Anda di halaman 1dari 8

Pernikahan suku Tionghoa

Menyajikan Teh pada Upacara PernikahanTeh banyak digunakan pada perayaan-perayaan masyarakat Tionghoa, termasuk acara pernikahan, karena merupakan minuman rakyat dan menyajikan teh merupakan sebuah bentuk tanda hormat. Biji bunga teratai yang biasanya digunakan dalam teh pada acara pernikahan memiliki maksud. Kata "teratai" dengan "tahun" memiliki bunyi yang hampir sama, meskipun artinya berbeda, sehingga orang Tionghoa percaya bahwa menaruh benda-benda itu pada teh akan membantu pasangan yang baru menikah untuk melahirkan banyak anak, sehingga orang tua kedua mempelai akan memiliki banyak cucu. Biji teratai / Lian Zi diibaratkan sebagai Nian Zi, atau secara lengkap adalah Nian Nian You Zi, yang dapat diartikan setiap tahun memiliki anak. Apabila terdapat tunas yang telah muncul pada biji teratai tersebut, maka jangan lupa untuk menghilangkannya karena tunas tersebut memiliki rasa yang pahit. Menyajikan teh dengan memegang alas cangkir teh memakai kedua belah tangan adalah sebuah bentuk penghormatan. Saat menyajikan teh, pengantin wanita berada di sebelah kanan dari pengantin pria. Secara mudahnya adalah pengantin wanita berada di sebelah kanan dari pundak kanan pengantin pria. Contohnya adalah ketika mempersembahkan teh ke orang tua pengantin pria, maka pengantin wanita berlutut di depan ayah pengantin pria, dan pengantin pria berlutut di hadapan ibunya. Disamping menyajikan teh kepada orang tua, mereka juga menyajikan teh kepada yang lebih tinggi tingkatannya dan yang lebih tua dengan menyebutkan tingkatan, misalnya paman pertama, bibi ketiga, kakak kedua, dan sebagainya. Penyajian teh dilakukan secara berurutan dari anggota keluarga yang tertinggi tingkatannya. Contoh urutannya adalah kakek dan nenek dari ayah pengantin pria, lalu kakek dan nenek dari ibu pengantin pria, orang tua pengantin pria, setelah itu kakak. Pengantin pria dan wanita akan berlutut, sedangkan yang mendapat penghormatan akan duduk, jika tingkatan dari yang mendapat penghormatan lebih tinggi, seperti kakek, ayah, atau paman. Sedangkan jika yang mendapat penghormatan tidak lebih tinggi tingkatannya, namun tentunya harus lebih tua, seperti kakak, maka pengantin pria dan wanita tidak perlu berlutut. Sebagai balasan, pasangan itu akan menerima Hong Bao / Angpao yang berisi uang atau perhiasan.

Rabu abu
Dalam agama Kristen tradisi barat (termasuk Katolik Roma dan Protestanisme), Rabu Abu adalah hari pertama masa Pra-Paska. Ini terjadi pada hari Rabu, 40 hari sebelum Paskah tanpa menghitung hari-hari Minggu atau 44 hari (termasuk Minggu) sebelum hari Jumat Agung. Pada hari ini umat yang datang ke Gereja dahinya diberi tanda salib dari abu sebagai simbol upacara ini. Simbol ini mengingatkan umat akan ritual Israel kuna di mana seseorang menabur abu di atas kepalanya atau di seluruh tubuhnya sebagai tanda kesedihan, penyesalan dan pertobatan (misalnya seperti dalam Kitab Ester 4:1, 3). Dalam Mazmur 102:10 penyesalan juga digambarkan dengan "memakan abu": "Sebab aku makan abu seperti roti, dan mencampur minumanku dengan tangisan." Biasanya pemberian tanda tersebut disertai dengan ucapan, "Bertobatlah dan percayalah pada Injil." Seringkali pada hari ini bacaan di Gereja diambil dari Alkitab, kitab II Samuel 11-12, perihal raja Daud yang berzinah dan bertobat. Banyak orang Katolik menganggap hari Rabu Abu sebagai hari untuk mengingat kefanaan seseorang. Pada hari ini umat Katolik berusia 1859 tahun diwajibkan berpuasa, dengan batasan makan kenyang paling banyak satu kali, dan berpantang. Rabu Abu jatuh pada tanggal-tanggal berikut di tahun-tahun mendatang:

2012 22 Februari 2013 13 Februari 2014 5 Maret 2015 18 Februari 2016 10 Februari 2017 1 Maret 2018 14 Februari 2019 6 Maret

Asal Mula Perayaan dan Penggunaan Abu: Penggunaan abu dalam liturgi berasal dari jaman Perjanjian Lama. Abu melambangkan perkabungan, ketidakabadian, dan sesal/tobat. Sebagai contoh, dalam Buku Ester, Mordekhai mengenakan kain kabung dan abu ketika ia mendengar perintah Raja Ahasyweros (485464 SM) dari Persia untuk membunuh semua orang Yahudi dalam kerajaan Persia (Est 4:1). Ayub (yang kisahnya ditulis antara abad ketujuh dan abad kelima SM) menyatakan sesalnya dengan duduk dalam debu dan abu (Ayb 42:6). Dalam nubuatnya tentang penawanan Yerusalem ke Babel, Daniel (sekitar 550 SM) menulis, Lalu aku mengarahkan mukaku kepada Tuhan Allah untuk berdoa dan bermohon, sambil berpuasa dan mengenakan kain kabung serta abu. (Da n 9:3). Dalam abad kelima SM, sesudah Yunus menyerukan agar orang berbalik kepada Tuhan dan bertobat, kota Niniwe memaklumkan puasa dan mengenakan kain kabung, dan raja menyelubungi diri dengan kain kabung lalu duduk di atas abu (Yun 3:5-6). Contoh-contoh dari Perjanjian Lama di atas merupakan bukti atas praktek penggunaan abu dan pengertian umum akan makna yang dilambangkannya. Yesus Sendiri juga menyinggung soal penggunaan abu: kepada kota-kota yang menolak untuk bertobat dari dosa-dosa mereka meskipun mereka telah menyaksikan mukjizat-mukjizat dan mendengar kabar gembira, Kristus berkata, Seandainya mukjizat-mukjizat yang telah terjadi di tengah-tengahmu terjadi di Tirus dan Sidon, maka sudah lama orang-orang di situ bertobat dengan memakai pakaian kabung dan abu. (Mat 11:21) [ayat dikutip dari Kitab Suci Komunitas Kristiani, Edisi Pastoral Katolik] Gereja Perdana mewariskan penggunaan abu untuk alasan simbolik yang sama. Dalam bukunya De Poenitentia, Tertulianus (sekita r 160220) menulis bahwa pendosa yang bertobat haruslah hidup tanpa bersenang -senang dengan mengenakan kain kabung dan abu. Eusebius (260-340), sejarahwan Gereja perdana yang terkenal, menceritakan dalam bukunya Sejarah Gereja bagaimana seorang murtad bernama Natalis datang kepada Paus Zephyrinus dengan mengenakan kain kabung dan abu untuk memohon pengampunan. Juga, dalam masa yang sama, bagi mereka yang diwajibkan untuk menyatakan tobat di hadapan umum, imam akan mengenakan abu ke kepala mereka setelah pengakuan. Dalam abad pertengahan (setidak-tidaknya abad VIII), mereka yang menghadapi ajal dibaringkan di tanah di atas kain kabung dan diperciki abu. Imam akan memberkati orang yang menjelang ajal tersebut dengan air suci, sambil mengatakan Ingat engkau beras al dari debu dan akan kembali menjadi debu. Setelah memercikkan air suci, imam bertanya, Puaskah engkau dengan kain kabung dan abu sebagai pernyataan tobatmu di hadapan Tuhan pada hari penghakiman? Yang mana akan dijawab orang tersebut dengan, Saya puas. Dalam contoh-contoh di atas, tampak jelas makna abu sebagai lambang perkabungan, ketidakabadian, dan tobat.

Akhirnya, abu dipergunakan untuk menandai permulaan Masa Prapaska, yaitu masa persiapan selama 40 hari (tidak termasuk hari Minggu) menyambut Paska. Ritual perayaan Rabu Abu ditemukan dalam edisi awal Gregorian Sacramentary yang diterbitkan sekitar abad VIII. Sekitar tahun 1000, seorang imam Anglo-Saxon bernama Aelfric menyampaikan khotbahnya, Kita membaca dalam kitabkitab, baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, bahwa mereka yang menyesali dosa-dosanya menaburi diri dengan abu serta membalut tubuh mereka dengan kain kabung. Sekarang, marilah kita melakukannya sedikit pada awal Masa Prapaska kita, kita menaburkan abu di kepala kita sebagai tanda bahwa kita wajib menyesali dosa-dosa kita terutama selama Masa Prapaska. Setidaktidaknya sejak abad pertengahan, Gereja telah mempergunakan abu untuk menandai permulaan masa tobat Prapaska, kita ingat akan ketidakabadian kita dan menyesali dosa-dosa kita. Dalam liturgi kita sekarang, dalam perayaan Rabu Abu, kita mempergunakan abu yang berasal dari daun-daun palma yang telah diberkati pada perayaan Minggu Palma tahun sebelumnya yang telah dibakar. Imam memberkati abu dan mengenakannya pada dahi umat beriman dengan membuat tanda salib dan berkata, Ingat, engkau berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu, atau Bertobatlah dan percayalah kepada Injil. Sementara kita memasuki Masa Prapaska yang kudus ini guna menyambut Paska, patutlah kita ingat akan makna abu yang telah kita terima: kita menyesali dosa dan melakukan silih bagi dosa-dosa kita. Kita mengarahkan hati kepada Kristus, yang sengsara, mati, dan bangkit demi keselamatan kita. Kita memperbaharui janji-janji yang kita ucapkan dalam pembaptisan, yaitu ketika kita mati atas hidup kita yang lama dan bangkit kembali dalam hidup yang baru bersama Kristus. Dan yang terakhir, kita menyadari bahwa kerajaan dunia ini segera berlalu, kita berjuang untuk hidup dalam kerajaan Allah sekarang ini serta merindukan kepenuhannya di surga kelak. Pada intinya, kita mati bagi diri kita sendiri, dan bangkit kembali dalam hidup yang baru dalam Kristus. Sementara kita mencamkan makna abu ini dan berjuang untuk menghayatinya terutama sepanjang Masa Prapaska, patutlah kita mempersilakan Roh Kudus untuk menggerakkan kita dalam karya dan amal belas kasihan terhadap sesama. Dalam Masa Prapaskah ini, tindakan belas kasihan yang tulus, yang dinyatakan kepada mereka yang berkekurangan, haruslah menjadi bagian dari silih kita, tobat kita, dan pembaharuan hidup kita, karena tindakan-tindakan belas kasihan semacam itu mencerminkan kesetiakawanan dan keadilan yang teramat penting bagi datangnya Kerajaan Allah di dunia ini.

Minggu palma:

Minggu Palma adalah hari minggu dengan bobot paling tinggi dan penting dalam kalender liturgi. Tidak ada perayaan atau peringatan lain yang boleh menumpang apalagi menggeser Minggu ini. Inilah minggu terakhir Masa Prapaskah dan menjadi tanda dimulainya Pekan Suci. Peristiwa Minggu Palma disebutkan dalam empat Injil (Mk 11:1-11; Mt 21:1-11; Lk 19:28-44 dan Yoh 12:12-19). Sebuah perayaan kemenangan yang akan menjadi nyata dalam Kebangkitan Paskah. Yesus yang naik keledai dengan daun palma di tangan dilambailambaikan merupakan pemenuhan nubuat Nabi Zakharia (Zak 9:9). Pada zaman itu sudah menjadi tradisi bahwa raja atau bangsawan datang beriringan dalam sebuah prosesi dengan menunggang keledai. Keledai adalah simbol perdamaian. Maka, mereka yang hadir dengan membawa keledai tiada lain juga membawa pesan perdamaian. Sementara daun palma yang dilambaikan menandai kemenangan dan kemuliaan. Dalam pemahaman yang paling sempit, Minggu Palma adalah permenungan pekan terakhir hidup Yesus. Sepanjang hari-hari itu, dua hal bisa dipersiapkan: penderitaan dan kebangkita n Yesus. Mengapa dan bagaimana penderitaan Yesus itu signifikan untuk kita? Pertama, penderitaan dan wafat Yesus menyampaikan makna penebusan. Pesan ini paling nyaring dan tampak jelas dalam Perjamuan Terakhir Kristus dengan para murid-Nya. Matius mengisahkan lahirnya Perayaan Ekaristi dengan menekankan nilai penebusan tersebut: Sebab inilah darah-Ku, darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa (26:28). Kristus adalah Domba Paskah baru yang dikurbankan dan menjadi tebusan banyak orang. Kedua, kedatangan Yesus menandai pendamaian dosa seluruh bangsa. Yesus memperbaiki hubungan manusia dengan Allah dengan mengenyahkan dosa-dosa mereka. Tindakan Yesus yang paling menyentak dalam contoh ini adalah kunjungan Yesus ke rumah Zakeus: Hari ini telah terjadi keselamatan kepada rumah ini, karena orang inipun anak Abraham. Sebab Anak Manusia datang untuk menca ri dan menyelamatkan yang hilang (Lk 19: 9-10). Ketiga, solidaritas merupakan kata kunci untuk menerangkan bagaimana pend eritaan dan wafat Kristus memberikan efek pada kita semua para pendosa. Kristus menjadi manusia dan bersedia menanggung beban dosa-dosa dunia dan menjadi domba tebusan salah yang

membiarkan dirinya disembelih (Bdk Im 14:25). Dalam liturgi Jumat Agung nan ti, kita akan mendengarkan dan merenungkan Kitab Yesaya (53:4-6). Bacaan ini membawa kita untuk merenungkan Kristus yang mempraktikan solidaritas sebagai satu tubuh. Gereja umat Allah adalah satu tubuh dengan Kristus sebagai kepalanya. Jadi, bagaimana Minggu Palma itu penting? Bersama dengan Santo Paulus kita meyakini bahwa kita bisa memahami Yesus sebagai penebus hanya apabila kita berpartisipasi dalam penderitaan-Nya. Sekarang aku bersukacita bahwa aku boleh menderita karena kamu, dan menggenapkan dalam dagingku apa yang kurang pada penderitaan Kristus, untuk tubuh-Nya, yaitu jemaat. (Kol 1:24). Untuk itulah kita berharap ikut juga dalam kebangkitan dan kemuliaan-Nya.

Kamis Putih

Dalam Kamis Putih kita diajak untuk merenungkan makna perjamuan malam terakhir yang diadakan oleh Yesus bersama para rasul. Setiap orang bisa menafsirkan atau memaknai peristiwa ini. Bagiku malam Kamis Putih yang menarik adalah upacara pembasuhan kaki. Hal ini pun sudah banyak orang yang berusaha memaknainya. Aku mau membuat penafsiran tersendiri mengenai perjamuan malam terakhir. Menurut tradisi Yahudi mencuci kaki adalah sebuah bentuk penghormatan seseorang terhadap orang yang dianggap mempunyai status atau jabatan lebih tinggi atau lebih terhormat. Murid membasuh kaki gurunya sebab menganggap guru mempunyai status yang lebih terhormat daripadanya. Pada malam Kamis Putih Yesus mencuci kaki para murid. Jelas ini melawan adat, maka ditolak oleh Petrus. Dia yang adalah murid merasa tidak pantas dihormati gurunya sedemikian rupa. Tapi Yesus tidak mundur dengan penolakan Petrus, bahkan Dia mengancam kalau Petrus tidak mau maka dia tidak akan masuk dalam bagian komunitasnya. Aku yakin bahwa yang gelisah dan menolak bukan hanya Petrus melainkan semua murid dan mungkin juga Yudas. Apakah Yesus hanya mau mencari sensasi saja? Yesus melakukan sebuah perbuatan pasti ada tujuannya. Tindakan mencuci kaki merupakan salah satu bentuk pengajaran bagi para murid. Ini adalah keteladanan mengenai penghormatan. Pada umumnya orang hanya menghormati orang yang dianggap mempunyai status atau kasta yang sederajat atau yang lebih tinggi. Penghormatan hanya berjalan dari bawah ke atas. Yesus sejak awal berusaha membuat sebuah hukum baru, yang berbeda dengan aturan yang berlaku pada umumnya di dunia ini. Dalam Kotbah di Bukit dengan jelas Yesus hendak membangun suatu komunitas yang berbeda dengan masyarakat yang sudah ada. Hal ini bukan sifat Yesus yang aneh-aneh melainkan Dia berusaha membangun sebuah komunitas sempurna. Dunia mengajarkan penghormatan adalah hak orang yang lebih tinggi martabatnya. Orang yang mempunyai jabatan, kekayaan atau kekuasaan. Orang miskin dan marginal hanya wajib menghormati namun dia tidak mendapat penghormatan. Rakyat wajib menghormati presiden sebaliknya presiden tidak mempunyai kewajiban menghormati rakyatnya. Anak wajib menghormati orang tuanya, sebaliknya orang tua tidak mempunyai kewajiban yang sama. Bahkan tidak jarang orang yang dianggap punya kekuasaan tinggi, jabatan tinggi dan sebagainya dapat sewenang-wenang menindas orang yang dianggap lebih rendah. Penghormatan berlaku dari bawahan pada atasan. Yesus membalik aturan dunia ini. Dia mengajarkan penghormatan dari atasan pada bawahan. Dari guru pada murid. Dari penguasa pada orang yang tidak berkuasa, dari orang terhormat pada para kaum proletar. Ini adalah pukulan penyadaran bagi para murid. Beberapa kali mereka memperdebatkan siapa yang terbesar diantara mereka, sebab dengan merasa terbesar mereka berhak mendapatkan penghormatan dari yang lainnya. Ini adalah suatu bentuk ketidakadilan dimana orang hanya menuntut penghormatan sebaliknya dia tidak mau menghormati sesamanya. Semua manusia adalah citra Allah. Bermartabat sama. Namun tata dunia membuat aneka pembedaan. Dunia mengelompokan manusia dalam bermacam tingkatan. Pembagian ini berdasarkan kelahiran, jabatan, kekayaan dan sebagainya. Ada orang yang terlahir sebagai bangsawan, maka dia secara otomatis menempati sebuah posisi tertentu. Dia menjadi lebih unggul dibandingkan dengan orang lain. Pada jaman dulu budaya Jawa sangat ketat mempertahankan kebangsawanan. Orang yang terlahir sebagai bangsawan tidak boleh bergaul dengan orang yang bukan bangsawan atau bangsawan yang lebih rendah. Apalagi mereka menikah dan sebagainya. Kisah kasih Pronocitro dan Roro Jogran mencerminkan adanya batasan itu. Dalam budaya Cina juga ada kisah Sam Pek dan Ing Tay yang mencerminkan hal yang sama. Namun sekarang gelar kebangsawanan tidak lagi mendampatkan penghormatan, maka orang berusaha mencari aneka gelar akademik, kekayaan dan jabatan untuk memperoleh penghormatan. Orang sangat bangga bila di depan atau belakang namanya ada aneka gelar akademik atau aneka jabatan. Semua gelar ditulis rapi agar orang yang tidak punya gelar menghormatinya. Tata nilai dunia ini

tidak adil, sebab kapankah Mbok Jah yang hanya berjualan sayuran eceran atau Laksmi yang hanya seorang pekerja seks kelas teri di stasiun atau Asep yang hanya anak jalanan akan dihormati oleh orang lain yang bergelar profesor, berjabatan sekwilda dan sebagainya? Mereka hanya akan diperlakukan sewenang-wenang, tidak dianggap manusia, padahal martabat Asep sama dengan Pak Banu yang berpangkat jendral. Keduanya adalah citra Allah. Suatu hari aku dan teman-teman dari rumah singgah diundang seseorang yang berulang tahun di sebuah rumah makan mewah. Ketika kami datang, maka orang itu langsung mempersilahkan aku duduk di tempat yang sudah disediakan, sedangkan teman-temanku yang lain tidak dipedulikan. Hal ini terjadi karena aku adalah seorang imam dan teman-temanku adalah anak jalanan. Padahal martabatku sama dengan mereka. Inilah nilai dunia yang hendak diubah oleh Yesus. Penghormatan kepada kaum bawahan hanya bisa dilakukan bila orang yang dianggap atasan berani melepaskan atribut pemberian duniawi yang menempel di dirinya. Yesus melepaskan jubahnya yang melambangkan statusNya sebagai guru. Dia mengambil posisi hamba. Ini adalah salah satu bentuk pengosongan diri. Yesus sadar bahwa Dia adalah Guru namun berani melepaskan lambang-lambang keguruan. Keguruan Yesus bukan terletak pada lambang jubah melainkan kewibawaannya dalam mengajar, teguh dalam prinsip, kearifan, kebijaksanaan, belas kasih dan sebagainya. Dengan demikian keguruan Yesus bukan dari apa yang ditempelkan oleh masyarakat melainkan apa yang ada dalam diriNya. Pernah ada sekelompok kaum kaya yang ingin ikut bersamaku mengunjungi kaum miskin di sebuah daerah kumuh. Jauh sebelumnya aku sudah mengatakan pada mereka bahwa agar mereka menyesuaikan diri dengan orang yang akan dikunjungi. Namun pada hari kunjungan aku menjadi terheran-heran. Mereka memakai aneka asesoris yang bagi mereka sederhana namun bagi kaum miskin sebuah kemewahan yang membuat mereka bermimpi. Mereka tidak mau duduk di tikar yang sudah disediakan, sebab takut kotor, penyakit dan aneka alasan lain. Bagiku ini bukan bentuk penghormatan pada kaum miskin, sebab dengan sikap dan penampilan begitu kaum miskin masih harus menunduk-nunduk di hadapan mereka dan mengangguk-anggukan kepalanya pada setiap kata yang meluncur dari bibir para tamu, meski aku kadang ragu apakah mereka memahami yang dimaksudkan oleh para tamu itu. Penghormatan terjadi kalau orang berani menempatkan diri pada posisi yang lebih rendah. Yesus mencuci kaki para murid. Dia memposisikan diri sebagai budak. Namun Dia tidak menjadi budak para murid. Disini muncul ketegangan bagaimana aku dapat memposisikan diri sebagai budak namun tetap sadar bahwa aku bukan budak. Bagiku bergaul dengan anak jalanan, pengemis, gelandangan, pekerja seks, dan sebagainya bukan berarti aku harus menjadi bagian dari mereka. Aku tetaplah seorang imam. Aku harus tetap mempertahankan eksistensiku sebagai imam. Hal ini bukan dengan jubah putih, melainkan bagaimana aku bisa membawa mereka menjadi orang yang lebih baik. Tugas keimamanku yaitu membawa manusia untuk semakin dekat dengan Allah dan hidup lebih baik tidak aku letakan pada aneka gelar akademik atau jubah putih melainkan bagaimana perkataan, sikap hidup, dan pemikiranku mampu membawa kaum miskin mengenal Allah. Aku harus mampu duduk di tikar mereka, berpenampilan seperti mereka, berbicara dengan bahasa mereka dan sebagainya, namun aku masih harus tetap menghayati statusku sebagai imam dan sadar akan tugas perutusanku. Disinilah sering kali timbul kesulitan besar. Maka dalam Kamis Putih aku diingatkan kembali akan semuanya itu oleh Yesus yang dengan tegas mengatakan bahwa Dia adalah Guru dan Tuhan mau melakukan pembasuhan kaki para murid.

Jumat Agung
Jumat Agung adalah hari yang unik. Kalau Matius hanya mencatat dua hal luar biasa. Lukas mencatat bagi kita tiga kejadian ajaib yang membuat Jumat yang satu itu lain dari kebanyakan hari Jumat. Pertama, kegelapan meliputi seluruh daerah itu selama tiga jam. Kedua, tabir Bait Suci terbelah dua. Ketiga, kepala pasukan penyaliban memuliakan Allah di depan umum. Tulisan ini akan terfokus pada ketiga keajaiban di Jumat yang Agung. Pertama: ada kegelaan meliputi seluruh daerah itu dari jam dua belas sampai jam tiga. Matahari tidak mau bersinar. Bumi menjadi gelap. