Anda di halaman 1dari 12

RESUME NEUROBEHAVIOR II AUTISME (SPECTRUM AUTISM)

Oleh Isara Nur Latifah NPM : 220110100021

JURUSAN S1 KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS PADJADJARAN 2012

Definisi Autisma/Autisme berasal dari kata auto yang berarti sendiri. Penyandang Autisma/Autisme seakan-akan hidup di dunianya sendiri. Istilah Autisma/Autisme baru diperkenalkan sejak tahun 1943 oleh Leo Kanner, sekalipun kelainan ini sudah ada sejak berabad-abad lampau ( Handojo, 2003 ). Kartono (2000) berpendapat bahwa Autisma/Autisme adalah gejala menutup diri sendiri secara total, dan tidak mau berhubungan lagi dengan dunia luar keasyikan ekstrim dengan fikiran dan fantasi sendiri. Autisme diartikan sebagai gangguan syaraf mental di awal perkembangan masa kanak-kanak, meskipun kadang diagnosa autisme itu sendiri tidak terdeteksi ketika sejak masa prasekolah atau masa sekolah. Gejala autisme kemungkinannya telah muncul ketika usia anak mencapai 12-18 bulan. Perilaku karakteristik autisme sendiri mudah terdeteksi pada usia 3 tahun, misalnya dengan mengetahui keterlambatan dalam berbicara atau penguasaan kosa kata pada masa prasekolah. Etiologi Pada otak anak autisme dijumpai suatu kelainan pada otaknya. Ada tiga lokasi diotak yang ternyata mengalami kalainan neuro anatomis. Banyak teori yang diajukan oleh para pakar, kekurangan nutrisi dan oksigenasi, serta akibat polusi udara, air dan makanan. Diyakini bahwa ganguan tersebut terjadi pada fase pembenukan organ organ (organogenesis) yaitu pada usia kehamilan antara 0 4 bulan. Organ otak sendiri baru terbentuk pada usia kehamilan setelah 15 minggu. Adanya kelainan anatomis pada lobus patietalis, cerebellum dan sistem limbiknya. 43 % penyandang autisme mempunyai kelainan pada lobus parietalis otaknya, yang menyebabkan anak cuek terhadap lingkungannya. Kelainan juga ditemukan pada otak kecil (cerebellum), terutama pada lobus ke VI dan VII. Otak kecil bertanggung jawab atas proses sensoris, daya ingat, berfikir, belajar berbahasa dan proses atensi (perhatian). Juga didapatkan jumlah sel Purkinye di otak kecil yang sangat sedikit, sehingga terjadi gangguan keseimbangan serotonin dan dopamine, akibatnya terjadi gangguan atau kekacauan lalu lalang impuls di otak. Ditemukan kelainan yang khas didaerah sistem limbik yang disebut hippocampus dan amygdale. Akibatnya terjadi gangguan fungsi kontrol terahadap agresi dan emosi. Anak kurang dapat mengendalikan emosinya, seringkali terlalu agresif atau sangat pasif. Amygdala juga bertanggung jawab terhadap berbagai rangsang sensoris seperti pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan, rasa dan rasa takut. Hippocampus bertanggung jawab terhadap fungsi belajar dan daya ingat. Terjadilah kesulitan penyimpanan informasi baru. Perilaku yang diulang ulang yang aneh dan hiperaktif juga disebabkan gangguan hippocampus.

