Anda di halaman 1dari 38

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penyakit sistemik adalah penyakit yang mempengaruhi sistem tubuh secara keseluruhan dimana saling terkait antara organ satu dengan yang lainnya. Jika satu organ terganggu maka akan ada gangguan pula pada organ lainnya atau akan muncul manifestasi/gejala pada organ lainnya yang akan mengganggu sistem organ secara keseluruhan. Penyakit gastrointestinal merupakan penyakit yang menyerang sistem organ pencernaan; mencakup mulut, faring dan esophagus, lambung, pankreas, usus halus serta usus besar. Bila organ-organ ini terganggu, maka fungsi homeostatis sistem pencernaan yang berperan penting bagi kelangsungan hidup sel tidak akan tercapai, akibatnya pasokan nutrien tidak terpenuhi dan mengganggu kerja sel atau jaringan yang lain. Penyakit hepar merupakan penyakit yang menyerang sistem empedu mencakup hati, kantung empedu dan duktus-duktus terkait. Bila organ ini mengalami gangguan maka tidak akan bisa menjalankan fungsinya secara sempurna, diantaranya pengolahan metabolik kategori nutrien utama, detoksifikasi hormon, obat dan senyawa asing lainnya, sintesis berbagai protein plasma, pengaktifan vitamin D, ekskresi kolesterol dan bilirubin, penyimpanan glikogen,lemak, besi, tembaga dan berbagai vitamin, serta pengeluaran bakteri dan sel darah merah yang telah usang. Penyakit-penyakit tersebut selain memiliki gejala-gejala klinis secara sistemik juga memiliki manifestasi di rongga mulut. Pasien yang datang dengan memiliki penyakit sistemik ini akan diberi penatalaksanaan tertentu/khusus di bidang kedokteran gigi. Selain itu, adanya penyakit sistemik ini juga menentukan prognosa perawatan yang dilakukan di bidang kedokteran gigi. Oleh karena itu, diperlukan pendalaman tentang penyakit sistemik gastrointestinal dan hepar bagi mahasiswa kedokteran gigi.

1.2 Skenario 1 Mbok Wgy Nyeri Lambung Mbok Wgy beberapa hari mengeluh sering kembung, mual dan nyeri di daerah epigastrum. Dokter curiga adanya hepatitis tetapi dari hasil anamnesa pasien sering mengkonsumsi obat-obatan jenis aspirin untuk nyeri pinggang yang dideritanya. Pada pemeriksaan endoskopi dijumpai erosi multiple pada mukosa lambung dan pemeriksaan hapusan di daerah erosi didapatkan adanya bakteri Helicobakter pillori. 1.3 Rumusan Masalah 1. Bagaimana etiologi, patogenesis, gejala klinis dan manifestasi oral dari gastritis dan peptic ulser? 2. 3.
4.

Bagaimana etiologi, patogenesis, gejala klinis dan manifestasi oral dari ulseratif Bagaimana etiologi, patogenesis, gejala klinis, gejala laboratoris dan manifestasi Bagaimana etiologi, patogenesis, gejala klinis dan manifestasi oral dari Crohns

collitis? oral dari hepatitis? Desease? 1.4 Tujuan Penulisan 1. 2. 3.


4.

Mengetahui dan memahami etiologi, patogenesis, gejala klinis dan manifestasi Mengetahui dan memahami etiologi, patogenesis, gejala klinis dan manifestasi Mengetahui dan memahami etiologi, patogenesis, gejala klinis, gejala laboratoris Mengetahui dan memahami etiologi, patogenesis, gejala klinis dan manifestasi

oral dari gastritis dan peptic ulser. oral dari ulseratif collitis. dan manifestasi oral dari hepatitis. oral dari Crohns Desease.

1.5 Mapping

Penyakit Gastrointestinal dan

Penyakit

Penyakit

Gastritis/peptic ulcer Ulseratif

MEKANISME

Etiologi

patogenesis

Pemeriksaan

Klinis

Laboratoris

Radiologi

Manifestas i di Rongga Mulut

Sistemik

BAB III PEMBAHASAN 3.1. Gastritis dan Peptic Ulser Gastritis adalah proses inflamasi pada lapisan mukosa dan sub-mukosa lambung. Secara histopatologi dapat dibuktikan dengan adanya sebukan sel radang pada daerah tersebut. Gastritis merupakan salah satu penyakit yang paling banyak dijumpai di klinik penyakit dalam pada umumnya. Secara garis besar, gastritis dapat dibagi menjadi beberapa macam berdasarkan pada :

1. Manifestasi klinis, dibagi menjadi akut dan kronik 2. Gambaran histopatologis yang khas 3. Distribusi anatomi 4. Kemungkinan pathogenesis, terutama gastritis kronik
3.1.1. Gastritis Akut Inflamasi akut mukosa lambung pada sebagian besar kasus merupakan penyakit yang ringan dan sembuh sempurna. Salah satu bentuk gastritis akut yang manifestasi klinisnya dapat berbentuk penyakit yang berat adalah gastritis erosif atau gastritis hemoragik. Disebut gastritis hemoragik karena pada penyakit ini akan dijumpai perdarahan mukosa lambung dalam berbagai derajat dan terjadi erosi yang berarti hilangnya kontinuitas mukosa lambung pada beberapa tempat, menyertai inflamasi pada mukosa lambung tersebut. ETIOLOGI DAN PATOGENESIS Gastritis akut terjadi tanpa diketahui penyebabnya. Kira-kira 80-90% pasien yang dirawat di ruang intensif menderita gastritis akut erosif. Gastritis akut jenis ini sering disebut gastritis akut stress. Penyebab lain adalah obat-obatan. Obat-obatan yang sering dihubungkan dengan gastritis erosif adalah aspirin dan sebagian besar obat antiinflamasi nonsteroid. Seleruh mekanisme yang menimbulkan gastritis erosif faktor pepsin, refluks empedu dan cairan pankreas. Aspirin dan obat antiinflamasi nonsteroid merusak mukosa lambung melalui beberapa mekanisme. Obat-obat ini dapat menghambat aktivitas siklooksigenase mukosa. Siklooksigenase merupakan enzim yang penting untuk pembetukan prostaglandin dari asam arakidonat. Prostaglandin karena keadaan-keadaan klinis yang belum diketahui benar. Faktor-faktor yang amat penting adalah iskemia pada mukosa gaster, di samping

5 mukosa merupakan salah satu faktor defensif mukosa lambung yang amat penting. Selain menghambat produksi prostaglandin mukosa, aspirin dan obat antiinflamasi nonsteroid tertentu dapat merusak mukosa secara topical. Kerusakan topical terjadi karena kandungan asam dalam obat tersebut bersifat korosif sehingga dapat merusak sel-sel epitel mukosa. Pemberian aspirin dan obat antiinflamasi nonsteroid juga dapat menurunkan sekresi bikarbonat dan mucus oleh lambung, sehingga kemampuan factor defensive terganggu. KOMPLIKASI Perdarahan saluran cerna bagiana atas yang merupakan kedaruratan medis. Kadang-kadang perdarahanya cukup banyak sehingga dapat menyebabkan kematian. Terjadi ulkus, kalau prosesnya hebat Jarang terjadi perforasi

3.1.2. Gastritis Kronis Disebut gastritis kronik apabila infiltrasi sel-sel radang yang terjadi pada lamina propria dan daerah intra epithelial terutama terdiri atas sel-sel radang kronik, yaitu limfosit dan sel plasma. Kehadiran granulosit neutrofil pda daerah tersebut menandakan adanya aktivitas. Gastritis kronik dapat dibedakan berdasarkan kelainan histopatologi, yaitu: a. Gastritis kronik superfisialis apabila dijumpai sebukan sel-sel radang kronik terbatas pada lamina propria mukosa superfisialis dan edema yang memisahkan kelenjar-kelenjar mukosa, sedangkan selsel kelenjar tetap utuh. Sering dikatakan gastritis kronik superfisialis merupakan permulaan gastritis kronik. b. Gastritis kronik atrofik, sebukan sel-sel radang kronik menyebar lebih dalam disertai dengan distorsi dan destruksi sel kelenjar mukosa lebih nyata. Gastritis atrofik dianggap sebagai kelanjutan gastritis kronik superfisialis. c. Atrofi lambung dianggap merupakan stadium akhir gastritis kronik. Pada saat itu struktur kelenjar menghilang dan terpisah satu sama lain secara nyata dengan jaringan ikat, sedangkan sebukan sel radang juga menurun. Mukosa menjadi sangat tipis sehingga dapat menerangkan mengapa pembuluh darah bisa terlihat pada saat pemeriksaan endoskopi. d. Metaplasia intestinal, suatu perubahan histologist kelenjar-kelenjar mukosa lambung menjadi kelenjar-kelenjar mukosa usus halus yang mengandung sel goblet. Perubahanperubahan tersebut dapat terjadi secara meyeluruh pada hamper seluruh segmen lambung, tetapi dapat pula hanya merupakan bercak-bercak pada beberapa bagian lambung. Menurut distribusi anatomisnya, gastritis kronik dapat dibagi menjadi:

6 a. Gastritis kronis tipe A juga disebut sebagai gastritis atrofik atau fundal (karena mengenai fundus lambung). Gastritis kronik tipe A merupakan suatu penyakit autoimun yang disebabkan oleh adanya autoantibodi terhadap sel parietal kelenjar lambung dan faktor intrinsik dan berkaitan dengan tidak adanya sel parietal dan chief cells, yang menurunkan sekresi asam dan menyebabkan tingginya kadar gastrin. Dalam keadaan sangat berat, tidak terjadi produksi faktor intrinsik. Anemia pernisiosa seringkali dijumpai pada pasien karena tidak tersedianya faktor intrinsik untuk mempermudah absorbs vitamin B12 dalam ileum. Gastritis tipe A lebih sering terjadi pada penderita dengan usia tua (Wilson, 2006). b. Gastritis kronis tipe B disebut juga sebagai gastritis antral karena umumnya mengenai daerah antrum lambung dan lebih sering terjadi dibandingkan dengan gastritis kronik tipe A. bentuk gastritis ini memiliki sekresi asam yang normal dan tidak berkaitan dengan anemia pernisiosa. Kadar gastrin serum yang rendah sering terjadi. Penyebab utama gastritis kronik tipe B adalah infeksi kronis oleh H.pylori (Wilson, 2006). ETIOLOGI DAN PATOGENESIS Ada dua aspek etiologi gastritis kronik, yaitu : 1. Aspek imunologis Hubungan antara sistem imun dan gastritis kronik mejadi jelas dengan ditemukannya autoantibodi terhadap faktor intrinsik lambung (intrinsik faktor antibodi) dan sel parietal (parietal cell antibody) pada pasien dengan anemia pernisiosa. Antibodi terhadap sel parietal lebih dekat hubungannya dengan gastritis kronik korpus dalam berbagai gradasi. Pasien gastritis kronik yang antibodinya positif dan berlanjut menjadi anemia pernisiosa mempunyai cirri-ciri khusus sebagai berikut: Secara histologis berbentuk gastritis kronik atrofik predominasi korpus Dapat menyebar ke antrum dan hipergastrinemia

Gastritis autoimun adalah diagnosis histologist karena secara endoskopik amat sukar menentukannya, kecuali apabila sudah amat lanjut. Hipergastrinemia yang terjadi terus-menerus dan hebat dapat memicu timbulnya karsinoid. Gastritis tipe ini jarang dijumpai. 2. Aspek bakteriologis Bakteri yang paling penting sebagai penyebab gastritis adalah Helicibacter pylori. Gastritis yang ada hubungannya dengan Helicobacter pylori lebih sering dijumpai dan biasanya berbentuk gastritis kronik aktif antrum. Sebagian besar gastritis kronik merupakan gastritis tipe ini. Atrofi mukosa lambung akan terjadi pada banyak kasus, setelah bertahun-tahun mendapat infeksi Helicobacter pylori. Atrofi dapat terbatas pada antrum, pada korpus atau mengenai keduanya. Dalam stadium ini pemeriksaan serologi terhadap Helicobacter pylori lebih sering member hasil negatif.

7 Kejadian gastritis kronik, terutama gastritis kronik antrum meningkat sesuai dengan peningkatan usia. Selain mikroba dengan proses imunologis, factor lain yang juga berpengaruh terhadap pathogenesis gastritis kronik adalah refluks kronik cairan pankreatobilier, asam empedu, dan lisolesitin.

Helicobacter pyllori KOMPLIKASI Atrofi lambung dapat menyebabkan gangguan penyerapan terutama pada vitamin B
12.

Gangguan

pada penyerapan B12 selanjutnya dapat menyebabkan anemia yang secara klinik hamper sama dengan anemia pernisiosa. Keduanya dapat dipisahkan dengan memeriksa antibody terhadap factor intrinsic. Gastrirtis kronik antrum-pilorus dapat menyrbabkan penyempitan antrum-pilorus. Gastritis kronik sering dihubungkan dengan keganasan lambung, terutama gastritis kronis antrum-pilorus. GEJALA KLINIS GASTRITIS Gambaran klinisnya bervariasi mulai dari yang sangat ringan asimtomatik sampai sangat berat yang dapat membawa kematian. Pada kasus yang sangat berat, gejala yang sangat mencolok adalah hematemesis dan melena yang dapat berlangsung sangat hebat sampai terjadi renjatan karena kehilangan darah. Pada sebagian besar kasus, gejalanya amat ringan bahkan asimtomatis. Keluhan-keluhan itu misalnya nyeri timbul pada ulu hati, biasanya ringan dan tidak dapt ditunjuk dengan tepat lokasinya. Kadang-kadang disertai dengan mual-mual dan muntah. Perdarahan saluran cerna sering merupakan satusatunya gejala. GAMBARAN GASTRITIS Secara patologianatomi gastritis kronis fundus dapat dibagi menjadi: gastritis superfisialis, gastritis atrofi dan atrofi lambung. Disebut gastritis superfisialis apabila kelainannya hanya terbatas pada epitel mukosa superfisialis. Sel-sel kelenjar mukosa lambung tidak terkena. Kelainannya berupa keradangan kronik.

8 Pada gastritis atrofi, terdapat kerusakan sebagian sel-sel kelenjar fundus jumlah limfosit dan sel plasma di lamina propia meninggi. Sel-sel chief dan parietal yang terdapat pada kelenjar fundus sebagian diganti oleh sel-sel usus dan sel mukosa. Atrofi lambung ditandai dengan kerusakan kelenjar fundus yang berat. Sebagian besar kelenjar fundus menghilang dan diganti oleh sel-sel usus dan mukosa. Biasanya tidak tampak lagi tanda-tanda radang secara patologi anatomi. Setelah terjadi kerusakan berat, misalnya atrofi lambung, akan terlihat atrofi mukosa. Pada fundus dan korpus, hampir tida tampak lagi rugae. Mukosa pucat dan pembuluh darah submukosa kelihatan. Kadang gastritis kronis antrum dapat menebankan penyempitan daerah antrum-pilorus.

Gambaran Klinis Gastritis

Erosi Multiple

HPA Gastritis 3.1.3. Peptic Ulser Istilah Ulkus Peptikum (peptik ulcer) digunakan untuk erosi lapisan mukosa di bagian mana saja di saluran GI, tetapi biasanya di lambung atau duodenum. Ulkus gaster atau tukak lambung adalah istilah untuk ulkus di lambung. ETIOLOGI DAN PATOGENESIS Faktor yang mempengaruhi terjadinya erosi dan tukak pada saluran pencernaan bagian atas adalah terjadi ketidakseimbangan antara faktor agresif (asam dan pepsin) dan faktor pertahanan (defensif) dari mukosa. Berbagai kondisi dapat menyebabkan salah satu atau kedua gangguan ini. 1. FAKTOR AGRESIF Asam dan Pepsin Peranan asam dan pepsin dalam hal patogenesis ulkus peptikum telah banyak dipelajari secara intensif. Peranan faktor agresif untuk terjadinya ulkus peptikum secara jelas belum terungkap secara keseluruhan, walaupun pada penderita tukak duodenum peranan asam memegang peranan penting, mungkin dengan kombinasi faktor lain seperti meningkatnya sekresi sel parietal, meningkatnya sekresi lambung seperti gastrin, asetilkolin atau histamin. Gastrin dihasilkan pada saat ada makanan yang mengandung protein mnyentuh antrum lambung. Hal itu menyebabkan sel-sel gastrin yang ada di lambung menghasilkan gastrin. Gastrin merangsang sel mirip enterokromafin (sel ECL) untuk menghasilkan histamine. Histamine inilah yang secara langsung merangsang sel parietal untuk menghasilkan asam. Yang khas pada penderita tukak duodenum adalah peningkatan asam lambung pada keadaan basal dan meningkatnya asam lambung pada stimulasi atau lamanya peningkatan asam setelah makan. Selain itu terlihat peningkatan motilitas di samping efek pepsin dan asam empedu yang bersifat toksik pada mukosa duodenum Tukak lambung berbeda dengan tukak duodenum karena abnormalitas asam tidak begitu memegang peranan penting, barangkali mekanisme pertahanan mukosa lebih penting (faktor defensif); antara lain gangguan motilitas lambung yang menyebabkan refluks empedu dari duodenum ke lambung, perlambatan pengosongan lambung. 2. MEKANISME PERTAHANAN MUKOSA (FAKTOR DEFENSIF) Dibanding dengan faktor agresif, maka gangguan faktor pertahanan mukosa lebih penting untuk terjadinya ulkus peptikum. Epitel saluran pencernaan mempertahankan integritasnya melalui beberapa

