Anda di halaman 1dari 4

BAB I SEJARAH DAN SISTEM EKONOMI INDONESIA

SEJARAH EKONOMI INDONESIA

1. Pemerintahan Orde Lama

Pemerintah Belanda akhirnya mengakui kemerdekaan Indonesia selama decade 1950-an hingga pertengahan tahun 1965. Indonesia diserang gejolak politik didalam negeri dan beberapa pemberontakan disejumlah daerah, yang mengakibatkan keadaan perekonomian yang sangat buruk. Meskipun sempat mengalami pertumbuhan dengan laju rata-rata pertahun 7% namun turun drastic menjadi 1,9 % dan nyaris mengalami stagflasi (1965-1966). Selain laju pertumbuhan ekonomi yang menurun terus sejak 1958, defisit saldo neraca pembayaran (BOP) dan deficit anggaran pendapatan dan belanja pemerintah (APBN) terus membesar dari tahun ke tahun. Tahun 1955 defisit anggaran baru sekitar 14% namun di tahun 1965 defisit telah mencapai 1965 sudah hamper 20% dari jumlah pendapatan. Kegiatan produksi pada masa orde lama disektor pertanian dan industry manufaktur berada pada tingkat yang sangat rendah karena keterbatasan kapasitas produksi dan infrastruktur pendukung. Baik fisik maupun nonfisik seperti pendanaan dari Bank. Akibat rendahnya volume produksi dari sisi suplai dan tingginya permintaan akibat terlalu banyaknya uang beredar dimasyarakat mengakibatkan tingginya tingkat inflasi yang mencapai lebih dari 300% menjelang akhir periode lama. System politik yang sangat demokratis pada periode 1950-1959 ternyata menyebabkan kehancuran politik dan perekonomian nasional. Akibat terlalu

banyaknya partai politik yang ada dan semuanya ingin berkuasa, sering terjadi konflik antar partai politik. Selain kondisi politik didalam negeri yang tidak mendukung, buruknya perekonomian Indonesia pada masa pemerintahan Orde Lama disebabkan oleh keterbatasan factor-faktor produksi, teknologi, dan kemampuan pemerintah sendiri untuk menyusun rencana strategi pembangunan yang baik. Pada akhir September 1965, ketidakstabilan politik di Indonesia mencapai puncaknya dengan terjadinya kudeta yang gagal dari partai Komunis Indonesia (PKI).

2. Pemerintah Orde Baru.

Sejak maret 1966 Indonesia memasuki pemerintahan Orde Baru. Dalam orde ini perhatian pemerintah lebih ditujukan kepada peningkatan kesejahteraan msyarakat lewat pembangunan ekonomi dan social di tanah air. Pemerintah menjalin kembali hubungan baik dengan bangsa barat dan menjauhi pengaruh ideology komunis. Indonesia juga kembali menjadi anggota PBB dan lembagalembaga dunia lainnya, seperti Bank Dunia dan Dana Moneter (IMF). Sebelum rencana pembangunan lewat REPELITA dimulai, terlebih dahulu pemerintah melakukan pemulihan stabilitas ekonomi, social, dan politik serta rehabilitasi ekonomi didalam negeri, menekan tingkat iflasi, mengurangi defisit keuangan pemerintah,dan menghidupkan kembali kegiatan produksi, termasuk ekspor yang sempat mengalami stagnasi pada masa Orde Lama. Ditambah dengan penyusuna REPELITA secara bertahap. Menjelang 1960-an atas kerjasama dengan Bank Dunia, IMF, dan ADB (Bank Pembangunan Asia) dibentuk suatu kelompok konosorium yang disebut Inter-Government Group on Indonesia (IGGI) terdiri atas sejumlah negara-negara maju termasuk Jepang dan Belanda dengan tujuan membiayai pembangunan ekonomi Indonesia. Tujuan jangka panjang dari pembangunan ekonomi pada masa Orde Baru adalh meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui suatu proses industrialisasi dalam skala besar. Bulan april 1969 REPELITA I dimulai dengan penekanan utama pada pembangunan sector pertanian dan industry-industri yang terkait,

seperti agroindustry. Pusat pembagunan ini diharapkan dapat menghasilkan devisa lewat ekspor dan substitusi impor. Dampak REPELITA I terhadap perekonomian Indonesia cukup mengagumkan, terutama dilihat pada tingkat makro. Laju pertunbuhan awal REPELITA I PDB Indonesia tercatat 2,7 Triliun pada harga berlaku atau 4,8 triliun pada harga konstan. Tahun 1990 menjadi 188,5 triliun rupah pada harga berlaku atau 112,4 triliun rupiah pada harga konstan. Laju pertumbuhan rata rata (1969-1990) rata-rata pertahun 7%. Selain itu berkat penghasilan ekspor minya pada periode krisis oil boom pertama tahun 1973/1974. Akan tetapi pada tigkatan meso dan mikro, pembangunan dapat dikatakan tidak terlalu berhasil, bahkan dalam banyak aspek semakin buruk. Jumlah kemiskinan absolut relative masih tinggi dan tingkat kesenjangan social ekonomi semakin besar. Menjelang awal tahun 1990-an kesenjangan cenderung menigkat. Sebagai reaksi pemerintah terhadap kenyataan diatas, khususnya REPELITA VI orientasi kebijakan kebijakannya mengalami perubahan dari penekenan terhadap pertunbuhan pemerataan. Untuk mengatasi hal tersebut dijalankan beberapa program terutam didaerah pedesaan tertinggal (IDT), Program keluarga sejahtera dan program-program pembinaan usaha kecil. Pengalaman ini menunjukkan bahwa ada beberapa kondisi utama yang harus dipenuhi terlebih dahulu agar suatu usaha membangun ekonomi dapat berjalan dengan baik yakni sebagai berikut : a. Kemauan politik yang kuat b. Stabilitas ekonomi dan ekonomi c. Sumberdaya manusia yang lebih baik. d. Sistem politik dan ekonomi terbuka yang berorientasi ke Barat e. Kondisi ekonomi dan politik dunia yang lebih baik.

3. Pemerintahan Transisi Tanggal 14 dan 15 Mei 1997 nilai tukar Baht Tahiland terhadap dollar AS mengalami suatu goncangan hebat akibat para investor asing mengambil

keputusan jual. Hal ini merembet ke Indonesia dan beberapa Negara Asia lainnya, awal krisis keuangan keuangan Asia. Rupiah Indonesia terasa goyang sekitar Juli 1997, dari Rp 2500 menjadi Rp 2650 per Dollar AS. Sekitar September 1997 Rupiah kembali melemah, untuk mencegah agar keadaan tidak tambah buruk, pemerintah orde baru mengambil langkah dengan menunda proyek senilai 39 triliun. 8 oktober 1997 pemerintan Indonesia menyatakan resmi meminta bantuan keuangan dari IMF.

Anda mungkin juga menyukai