR wahidin sudirohusodo dalam memberikan pelayanan dnegan menggunakan teknologi terdepan melalui proses manajemen yang tepat guna. Unggul dalam sumber daya manusia merupakan impian di masa depat menjadikan sumber daya manusia di RS DR. Wahidin sudirohusodo makassar dan cepat menghasilkan/mendidik SDM yang mempunyai daya saing sebagai manusia unggul, baik unggul individual maupun unggul interkoneksitas. Misi Untuk mewujudkan misi RS DR wahidin sudirohusodo makassar ditetapkan misi sebagai berikut: a. menyelenggarakan terjangkau b.
c.

pelayanan

kesehatan

paripurna,

profesional

dan

menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan yang berkualitas menyelenggarakan usaha lain yang menunjang kegiatan pelayanan dan pendidikan Tujuan

35

Tujuan Tujuan RS Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar


a. terlaksananya pelayanan kesehatan yang paripurna dan prima b. tersedianya SDM yang profesional dan berkomitmen c. tersedianya teknologi canggih yang menunjang pelayan RS DR wahidin

sudirohusodo makassar sebagai rumah sakit rujukan tertinggi di KTI


d. terlaksananya

pertumbuhan

financial

return

RS

DR

wahidin

sudirohusodo Makassar

5.7

Nilai Nilai-nilai dari RS DR Wahidin Sudirohusodo makassar adalah sebagai

berikut
a. Profesionalisme : tindak tanduk yang bercirikan suatu profesi atau

orang yang ahli dalam bidangnya dengan memgang teguh etika profesi dan standar mutu keahlian yang tinggi.
b. Ramah : sikap dan tutur kata manis, dengan berpraduga positif

serta berbudi bahasa menarik dan selalu berusaha untuk menolong pelanggan denagan tulus dan ikhlas.
c. Peduli : berusaha untuk segera memahami dan merespon dengan

sungguh-sungguh masalah yang dihadapi pelanggan dan langsung membantu menyelesaikan masalah tersebut dengan tuntas dan memuaskan keinginan pelanggan.

36

d. Jujur : selalu memegang

teguh ketulusan dan keikhlasan

dalam memberikan informasi atau tidak melakukan kecurangan apapun untuk dirinya ataupun untuk kepentingan pelanggan.
e. Tanggung jawab : kewajiban untuk memikul segela akibat yang

timbul karena hasil pekerjaan dalam memberikan pelayanan yang terbaik bagi pelanggan
f. Menghargai : saling menghormati serta menghargai terhadap

sesame yang lain

5.8

Motto Adapun motto RS Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar adalah " Dengan budaya sipakatau kami melayani dengan hati "

37

BAB VI HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

6. 1 Hasil Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama 2 minggu, mulai dari tanggal 17 September 29 September 2012 mengenai gambaran karakteristik kejadian amputasi pada penderita luka bakar di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo. Sampel diambil dengan menggunakan teknik total sampling. Pada penelitian ini, jumlah sampel yang diteliti adalah sebanyak 14 orang dan keseluruhan adalah laki-laki. Dari 14 sampel tersebut, maka diperoleh hasil sebagai berikut:

Tabel 6.1 Gambaran kejadian amputasi pada pasien luka bakar menurut umur di RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo Periode 1 Agustus 2007 1 Agustus 2012 Umur <18 tahun 18-40 tahun 41-65 tahun >65 tahun Total Sumber : data rekam medik N 3 9 2 0 14 % 21,4 64,2 14,4 0 100.0

38

Grafik 6.1 Gambaran kejadian amputasi pada pasien luka bakar menurut umur di RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo Periode 1 Agustus 2007 1 Agustus 2012

F UENS REK I
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 < tahun 18 18-40 tahun 41-65 tahun > tahun 65

PRES AS ENT E

14%

22%
< tahun 18 18-40 tahun 41-65 tahun

64%

Pada tabel dan grafik 6.1 di atas menunjukkan gambaran kejadian amputasi pada pasien luka bakar menurut umur yaitu pada kelompok umur kurang dari 18 tahun didapatkan penderita luka bakar sebanyak 3 kasus (21,4%). Pada kelompok umur 18-40 tahun didapatkan penderita luka bakar sebanyak 9 kasus (64,2%). Pada kelompok umur 41-65 tahun didapatkan penderita luka bakar sebanyak 2 kasus (14,4%) dan tidak didapatkan pasien dengan kelompok umur di atas 65 tahun.

39

Tabel 6.2 Gambaran kejadian amputasi pada pasien luka bakar menurut jenis kelamin di RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo Periode 1 Agustus 2007 1 Agustus 2012 Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Total Sumber : data rekam medik N 14 0 14 % 100 0 100.0

Grafik 6.2 Gambaran kejadian amputasi pada pasien luka bakar menurut jenis kelamin di RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo Periode 1 Agustus 2007 1 Agustus 2012

F UENS REK I
16 14 12 10 8 6 4 2 0 Laki-laki Perem puan

40

Pada tabel dan grafik 6.2 di atas menunjukkan gambaran kejadian amputasi pada pasien luka bakar menurut jenis kelamin dimana keseluruhan sampel merupakan laki-laki.

Tabel 6.3 Gambaran kejadian amputasi pada pasien luka bakar menurut jenis luka bakar di RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo Periode 1 Agustus 2007 1 Agustus 2012 Jenis luka bakar Api Listrik Kimia Dingun Total Sumber : data rekam medik N 1 13 0 0 14 % 7,2 92,8 0 0 100.0

41

Grafik 6.3 Gambaran kejadian amputasi pada pasien luka bakar menurut jenis luka bakar di RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo Periode 1 Agustus 2007 1 Agustus 2012

F UENS REK I
14 12 10 8 6 4 2 0 Listrik Api Dingin Kim ia

PRES AS ENT E

7%
Listrik Api

93%

42

Pada table dan grafik 6.3 di atas menunjukkan distribusi penderita luka bakar yang mengalami amputasi berdasarkan jenis luka bakar. Didapatkan 13 kasus (92,8%) yang disebabkan oleh listrik, 1 kasus (7,2%) yang disebabkan oleh api, dan tidak ada kasus yang disebabkan oleh dingin ataupun kimia.

Tabel 6.4 Gambaran kejadian amputasi pada pasien luka bakar menurut derajat luka bakar di RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo Periode 1 Agustus 2007 1 Agustus 2012 Derajat Luka Bakar Dua Tiga Total Sumber : data rekam medik N 1 13 14 % 7,2 92,8 100.0

Grafik 6.4 Gambaran kejadian amputasi pada pasien luka bakar menurut jenis luka bakar di RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo Periode 1 Agustus 2007 1 Agustus 2012

F UENS REK I
14 12 10 8 6 4 2 0 Dua

PRES AS ENT E

7% Derajat Dua 93% Derajat Tiga


Tiga

43

Pada tabel dan grafik 6.4 di atas menunjukkan distribusi penderita luka bakar yang mengalami amputasi berdasarkan derajat luka bakar. Didapatkan 13 kasus (92,8%) dengan derajat 3, 1 kasus (7,2%) dengan derajat dua, dan tidak ada kasus dengan derajat satu .

Tabel 6.5 Crosstabulation Distribusi Umur dengan Jenis Luka Bakar pada Penderita Luka Bakar yang mengalami Amputasi di RSUP DR Wahidin Sudirohusodo Periode 1 Agustus 2007 1 Agustus 2012
Umur Api N 1 0 0 1 % 33,3 0 0 7,2 N 2 9 2 13 Listrik % 86,7 100 100 92,8 N 3 9 2 14 Jumlah % 100 100 100 100

<18 tahun 18-40 tahun 41-65 tahun


Total

Sumber : data rekam medik

44

Grafik 6.5 Crosstabulation Distribusi Umur dengan Jenis Luka Bakar pada Penderita Luka Bakar yang mengalami Amputasi di RSUP DR Wahidin Sudirohusodo Periode 1 Agustus 2007 1 Agustus 2012
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 < tahun 18 18-40 tahun 41-65 tahun Api Listrik

Pada tabel 6.5 di atas menunjukkan gambaran karakteristik kejadian amputasi pada penderita luka bakar menurut umur dengan jenis luka bakar , kejadian amputasi terbanyak pada usia 18-40 tahun dimana sebagian besar merupakan luka bakar listrik yaitu sebanyak 9 kasus.

Tabel 6.6 Crosstabulation Distribusi Umur dengan Derajat Luka Bakar pada Penderita Luka Bakar yang mengalami Amputasi di RSUP DR Wahidin Sudirohusodo Periode 1 Agustus 2007 1 Agustus 2012
Umur Dua N 0 1 0 1 % 0 11,1 0 7,2 N 3 8 2 13 Tiga % 100 88,9 100 92,8 N 3 9 2 14 Jumlah % 100 100 100 100

<18 tahun 18-40 tahun 41-65 tahun


Total

45

Grafik 6.6 Crosstabulation Distribusi Umur dengan Derajat Luka Bakar pada Penderita Luka Bakar yang mengalami Amputasi di RSUP DR Wahidin Sudirohusodo Periode 1 Agustus 2007 1 Agustus 2012
9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 < tahun 18 18-40 tahun 41-65 tahun Dua Tiga

Pada tabel 6.6 di atas menunjukkan gambaran karakteristik kejadian amputasi pada penderita luka bakar menurut umur dengan derajat luka bakar , kejadian amputasi terbanyak pada usia 18-40 tahun dimana sebagian besar merupakan luka bakar listrik derajat tiga yaitu sebanyak 8 kasus.

6.2 Pembahasan Telah dilakukan penelitian tentang gambaran karakteristik kejadian amputasi pada penderita luka bakar di RSP Dr. Wahidin Sudirohusodo periode 1 Agustus 2007 1 Agustus 2012. Pada penelitian ini ingin diketahui karakteristik kejadian amputasi pada penderita luka bakar berdasarkan jenis luka bakar dan derajat luka bakar.

46

Jumlah penderita luka bakar selama 1 Agustus 2007 1 Agustus 2012 adalah 260 orang. Namun, pasien yang mengalami amputasi hanya 14 orang sehingga jumlah ini yang menjadi sampel dalam penelitian ini. Karakteristik sampel dalam penelitian ini adalah keseluruhan berjenis kelamin laki-laki . Selain itu, pada kelompok umur kurang dari 18 tahun didapatkan penderita luka bakar sebanyak 3 kasus (21,4%). Pada kelompok umur 18-40 tahun didapatkan penderita luka bakar sebanyak 9 kasus (64,2%). Pada kelompok umur 41-65 tahun didapatkan penderita luka bakar sebanyak 2 kasus (14,4%) dan tidak didapatkan pasien dengan kelompok umur di atas 65 tahun. Hal ini menunjukkan kejadian amputasi pada pasien luka bakar terjadi pada orang-orang dengan usia produktif. Dari tabel 6.3 dilihat penyebab luka bakar yang mengalami amputasi sebagian besar dikarenakan listrik yaitu sebanyak 13 kasus (92,8%). Penyebab lain yang dapat menyebabkan amputasi adalah api yaitu sebanyak 1 kasus (7,2%). Tidak didapatkan kasus amputasi yang disebabkan oleh kimia ataupun dingin. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan kejadian amputasi lebih banyak terdapat pada luka bakar yang disebabkan oleh listrik. Hal ini dikarenakan luka bakar listrik dapat mencederai tunika intima pembuluh darah yang menyebabkan thrombosis sehingga aliran darah akan berkurang dan akan berakhir menjadi nekrosis jaringan. Dari tabel 6.4 dilihat bahwa derajat luka bakar yang mengalami amputasi sebagian besar adalah derajat 3 yaitu sebanyak 13 kasus (92,8%). Selain itu, luka bakar derajat dua juga mengalami amputasi yaitu satu kasus (7,2%). Hal ini sesuai dengan teori bahwa luka bakar yang mengalami amputasi adalah luka bakar

47

derajat tiga. Namun, ada satu kasus luka bakar derajat dua yang mengalami amputasi dimana kasus ini disebabkan oleh luka bakar listrik. Dalam luka bakar listrik, derajat luka bakar yang terlihat dari luar belum bisa menunjukkan secara jelas kerusakan yang ditimbulkan karena besarnya kerusakan yang terjadi biasanya lebih dalam dibandingkan dengan yang terlihat. Adapun kekurangan yang ditemui dalam melaksanakan penelitian adalah jumlah status di medical record tidak sesuai dengan jumlah register di RSUP Wahidin Sudirohusodo. Kekurangan lainnya yang ditemui adalah kurangnya sampel yang didapatkan.

48

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN

7. 1 Kesimpulan Setelah melakukan penelitian mengenai gambaran karakteristik kejadian amputasi pada penderita luka bakar di RSP Dr. Wahidin Sudirohusodo periode 1 Agustus 2007 1 Agustus 2012 , maka dapat disimpulkan bahwa:
1.

Berdasarkan jenis luka bakar , persentase tertinggi kejadian

amputasi pad apasien luka bakar ditemukan pada luka bakar listrik 92,8% , api 7,2%, dan tidak ada kasus akibat kimia ataupun dingin
2.

Menurut derajat luka bakar, presentase tertinggi kejadian amputasi

pada pasien luka bakar ditemukan pada luka bakar derajat tiga 92,8%, derajat dua 7,2%, dan tidak ada kasus pada luka bakar derajat satu.

7.2 Saran-saran Setelah melakukan penelitian mengenai gambaran karakteristik kejadian amputasi pada penderita luka bakar di RSP Dr. Wahidin Sudirohusodo periode 1 Agustus 2007 1 Agustus 2012 , maka dapat disarankan: 1. Perlu diadakan sosialisasi mengenai penggunaan listrik maupun

pemakaian alat pelindung diri yang aman dalam pekerjaan listrik. 2. Perlu diadakan penelitian lebih lanjut mengenai kejadian amputasi pada pasien luka bakar dengan jumlah sampel yang lebih besar.

49

DAFTAR PUSTAKA

1. De Jong, Wim. Buku AjarIlmu Bedah . 3th ed. Jakarta : EGC ; 2011: p.10314; 1080-2.

2. Dwi Handayani. Rehabilitasi Below Knee Amputation. Samarinda : Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman. 2010.

3. Kennedy PJ,dkk. Burn and amputation : 24 year experience. J Burn care Res, 2006; 183-8. Available from : www.ncbi.nlm.nih.gov

4. Abd. Al Aziz H.A. Ahmad,dkk. Evaluation of the Treatment of Protocol Electrical Injuries in Ain Shams University Burn Unit. Egypt J.Plast Reconstr.Surg, 2007 ; 149-158. Available from : www.ncbi.nlm.nih.gov

5. Brian M.Parret,dkk. Fourth-Degree Burns to the Lower Extremity with Exposed Tendon and Bone : A Ten Year Experience. USA. Division Plastic & Reconstructive Surgery and Division Trauma, Burns, and Critical Care. 2006

6. Matthew B.Klein. Thermal, Chemical, and Electrical Injurie In : Plastic Surgery, 6th ed. USA : Lippincolt Williams & Wilkins. 2007 ; p.132-49.

7. Chen X, dkk. A Report of 115 Cases of Amputation after Electric Injury. China ; Zhonghua Shao Shang Za Zhi,2006 ; 161-2.

50

8. Peter C.Esselman. Burn Rehabilitation : An Overview. USA. Departement of Rehabilitation Medicine University of Washington Seattle.2007

9. Yowler JC,dkk. Factors Contributing to Delayed Extremity Amputation in Burn Patients. J Trauma, 2007 ; 522-6. Available from :

www.ncbi.nlm.nih.gov

10. Charles Brunicardi, dkk. Burns In : Schwarts Principle Surgery, 8thed. New York : Mc.Graw Hill Company.

51

Anda mungkin juga menyukai