Anda di halaman 1dari 11

Indonesia Diproyeksikan Jadi Produsen Karet Terbesar Dunia

Kamis, 10 April 2008 | 18:33 WIB JAKARTA,KAMIS - Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) memproyeksikan, Indonesia akan menjadi produsen karet alam terbesar mengalahkan Thailand pada 2015. "Saat ini perbedaan produksi karet alam antara Indonesia dan Thailand semakin kecil, sehingga diperkirakan Indonesia menjadi produsen karet terbesar di dunia pada 2015," kata Direktur Eksekutif Gapkindo, Suharto Honggokusumo, di Jakarta, Kamis (10/4). Hal itu dikemukakannya dihadapan para pelaku bisnis yang hadir pada pemaparan pameran dagang internasional plastik dan karet, ASEANPlas, yang akan berlangsung pada 26-29 Mei 2008, di Singapura. Suharto mengatakan pada 2007 produksi karet Indonesia mencapai sekitar 2,55 juta ton atau naik sekitar 5,6 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Dengan kondisi tersebut, Indonesia menjadi negara kedua sebagai produsen karet terbesar di dunia setelah Thailand yang produksinya tahun lalu mencapai sekitar 2,97 juta ton. Ia memperkirakan, dengan pertumbuhan produksi sebesar lima persen per tahun maka Indonesia bisa menjadi negara produsen terbesar di dunia pada 2015. Hal itu didukung oleh kondisi geografis Indonesia di lintas khatulistiwa yang cocok untuk tanaman karet. Sementara itu, produksi karet di Thailand cenderung mengalami penurunan. Setidaknya hal itu terlihat dari penurunan produksi tahun 2007 sebesar 5,3 persen dibandingkan 2006 yang mencapai 3,13 juta ton. Demikian pula dengan produsen ketiga terbesar yaitu Malaysia. Produksi karet di Malaysia turun sebesar 5,4 persen pada 2007 menjadi 1,21 juta ton dari sebelumnya sebesar 1,28 juta ton. Saat ini Indonesia menguasai sekitar 28 persen produksi karet dunia, yang produksinya sebagian besar diekspor ke Amerika Serikat, Jepang, China, Singapura, Korea Selatan, Jerman, dan Kanada. "Ekspor produk karet Indonesia mencapai sekitar 2,4 juta ton," ujar Suharto. Nilai ekspor produk karet Indonesia sendiri mencapai sekitar 981 juta dollar AS yang sebagian besar atau sekitar 69,8 persen berupa ban. Sedangkan permintaan karet di dalam negeri juga meningkat menjadi 391 ribu ton pada 2007 dibandingkan tahun lalu yang mencapai 355 ribu ton.

Kendati permintaan karet di dalam meningkat, Suharto, menjamin kebutuhan dalam negeri akan tetap terpenuhi mengingat Indonesia memiliki produksi karet alam yang besar. (ANT)

Karet Alam Indonesia Capai Harga Tertinggi


Senin, 25 Februari 2008 | 09:33 WIB

BANJARMASIN,SENIN - Produksi karet alam Indonesia saat ini memasuki masa keemasan dengan harga jual mencapai 2,8 dollar AS per kilogram (kg) atau harga tertinggi dalam sejarah perkaretan di tanah air. "Harga karet alam di pasaran dunia saat ini mencapai 2,8 dollar AS suatu harga yang sungguh menggiurkan bagi dunia usaha perkaretan," kata seorang pengusaha karet di Provinsi Kalimantan Selatan, Kodrat Syukur seperti dikutip Antara, di Banjarmasin, Senin (25/2). Menurut pimpinan PT Insan Bonafide yang merupakan pabrik pengolahan karet terbesar di Banjarmasin itu, kalau dulu seorang petani harus mengumpulkan sedikitnya empat ton karet untuk dijual agar bisa beli sebuah sepeda motor, sekarang petani cukup mengumpulkan setengah ton karet sudah mampu beli sepeda motor. Tingginya harga karet saat ini dibanding sebelumnya, diharapkan dapat menggairahkan dan meningkatkan kesejahteraan petani karet. "Kondisi di Kalsel dengan harga karet yang tinggi maka memberi peluang petani dan penyadap karet Kalsel sudah memiliki sepeda motor," ujarnya. Kian bergairah petani berkebun karet, maka hampir tak ada lagi lahan kosong dan terlantar di kawasan sentra perkebunan karet seperti di kawasan Banua Enam meliputi enam kabupaten di wilayah Utara Provinsi Kalsel yang tidak ditanami komoditi karet. Berdasarkan pengamatan Kodrat yang memiliki pula pabrik karet di wilayah Kalimantan Tengah (Kalteng) ini, harga karet yang membaik itu lantaran permintaan karet alam dunia yang terus melonjak, setelah permintaan dari negara raksasa China yang kian meningkat belakangan ini. Kalau sebelumnya konsumen karet alam dunia sebagian adalah Amerika Serikat, negara Eropa dan Jepang, belakangan permintaan paling besar justru datang dari negara China setelah negara tersebut membangun insfrastruktur jalan raya seperti jaringan jalan-jalan tol yang luar biasa. Tersedianya prasarana jalan darat yang demikian telah melahirkan kebutuhan kendaraan bermotor.