Faktor genetika diperkirakan menjadi penyebab utama dari kelainan autisme, walaupun bukti bukti yang konkrit masih sulit ditemukan. Memang ditengarai adanya kelainan kromosom pada anak autisme, namun kelainan itu tidak berada pada kromosom yang selalu sama. Penelitian masih terus dilakukan sampai saat ini. Disamping faktor genetika ini, diperkirakan masih banyak faktor pemicu yang berperan dalam timbulnya gejala autisme. Pada kehamilan trimester pertama, yaitu 0 4 bulan, factor pemicu ini bias terdiri dari : infeksi ( toksoplasmosis, rubella, candida, dsb) logam berat (Pb, Al, Hg dan Cd), zat adiif (MSG, pasawat, pewarna, dsb), alergi berat, obat obatan, jamu peluntur, muntah muntah hebat (hiperemesis) perdarahan berat, dll. Pada proses kelahiran yang lama (partus lama) dimana terjadi gangguan nutrisi dan oksigenasi pada janin, pemakaian forsep, dll dapat memicu terjadinya austisme. Bahkan sesudah lahir (post partum) juga dapat terjadi pengaruh dari berbagai pemicu, misalnya : infeksi ringan berat pada bayi, imunisasi MMR dan hepatitis B (mengenai 2 jenis imunisasi ini masih controversial), logam berat, MSG, zat pewarna, zat pengawet, protein susu sapi (kasein) dan protein tepung terigu (gluten). Tumbuhnya jamur yang berlebihan di susu anak sebagai akibat dari pemakaian antibiotika yang berlebihan, dapat menyebabkan terjadinya kebocoran usus (leaky get syndrome) dan tidak sempurnanya pencernaan kasein dan gluten. Kedua protein ini hanya terpecah sampai polipeptida. Polipeptida yang timbul dari kedua protein tersebut terserap kedalam aliran darah dan menimbulkan efek morfin pada otak anak. Masih ada sesuatu kelainan yang disebut sebagai Sensory Interpretation Errors yang juga menyebabkan terjadinya gejala autisme. Rangsangan sensoris yang berasal dari reseptor visual, auditori dan taktil, mengalami proses yang kacau di otak anak, sebagai timbul persepsi yang semrawut, kacau atau berlebihan, yang pada akhirnya menyebabkan kebingungan dan ketakutan pada anak. Akibatnya anak menarik diri dari lingkungan yang menakutkan tersebut. (internet : Purwati,H,Nyimas.(2009)). MANIFESTASI KLINIS Gangguan dalam komunikasi verbal maupun nonverbal meliputi kemampuan berbahasa mengalami keterlambatan atau sama sekali tidak dapat berbicara. Menggunakan kata kata tanpa menghubungkannya dengan arti yang lazim digunakan.Berkomunikasi dengan menggunakan bahasa tubuh dan hanya dapat berkomunikasi dalam waktu singkat. Kata-kata yang tidak dapat dimengerti orang lain (bahasa planet). Tidak mengerti atau tidak menggunakan kata-kata dalam konteks yang sesuai. Ekolalia (meniru atau membeo), menirukan kata, kalimat atau lagu tanpa tahu artinya. Bicaranya monoton seperti robot. Bicara tidak digunakan untuk komunikasi dan imik datar Gangguan dalam bidang interaksi sosial meliputi gangguan menolak atau menghindar untuk bertatap muka. Tidak menoleh bila dipanggil, sehingga sering diduga tuli. Merasa tidak senang atau menolak dipeluk. Bila menginginkan sesuatu, menarik tangan tangan orang yang terdekat dan berharap orang tersebut melakukan sesuatu untuknya. Tidak berbagi kesenangan dengan orang lain. Saat bermain bila

didekati malah menjauh. Bila menginginkan sesuatu ia menarik tangan orang lain dan mengharapkan tangan tersebut melakukan sesuatu untuknya. Gangguan dalam bermain diantaranya adalah bermain sangat monoton dan aneh misalnya menderetkan sabun menjadi satu deretan yang panjang, memutar bola pada mainan mobil dan mengamati dengan seksama dalam jangka waktu lama. Ada kelekatan dengan benda tertentu seperti kertas, gambar, kartu atau guling, terus dipegang dibawa kemana saja dia pergi. Bila senang satu mainan tidak mau mainan lainnya. Tidak menyukai boneka, tetapi lebih menyukai benda yang kurang menarik seperti botol, gelang karet, baterai atau benda lainnya Tidak spontan, reflek dan tidak dapat berimajinasi dalam bermain. Tidak dapat meniru tindakan temannya dan tidak dapat memulai permainan yang bersifat pura pura. Sering memperhatikan jari-jarinya sendiri, kipas angin yang berputar atau angin yang bergerak. Perilaku yang ritualistik sering terjadi sulit mengubah rutinitas sehari hari, misalnya bila bermain harus melakukan urut-urutan tertentu, bila bepergian harus melalui rute yang sama. Gangguan perilaku dilihat dari gejala sering dianggap sebagai anak yang senang kerapian harus menempatkan barang tertentu pada tempatnya. Anak dapat terlihat hiperaktif misalnya bila masuk dalam rumah yang baru pertama kali ia datang, ia akan membuka semua pintu, berjalan kesana kemari, berlari-lari tak tentu arah. Mengulang suatu gerakan tertentu (menggerakkan tangannya seperti burung terbang). Ia juga sering menyakiti diri sendiri seperti memukul kepala atau membenturkan kepala di dinding. Dapat menjadi sangat hiperaktif atau sangat pasif (pendiam), duduk diam bengong dengan tatap mata kosong. Marah tanpa alasan yang masuk akal. Amat sangat menaruh perhatian pada satu benda, ide, aktifitas ataupun orang. Tidak dapat menunjukkan akal sehatnya. Dapat sangat agresif ke orang lain atau dirinya sendiri. Gangguan kognitif tidur, gangguan makan dan gangguan perilaku lainnya. Gangguan perasaan dan emosi dapat dilihat dari perilaku tertawa-tawa sendiri, menangis atau marah tanpa sebab nyata. Sering mengamuk tak terkendali (temper tantrum), terutama bila tidak mendapatkan sesuatu yang diinginkan. Sering mengamuk tak terkendali (temper tantrum)bila keinginannya tidak didapatkannya, bahkan bisa menjadi agresif dan merusak.. Tidak dapat berbagi perasaan (empati) dengan anak lain Gangguan dalam persepsi sensoris meliputi perasaan sensitif terhadap cahaya, pendengaran, sentuhan, penciuman dan rasa (lidah) dari mulai ringan sampai berat. Menggigit, menjilat atau mencium mainan atau benda apa saja. Bila mendengar suara keras, menutup telinga. Menangis setiap kali dicuci rambutnya. Meraskan tidak nyaman bila diberi pakaian tertentu. Tidak menyukai rabaan atau pelukan, Bila digendong sering merosot atau melepaskan diri dari pelukan. Intelegensi dengan uji psikologi konvensional termasuk dalam retardasi secara fungsional. Kecerdasan sering diukur melalui perkembangan non-verbal, karena

terdapat gangguan bahasa. Didapatkan IQ di bawah 70 dari 70% penderita, dan dibawah 50 dari 50%. Namun sekitar 5% mempunyai IQ di atas 100. Anak autis sulit melakukan tugas yang melibatkan pemikiran simbolis atau empati. Namun ada yang mempunyai kemampuan yang menonjol di suatu bidang, misalnya matematika atau kemampuan memori. Sekitar seperlima anak autis berdeteriorasi bidang kognitifnya pada usia remaja. Ciri yang khas pada anak yang austik : a. Defisit keteraturan verbal b. Abstraksi, memori rutin dan pertukaran verbal timbal balik c. Kekurangan teori berfikir (defisit pemahaman yang dirasakan atau dipikirkan orang lain). Menurut Baron dan kohen 1994 ciri utama anak autisme adalah: a. Interaksi sosial dan perkembangan sossial yang abnormal b. Tidak terjadi perkembangan komunikasi yang normal c. Minat serta perilakunya terbatas, terpaku, diulang-ulang, tidak fleksibel dan tidak imajinatif. Ketiga-tiganya muncul bersama sebelum usia 3 tahun. Tanda autis berbeda pada setiap interval umurnya : a. Pada usia 6 bulan sampai 2 tahun anak tidak mau dipeluk atau menjadi tegang bila diangkat ,cuek menghadapi orang tuanya, tidak bersemangat dalam permainan sederhana (ciluk baa atau kiss bye), anak tidak berupaya menggunakan kat-kata. Orang tua perlu waspada bila anak tidak tertarik pada boneka atau binatan gmainan untuk bayi, menolak makanan keras atau tidak mau mengunyah, apabila anak terlihat tertarik pada kedua tangannya sendiri. b. Pada usia 2-3 tahun dengan gejala suka mencium atau menjilati benda-benda, disertai kontak mata yang terbatas, menganggap orang lain sebagai benda atau alat, menolak untuk dipeluk, menjadi tegang atau sebaliknya tubuh menjadi lemas, serta relatif cuek menghadapi kedua orang tuanya. c. Pada usia 4-5 tahun ditandai dengan keluhan orang tua bahwa anak merasa sangat terganggu bila terjadi rutin pada kegiatan sehari-hari. Bila anak akhirnya mau berbicara, tidak jarang bersifat ecolalia (mengulang-ulang apa yang diucapkan orang lain segera atau setelah beberapa lama), dan anak tidak jarang menunjukkan nada suara yang aneh, (biasanya bernada tinggi dan monoton), kontak mata terbatas (walaupun dapat diperbaiki), tantrum dan agresi berkelanjutan tetapi bisa juga berkurang, melukai dan merangsang diri sendiri.

Klasifikasi Autisme Autisme dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder R-IV merupakan salah satu dari lima jenis gangguan dibawah lingkup PDD (Perpasive Development Disorder) di luar ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) dan ADD (Attention Deficit Disorder). Gangguan perkembangan perpasiv (PDD) adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan beberapa kelompok gangguan perkembangan di bawah lingkup PDD, yaitu: 1. Autistic Disorder (Autism) Muncul sebelum usia 3 tahun dan ditunjukkan adanya hambatan dalam interaksi sosial, komunikasi dan kemampuan bermain secara imaginatif serta adanya perilaku stereotip pada minat dan aktivitas. 2. Aspergers Syndrome Hambatan perkembangan interaksi sosial dan adanya minat dan aktivitas yang terbatas, secara umum tidak menunjukkan keterlambatan bahasa dan bicara, serta memiliki tingkat intelegensia rata-rata hingga di atas rata-rata. 3. Pervasive Developmental Disorder Not Otherwise Specified (PDD-NOS) Merujuk pada istilah atypical autism, diagnosa PDD-NOS berlaku bila seorang anak tidak menunjukkan keseluruhan kriteria pada diagnosa tertentu (Autisme, Asperger atau Rett Syndrome). 4. Retts Syndrome Lebih sering terjadi pada anak perempuan dan jarang terjadi pada anak laki-laki. Sempat mengalami perkembangan yang normal kemudian terjadi kemunduran/kehilangan kemampuan yang dimilikinya; kehilangan kemampuan fungsional tangan yang digantikan dengan gerakkan-gerakkan tangan yang berulangulang pada rentang usia 1 4 tahun. 5. Childhood Disintegrative Disorder (CDD) Menunjukkan perkembangan yang normal selama 2 tahun pertama usia perkembangan kemudian tiba-tiba kehilangan kemampuan-kemampuan yang telah dicapai sebelumnya. Adapun menurut Dr. Faisal Yatim mengelompokan autisme menjadi 3 kelompok, yaitu : 1. Autisme Persepsi Autisme ini dianggap sebagai autisme asli dan disebut autisme internal karena kelainan sudah timbul sebelum lahir. 2. Autisme Reaksi Autisme ini biasanya mulai terlihat pada anak anak usia lebih besar (6 7 tahun) sebelum anak memasuki memasuki tahap berfikir logis. Tetapi bisa juga terjadi sejak usia minggu minggu pertama. Penderita autisme reaktif ini bisa membuat gerakan gerakan tertentu berulang ulang dan kadang kadang disertai kejang kejang. 3. Autisme yang Timbul Kemudian

Pemeriksaan Medis Autisme sebagai spektrum gangguan maka gejala-gejalanya dapat menjadi bukti dari berbagai kombinasi gangguan perkembangan. Bila tes-tes secara behavioral maupun komunikasi tidak dapat mendeteksi adanya autisme, maka beberapa instrumen screening yang saat ini telah berkembang dapat digunakan untuk mendiagnosa autisme: Childhood Autism Rating Scale (CARS): skala peringkat autisme masa kanakkanak yang dibuat oleh Eric Schopler di awal tahun 1970 yang didasarkan pada pengamatan perilaku. Alat menggunakan skala hingga 15; anak dievaluasi berdasarkan hubungannya dengan orang, penggunaan gerakan tubuh, adaptasi terhadap perubahan, kemampuan mendengar dan komunikasi verbal The Checklis for Autism in Toddlers (CHAT): berupa daftar pemeriksaan autisme pada masa balita yang digunakan untuk mendeteksi anak berumur 18 bulan, dikembangkan oleh Simon Baron Cohen di awal tahun 1990-an. The Autism Screening Questionare: adalah daftar pertanyaan yang terdiri dari 40 skala item yang digunakan pada anak dia atas usia 4 tahun untuk mengevaluasi kemampuan komunikasi dan sosial mereka The Screening Test for Autism in Two-Years Old: tes screening autisme bagi anak usia 2 tahun yang dikembangkan oleh Wendy Stone di Vanderbilt didasarkan pada 3 bidang kemampuan anak, yaitu; bermain, imitasi motor dan konsentrasi. Penatalaksanaan Umumnya terapi yang diberikan ialah terhadap gejala, edukasi dan penerangan kepada keluarga, serta penanganan perilaku dan edukasi bagi anak. Manajemen yang efektif dapat mempengaruhi outcome. Intervensi farmakologis, yang saat ini dievaluasi, mencakup obat fenfluramine, lithium, haloperidol dan naltrexone. Terhadap gejala yang menyertai. Terapi anak dengan autisme membutuhkan identifikasi dini. Intervensi edukasi yang intensif, lingkungan yang terstruktur, atensi individual, staf yang terlatih baik, peran serta orang tua dapat meningkatkan prognosis. Terapi prilaku sangat penting untuk membantu para anak autis untuk lebih bisa menyesuaikan diri dalam masyarakat. Bukan saja guru yang harus mnerapkan terapi prilaku pada saat belajar, namun setiap anggota keluarga di rumah harus bersikap sama dan konsisten dalam menghadapi anak autis. Terapi prilaku terdiri dari terapi wicara, terapi okupasi, dan menghilangkan prilaku yang asosial. Dalam terapi farmakologi dinyatakan belum ada obat atau terapi khusus yang menyembuhkan kelainan ini. Medikasi (terapi obat) berguna terhadap gejala yang menyertai, misalnya haloperidol, risperidone dan obat anti-psikotik terhadap perilaku agresif, ledakan-ledakan perilaku, instabilitas mood (suasana hati). Obat antidepresi jenis SSRI dapat digunakan terhadap ansietas, kecemasan, mengurangi stereotip dan perilaku perseveratif dan mengurangi ansietas dan fluktuasi mood.

Perilaku mencederai diri sendiri dan mengamuk kadang dapat diatasi dengan obat naltrexone. Umumnya terapi yang diberikan ialah terhadap gejala, edukasi dan penerangan kepada keluarga, serta penanganan perilaku dan edukasi bagi anak. Manajemen yang efektif dapat mempengaruhi outcome. Intervensi farmakologis, yang saat ini dievaluasi, mencakup obat fenfluramine, lithium, haloperidol dan naltrexone. Terhadap gejala yang menyertai. Terapi anak dengan autisme membutuhkan identifikasi dini. Intervensi edukasi yang intensif, lingkungan yang terstruktur, atensi individual, staf yang terlatih baik, peran serta orang tua dapat meningkatkan prognosis. Terapi prilaku sangat penting untuk membantu para anak autis untuk lebih bisa menyesuaikan diri dalam masyarakat. Bukan saja guru yang harus mnerapkan terapi prilaku pada saat belajar, namun setiap anggota keluarga di rumah harus bersikap sama dan konsisten dalam menghadapi anak autis. Terapi prilaku terdiri dari terapi wicara, terapi okupasi, dan menghilangkan prilaku yang asosial. Dalam terapi farmakologi dinyatakan belum ada obat atau terapi khusus yang menyembuhkan kelainan ini. Medikasi (terapi obat) berguna terhadap gejala yang menyertai, misalnya haloperidol, risperidone dan obat anti-psikotik terhadap perilaku agresif, ledakan-ledakan perilaku, instabilitas mood (suasana hati). Obat antidepresi jenis SSRI dapat digunakan terhadap ansietas, kecemasan, mengurangi stereotip dan perilaku perseveratif dan mengurangi ansietas dan fluktuasi mood. Perilaku mencederai diri sendiri dan mengamuk kadang dapat diatasi dengan obat naltrexone.

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK AUTISME 1. Pengkajian a. Riwayat gangguan psikiatri/jiwa pada keluarga. b. Riwayat keluarga yang terkena autisme. c. Riwayat kesehatan ketika anak dalam kandungan. Sering terpapar zat toksik, seperti timbal. Cedera otak d. Status perkembangan anak. Anak kurang merespon orang lain. Anak sulit fokus pada objek dan sulit mengenali bagian tubuh. Anak mengalami kesulitan dalam belajar. Anak sulit menggunakan ekspresi non verbal. Keterbatasan Kongnitif. e. Pemeriksaan fisik Tidak ada kontak mata pada anak. Anak tertarik pada sentuhan (menyentuh/disentuh). Terdapat Ekolalia. Tidak ada ekspresi non verbal. Sulit fokus pada objek semula bila anak berpaling ke objek lain. Anak tertarik pada suara tapi bukan pada makna benda tersebut. Peka terhadap bau. 2. Diagnosa Keperawatan a. Kelemahan interaksi sosial berhubungan dengan ketidakmampuan untuk percaya pada orang lain. b. Hambatan komunikasi verbal dan non verbal berhubungan dengan ransangan sensori tidak adekuat, gangguan keterampilan reseptif dan ketidakmampuan mengungkapkan perasaan. c. Risiko tinggi cidera : menyakiti diri berhubungan dengan kurang pengawasan. d. Kecemasan pada orang tua behubungan dengan perkembang anak. 3. Intervensi a. Kelemahan interaksi sosial berhubungan dengan ketidakmampuan untuk percaya pada orang lain. Tujuan : Klien mau memulai interaksi dengan pengasuhnya Intervensi: : Batasi jumlah pengasuh pada anak. Tunjukan rasa kehangatan/keramahan dan penerimaan pada anak.

Tingkatkan pemeliharaan dan hubungan kepercayaan. Motivasi anak untuk berhubungan dengan orang lain. Pertahankan kontak mata anak selama berhubungan dengan orang lain. Berikan sentuhan, senyuman, dan pelukan untuk menguatkan sosialisasi. b. Hambatan komunikasi verbal dan non verbal berhubungan dengan ransangan sensori tidak adekuat, gangguan keterampilan reseptif dan ketidakmampuan mengungkapkan perasaan. Tujuan : Klien dapat berkomunikasi dan mengungkapkan perasaan kepada orang lain. Intervensi : o Pelihara hubungan saling percaya untuk memahami komunikasi anak. o Gunakan kalimat sederhana dan lambang/maping sebagai media. o Anjurkan kepada orang tua/pengasuh untuk melakukan tugas secara konsisten. o Pantau pemenuhan kebutuhan komunikasi anaksampai anak menguasai. o Kurangi kecemasan anak saat belajar komunikasi. o Validasi tingkat pemahaman anak tentang pelajaran yang telah diberikan. o Pertahankan kontak mata dalam menyampaikan ungkapan non verbal. o Berikan reward pada keberhasilan anak. o Bicara secara jelas dan dengan kalimat sederhana. o Hindari kebisingan saat berkomunikasi. c. Risiko tinggi cidera : menyakiti diri berhubungan dengan kurang pengawasan. Tujuan : Klien tidak menyakiti diriya. Intervensi : Bina hubungan saling percaya. Alihkan prilaku menyakiti diri yang terjadi akibat respon dari peningkatan kecemasan. Alihkan/kurangi penyebab yang menimbulkan kecemasan. Alihkan perhatian dengan hiburan/aktivitas lain untuk menurunkan tingkat kecemasan. Lindungi anak ketika prilaku menyakiti diri terjadi. Siapkan alat pelindung/proteksi. Pertahankan lingkungan yang aman. d. Kecemasan pada orang tua behubungan dengan perkembang anak. Tujuan : Kecemasan berkurang/tidak berlanjut. Intervensi : Tanamkan pada orang tua bahwa autis bukan aib/penyakit. Anjurkan orang tua untuk membawa anak ke tempat terapi yang berkwalitas baik serta melakukan secara konsisten. Berikan motivasi kepada orang tua agar dapat menerima kondisi anaknya yang spesial.

Anjurkan orang tua untuk mengikuti perkumpulan orang tua dengan anak autis, seperti kegiatan Autis Awareness Festifal. Berikan informasi mengenai penanganan anak autis. Beritahukan kepada orang tua tentang pentingnya menjalankan terapi secara konsisten dan kontinue.

DAFTAR PUSTAKA

http://kumpulanmaterikeperawatan.blogspot.com/2010/04/askep-autisme.html http://www.resepkomplit.com/wp-content/uploads/2010/01/anak-autisme.jpg Sacharin, r.m, 1996, Prinsip Keperawatan Pediatrik Edisi 2, EGC, Jakarta Behrman, Kliegman, Arvin, 1999, Ilmu Kesehatan Anak Nelson Edisi 15, Alih Bahasa Prof. DR. Dr. A. Samik Wahab, Sp. A (K), EGC, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai

  • Bab I
    Bab I
    Dokumen32 halaman
    Bab I
    Trima Yusiana
    Belum ada peringkat
  • An Sietas
    An Sietas
    Dokumen12 halaman
    An Sietas
    mariagabriell89
    Belum ada peringkat
  • An Sietas
    An Sietas
    Dokumen12 halaman
    An Sietas
    mariagabriell89
    Belum ada peringkat
  • Chapter I
    Chapter I
    Dokumen5 halaman
    Chapter I
    mariagabriell89
    Belum ada peringkat