Dari sini, saya harap kita sudah sepaham bahwa optimisme dan pesimisme sama-sama
diperlukan. Adanya kedua hal ini akan memberikan keseimbangan dalam kehidupan
kita. Ada kalanya kita tancap gas dengan optimisme kita, namun, pada waktunya, kita
perlu menginjak rem dengan pesimisme.
Kemudian, ada satu hal lagi yang nampaknya perlu menjadi perhatian. Yaitu manusia
cenderung menghabiskan waktu pada salah satu mode, antara optimis dan pesimis.
Dengan demikian, perlu tampaknya kita membahas kutipan Disraeli.
Tidak peduli apakah Anda sedang optimis atau pesimis, selama mode yang Anda
gunakan menggerakan Anda untuk bertindak. Orang akan mengacaukan
keseimbangan hidupnya saat itu berfokus pada salah satu mode optimis atau pesimis,
dan saat ia berada pada mode itu, ia jadi tidak bertindak.
Contoh, karena saya optimis dengan daya tahan tubuh saya, saya menunda makan,
hasilnya saya kena maag.
Contoh lain, karena saya pesimis bisa menjadi juara, akhirnya saya tidak jadi
mendaftar untuk ikut perlombaan
Tidak peduli mode mana yang Anda pakai, itu terserah Anda. Pastikan saja bahwa
mode yang Anda gunakan akan membuat Anda gerah dan tidak tahan untuk bertindak.
Anda optimis untuk bisa menjadi penulis, sehingga Anda menghabiskan puluhan
megabyte dalam bentuk file word berisi karangan Anda, itu bagus sekali. Karena
optimisme Anda menggerakkan Anda.
Anda pesimis lolos tes CPNS lalu Anda belajar mati-matian, itu bagus, karena
membuat Anda bertindak.
Selamat bertindak.