Anda di halaman 1dari 3

Mengangkat kembali keterkaitan antara islam dan politik bisa jadi merupakan persoalan yang membosankan.

Hal ini disebabkan oleh masalah yang tidak menarik, tetapi lebih dikarenakan oleh artikulasi yang hampir-hampir mengulang wacana yagn pernah ada. Padahal, mestinya masalah hubungan antara islam dan politik adalah objek yang sangat menarik, dan sepanjang masa bakal menjadi soal yang bersifat recurrent. Artinya, masalah ini akan selalu muncul, sebab pada dasarnya islam, umat islam atau kawasan islam, takkan pernah bisa dipisahkan dari persoalan-persoalan politik. Dalam konteks ini, pemikiran politik islam seperti kehilangan artikulasi yang baru, dan kembali berada dibawah bayang-bayang pemikiran lama (Bahtiar Effendy:1996). Kenyataan seperti ini lah, yang mungkin terjadi dan berkembang di dunia islam lainnya, yang menyebabkan Moehammed Arkoun menulis dalam The Concept of Authorithy in Islamic Thought bahwa gagasan-gagasan pokok mereka tetap terpenjara oleh citra kedaerahan dan etnografis, terbelenggu oleh pendapat-pendapat klasik yang dirumuskan secara tidak memadai dalam bentuk slogan-slogan ideologis kontemporer. artikulasi mereka masih tetap didominasi oleh kebutuhan ideologis untuk melegitimasi rezim-rezim masyarakat islam dewasa ini. Sedikit berbeda dengan Indonesia, yang mempunyai jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, dunia islam yang lain tidak mengalami dinamika pemikiran dan praktik politik Islam yang sebanding. Mungkin karena situasi perkembangan politik yang berbeda, dunia Islam relatif sepi di bidang pemikiran politik Islam kontemporer. Sebagian mereka masih disibukkan oleh keharusan atau keinginan untuk merespons isu-isu politik kontemporer, seperti globalisasi, demokratisasi, civil society, atau hak asasi. Sementara itu, pada tingkat pemerintahan, dunia Islam tengah bergelut dengan soal terorisme, embargo, atau perbedaan perlakuan terhadap nestapa Palestina.

Imajinasi politik Islam Terlepas dari realita historisnya, model ini menawarkan cita-cita masyarakat Islam kepada kaum militant Islam Politik. Islam lahir sebagai satu sekte dan sebagai satu masyarakat, sebuah komunitas politik dan agama yang waktu itu tidak ada lembaga, ulama, ataupun peran-peran khusus dan Nabi Muhammad satu-satunya penutur dan penafsir hukum Ilahi yang transenden serta mengatur semua kegiatan manusia. Sebuah masyarakat

dengan persamaan hak, yang belum terdiferensiasi, ditempatkan dibawah naungan orang yangtidak menyusun undang-undang, namun menyampaikan wahyu. Dari persepsi ini muncul sejumlah yang kerap berulang dalam pemikiran politik Islam. Misalnya, ditegaskan ketidakterpisahan lingkup keagamaan, hukum, dan politik. Syariat harus menjadi satu-satunya sumber hukum, selain juga norma bagi perilaku individu, baik bagi penguasa maupun orang awam. Definisi ruang politik yang otonom, dengan aturan, hukum positif, serta nilai-nilai sendiri, dengan tegas dilarang. Akhirnya, segara tidak pernah dilihat dalam pengertian negara-bangsa yang diteritorialkan. Tujuannya adalah memperoleh kekuasaan yang memerintah keseluruhan umat, komunitas kaum beriman-sedangkan kekuasaan yang sebenarnya dijalankan oleh satu segmen dari umat yang batas-batasnya tidak otonom, sementara, dan tidak lengkap. Oleh karena itu, sudah sewajarnya bila dalam imajinasi politik Islam, tak ada perbedaan antara tatanan keagamaan dan politik. Gagasan ini adalah salah satu keyakinan mendalam para aktor politik Islam kontemporer. Atas dasar kenyataan ini saja-terlepas dari analisis teologis mana pun tentang validitasnya-konsep ini mesti ditanggapi dengan sungguhsungguh. Maka, kita mesti mempelajari dampaknya bagi pemikiran dan praktik politik; dan bukan memandangnya sebagai fakta mutlak dalam sejarah dan praktik politik Islam aktual, yang berarti tiadanya otoritas politik yang khusus.

Gagalnya Islamisme Bagi kutub revolusioner, Islamisasi masyarakat terjadi lewat kekuasaan negara. Sementara menurut kutub reformis, tindak sosial dan politis terutama bertujuan reislamisasi masyarakat dari bawah-ke-atas, yang dengan sendirinya akan mewujudkan negara Islam. Melainkan pada cara pencapaiannya dan sikap penerapannya berkaitan dengan kekuasaan yang ada.1 Berbagai perubahan yang menandai pemikiran begitu banyak orang selama tahun 1980an pada akhirnya tak banyak berpengaruh pada fakta dan sejarah: akhirnya, yang kita lihat adalah negeri, negara, rezim, dan perbatasan yang sudah ada sepuluh tahun sebelumnya. Setelah Perang Teluk Kedua, ketergantungan negeri-negeri muslim pada negeri-negeri utara menjadi lebih besar dari sudah-sudah.
1

Olivier Roy, Gagalnya Islam Politik, 1996, hlm 29

Kendati demikian, realitas sosioekonomis yang menopang gelombang Islamisme masih berjalan di tempat dan tidak kunjung berubah: kemiskinan, alienasi, krisis nilan dan identitas, kemerosotan sistem pendidikan, pertentangan Utara-Selatan, masalah integritas kaum imigran ke dalam masyarakat pribumi. Revolusi Islam hanya lah sebuah mitos, kendati bukan berarti kita tidak akan mendengar lagi pernyataan kaum Islamis. Naiknya gerakan-gerakan seperti FIS (di Aljazair) ke tampuk kekuasaan hanya memperjelas kehampaan dari ilusi negara Islam tersebut.

Anda mungkin juga menyukai