Anda di halaman 1dari 3

BAB I PENDAHULUAN 1.

1 Latar Belakang Menurut catatan sejarah, mi dibuat pertama kali di Cina dan kemudian berkembang dan menyebar ke Negara-negara di Asia tenggara termasuk Indonesia. Secara umum beberapa jenis mi yang dikenal di pasaran yaitu mi basah dan mi kering (Widyaningsih, 2006). Mi basah (fresh noodle atau wet noodle) merupakan salah satu jenis mi yang sudah dikenal luas dan menjadi makanan yang disukai masyarakat di Indonesia. Alasannya adalah karena sifat mi yang enak dan praktis. Mi basah yang dijual di pasar tradisional dan supermarket terdapat dalam keadaan curah maupun terkemas (Anonim,2007). Mi basah umumnya memiliki umur simpan yang relatif singkat, yaitu berkisar antara 10-12 jam bila disimpan pada suhu kamar. Sehingga produsen mi sering menambahkan formalin sebagai bahan pengawet agar mi basah bisa bertahan lebih lama. Penggunaan formalin pada mi basah dapat menghasilkan mi yang dapat disimpan hingga 4 hari. Mi berformalin tidak hanya ditemukan di pedagang-pedagang kecil di pasar tradisonal, tetapi juga di supermarket (Astawan, 2009). Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

No.1168/MENKES/PER/X/1999 menyebutkan bahwa formalin merupakan salah satu bahan tambahan yang dilarang digunakan dalam makanan (Menteri Kesehatan, 1999)

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan hasil survei yang telah dilakukan oleh peneliti, bahwa mi tiaw yang di jual di pasar tradisional dan supermarket mempunyai tekstur yang mengkilat, lebih berminyak, tidak mudah putus dan beraroma yang menyengat (Yuliarti, 2007). Berdasarkan hal tersebut kemungkinan mi tiaw yang berada dipasar tradisional dan supermarket mengandung formalin. Menurut IPCS (International Programme on Chemical Safety), secara umum ambang batas formaldehida yang boleh masuk ke dalam tubuh dalam bentuk makanan untuk orang dewasa adalah 1,5 mg hingga 14 mg per hari (WHO,1980). Pemeriksaan formalin secara kualitatif dilakukan terhadap sampel yang telah dilakukan proses destilasi dengan menambahkan asam kromatropat dan asam sulfat pekat dengan pemanasan selama 15 menit akan terjadi warna violet (Herlich, 1990). Penentuan kadar formalin dapat dilakukan dengan beberapa metode, antara lain titrasi volumetrik asam-basa (Ditjen POM, 1979), spektrofotometri sinar tampak menggunakan pereaksi Nash (Herlich, 1990) dan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (Moffat, 1986). Dalam penelitian ini digunakan spektrofotometri sinar tampak karena metode tersebut sederhana dan memiliki tingkat ketelitian yang baik. 1.2 Perumusan Masalah Apakah mi tiaw yang beredar di pasar tradisional dan supermarket mengandung formalin sebagai pengawet Apakah proses pencucian dan perendaman dengan air dapat mengurangi kadar formalin pada mi tiaw

Universitas Sumatera Utara

Apakah kadar formalin yang terdapat pada mi tiaw berada di atas ambang batas yang masih dapat diterima oleh tubuh

1.3 Hipotesis Mi tiaw yang beredar di pasar tradisional dan supermarket mengandung formalin sebagai bahan pengawet Proses pencucian dan perendaman dengan air dapat menurunkan kadar formalin pada mi tiaw Kadar formalin yang terdapat pada mi tiaw berada di atas ambang batas yang masih dapat diterima oleh tubuh 1.4 Tujuan Penelitian Melakukan identifikasi formalin pada mi tiaw Mengetahui penurunan kadar formalin pada mi tiaw setelah dilakukan proses pencucian dan perendaman dengan air Mengetahui kadar formalin yang terdapat pada mi tiaw dilihat dari ambang batas yang masih dapat diterima oleh tubuh 1.5 Manfaat Penelitian Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi masyarakat bahwa mi tiaw yang terdapat di pasar tradisional dan supermarket mengandung formalin serta bagaimana cara penurunan kadar formalin pada mi tiaw yaitu dengan melakukan proses pencucian dan perendaman mi tiaw sebelum dikonsumsi.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai