Anda di halaman 1dari 7

20 provinsi masih miliki masalah kesehatan ibu dan anak

Jakarta (ANTARA News) - Sebanyak 20 provinsi masih memiliki masalah besar untuk kesehatan ibu dan anak sehingga Indonesia diperkirakan tidak dapat memenuhi target MDG untuk penurunan angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB) jika tidak dilakukan intervensi. "Provinsi-provinsi itu menjadi prioritas dalam pembinaan kesehatan ibu dan anak. Untuk daerah yang menyumbangkan jumlah kematian ibu dan bayi paling besar akan dilakukan intervensi melalui Program EMAS," ujar Direktur Bina Kesehatan Anak, Ditjen Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) Kementerian Kesehatan Kirana Pritasari di Jakarta, Senin. Program EMAS atau Expanding Maternal and Neonatal Survival bertujuan untuk menurunkan 25 persen jumlah kematian ibu dan anak melalui penguatan pada kualitas pelayanan kesehatan yang akan dijalankan di enam provinsi yang menyumbangkan jumlah kematian dan anak terbesar yaitu Sumatera Utara, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Sedangkan 20 provinsi yang memiliki masalah kesehatan ibu dan anak tinggi adalah Sumatera Utara, Lampung, Sumatera Selatan, Riau, Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Maluku, Papua dan Papua Barat. "Kebijakan operasional dalam percepatan penurunan angka kematian ibu dan bayi akan menggunakan pendekatan layanan berkelanjutan," kata Kirana. Layanan berkelanjutan diberikan sejak bayi masih berada dalam kandungan hingga 1.000 hari pertama kehidupan bayi. Untuk melaksanakan program tersebut, Kementerian Kesehatan juga melakukan perbaikan fasilitas kesehatan seperti meningkatkan kualitas pelayanan emergensi obstetri dan bayi baru lahir minimal di 150 rumah sakit (PONEK) dan 300 puskesmas/balkesmas (PONED) dan fasilitas swasta. "Selain itu, juga dilakukan penguatan sistem rujukan yang efisien dan efektif antar puskesmas dan rumah sakit." kata Kirana. Sejak tahun 2011, Pemerintah juga menjalankan program Jaminan Persalinan (Jampersal) yang membebaskan biaya bersalin bagi ibu hamil yang tidak memiliki asuransi kesehatan, dalam rangka menurunkan angka kematian ibu dan angka kematian bayi. Menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007, Angka kematian ibu di Indonesia masih sebesar 228 per 100 ribu kelahiran hidup, masih cukup jauh dari target MDG sebesar 102 per 100 ribu kelahiran hidup. Penyebab utama kematian pada ibu adalah perdarahan dan eklampsia (50 persen kasus) dan 45 persen sisanya disebabkan oleh penyebab tidak langsung seperti infeksi, penyakit jantung, hipertensi, diabetes mellitus dan epilepsi. DI UNDUH TANGGAL 13 MARET 2013 http://www.antaranews.com/berita/310578/wayang-orang-bharata-mampusaingi-justin-bieber (A043/M026)

Editor: Tasrief Tarmizi COPYRIGHT 2012

Program Pelaksanaan Kesehatan Ibu dan Anak Di Indonesia


Posted: Juni 7, 2011

ingga saat ini sudah banyak program-program pembangunan kesehatan di Indonesia

yang ditujukan pada penanggulangan masalah-masalah kesehatan ibu dan anak. Pada dasarnya programprogram tersebut lebih menitik beratkan pada upaya-upaya penurunan angka kematian bayi dan anak, angka kelahiran kasar dan angka kematian ibu Upaya untuk menurunkan angka kematian ibu telah dicanangkan oleh badan internasional dan pemerintah guna meningkatkan kesadaran dunia tentang pengaruh kematian dan kesakitan ibu serta untuk mendapatkan pemecahan masalahnya.

Upaya upaya tersebut diantaranya : 1. Safe Motherhood

Gerakan ini pertama kali dicanangkan pada International Conference on Safe Motherhood, Nairobi, 1987.3Program ini sendiri telah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1988 dengan melibatkan secara aktif berbagai sector pemerintah dan non-pemerintah, masyarakat, serta dukungan dari berbagai badan internasional.

Empat pilar Safe Motherhood adalah :

1. Keluarga Berencana KB dapat menurunkan angka kematian ibu karena dapat merencanakan waktu yang tepat untuk hamil, mengatur jarak kehamilan, menentukan jumlah anak. Sehingga tidak ada kehamilan yang tidak diinginkan, 4 terlalu, yaitu terlalu muda, terlalu tua, terlalu sering hamil, dan terlalu banyak anak.

2. Pelayanan antenatal

Pelayanan antenatal memiliki tujuan untuk:

1. 2. 3.

Mencegah adanya komplikasi obstetri Mendeteksi komplikasi sedini mungkin Penanganan secara memadai dan profesional

3. Persalinan yang bersih dan aman Persalinan yang bersih dan aman memiliki tujuan memastikan setiap penolong kelahiran/persalinan mempunyai kemampuan, ketrampilan, dan alat untuk memberikan pertolongan yang bersih dan aman, serta memberikan pelayanan nifas pada ibu dan bayi

4. Pelayanan obstetri esensial Memastikan bahwa tempat pelayanan kesehatan dapat memberikan pelayanan obstetri untuk risiko tinggi dan komplikasi tersedia bagi ibu hamil yang membutuhkan.

2.

Making Pregnancy Safer(MPS)

Departemen Kesehatan pada tahun 2000 telah menyusun Rencana Strategis (Renstra) jangka panjang upaya penurunan angka kematian ibu dan kematian bayi baru lahir. Dalam Renstra ini difokuskan pada kegiatan yang dibangun atas dasar sistem kesehatan yang mantap untuk menjamin pelaksanaan intervensi dengan biaya yang efektif berdasarkan bukti ilmiah yang dikenal dengan sebutan Making Pregnancy Safer (MPS) melalui tiga pesan kunci.

Pelaksanaan MPS sendiri memfokuskan dalam 3 hal sebagai berikut :

1. 2. 3.

Setiap persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih, Setiap komplikasi obstetri dan neonatal mendapat pelayanan yang adekuat, Setiap wanita usia subur mempunyai tidak diinginkan dan penanganan komplikasi

keguguran.

DI UNDUH TANGGAL 13 MARET 2013 http://imranuad.wordpress.com/2011/06/07/program-pelaksanaan-kesehatanibu-dan-anak-di-indonesia/

JAKARTA, KOMPAS.com - Kematian ibu dan anak di Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negara tetangga. Diperkirakan tak kurang dari 9.500 ibu meninggal saat melahirkan serta 157.000 bayi dan 200.000 anak balita meninggal setiap tahun. Seyogianya, penurunan angka kematian dijadikan tolok ukur keberhasilan kinerja kepala daerah. Pemerintah memang berupaya menurunkan angka kematian ibu (AKI), angka kematian bayi (AKB), dan angka kematian balita (AKBA) lewat berbagai program, tetapi penurunannya lambat. Tanpa perhatian khusus, diperkirakan penurunan AKI tidak bisa mencapai target Tujuan Pembangunan Milenium. Terkait AKB dan AKBA, secara nasional menunjukkan penurunan signifikan. Namun, di wilayah Indonesia bagian timur, yakni Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua, kematian anak justru meningkat. Di Papua, terutama di daerah pedalaman, kematian ibu melahirkan, bayi, dan anak balita, menjadi ancaman serius. AKI di Papua 362 per 100.000 kelahiran hidup, di atas angka nasional 228 per 100.000 kelahiran hidup. Angka kematian bayi di Papua pun tertinggi di Indonesia, 41 per 1.000 kelahiran hidup, jauh lebih tinggi daripada angka nasional 34 per 1.000 kelahiran hidup. Di Halmahera Utara, Maluku Utara, AKI dan AKB meningkat. Jika tahun 2009 tercatat 5 ibu melahirkan dan 6 bayi meninggal, tahun 2011 ada 10 ibu melahirkan dan 29 bayi meninggal. Yang menurun hanya kematian anak balita. Dari 30 anak balita di tahun 2009 menjadi 11 anak balita tahun 2011. Di Jawa Timur, meski AKB menurun, ternyata AKI meningkat. Jika tahun 2008 AKI 83,2 per 100.000 kelahiran hidup, di tahun 2011 AKI justru 104,3 per 100.000 kelahiran hidup. Data Dinas Kesehatan Provinsi Bengkulu tahun 2011 menunjukkan, AKB 9,6 per 1.000 kelahiran hidup, AKBA 8,5 per 1.000 kelahiran hidup, dan AKI 120 per 100.000 kelahiran hidup. Di Kabupaten Jayawijaya, AKBA tercatat 43 per 1.000 kelahiran hidup. Pneumonia dan diare menjadi penyebab tertinggi kematian bayi dan anak balita. Dokter Puskesmas Wollo, Filandy Pai, mengatakan, di Distrik Wollo, kasus infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) bayi dan anak balita mencapai 20 kasus per bulan. Selain itu, kecukupan gizi bayi dan anak balita sangat kurang sehingga mereka rentan terserang penyakit. Umumnya orangtua memberi makan anak berupa ubi dan sayur daun ubi tiap hari tanpa dilengkapi lauk yang mengandung protein dan zat gizi lain. Anak-anak, sebagaimana orang dewasa, biasa mengonsumsi air mentah. Hal itu dilakukan Semina Gombo (27), warga Kampung Wollo, pada anaknya yang berumur satu tahun. Hanya itu makanan yang dimilikinya. Ternak babi hanya dipotong untuk pesta. Makan erom (ubi) saja. Tidak pakai lauk, ujarnya. Letak puskesmas jauh dari kampung warga yang menyebar di perbukitan. Hal ini diakui Kepala Puskesmas Wollo Ebed Gombo. Mereka harus berjalan kaki naik turun bukit dan gunung berkilo-

kilometer untuk periksa dan berobat ke puskesmas. Puskesmas Wollo dengan fasilitas minim itu hanya ada dua dokter pegawai tidak tetap daerah, bidan, dan kepala puskesmas. Kepala Dinas Kesehatan Jayawijaya Agustinus Aronggear mengakui, layanan kesehatan di pedalaman masih sangat terbatas. Dinkes menghadapi persoalan kekurangan tenaga kesehatan. Jumlah bidan hanya 156 orang, padahal dibutuhkan 300 bidan. Bidan yang ada pun lebih banyak bertugas di perkotaan. Apalagi fasilitas untuk tenaga kesehatan di pedalaman tidak memadai, misalnya tidak ada listrik dan perumahan kurang layak. Menurut Kepala Dinas Kesehatan Papua Yosef Rinta, Papua masih membutuhkan 2.500 bidan dan 427 perawat. Dari 324 puskesmas, dan 724 puskesmas pembantu, di 30 kabupaten/kota hanya 60 persen ada dokter. Itu pun tidak semua dokter ada di tempat tugas. Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan Halmahera Utara Johana Aipipideli mengatakan, gizi kurang menjadi penyebab kematian ibu, bayi, dan anak balita di Halmahera Utara. Ini disebabkan rendahnya pengetahuan dan masalah keterbatasan ekonomi. Ada bayi berusia tiga hari diberi makan pisang, padahal air susu ibu sudah cukup sampai usia enam bulan, kata Kepala Puskesmas Tobelo Timur Rit Nyonyie. Oktofina Kurais (25), penduduk Desa Bale, Kecamatan Galela Selatan, Halmahera Utara, mengatakan, penghasilan suaminya sebagai petani kopra hanya Rp 500.000 per bulan. Uang itu tak cukup untuk membeli makanan bergizi bagi empat anak mereka yang berusia lima tahun, empat tahun, dua tahun, dan satu tahun. Sering kali mereka hanya diberi makan ubi saja. Dari 196 desa di 17 kecamatan di Halmahera Utara, bidan desa baru ada di 135 desa. Itu pun tak sampai 100 bidan yang menetap di desa. Banyak bidan yang habis waktu di puskesmas. Hal itu mendorong warga pergi ke dukun untuk bersalin dan mengobati anak. Namun, keadaan mulai berubah. Menurut Cendrawati Unggu, bidan Desa Katana, Tobelo Timur, kini warga Katana paham jika bersalin maupun anak sakit harus dibawa ke puskesmas atau diperiksa tenaga medis. Sejak dua tahun lalu, kader posyandu dan puskesmas gencar menyosialisasikan hal itu. Apalagi, Puskesmas Tobelo Timur yang letaknya dekat Katana berfungsi tahun lalu. Kemiskinan dan rawan pangan juga membelit penduduk Nusa Tenggara. Di puncak musim kemarau ini, Badan Penanggulangan Bencana Daerah NTT merilis, 16 dari 20 kabupaten di NTT mengalami rawan pangan. Adelina Lakbanu (38), yang mengandung anak kesembilan dan tengah hamil tua, ditemui berjualan kayu bakar di tepi jalan Kupang-Atambua, tepatnya di Desa Boentuka, Kecamatan Batu Putih, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Kayu itu dikumpulkan suaminya, Anton Lakbanu (46). Saya duduk di sini sudah dua hari, tetapi baru laku tiga ikat kayu dengan total harga Rp 15.000, kata Adelina. Dua anaknya yang kelihatan, Mince (12) dan Stefi (7), tampak kurus kurang gizi.

Uang itu dikumpulkan untuk persalinan. Dari delapan anak yang dilahirkan, tiga orang meninggal. Lima anak yang tersisa semuanya perempuan. Perempuan jebolan kelas tiga sekolah dasar Boentuka ini mengaku belum memeriksakan kandungan sejak usia kandungan masuk delapan bulan. Ia takut tak mampu bayar pemeriksaan di puskesmas. Keluarga ini sudah dihapus dari daftar warga miskin penerima raskin per Juni 2012. Selama ini Adelina melahirkan anak di rumah, tetapi kali ini ia ingin melahirkan di puskesmas. Alasannya, ia trauma akan nasib tetangganya, Marta (41), yang meninggal Agustus lalu. Marta mengalami kesulitan persalinan. Meski sempat dibawa ke RSUD Soe, Marta tidak tertolong. Anak Marta meninggal dua hari setelah kematian Marta. Kematian di kota Meningkatnya AKI di Jawa Timur ataupun Surabaya terjadi akibat keterlambatan petugas merujuk ke rumah sakit atau puskesmas terdekat. Dokter spesialis kebidanan dan kandungan di Rumah Sakit Umum dr Soetomo, Surabaya, Agus Sulitiyono, mengatakan, kebanyakan petugas kesehatan di kelurahan atau kecamatan memberi rujukan ke rumah sakit pemerintah karena pertimbangan biaya. Padahal, banyak rumah sakit swasta yang dilewati pasien ketika dalam perjalanan menuju rumah sakit pemerintah, kata Agus, Jumat (9/11). Menurut Agus, seharusnya petugas kesehatan memberi rujukan ke fasilitas kesehatan terdekat, baik milik swasta maupun pemerintah untuk penanganan gawat darurat. Setelah masa kritis terlewati, pasien dapat dirujuk ke rumah sakit pemerintah. Dari pengalaman, Agus mengungkapkan, penyebab utama kematian ibu adalah tekanan darah tinggi saat kehamilan (preeklamsia), perdarahan saat persalinan, dan gangguan jantung yang menyertai saat persalinan. Menurut Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bengkulu Hindarini, Kamis (8/11), banyak ibu belum sadar pentingnya pemeriksaan selama kehamilan. Mereka baru datang ke tenaga kesehatan saat persalinan sehingga jika ada kelainan tidak bisa terdeteksi sebelumnya. Keterbatasan ekonomi menyebabkan asupan makanan ibu hamil sering terabaikan. Akibatnya, bayi lahir dengan berat badan rendah (kurang dari 2.500 gram). Di Jakarta, akses kesehatan bagi ibu dan anak terkendala masalah administrasi. Di daerah ini warga sebagian pendatang, terkadang tidak punya KTP Jakarta dan kartu keluarga (KK), ujar Emiliana, kader Posyandu Pisang Raja Garing di RT 003 Kampung Kemandoran Pluis. Kalaupun ada KTP Jakarta dan KK, yang tercantum hanya nama kepala keluarga (suami) dan anak. Para istri tidak tercantum karena mempertahankan KTP desa asal untuk menjaga hak kepemilikan tanah dan rumah mereka di desa. Laki-laki mengurus KTP Jakarta dan KK untuk kepentingan kerja dan sekolah anak.

Ketidaklengkapan kartu identitas sebagai syarat administrasi itu kerap menjadi persoalan bagi perempuan keluarga miskin untuk mengakses fasilitas kesehatan secara gratis. (RWN/APA/KOR/ADH/INE/ILO/ATK)

Sumber :

Kompas Cetak
Editor :

Heru Margianto

Anda mungkin juga menyukai