10 cara, antara lain sitoproteksi seperti pembentukan dan sekresi mukus, sekresi bikarbonat dan aliran darah. Di samping itu ada beberapa mekanisme protektif di dalam mukosa epitel sendiri antara lain pembatasan dan mekanisme difusi balik ion hidrogen melalui epitel, netralisasi asam oleh bikarbonat dan proses regenerasi epitel. Semua faktor tadi mempertahankan integritas jaringan mukosa saluran cerna; berkurangnya mukosa yang disebabkan oleh satu atau beberapa faktor mekanisme pertahanan mukosa akan menyebabkan timbulnya ulkus peptikum. Jadi terlihat bahwa untuk terjadinya ulkus peptikum selain adanya faktor agresif (asam dan pepsin), yang lebih penting adalah integritas faktor pertahanan mukosa (defensif) saluran cerna; jika ini terganggu timbul ulkus peptikum. a. Pembentukan dan Sekresi Mukus Mukus menutupi lumen saluran pencemaan yang berfungsi sebagai proteksi mukosa. Fungsi mukus sebagai proteksi mukosa : a. Pelicin yang menghambat kerusakan mekanis (cairan dan benda keras). b. Barier terhadap asam. c. Barier terhadap enzim proteolitik (pepsin). d. Pertahanan terhadap organisme patogen. Fungsi mukus selain sebagai pelicin, tetapi juga sebagai netralisasi difusi kembali ion hidrogen dari lumen saluran pencernaan. Penurunan produksi mukus di duodenum juga dapat terjadi akibat penghambatan kelenjar penghasil mukus di duodenum yang disebut kelenjar brunner. Aktivitas kelenjar brunner ini dihambat dihambat oleh stimulasi simpatis. Stimulasi simpatis meningkat pada keadaan stres kronis sehingga terdapat hubungan antara stres kronis dan pembentukan ulkus. b. Sekresi Bikarbonat Tempat terjadinya sistim bufer asam di lambung dan duodenum masih kontroversial, menurut pandangan sebelum-nya netralisasi asam oleh bikarbonat terjadi di mukus dan bikarbonat berasal dari sel epitel yang disekresi secara transport aktif . Pandangan lain adalah bahwa efek sitoprotektif bikarbonat terjadi pada permukaan membran epitel. c. Aliran Darah Mukosa Kebanyakan ulkus terjadi jika sel-sel mukosa usus tidak menghasilkan produksi mukus yg adekuat sebagai perlindungan terhadap asam lambung. Penyebab penurunan produksi mukus dapat termasuk segala hal yang menurunkan aliran darah ke usus. Aliran darah ke saluran pencernaan menjaga integritas mukosa lambung dengan cara menyediakan glukosa dan oksigen secara terus menerus dan aliran darah mukosa mempertahankan mukosa lambung melalui oksigenasi jaringan yang memadai dan sebagai sumber energi. Penurunan aliran darah ke saluran pencernaan menyebabkan hipoksia lapisan

11 mukosa dan cedera atau kematian sel-sel penghasil mukus. Ulkus jenis ini disebut ulkus iskemik. Penurunan aliran darah terjadi pada semua jenis syok. Jenis khusus ulkus iskemik yang timbul karena luka bakar yang parah disebut ulkus curling. Selain itu fungsi aliran darah mukosa adalah untuk membuang atau sebagai bufer difusi kembali dari asam. d. Mekanisme Permeabilitas Ion Hidrogen Proteksi untuk mencapai mukosa dan jaringan yang lebih dalam diperoleh dari resistensi elektris dan permeabilitas ion yang selektif pada mukosa. Pada binatang percobaan terlihat esofagus dan fundus lambung kurang permeabilitasnya dibanding dengan antrum lambung dan duodenum. Pergerakan ion hidrogen antar epitel dipengaruhi elektrisitas negatif pada lumen; kation polivalen (Ca++ Mg++ dan Al+ +) dapat menutupi tekanan elektris negatif dari ion hidrogen sehingga mempunyai efek pada pengobatan ulkus peptikum. e. Regenerasi Epitel Mekanisme proteksi terakhir pada saluran cerna adalah proses regenerasi sel (penggantian sel epitel mukosa kurang dari 48 jam). Kerusakan sedikit pada mukosa (gastritis/duodenitis) dapat diperbaiki dengan mempercepat penggantian sel-sel yang rusak. Respons kerusakan mukosa (ulserasi) pada manusia belum jelas. 3. PERANAN PROSTAGLANDIN

Penggunaan beberapa obat terutama obat anti-inflamasi non-steroid(NSAID) juga dihubungkan dengan peningkatan risiko berkembangnya ulkus. Obat-obatan seperti aspirin dan NSAID menghambat sintesis prostaglandin pada mukosa. Prostaglandin mempunyai peranan penting untuk mempertahankan mukosa saluran cerna terhadap pengaruh sekitarnya. Banyak zat iritan yang didapatkan pada mukosa saluran cerna yang merusak epitel bila sekresi prostaglandin terganggu. Prostaglandin seri A dan E telah diketahui sejak 1967 menghambat sekresi asam lambung dan dapat mencegah ulkus peptikum; prostaglandin pada binatang dan manusia juga meningkatkan sekresi mukus. Prostaglandin telah diyakini mempertahankan integritas saluran cema dengan cara regulasi sekresi asam lambung, sekresi mukus, bikarbonat dan aliran darah mukosa.
Mekanisme Anti Ulkus Peptikum Dari Prostaglandin a. Sitoprotektif : Sekresi mukus. Sekresi bikarbonat. Aliran darah lambung. b. Inhibisi sekresi asam.

12 Pada penelitian ternyata sekresi bikarbonat meningkat setelah pemberian PGE2 . Prostaglandin E merupakan vasodilator yang poten. Selain mempunyai sifat sitoprotektif, PGE 1 dan PGE 2 mempunyai efek menghambat sekresi lambung . Dari penelitian klinis dengan berbagai macam sitoprotektif terlihat bahwa prostaglandin E sangat berfaedah mencegah efek toksik obat antiinflamasi non-steroid (menghambat sintesa prostaglandin) atau alkohol. Pada suatu penelitian didapatkan aktivitas sintesa prostaglandin pada mukosa bulbus duodenum selama puasa lebih tinggi pada penderita tukak duodenum dari kontrol. Hasil rasio total prostaglandin setelah makan dan sebelum makan lebih rendah pada penderita tukak duodenum dari pada penderita normal . Pada suatu penelitian penderita dengan tukak lambung dan orang normal kadar prostaglandin jaringan di daerah antrum dan korpus lambung pada tukak lambung didapatkan lebih rendah dari orang normal. Sedangkan pada tukak lambung yang menyembuh didapatkan kadar prostaglandin jaringan lebih tinggi dari yang tidak sembuh. 4. FAKTOR KONTRIBUSI/PREDISPOSISI Faktor kontribusi/predisposisi antara lain letak geografis, jenis kelamin, faktor psikosomatik, herediter, merokok, obat dan faktor lainnya. Letak geografis mempengaruhi adanya ulkus peptikum dan mengenai jenis kelamin didapatkan pria lebih banyak pada ulkus peptikum. Faktor psikosomatik sangat mempengaruhi timbulnya suatu ulkus peptikum dan secara umum dipercaya bahwa konflik dapat memegang peranan untuk timbulnya ulkus peptikum pada pcnderita yang mempunyai faktor predisposisi. Faktor herediter: ulkus peptikum lebih sering terjadi 23 kali dari keluarganya yang mendapat ulkus peptikum dibanding dari populasi normal. Pada golongan darah O didapatkan 3040% lebih sering dari golongan darah lainnya dan tukak peptiknya lebih sering di duodenum. Pengaruh merokok terlihat pada penelitian epidemiologik; perokok lebih sering menderita ulkus peptikum (pria : wanita berbanding 2,6 : 1,6) dan juga memperpendek residif. Obat-obat yang mempengaruhi timbulnya ulkus peptikum antara lain aspirin yang diketahui menghambat sintesis prostaglandin. Selain itu obat anti inflamasi non-steroid juga dapat merusak mukosa dan menghambat sekresi prostaglandin. Sekarang tidak terbukti bahwa terdapat hubungan antara infeksi Campylobacter (Helicobacter pylori) dengan gastritis dan ulkus peptikum. GEJALA KLINIS Gejala klinis utama peptic ulcer adalah nyeri epigastrium. Nyeri biasanya timbul 2 sampai 3 jam setelah makan atau pada malam hari sewaktu lambung kosong, timbul keluhan perut rasa penuh dan bertambah berat setelah makan. Bisanya rasa mual bertambah berat dan diikuti dengan muntah-muntah. Yang dimuntahkan adalah yang dimakan tadi, diikuti dengan sisa-sisa makanan yang berwarna hitam. Serangan nyeri hebat mungkin timbul dengan periode peristaltik lambung. Bilamana penderita tidak segera minta tolong, maka lambung makin membesar, lama kelamaan nyeripun berkurang, tetapi rasa

13 penuh di perut tetap ada yang disertai dengan rasa mual, dan muntah-muntah pun berkurang. Berat badan penderita menurun, demikian pula bertambah lemah, yang juga timbul konstipasi. Penderita tukak peptik sering mengeluh mual, muntah dan regurgitasi. Timbulnya muntah terutama pada tukak yang masih aktif, sering dijumpai pada penderita tukak lambung daripada tukak duodenum, terutama yang letaknya di antrum atau pilorus. Rasa mual disertai di pilorus atau duodenum. Keluhan lain yaitu nafsu makan menurun, perut kembung, perut merasa selalu penuh atau lekas kenyang, timbulnya konstipasi sebagai akibat instabilitas neromuskuler dari kolon. Secara umum pasien tukak gaster mengeluh dispepsia. Dispepsia adalah suatu sindrom atau kumpulan keluhan beberapa penyakit saluran cerna seperti, mual, muntah, kembung, nyeri ulu hati, sendawa atau terapan, rasa terbakar, rasa penuh ulu hati, dan cepat merasa kenyang.

Gambaran Klinis Petic Ulser 3.1.4. Manifestasi Gastritis dan Peptic Ulser di Rongga Mulut Perdarahan kronis dapat menimbulkan ulserasi oral yang berulang, glositis atau chelitis yang diakibatkan oleh anemia (kekurangan zat besi). 3.2. Collitis ulseratif Collitis ulseratif adalah penyakit kronis dimana usus besar atau kolon mengalami inflamasi dan ulserasi menghasilkan keadaan diare berdarah, nyeri perut, dan demam. Ulseratif colitis adalah penyakit ulseroinflamatorik yang terbatas dikolon dan mengenai hanya mukosa dan sub mukosa kecuali pada kasus yang sangat parah. Pada ulseratif colitis tidak ditemui pembentukan granuloma yang sempurna. Ulseratif colitis berawal di rektum dan meluas perkontinuatum ke proksimal kadang mengenai seluruh kolon. Collitis ulseratif dikarakteristikkan dengan eksaserbasi dan remisi yang intermiten dari gejala. Serangan pertama dari penyakit ini masih mempunyai diagnosis banding yang luas sehingga untuk menegakkan diagnosisnya dilakukan dengan penapisan berbagai penyebab lain (terutama penyebab infeksi) dan dengan pemeriksaan sigmoidoskopi atau kolonoskopi dengan biopsi. Serangan pertama

14 collitis ulseratif mempunyai gejala prodromal yang lebih lama daripada penyakit infeksi akut. Bukti pendukung diagnosis collitis ulseratif adalah ketidakterlibatan usus kecil. ETIOLOGI Penyebab pasti dari penyakit ini masih belum juga diketahui. Teori tentang apa penyebab collitis ulseratif sangat banyak, tetapi tidak satupun dapat membuktikan secara pas. Penelitian-penelitian telah dilakukan dan membuktikan adanya kemungkinan lebih dari satu penyebab dan efek kumulasi dari penyebab tersebut adalah akar dari keadaan patologis. Penyebabnya meliputi herediter, faktor genetik, faktor lingkungan, atau gangguan sistem imun. Secara garis besar dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu :

A) Faktor ekstrinsik
1. Diet : asupan makanan cepat saji dan gula telah dihubungkan pada banyak

penelitian dengan kemungkinan menderita collitis ulseratif.


2. Infeksi : beberapa peneliti menyatakan bahwa collitis ulseratif dapat berhubungan

dengan beberapa infeksi saluran cerna yang disebabkan oleh mikroorganisme E. Coli. Satu teori menjelaskan bahwa virus measles yang belum dibersihkan dari tubuh dengan tuntas dapat menyebabkan inflamasi kronik ringan dari mukosa usus.
3. Obat-obatan : penelitian juga menunjukkan hubungan antara asupan oral pil

kontrasepsi dan collitis ulseratif dapat menyebabkan pasien menderita serangan apalagi jika mengkonsumsi antibiotik dan NSAIDs.
B) Faktor intrinsik 1. Gangguan sistem imun: beberapa ahli percaya bahwa adanya defek pada sistem imun

seseorang berperan dalam terjadinya inflamasi dinding usus. Gangguan ini ada 2 jenis: a. Alergi: beberapa penelitian menunjukan bahwa collitis ulseratif adalah bentuk respon alergi terhadap makanan atau adanya mikroorganisme di usus.

15

b. Autoimun: penelitian terbaru menunjukkan bahwa collitis ulseatif dapat merupakan suatu bentuk penyakit autoimun dimana sistem pertahanan tubuh menyerang organ dan jaringan tubuh sendiri. Diantaranya adalah usus besar.
2. Genetik: penelitian terbaru menujukkan bahwa faktor genetik dapat meningkatkan

kecenderungan untuk menderita collitis ulseratif.


3. Faktor herediter: adanya anggota keluarga yang menderita collitis ulseratif akan

meningkatkan resiko anggota keluarga lain untuk menderita penyakit serupa.


4. Psikosomatik: pikiran berperan penting dalam menjaga kondisi sehat atau sakit dari

tubuh. Setiap stres emosional mempunyai efek yang merugikan sistem imun sehingga dapat menyebabkan penyakit kronik seperti collitis ulseratif. Terdapat fakta bahwa banyak pasien collitis ulseratif mengalami situasi stres berat di kehidupannya. PATOFISIOLOGI Collitis ulseratif merupakan penyakit primer yang didapatkan pada kolon, yang merupakan perluasan dari rektum. Kelainan pada rektum yang menyebar kebagian kolon yang lain dengan gambaran mukosa yang normal tidak dijumpai. Kelainan ini akan behenti pada daerah ileosekal, namun pada keadaan yang berat kelainan dapat tejadi pada ileum terminalis dan appendiks. Pada daerah ileosekal akan terjadi kerusakan sfingter dan terjadi inkompetensi. Panjang kolon akan menjadi 2/3 normal, pemendekan ini disebakan terjadinya kelainan muskkuler terutama pada koln distaldan rektum. Terjadinya striktur tidak selalu didaptkan pada penyakit ini, melaikan dapat terjadi hipertrofi lokal lapisan muskularis yang akan berakibat stenosis yang reversible. Lesi patologik awal hanya terbatas pada lapisan mukosa, berupa pembentukan abses pada kriptus, yang jelas berbeda dengan lesi pada penyakit crohn yang menyerang seluruh tebal dinding usus. Pada permulaan penyakit, timbul edema dan kongesti mukosa. Edema dapat menyebabkan kerapuhan hebat sehingga terjadi perdarahan pada trauma yang hanya ringan, seperti gesekan ringan pada permukaan. Pada stadium penyakit yang lebih lanjut, abses kriptus pecah menembus dinding kriptus dan menyear dalam lapisan submukosa, menimbulkan terowongan dalam mukosa. Mukosa

16

kemudian terlepas menyisakan daerah yang tidak bermukosa (tukak). Tukak mula- mula tersebar dan dangkal, tetapi pada stadium yang lebih lanjut, permukaan mukosa yang hilang menjadi lebih luas sekali sehingga menyebabkan banyak kehilangan jaringan, protein dan darah. GEJALA KLINIS
Perdarahan pada saluran cerna bagian bawah Serangan diarhea mukoid berdarah yang menetap selama beberapa hari, minggu dan bulan kemudian mereda (kronis recurent) Onset perlahan berupa kram perut, nyeri kolik abdomen bawah yang hilang setelah buang air besar. Penurunan berat badan Gangguan keseimbangan cairan elektrolit Demam hilang timbul Nyeri tekan perut bagian bawah kiri

Tanda utama ialah perdarahan dari rektum dan diare bercampur darah, nanah, dan lendir. Biasanya disertai tenesmus dan kadang inkontinensia alvi. Biasanya penderita mengalami demam, mual, muntah, dan penurunan berat badan. Terdapat tiga tipe klinis collitis ulseratif yang sering terjadi, yang dikaitkan dengan seringnya gejala. Collitis ulseratif akut fulminan ditandai dengan awitan mendadak dan disertai pembentukan terowongan dan pengelupasan mukosa, menyebabkan keilangan banyak darah dan mukus. Jenis collitis ini terjadi pada sekitar 10% penderita. Prognosisnya jelek dan sering terjadi komplikasi megakolon toksik. Sebagian besar penderita collitis ulseratif merupakan jenis yang intermiten (rekuren). Timbulnya kecenderungan selama berbulan-bulan sampai bertahun-tahun. Bentuk ringan penyakit ditandai oleh serangan singkat yang terjadi dengan interval berbulan-bulan sampai bertahun-tahun dan berlangsung selama 1-3 bulan. Mungkin hanya terdapat sedikit atau tidak ada demam atau gejala-gejala konstitusional, dan biasanya hanya kolon bagian distal yang terkena. Demam atau gejala sistemik dapat timbul pada bentuk yang lebih berat dan serangan dapat erlangsung selama 3-4 bulan, kadang- kadang digolongkan sebagai tipe kronik kontinyu,

17

penderita dibandingan dengan tipe intermiten, kolon yang terkena cenderung lebih luas dan lebih sering terjadi komplikasi terus menerus diare setelah serangan permulaan. Pada collitis ulseratif ringan, diare mungkin ringan dengan perdarahan ringan dan intermitten. Pada penyakit yang berat defekasi dapat lebih dari 6 kali seharidisertai banyak darah dan mukus. Kehilangan banyak darah dan mukus yang kronik dapat mengakibatkan anemia dan hipoproteinemia. Nyeri kolik hebat ditemukan pada abdomen bagian bawah dan sedikit mereda setelah defekasi. Sangat sedikit kematian yang disebabkan penyakit ini tapi dapat menimbulkan cacat ringan atau berat. GAMBARAN COLLITIS ULSERATIF Pada rektosigmoidoskopi akan tampak gambaran radang, dan pemeriksaan laboratorium di dapat adanya anemia, leukositosis, dan peninggian laju endap darah. Pemeriksaan pencitraan kolon dapat terlihat kelainan mukosa dan hilangnya haustra. Pemeriksaan radiologi dengan barium pada kolon membantu menentukan luas perubahan pada kolon yang lebih proksimal, tetapi sebaiknya tidak dilakukan pada saat terjadi serangan akut, karena dapat mempercepat terjadinya megakolontoksik dan perforasi. Kolonoskopi dan biopsi dapat seringkali membantu membedakan collitis ulseratif dan kolitis granulomatosa. Biopsi mukosa untuk tingkat berat ringannya kelainan, menyingkirkan adnya lesi lain dan deteksi terhadap karsinoma, menilai hasil pengobatan serta dalam rangka penelitian terhadap penyakit ini. Kolonoskopi dilakukan dengan hati- hati karena dinding kolon sangat tipis.
Radiologi : Inflamasi di mulai dari rektum atau inflamasi berheni di daerah ileosekal. Pada stadium aktif tampak : oedema, ulerasi collar button, gangguan motilitas berupa spasme dan iritabilitas

18 Gambaran Collitis Ulseratif

HPA Collitis Ulseratif MANIFESTASI DI RONGGA MULUT

Manifestasi oral yang paling umum dan terjadi pada 4% sampai 20% penderita collitis ulseratif adalah aphtous stomatitis.

Manifestasi collitis ulseratif di rongga mulut 3.3. Hepatitis Hepatitis merupakan peradangan hati dimana inflamasi terjadi pada sel-sel hati atau hepatosit. Hepatitis dapat terjadi dengan atau tanpa gejala. Hepatitis akut terjadi kurang dari enam bulan dan kronis ketika berlangsung lebih lama. Penyebab terbanyak dari hepatitis di seluruh dunia adalah virus hepatitis.

19

ETIOLOGI Etiologi dari hepatitis, antara lain: Virus : o o o o o o virus hepatitis A, B, C, D, E, G, TT herpes simplex virus (HSV) cytomegalovirus (CMV) virus eipstein-barr adenovirus toxoplasma

Alkohol Penyakit autoimun Obat-obatan, seperti parasetamol, amoksisilin, obat-obatan antituberkulosis, mynocicline,

ketoconazole, dan lain-lain. Pada kasus hepatitis akut, gejala klinisnya biasanya seperti gejala flu yaitu malaise, nyeri pada otot dan sendi, demam, mual, muntah, sakit kepala,nyeri pada ulu hati, dan nafsu makan menurun, serta warna urine gelap dan disertai ikterus pada kulit dan sklera mata. Sedangkan pada hepatitis kronis, lebih membahayakan karena biasanya asimptomatis, lemah, dan lesu.

20

Gambaran Klinis Hepatitis

Urin Penderita hepatitis 3.3.1. Hepatitis Virus Sifat umum virus hepatitis :

21 VIRUS FAMILI GENUS HEPATITIS A Picornaviridae Heparnavirus VIRION SELUBUNG GENOM STABILITAS PENULARAN Ikosa-hedral tidak RNA Tahan panas dan asam Tinja, oral HEPATITIS B Hepadnaviridae Orthohepadna virus Sferik Ada DNA Sensitive asam parenteral Sferik ada RNA Sensitive eter parenteral Sferik ada RNA Sensitive asam parenteral HEPATITIS C Flavi-viridae Hep-c-virus HEPATITIS D Tidak ada Delta virus HEPATITIS E Kalisi-viridae Herpes virus (picorna virus) Ikosa-hedral Tidak RNA Tahan panas Tinja, oral

Virus hepatitis adalah virus yang dapat menyebabkan infeksi pada organ hati. Hingga saat ini telah dikenal delapan jenis virus hepatitis, yaitu : 1. Virus hepatitis A (HAV)

22 Hepatitis A disebabkan oleh virus HAV (Hepatitis A Virus). Virus ini adalah RNA virus yang diklasifikasikan dalam keluarga picornaviridae dan genus hepatovirus. HAV berdiameter 27-32 nm dengan simetri kubus, mengandung genom RNA untai tunggal yang lurus berukuran 7,5 kb.

JALUR TRANSMISI Virus hepatitis A (HAV) jalur transmisinya melelui rute fekal-oral. HAV dikeluarkan oleh tubuh lewat tinja atau feces. Transmisi virus hepatitis A dapat terjadi dengan berbagai cara sebagai berikut: Kontak dengan virus dalam tinja. Cara ini merupakan cara transmisi HAV yang tersering. Makanan dan air Dengan pemeriksaan PCR, HAV RNA dalam tinja masih dapat dideteksi sampai 3-6 bulan,. Makanan dan air merupakan bahan untuk transmisi selain kontak erat individu, seperti memakan kerang mentah, kontaminasi susu dengan air pencuci container, juru masak yang menderita hepatitis A yang dapat menjadi sumber infeksi, dan lain-lain.

PATOGENESIS HAV menempel pada reseptor permukaan sitoplasma hepatosit RNA virus masuk dan disaat yang sama kapsid virus yang diluar hilang

23 RNA virus dalam sel melakukan translasi menghasilkan kapsid baru dan protein prekusor untuk replikasi DNA sel inang DNA sel inang yang sudah ditempeli protein prekusor bereplikasi membentuk DNA virus baru DNA virus baru dirakitkan dengan kapsid yang sudah terbentuk tadi Terbentuklah virion baru Virus yang sudah matang keluar dan mengakibatkan sel lisis oleh sel fagosit GEJALA KLINIS Pada virus hepatitis A (HAV), menyebabkan penyakit hepatitis akut. Hepatitis A akut terbagi menjadi empat fase klinis, yaitu: Fase praklinis atau masa inkubasi (10-50 hari). Pada fase ini belum ada gejala yang Fase praikterik atau prodormal (beberapa hari - > 1 minggu). Pada fase ini muncul gejala tampak. seperti flu, antara lain mual, muntah, demam, sakit kepala, anoreksia, sakit pada ulu hati, dan lelah. Fase ikterik (10 hari setelah gejala awal). Pada fase ini penyakit kuning berkembang Fase penyembuhan. Pada fase ini pemulihan pasien lancer dan lengkap. dikulit ataupun di sclera mata dan terjadi peningkatan bilirubin total > 20-40 mg/L.

PEMERIKSAAN PENUNJANG Tes serologi, ditemukan anti- HAV IgM dalam serum, sel darah putih turun, SGOT, Tes feces, ditemukan HAV atupun antigennya dalam tinja. Tes RIA dan EIA, tes untuk anti-HAV IgM atau total (anti HAV IgM-IgG) untuk SGPT, bilirubin, dan kadar interferon tinggi.

penilaian terhadap kekebalan HAV. 2. Virus hepatitis B (HBV) Hepatitis B disebabkan oleh virus HBV (Hepatitis B Virus). Virus ini adalah DNA virus yang diklasifikasikan dalam keluarga hepadnavirus. HAV berdiameter 42 nm dan bentuknya pleomorfik. Virion terdiri dari lipid di bagian luar dan 27 nm protein icosahedral nukleokapsid

24 (HBcAg). Nukleokapsid ini membungkus DNA virus. Pada pembungkus luar mengandung protein dan lemak yang merupakan bagian dari permukaan virion, yang disebut antigen permukaan ( HBsAg ).

JALUR TRANSMISI Virus hepatitis B (HBV) jalur transmisinya melalui darah atau cairan tubuh yang mengandung darah. Kemungkinan bentuk penularan termasuk kontak seksual , transfusi darah , penggunaan jarum suntik bergantian, dan penularan vertikal dari ibu ke anak saat melahirkan. PATOGENESIS HBV menempel pada reseptor permukaan hepatosit HBV mengikat sel inang dengan tekanan antigen virus permukaan (HBsAg) DNA partikel masuk dalam hepatosit dengan endositosis Terjadi proses replikasi virus, membentuk DNA baru, partikel HbsAg dan partikel HBeAg Terbentuklah virion baru Selama infeksi, respon imun host menyebabkan kerusakan hepatosit dan pemberantasan virus Sitotoksik T limfosit (CTLs) menghilangkan infeksi HBV dengan membunuh sel yang terinfeksi dan memproduksi sitokin sebagai antivirus

25 GEJALA KLINIS Pada virus hepatitis B (HBV), biasanya menjadi hepatitis kronis karena HBV masih ada dalam darah selama lebih dari tiga bulan. Infeksi akut gejalanya diawali mirip dengan gejala flu, kehilangan nafsu makan, mual, muntah, nyeri tubuh, demam ringan, urin gelap, dan kemudian berkembang menjadi pengembangan penyakit kuning . Infeksi kronis dapat bergejala atau tidak. Biasanya mengarah ke sirosis hati selama beberapa tahun. PEMERIKSAAN PENUNJANG Tes serologi, ditemukan antigen HBsAg dalam serum dan SGOT-SGPT-bilirubin tinggi.

3. Virus hepatitis C (HCV) Hepatitis C disebabkan oleh virus HCV (Hepatitis C Virus). Virus ini adalah RNA virus yang diklasifikasikan dalam keluarga Flaviviridae dan genuds hepacivirus. HCV berdiameter 50 nm.

JALUR TRANSMISI Virus hepatitis C (HCV) jalur transmisinya melalui darah atau cairan tubuh yang mengandung darah. Kemungkinan bentuk penularan termasuk penggunaan jarum suntik bergantian, transfusi darah, transplantasi organ, peralatan medis yang tidak steril, pekerjaan seperti dokter gigi sangat beresiko terinfeksi HCV, tato atau tindik tubuh, dan penggunaan barang pribadi bersama seperti pisau cukur. HCV tidak menyebar melalui kontak biasa, seperti memeluk, mencium atau berbagi makan, atau peralatan memasak. GEJALA KLINIS Pada infeksi akut, masa inkubasinya sekitar 6-10 minggu. Gejalanya diawali mirip dengan gejala flu, kehilangan nafsu makan, mual, muntah, nyeri tubuh, gatal, demam ringan, urin gelap, dan kemudian berkembang menjadi pengembangan penyakit kuning . Hepatitis C kronis merupakan

26 infeksi dengan virus hepatitis C yang berlangsung lebih dari enam bulan. Seringkali tanpa gejala, dan sebagian besar ditemukan secara tidak sengaja (misalnya pemeriksaan biasa). Hepatitis C kronis dapat menyebabkan sirosis hati dan hepatocelluler carcinoma (HCC).

PEMERIKSAAN PENUNJANG Tes serologi, ditemukan anti-HCV dalam serum dan SGOT-SGPT-bilirubin tinggi. Biopsi, terdapat peningkatan peradangan dan jaringan parut.

4. Virus hepatitis D (HDV) Hepatitis D disebabkan oleh virus HDV (Hepatitis D Virus). Virus ini adalah RNA virus yang diklasifikasikan dalam genus deltavirus. HDV adalah dianggap sebagai satelit subviral karena dapat menginfeksi bila ada virus hepatitis B (HBV).

JALUR TRANSMISI Virus hepatitis D (HDV) jalur transmisinya melalui darah atau cairan tubuh yang mengandung darah. Kemungkinan bentuk penularan termasuk penggunaan jarum suntik bergantian, transfusi darah, hubungan seksual, dan juga dari ibu ke anak saat melahirkan. HDV dapat menginfeksi melalui dua jalur, yaitu: Koinfeksi, kedua virus HDV dan HBV menginfeksi secara bersamaan. Superinfeksi, HDV menginfeksi orang yang telah terinfeksi HBV (pembawa)

GEJALA KLINIS Pada infeksi akut, gejalanya diawali mirip dengan gejala flu, kehilangan nafsu makan, mual, muntah, nyeri tubuh, kelelahan, gatal, demam ringan, warna tinja-urin gelap, dan kemudian

27 berkembang menjadi pengembangan penyakit kuning . Hepatitis D kronis seringkali tanpa gejala. Terdapat tiga fase pada hepatitis D kronis, yaitu: Fase aktif awal, dengan mengaktifkan HDV replikasi dan penekanan HBV. Fase sedang, penurunan HDV dan reaktivasi HBV. Fase pengembangan ke sirosis dan hepatocellular carcinoma.

PEMERIKSAAN PENUNJANG Tes serologi, seperti tes RIA atau EIA ditemukan anti-HDV. Tes RT-PCD, ditemukan genom HDV pada serum.

5. Virus hepatitis E (HEV) Hepatitis E disebabkan oleh virus HEV (Hepatitis E Virus). Virus ini adalah RNA virus yang diklasifikasikan dalam keluarga kalisiviridae dan genus herpesvirus.

JALUR TRANSMISI Virus hepatitis E (HEV) jalur transmisinya melalui fekal-oral dan menyebar melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi. GEJALA KLINIS Gejalanya diawali mirip dengan gejala flu, kehilangan nafsu makan, mual, muntah, nyeri tubuh, kelelahan, gatal, demam ringan, warna tinja-urin gelap, dan kemudian berkembang menjadi pengembangan penyakit kuning .

28 PEMERIKSAAN PENUNJANG Tes serologi, peningkatan SGOT, SGPT, dan bilirubin.

3.3.2. Hepatitis Autoimun Hepatitis autoimun adalah suatu hepatitis yang disebabkan atau etiologinya oleh karena mekanisme autoimun. Sehingga sel imun dalam tubuh menyerang sel hepatosit dalam hepar. Hepatitis autoimun adalah suatu hepatitis kronik yang gambaran histologiknya mungkin tidak dapat dibedakan dengan gambaran hepatitis virus kronik. Perjalanan penyakit ini dapat indolen maupun parah. Gambaran penting antara lain sebagai berikut :

1.

Predominansi wanita (78%), terutama wanita muda dan perimenapouse.

Insidens per tahun paling tinggi pada orang kulit putih Eropa Utara sebesar 1,9 per 100.000, tetapi semua kelompok etnik dapat terkena. 2. 3. 4. Tidak adanya marker serologic virus. Meningkatkan kadar IgG dan y-globulin serum (>1,5 kali normal) Tingginya titer autoantibodi serum pada 80% kasus, termasuk antibody

antinukleus (ANA), anti-otot polos (antismooth muscle, SMA), dan /anti mikrosom hati/ginjal (anti-LKM1). 5. Tidak adanya antibody antimitokondria (AMA).

Bentuk-bentuk penyakit autoimun lain terdapat hampir pada 60% pasien hepatitis autoimun, seperti artritis rheumatoid, tiroidis, sindrom Sjogren, dan collitis ulseratif. Telah diketahui beberapa subkelompok hepatitis autoimun, tipe yang tersering, tipe 1, memperlihatkan penanda ANA dan/atau SMA dalam serumnya. Subkelompok 2 pada pasien yang lebih muda, memperlihatkan antibody terhadap mikrosom hati/ginjal (anti-LKM1). Subklasifikasi semacam ini saat ini belum diketahui maknanya karena tidak ada perbedaan etiologi atau perbedaan respons terhadap terapi. Pada hepatitis autoimun, keseluruhan spektrum hostologik hepatitis kronik dapat ditemukan , berupa infiltrat limfosit dan sel plasma yang mencolok (infiltrate sel plasma yang mencolok umumnya tidak dijumpai pada bentuk hepatitis kronik lain). Gamabaran klinis hepatitis autoimun serupa dengan bentuk lain hepatitis kronik, dan bahkan dapat berkembang menjadi sirosis tanpa diagnosis klinis. Namun, pasien yang memperlihatkan gejala umumnya mengalami kerusakan hati dan pembentukan jaringan parut yang substansial saat didiagnosis. Hepatitis autoimun dapat memperlihatkan gambaran atipikal berupa gejala yang mencerminkan kelainan system organ lain

29 sehingga mempersulit penegakan diagnosa. Penyakit ini biasanya akan memperlihatkan gejala akut (40%) dan bias saja terjadi kelainan fuminan berupa awitan enselofati hepatica setelah 8 minggu masa sakit. Pada sejumlah kecil pasien, hepatitis autoimun (berdasarkan kriteria klinis) memperlihartkan kerusakan saluran empedu (kolangitis autoimun) sehingga sulit untk membedakannya dari sirosis biliaris primer atau kolangitis sklerotikans primer. Pada penyakit berat yang tidak ditangani, hampir 40% pasien meninggal dalam 6 bulan setelah didiagnosis, dan sirosis terjadi setidaknya pada 40% pasien yang masih bertahan hidup. Penyakit yang ebih ringan mempunyai prognosis yang lebih baik. Penyakit ini berespons terhadap terapi imunosupresif, dan pada penyakit berat, transplantasi hati memberikan prognosis yang sangat baik. 3.3.3. Tes Faal Hati Karena faal hati dalam tubuh mempunyai multifungsi maka tes faal hatipun beraneka ragam sesuai dengan apa yang hendak kita nilai. Untuk fungsi sintesis seperti protein, zat pembekuan darah dan lemak biasanya diperiksa albumin, masa protrombin dan cholesterol. Fungsi ekskresi/transportasi, diperiksa bilirubin, alkali fosfatase. -GT. Kerusakan sel hati atau jaringan hati, diperiksa SGOT(AST), SGPT(ALT). Adanya pertumbuhan sel hati yang muda (karsinoma sel hati), alfa feto protein. Kontak dengan virus hepatitis B yaitu; HBsAg, AntiHBs, HBeAg, anti HBe, Anti HBc, HBVDNA, dan virus hepatitis C yaitu; anti HCV, HCV RNA, genotype HCV. Macam tes faal hati: 1. Integritas Sel Enzim-enzim AST, ALT & GLDH akan meningkat bila terjadi kerusakan sel hati. Biasanya peningkatan ALT lebih tinggi dari pada AST pada kerusakan hati yang akut, mengingat ALT merupakan enzim yang hanya terdapat dalam sitoplasma sel hati (unilokuler). Sebaliknya AST yang terdapat baik dalam sitoplasma maupun mitochondria (bilokuler) akan meningkat lebih tinggi daripada ALT pada kerusakan hati yang lebihdalam dari sitoplasma sel. Keadaan ini ditemukan pada kerusakan sel hati yang menahun. Adanya perbedaan peningkatan enzim AST dan ALT pada penyakit hati ini mendorong para peneliti untuk menyelidiki ratio AST & ALT ini. De Ritiset al mendapatkan ratio AST/ALT =0,7 sebagai batas penyakit hati akut dan kronis. Ratio ini yang terkenal dengan nama ratio De Ritis memberikan hasil 0,7 pada penyakit hati kronis. Batas 0,7 ini dipakai apabila pemeriksaan enzim-enzim tersebut dilakukan secara optimized, sedangkan apabila pemeriksaan dilakukan dengan cara kolorimetrik batas ini adalah 1. Istilah "optimized" yang dipakai perkumpulan ahli kimia di Jerman ini mengandung arti bahwa cara pemeriksaan ini telah distandardisasi secara optimum baik substrat, koenzim maupun lingkungannya. Enzim GLDH bersifat

30 unikoluker dan terletak di dalam mitochondria. Enzim ini peka dan karena itu baik untuk deteksi dini dari kerusakan sel hati terutama yang disebabkan oleh alkohol, selain itu juga berguna untuk diagnosa banding ikterus. Perlu diketahui bahwa cortison dan sulfonil urea pada dosis terapi dapat menurunkan kadar GLDH. Pemeriksaan enzim LDH total akan lebih bermakna apabila dapat dilakukan pemeriksaan isoenzimnya yaitu LDH. Dalam hubungannya dengan metabolisme besi, sel hati membentuk transferin sebagai pengangkut Fe dan juga menyimpannya dalam bentuk feritin dan hemosiderin. Cu terdapat di dalam enzim seruloplasmin yang dibentuk oleh hati. Kelebihan Cu akan segera diekskeresi oleh hati. Perubahan kadar Fe dan / atau Cu pada beberapa penyakit hati. 2. Faal Metabolisme/Ekskresi Tes BSP (bromsulfonftalein), suatu zat warna, merupakan tes yang peka terhadap adanya kerusakan hati. Diukur retensinya di dalam darah beberapa waktu setelah disuntikkan intravena. Di dalam darah ia diikat oleh albumin dan di "uptake" olehsel-sel hati, dikonyugasi dan diekskresi melalui empedu. Pada penyuntikan 5 mg/kg berat badan maka setelah 45 menit retensinya kurang dari 5% pada keadaan normal. Korelasinya baik dengan kelainan histopatologik. Tes ini berguna pada hepatitis anikterus, mengetahui kerusakan setelah sembuh dari hepatitis, sirosis hati, semua tingkat hepatitis kronik, tersangka perlemakan hati dan keracunan hati. Namun tes ini kurang disenangi karena dapat timbul efek samping, walaupun jarang, yang fatal seperti renjatan anafilaktis. Akhir-akhir ini makin banyak dikerjakan pemeriksaan kadar asam empedu dalam darah. Tes ini mempunyai makna seperti tes retensi BSP dan juga amat peka terutama kadarnya 2 jam setelah makan. Kadar amonia mengukur faal detoksifikasi hati yang merubahnya menjadi ureum. Faal ini baru terganggu pada kerusakan hati berat karena itu tes ini baru berguna untuk mengikuti perkembangan sirosis hati yang tidak terkompensir atau koma hepatikum. Kadarnya juga akan meningkat bila ada shunt portokaval yang mem"by-pass" hati. Tes toleransi galaktosa menguji kemampuan faal hati mengubah galaktosa menjadi glukosa. Tes ini sudah jarang dilakukan. 3. Faal Ekskresi Pemeriksaan kadar bilirubin serum terutama panting untuk membedakan jenis-jenis ikterus. Pemeriksaan ini yang umumnya memakai metodik Jendrassik dan Grof (1938) dapat dipengaruhi oleh kerja fisik dan makanan tertentu seperti karoten, oleh karena itu pengambilan sampel sebaiknya pagi hari sesudah puasa. Pada ikterus prahepatik yang dapat disebabkan oleh proses hemolisis ataupun kelainan metabolisme seperti sindroma Dubin-Johnson, ditemukan peningkatan dari bilirubin bebas. Ikterus hepatik sebagai akibat kerusakan sel hati akan meningkatkan baik bilirubin babas maupun bilirubin (diglukuronida) dalam darah serta ditemukannya bilirubin (diglukuronida) didalam urin. Sedangkan ikterus obstruktif, baik intra maupun ekstra hepatik, akan meningkatkan terutama bilirubin diglukuronida di dalam darah dan urin. Kadar urobilinogen dalam urin akan meningkat pada ikterus

31 hepatik, sebaliknya ia akan menurun atau tidak ada sama sekali pada ikterus obstruktif sesuai dengan derajat obstruksinya. Pemeriksaan asam empedu makin banyak dipakai sebagai tes faal hati. Pemeriksaan ini dimungkinkan untuk dipakai di dalam klinik sejak ditemukannya metodik onzimatik yang relatif sederhana dibandingkan metodik-metodik sebelumnya. Dalam keadaan normal hanya sebagian kecil saja asam empedu terdapat di dalam darah sedangkan sebagian besar di uptake oleh sel hati. Pada kerusakan sel hati, hati gagal mengambil asam empedu, sehingga jumlahnya meningkat dalam darah. Pemeriksaan ini seperti pemeriksaan BSP dapat mendeteksi kelainan hati yang ri ngan disamping untuk follow up dan menguji adanya shunt port caval. 4. Faal Sintesa Albumin disintesa oleh hati. Pada gangguan faal hati kadarnya di dalam darah akan menurun. Cara pemeriksaan yang banyak dipakai sekarang adalah cara bromcresylgreen. Selain dengan cara di atas, penurunan kadar albumin juga dapat diukur secara elektroforesa dengan peralatan khusus yang lebih mahal. Selain dengan pemeriksaan albumin, pemeriksaan enzim cholinesterase(ChE) juga dipakai sebagai tolok ukur dari faal sintesa hati. Penurunan aktivitas ChE ternyata lebih spesifik dari pemeriksaan albumin, karena aktivitas ChE kurang dipengaruhi faktor-faktor di luar hati dibandingkan dengan pemeriksaan kadar albumin. Penetapan masa protrombin plasma berguna untuk menguji sintesa faktor-faktor pembekuan II, VII, IX dan X. Semua pemeriksaan tersebut lebih berguna untuk menilai atau membuat prognosa dari pada mendeteksi penyakit hati kronis. 5. Proses Reaktif Baik enzim GGT, AP, 5-NT maupun. LAP akan meningkat pada kelainan saluran empedu Enzimenzim cholestasis ini juga akan meningkat dalam kadar yang lebih rendah pada kerusakan sel parenkin hati. Pemeriksaan GGT pada saat ini merupakan pemeriksaan yang paling populer dari ketiga pemeriksaan lainnya. Peningkatan aktivitas enzim ini sering merupakan tanda pertama keracunan sel hati akibat alkohol. Disamping itu mengingat half-life nya yang panjang peningkatan enzim ini sering merupakan abnormalitas terakhir yang dijumpai pada proses penyembuhan kerusakan hati. 6. Imunologi Pemeriksaan TTT (tes turbiditas timol) merupakan salah satu tes labilitas yang telah lama dikenal (sejak 1944). Mekanisme fisikakimia dari tes ini belum jelas. Diketahui globulin akan mempermudah pembentukan presipitasi, sedangkan albumin menghambat proses ini. Disamping itu trigliserida dan khilomikron dapat menyebabkan tes TTT positip. Peningkatan dari TTT kadangkadang ditemukan sebelum terjadi kelainan pada hasil pemeriksaan elektroforesa dan albumin. Tes

32 labilitas yang lain adalah tes turbiditas zink sulfat (Kunkel), Takata Ara, dan lain-lain. Sebenarnya tes-tes labilitas ini bukan berdasarkan reaksi antigen antibodi, tetapi menggambarkan fraksi-fraksi protein. Peningkatan dari globulin yang merupakan respon imunitas ini biasanya baru ditemukan pada kerusakan hati yang kronis. Pada penyakit hati kronik biasanya ditemukan peningkatan IgG. Peningkatan IgM menyolok pada hepatitis type A, sedangkan untuk hepatitis type B yang menyolok biasanya IgG. Pemeriksaan AFP pada mulanya disangka adalah spesifik untuk karsinoma hati primer (hepatoma), namun ternyata selain selain oleh sel tumor hati, AFP juga adakalanya dibentuk oleh sel tumor pada saluran pencernaan. Denaan cara radioimmunoassay atau enzyme immunoassay kadarnya hanya 20 mg/ml dalam darah orang normal. Masih belum diketahui dengan jelas mekanisme peningkatannya pada sel-sel tumor diatas. Bila kadarnya melebihi 3000 ng/ml hampir dapat dipastikan diagnosa hepatoma. Kadar yang kurang dari itu dapat juga dijumpai pada sirosis hati, hepatitis, kehamilan trimester ketiga, teratoma, dll. Pemeriksaan AFP ini terutama dipakai untuk memonitor terapi bedah ataupun khemoterapi karsinoma hati. Ada pula beberapa antibodi yang berhubungan dengan penyakit hati. Antibodi-antibodi yang ditetapkan secara immunofluorescence ini antara lain antinuclear antibody (ANA) ditemukan pada hepatitis kronik aktif, anti micochandrial antibody (AMA) dapat ditemukan pada hepatitis kronik aktif, sirosis bilier dan cholestasis dan smooth muscle antibody (SMA) yang ditemukan pada hepatitis virus akut. Telah diketahui beberapa "seromarker" virus hepatitis A dan B. Untuk virus hepatitis A dikenl HA Ag dan anti-HA. Untuk virus hepatits B dikenal HBsAg, HBcAg, HBeAg, anti-HBc dan anti-HBe. Pertanda serologik ini bermakna untuk menentukan etiologi, mekanisme penularan, daya tular, tahap penyakit hepatitis dan penyakit hati lainnya yang berkaitan serta prognosanya. 3.3.4. Manifestasi Hepatitis di Rongga Mulut 1. Ikterus pada lidah 2. Perdarahan pada jaringan lunak mulut, terutama pada gingiva. Hal ini disebabkan karena kapiler darah yang rapuh, gangguan fungsi trombosit, dan trombositopenia, sehingga harus hati-hati dalam melakukan tindakan, karena luka yang kecil dapat menimbulkan perdarahan dan infeksi yang hebat

33

3. Lichen planus pada oral mukosa : pada hepatitis autoimun

4. Sialadenitis

5. Pembentukan batu pada saluran kelenjar saliva yang akan menimbulkan xerostomia dan halitosis. 3.4. Crohn Disease Crohn disease merupakan kelainan peradangan granulomatosis yang dapat terjadi di setiap tempat dari saluran cerna, terutama ileum. Crohn disease merupakan gangguan rekuren kronis yang penyebabnya tidak diketahui. Gambaran dari penyakit ini disebut sebagai penyakit usus meradang (Inflamatory Bowel Disease, IBD) idiopatik.

34 ETIOLOGI Usus yang normal selalu berada dalam keadaan fisiologik, yang mencerminkan keseimbangan dinamik antara (1) faktor yang mengaktifkan sistem imun pejamu, seperti mikroba di lumen, antigen makanan, dan rangsangan inflamasi endogen; dan (2) pertahanan pejamu yang menekan (down-regulate) peradangan dan mempertahankan integritas mukosa. Ketidakseimbangan yang terjadi dipengaruhi oleh:

Predisposisi genetik. Tidak diragukan lagi bahwa faktor genetik penting pada penyakit ini. Pemindaian terhadap genom pasien mengisyaratkan bahwa beberapa lokus pada kromosom 3, 7, 12, dan 16 terlibat. Yang paling menarik adalah penemuan terakhir adanya lokus IBD1 di kromosom 16. Produk gen tersebut, NOD2, mengaktifkan faktor nucleus kppa B (NFB) di makrofag sebagai respons terhadap lipopolisakarida bakteri sehingga mungkin berperan mengendalikan respons peradangan imunologik. Sesuai dengan konsep disfungsi imunologik sebagai dasar, Crohn disease dilaporkan berkaitan dengan alel spesifik kompleks histokompatibilitas mayor kelas II (MHC II).

Faktor imunologik. Semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa Crohn disease berkaitan dengan gangguan imunitas mukosa yang parah. Berbagai bentuk disregulasi imun dapat menyebabkan peradangan usus. Pada pasien Crohn disease ditemukan banyak kelainan imunologik. Walaupun baik sel T maupun sel B aktif dapat ditemukan di mukosa, tampaknya sel T lah yang merupakan kekuatan pendorong dalam Crohn disease.

Faktor mikroba. Tempat yang terkena Crohn disease (ileum distal dan kolon) penuh oleh bakteri. Meskipun tidak ada bukti bahwa penyakit ini disebabkan oleh mikroba, cukup besar kemungkinannya bahwa mikroba merupakan antigen pemicu bagi sistem imun yang secara mendasar sudah kacau. Konsep ini diperkuat oleh pengamatan bahwa pada model mencit, Crohn disease timbul apabila tedapat flora usus normal, tetapi tidak timbul pada mencit yang bebas mikroba.

PATOGENESIS

35

Secara singkat, Crohn disease adalah suatu penyakit yang ditandai dengan respons imun mukosa yang berlebihan dan destruktif. Cedera jaringan pada Crohn disease besar kemungkinannya dipicu oleh jalur genetic dan imunologik yang beragam yang dimodifikasi oleh pengaruh lingkungan, termasuk mikroba dan produknya. Peradangan adalah jalur akhir bersama pada pathogenesis Crohn disease. Baik manifestasi klinis Crohn disease maupun kelainan morfologik akhirnya merupakan hasil pengaktifan sel radang (neutrofil) pada awalnya dan selanjutnya sel mononukleus. Berbagai produk sel radang ini menyebabkan cedera jaringan nonspesifik. Peradangan menyebabkan (1) gangguan integritas sawar epitel mukosa, (2) hilangnya fungsi absorptif sel epitel permukaan, dan (3) pengaktifan sekrsesi sel kriptus. Peradangan akhirnya menyebabkan destruksi mukosa, sehingga gangguan fungsi sawar dan absorptif mukosa semakin parah. Secara kolektif, proses ini menyebabkan diare berdarah intermitten yang khas bagi menyakit ini. GEJALA KLINIS
Gejala klinis crohn disease sangat bervariasi dan sulit diperkirakan. Manifestasi utama

adalah serangan berulang diare, kram abdomen, dan demam yang berlangsung beberapa hari sampai minggu. Manifestasi ini biasanya muncul secara perlahan, tetapi pada beberapa kasus, terutama pada usia muda, onset nyeri sedemikian mendadak sementara diarenya sedemikian ringan sehingga dilakukan eksplorasi abdomen dengan diagnosis apendiksitis. Melena ditemukan pada sekitar 50% kasus yang melibatkan kolon; melena ini biasanya ringan tetapi kadang-kadang masif. Pada sebagian pasien setelah serangan awal, manifestasi mereda sendiri atau setelah pengobatan, tetapi hal ini biasanya diikuti oleh kekambuhan, dan interval sementara serangan berikutnya semakin singkat. GAMBARAN CROHN DISEASE Crohn disease pada kolon memperlihatkan (1) sebuah fisura dalam yang meluas hingga ke dinding otot, (2) mukosa memperlihatkan gambaran peradangan dengan infiltrasi neutrofil ke dalam lapisan epitel dan akumulasi di dalam kriptus untuk membentuk abses kriptus, dimana perluasan fisura dapat menyebabkan terbentuknya fistula atau saluran sinus, (3) ulserasi/ ulkus (merupakan hasil akhir penyakit aktif) yang dangkal dengan mukosa di antaranya yang relatif utuh, (4) terdapat banyak agregat limfosit, (5) kerusakan mukosa

36

kronis dalam bentuk distorsi arsitektur, atrofi, dan metaplasia (termasuk metaplasia lambung rudimenter di usus).
Pada segmen yang sakit, serosa menjadi granular dan berwarna abu-abu suram serta mesentrium sering membungkus permukaan usus (crepeing fat). Dinding usus seperti karet dan tebal, akibat edema, peradangan, fibrosis, dan hipertrofi muskularis propria. Akibatnya, lumen hampir selalau menyempit. Di usus halus, hal ini secara radiografis muncul sebagai string sign, arus sempit barium yang melewati segmen yang sakit. Struktur dapat terjadi di kolon tapi biasanya tidak terlalu parah. Gambaran klasik Crohn disease adalah batas yang tegas antara segmen yang sakit dengan bagian usus yang sehat. Apabila banyak segmen yang terkena, usus diantaranya pada dasarnya normal (skip lessions).

Gambaran Klinis Crohn Disease

37

HPA Crohn Disease

MANIFESTASI DI RONGGA MULUT


1. 2. 3. ulserasi 4. 5. Bibir tampak membengkak secara difus dan mengalami indurasi Menunjukkan adanya ulserasi pada mukosa mulut yang khas yang sering disebut dengan Stomatitis Aptousa Rekuren terjadi pada 20% kasus. Mukosa pipi yang menunjukkan pola sepeti batu bulat-bulat dan penebalan edematus Vestibulum menunjukkan lipatan linier hiperplastik yang kadang-kadang mengalami

cobblestone nodulary yang terjadi pada mukosa dengan tepi mengalami hiperplastik dan keilitis granulomatosa. 6. 7. 8. Angular chelitis Gingivitis menyeluruh Pembengkakan pada limfonodi

Biopsi yang dilakukan menunjukkan granuloma epitel kecil dengan sel raksasa tipe Langhans dan infiltrate limfositik.

38 Manifestasi Crohn Disease di Rongga Mulut

Anda mungkin juga menyukai