Meningkatnya jumlah kendaraan bermotor maka meingkat pula permintaan akan ban kendaraan tersebut yang akhirnya melahirkan pabrikan-pabrikan kendaraan bermotor di negara tersebut yang membutuhkan jumlah karet alam yang meningkat pesat. Walaupun tersedianya sejumlah karet sentetis tetapi untuk ban kendaraan bermotor tetap kualitasnya lebih baik karet alam, dimana tingkat elastisitasnya lebih baik atau tingkat kekeyalan ban itu yang lebih baik. Produsen karet alam dunia terbesar saat ini masih dipegang Thailand, menyusul Indonesia dan Malaysia. Kalau dilihat luasan kebun karet maka Indonesia berada tingkat teratas, tetapi kalau melihat jumlah produksi Indonesia kalah dengan Thailand, lantaran di negara tersebut kebun karet kebanyakan di kelola skala kebun besar oleh pemerintah. Sementara di Indonesia kebun karet terbesar justru dikelola oleh rakyat biasa dengan skala kebun yang kecil sehingga tingkat produksi juga terbatas. Melihat kenyataan tersebut maka sudah seharusnya pemerintah Indonesia memperhatikan perkebunan karet ini dengan skala besar pula agar Indonesia menjadi

pengekspor karet alam terbesar dunia. Peningkatan jumlah permintaan karet di pasar dunia, ternyata juga berdampak positif ekspor karet Kalsel. Berdasarkan data ekspor di Dinas Perkebunan (Disbun) Kalsel selama dua tahun terakhir ekspor karet Kalsel mengalami pertumbuhan yang cukup menggembirakan. Bahkan selama dua tahun ini, volume ekspor karet Kalsel melonjak hingga 140 persen dengan nilai ekspor meningkat pula menjadi sebesar 200 persen. Dari data ekspor produksi karet Kalsel 2 tahun terakhir itu, komoditas karet SIR paling mendominasi. Untuk tahun 2006 lalu, ekspor karet SIR mengalami peningkatan volume hingga mencapai 120 persen dan peningkatan ekspor mencapai 187 persen. Setelah itu disusul karet RSS yang mengalami peningkatan volume 143 persen dan 208 persen untuk nilai ekspor. Sedangkan untuk produk karet Lateks mengalami pertumbuhan volume 77 persen dengan nilai ekspor tumbuh 68 persen sejak tahun 2005.

Tinggi, Ketergantungan RI terhadap Alutsista LN


Aloysius Budi Kurniawan | made | Kamis, 15 April 2010 | 21:07 WIB

SURABAYA, KOMPAS.com - Tingkat ketergantungan Indonesia pada alat utama sistem persenjataan atau alutsista buatan luar negeri masih di atas 80 persen. Karena itu, untuk menekan keterbatasan alutsista, Indonesia perlu menerapkan sistem pembelian sekaligus kerja sama

produksi di dalam negeri. Dalam pembelian alutsista, kami menginginkan adanya sharing. Demikian diungkapkan Staf Ahli Menteri Pertahanan Bidang Industri Teknologi, Prof E.S. Siradj, Kamis (15/4/2010), di sela Seminar Nasional bertema "Kajian Pembaharuan dan Pengembangan Teknologi Tempur Angkatan Laut Menuju Kemandirian Teknologi Pertahanan Nasional", di Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya. "Dalam pembelian alutsista, kami menginginkan adanya sharing, misalnya jika pesan dua kapal selam, maka satu kapal selam bisa dibeli tapi satu kapal selam lagi harus diproduksi di Indonesia agar industri persenjataan dalam negeri bisa belajar sehingga di kemudian hari Indonesia memiliki kemandirian," ujarnya. Setidaknya, ada dua negara, yaitu Jerman dan Korea Selatan yang bersedia bekerja sama dalam pengadaan alutsista, khususnya kapal selam. Dengan sistem kerja sama ini, selain membeli kapal, sebagian kapal selam dapat dibuat di dalam negeri oleh industri kapal bertaraf internasional seperti PT PAL. Menurut Siradj, hingga saat ini kandungan lokal alutsista Indonesia baru mencapai kisaran 20 persen. Padahal, agar lebih mandiri, minimum kandungan lokal produk alutsista dalam negeri seharusnya mencapai 40 persen atau lebih. "Meski demikian, kemandirian alutsista dalam negeri harus didukung semua pihak, mulai dari TNI sebagai pengguna, produsen, hingga para akademisi. Tanpa ada dukungan dari berbagai pihak, maka rencana ini tak akan berhasil," ucapnya. Tahun 2010 ini, landasan hukum tentang pertahanan sedang digodog. Terdapat tujuh rancangan undang-undang (RUU), antara lain lima RUU kemandirian pertahanan dan dua RUU keamanan dan komponen cadangan. Ditargetkan ketujuh RUU itu bisa ditetapkan tahun 2011.

PLTN Indikasi Kuat Pengaruh Negara Kaya


Selasa, 15 Maret 2011 | 03:32 WIB

Jakarta, Kompas - Keinginan kuat pemerintah membangun pembangkit listrik tenaga nuklir merupakan indikasi kuatnya pengaruh negara-negara kaya yang tetap ingin mengeksploitasi sumber energi yang tersedia murah di Indonesia seperti batu bara dan gas alam.

Di sisi lain, kebutuhan akan energi yang dikatakan pemerintah sebenarnya tidak sesuai dengan kebutuhan energi untuk kebutuhan masyarakat untuk kesejahteraan mereka, termasuk jasa publik. Demikian antara lain rangkuman wawancara Kompas dengan Rinaldy Dalimi, anggota Dewan Energi Nasional (DEN) yang juga pengajar di Fakultas Teknik, Universitas Indonesia; pakar teknologi nuklir Iwan Kurniawan; serta Hendro Sangkoyo dari Sekolah Demokratik Ekonomika (SDE). Pemerintah mengemukakan, rencana awal PLTN akan dibangun di daerah Muria, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Karena banyaknya tentangan dari masyarakat setempat, lokasi dipindahkan ke Bangka Belitung, yang disebut tidak rawan gempa. Dari roadmap energi nasional 2010-2025 disebutkan, PLTN 1 beroperasi tahun 2016, PLTN 2 tahun 2017, PLTN 3 tahun 2018, dan PLTN 4 tahun 2019. Semua PLTN itu akan memasok 4-5 persen kebutuhan listrik di pulau-pulau Jawa, Madura, dan Bali. Pemerintah memproyeksikan pembangunan listrik berkapasitas 46.000 megawatt pada tahun 2025. Pengaruh negara kaya Keinginan kuat pemerintah membangun PLTN, menurut Rinaldy, adalah indikasi kuatnya pengaruh negara-negara kaya yang tetap menginginkan eksploitasi sumber energi murah di Indonesia, seperti batu bara dan gas alam. Sementara PLTN adalah urusan bisnis menguntungkan bagi negara-negara maju. Hal senada diungkapkan Hendro Sangkoyo. Kualitas terbaik batu bara dijual ke negara -negara China, India, negara-negara Eropa, juga Australia dan Selandia Baru, sementara kita mendapat batu bara dengan kualitas buruk yang karbonnya besar. Kita lalu dikatakan kekurangan pasokan energi dan harus menggunakan teknologi nuklir, teknologi paling berbahaya itu, katanya. Menurut dia, krisis energi versi pemerintah tidak ada kaitannya dengan persoalan kesejahteraan masyarakat. Yang dihitung adalah energi untuk kebutuhan komersial, bangunan, transportasi, dan industri. Bangunan komersial di Jakarta ada yang konsumsi energinya mencapai 13,5 megawatt per detik, kata Hendro.

Di bidang transportasi kita adalah captive market dari industri otomotif Jepang dan lain-lain. Sementara itu, tidak ada satu pun industri Indonesia yang merupakan industri unggulan. Semua industri kita adalah milik asing, kata Hendro. Rinaldy menyatakan, alasan lebih tepat untuk membangun pembangkit listrik adalah karena masyarakat butuh energi. Untuk memenuhi kebutuhan energi masyarakat tersebut, masih banyak sumber energi yang lebih aman. Hentikan ekspor batu bara dan gas alam, untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri, katanya. Tidak teruji Iwan melihat, dari bencana PLTN Fukushima ada tiga hal yang bisa dipelajari, yaitu dari aspek bencana, teknologi, dan aspek manusia. Dari sisi teknologi, ujarnya, PLTN ternyata bukan teknologi yang sempurna. Jika harus dibangun, harus dipilih yang tepat lokasinya. Jika keliru pemilihan lokasinya, akan amat berbahaya. Dia mengingatkan, PLTN Jepang dibangun dengan asumsi gempa 7 skala Richter. Gempa 8,9 skala Richter belum ada sejarahnya. Jadi desainnya menjadi keliru, kata Iwan. Untuk Indonesia, pemilihan lokasi di Bangka Belitung yang katanya tidak rawan gempa, menurut Iwan, sudah salah karena di Bangka Belitung pernah terjadi gempa 4,7 skala Richter tahun 2007. Hendro mengingatkan, Pacific Rim (lingkaran Pasifik) secara geologis amat rawan gempa di mana pun lokasinya. Bencana PLTN di Jepang menyusul gempa besar 8,9 skala Richter itu, menurut Iwan, merupakan bukti PLTN bukan teknologi yang teruji. Pada Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2006 tentang Perizinan Reaktor Nuklir, Pasal 4 Ayat 2 disebutkan, reaktor daya komersial hanya dibangun berdasarkan teknologi teruji. Untuk itu diberikan tenggang waktu dua tahun, katanya. Lihat saja Jepang. Negara itu adalah negara maju, penguasaan teknologinya tinggi, PLTN sudah mereka tangani selama 39 tahun, toh bencana nuklir terjadi juga, tutur Iwan. Dia mengingatkan, teknologi nuklir tidak pernah sempurna. Dengan beranjaknya waktu, yang semula sempurna menjadi tidak bagus, tidak sesuai lagi dengan kondisi alamnya, kata Iwan. Sementara itu, dari sisi sumber daya manusia, Manusia Jepang adalah pekerja keras, dengan disiplin luar biasa tinggi, ternyata ketika terjadi bencana seperti itu juga kerepotan. Di sisi lain,

sumber daya manusia Indonesia masih ceroboh, tidak hati-hati, apa bisa menangani kalau terjadi bencana seperti itu? Membangun PLTN hanya akan mengakibatkan ketergantungan teknologi, dan ketergantungan sumber daya manusia, Pada tingkat tertentu pasti masih akan menggunakan tenaga asing, kata Iwan. Sebelumnya, Menteri Riset dan Teknologi Suharna Surapranata dalam kuliah umum di Institut Teknologi Bandung (ITB) mengemukakan, pemerintah tidak ingin tertinggal dari negara tetangga, seperti Malaysia, Singapura, dan Vietnam, dalam mengembangkan PLTN. Kalau hanya karena takut tertinggal dari negara tetangga dijadikan alasan, itu akan makin membuat rencana pembangunan PLTN gagal, kata Rinaldy. Ketua Pengawas Masyarakat Peduli Energi dan Lingkungan (MPEL) Sutaryo Supadi mengatakan, pihaknya tetap mendukung rencana pembangunan PLTN di Indonesia. Lokasi PLTN agar dipilih yang memiliki tingkat ancaman gempa paling rendah. Sebelumnya, saya bertugas jadi operator reaktor nuklir milik Badan Tenaga Nuklir Nasional untuk penelitian. Sebetulnya, sumber daya manusia kita sudah menguasai teknologi reaktor nuklir untuk PLTN, katanya. Menurut Iwan, reaktor nuklir milik Batan tujuannya adalah untuk penelitian. Hal itu, menurut Iwan, jelas berbeda dengan PLTN baik dari skala maupun teknologinya.

Minim, Dukungan terhadap Riset Pangan


Andrea Laksmi | Asep Candra | Selasa, 28 September 2010 | 14:14 WIB JAKARTA, KOMPAS.com Ketergantungan terhadap teknologi bahan pangan dari luar sebenarnya bukan karena Indonesia tidak memiliki peneliti andal, melainkan disebabkan kurangnya support pemerintah terhadap peneliti dan para petani. "Kalau dibilang mampu, saya rasa peneliti kita mampu untuk menghasilkan teknologi bahan pangan karena peneliti kita kreatif. Buktinya, kalau pergi ke Singapura atau negara lain, mereka jadi peneliti top," kata Purwiyatno Hariyadi, Ketua Perhimpuan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI), di sela-sela acara Konferensi Pers Food Ingredients, Senin (29/9/2010).

Menurut Purwiyatno, yang menjadi kendala utama adalah kontinuitas peneliti yang berdasarkan dana. "Kesulitan penelitian adalah dana, maka peneliti akan mencari dana dan biasanya dana didapatkan dari penelitian apa yang sedang dibutuhkan sehingga tidak ada penelitian yang continue," kata Purwiyatno. Selain dana dan fasilitas, peneliti juga membutuhkan program jangka panjang dari pemerintah. Harus ada program jangka panjang yang membuat peneliti secara tekun dan pasti menekuni sesuatu yang ia tekuni. Seperti diberi target 5 tahun, harus ada teknologi yang bisa dihasilkan, kata Purwiyatno. Namun, Purwiyatno juga mengakui bahwa persoalan teknologi bahan pangan juga tidak bergantung dari peneliti semat-mata, tetapi juga dari ketersediaan bahan baku yang dijadikan obyek penelitian. Harusnya pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan dan Perindustrian, juga turut berpartisipasi, termasuk pengorganisasian kampung, memberikan pelatihan, asuransi kalau terjadi kegagalan, kata Purwiyatno. Petani kita umumnya lemah secara kapital, tidak mampu bertahan lama karena simpanannya kecil. Itu kan perlu mekanisme yang diberikan pemerintah kepada mereka sehingga pemerintah perlu men-support program-program mereka. Dalam hal ini, investasinya juga termasuk waktu, kata Purwiyatno. Oleh karena itu, Purwiyatno memberikan solusi, Bagi petani cobal ah diberikan mekanisme yang memberikan insentif kalau dia melakukan itu (menanam bahan pangan secara kontinu), dan diisentif kalau tidak melakukan itu. Purwiyatno mencontohkan Thailand. Di sana terdapat satu daerah yang diminta menanam durian. Bagi yang menanam durian, mereka akan mendapatkan insentif. Kalau menanam yang lain, mereka harus bayar, tetapi bukan berarti tidak boleh. "Bentuknya seperti pendekatan atau faktor pendorong," kata Purwiyatno. Dengan demikian, Purwiyatno menyatakan bahwa apabila pemerintah melakukan upaya-upaya tersebut, maka bukan tidak mungkin Indonesia menggunakan teknologi bahan pangan yang berasal dari penelitian dalam negeri.

Anggaran Penelitian Masih Terbatas


Nina Susilo | Benny N Joewono | Sabtu, 15 Januari 2011 | 03:42 WIB

SURABAYA, KOMPAS.com - TNI AL berharap teknologi pertahanan kelautan terus dikembangkan. Namun diakui, porsi anggaran untuk penelitian masih terbatas ketimbang keperluan lain. "Penelitian lanjutan dari karya-karya anak bangsa pasti ada. Untuk negara maju, anggaran untuk itu pasti lebih banyak. Kita memang belum selaju itu," kata Kepala Staf TNI AL Laksamana TNI Soeparno seusai memimpin wisuda 60 sarjana dan 38 lulusan diploma tiga Sekolah Tinggi Teknologi TNI AL di Surabaya, Jumat (14/1/2011). Kendati demikian, kata Soeparno, pihaknya tetap mendorong pengembangan. Hasil penelitian lulusan atau pengajar STTAL yang bisa dimanfaatkan pasti akan diteliti lebih lanjut dan diaplikasikan. Kemarin, sebanyak 98 lulusan STTAL diwisuda dalam Sidang Senat Terbuka STTAL. Jumlah itu terdiri atas 60 lulusan jenjang sarjana dan 38 lulusan jenjang diploma tiga. Lulusan jenjang sarjana terbagi dalam empat jurusan - 14 orang dari Jurusan Teknik Mesin, 17 taruna dari Jurusan Teknik Elektro, 17 dari Jurusan Teknik Industri, dan 12 dari Hidroseanografi. Di jenjang diploma tiga, 8 taruna lulus dari Jurusan Teknik Mesin, 16 dari Jurusan Teknik Elektro, dan 14 Hidroseanografi. Dalam acara ini, dipamerkan pula karya-karya para wisudawan STTAL seperti kendaraan tempur tanpa awak, pesawat tanpa awal, reaktor penjernih air, dan pakaian tempur berteknologi. Kendaraan tempur tanpa awak cukup menyita perhatian sebab kendati berukuran sekitar 2 meter x 1 meter x 1,5 meter, kendaraan dikendalikan sepenuhnya melalui komputer. Tank tanpa awak ini juga bisa dimanfaatkan untuk membawa persenjataan maupun berfungsi sebagai pengintai. Komandan STTAL Kolonel Laut (E) Munizar Munaf menjelaskan, STTAL menyiapkan konsep terknologi pertahanan kelautan bersama para mahasiswa. Adapun pengembangannya dibantu lembaga seperti Dinas Pendidikan dan Pengembangan TNI AL. Wakil Komandan STTAL Letnan Kolonel Laut (Kh) Ambar menambahkan, jumlah penelitian memang belum banyak. Namun, sepanjang lima tahun ini, mahasiswa STTAL didorong untuk meneliti topik-topik yang lebih aplikatif sehingga bisa menjadi kebijakan pertahanan kelautan. Penelitian yang sudah ada juga akan terus disempurnakan oleh mahasiswa STTAL yang lebih muda. Dalam sambutannya, KSAL menegaskan, pola pikir personil TNI AL harus mampu mengimbangi pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu,

pengembangan ilmu pengetahuan terutama di bidang pertahanan kelautan sangat diperlukan

karena penting untuk mewujudkan bangsa yang makmur dan mandiri. Selain mengurangi ketergantungan teknologi, penguasaan teknologi memperkecil risiko atas dampak embargo alat utama sistem persenjataan (alutsista).

Ketergantungan Dollar AS, Indonesia Perlu Rezim Moneter Baru


Erlangga Djumena | Rabu, 6 Mei 2009 | 11:20 WIB JAKARTA, KOMPAS.com Indonesia perlu menjadi inisiator dalam terciptanya "rezim moneter" baru dengan menerapkan standar mata uang emas guna terealisasinya stabilitas nilai tukar dan menghilangkan ketergantungan terhadap dollar AS. Sekretaris Jenderal Ikatan Ahli Ekonomi Islam Drs Agustianto, MA, seperti dikutip Antara di Jakarta, Rabu (6/5), mengatakan, pola mata uang yang diterapkan Indonesia dan beberapa negara di Asia saat ini sangat tergantung terhadap dollar AS sehingga menyebabkan nilai tukar sering mengambang (floating exchange). Hal itu mengakibatkan nilai tukar mata uang beberapa negara di Asia tidak pernah mengalami stabilitas moneter dan berbeda antara satu negara dan Negara lain. Kondisi itu sangat menguntungkan spekulan dengan mempermainkan jumlah uang yang beredar guna mendapatkan nilai tukar yang ditargetkan. Indonesia, kata dia, dapat menerapkan konsep standar mata uang emas itu bekerja sama dengan negara tetangga yang ingin mewujudkan stabilitas nilai tukar. Meski memerlukan waktu dan kerja keras, hal itu dapat dilakukan sebagaimana yang terjadi di negara Eropa yang memberlakukan euro. Negara-negara Eropa itu, khususnya Eropa Timur, telah belajar dari pengalaman yang stabilitas ekonominya sering tidak menentu akibat sangat tergantung terhadap dollar AS. "Akhirnya, negara-negara Eropa itu berhasil mengatasi ketergantungan mereka sehingga berani mengucapkan good bye dollar," katanya. Menurut dia, tanpa standar baru itu, kebijakan moneter yang dilakukan pemerintah hanya untuk kepentingan jangka pendek dan bersifat situasional. Pola kebijakan seperti itu tidak akan pernah membuat rupiah stabil. "Meski saat ini menguat tapi rupiah bisa anjlok tiba-tiba," katanya. Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS mengalami tren penguatan dalam beberapa bulan terakhir hingga mencapai Rp 10.490/10.500 per dollar AS pada Senin (4/5). Kurs rupiah di pasar spot

antar bank Jakarta, Selasa (5/5) sore kembali menguat 80 poin menjadi Rp 10.410/10.420 per dollar AS karena pelaku pasar makin aktif bermain sebagai cerminan semakin besarnya aliran dana ke pasar. Kurs rupiah pernah lebih menguat pada akhir 2004 yang mencapai Rp 9.000 per dollar AS, tetapi juga pernah "terjun bebas" hingga mencapai Rp 15.000 per dollar AS ketika Indonesia menghadapi krisis pada pertengahan 1998.

Anda mungkin juga menyukai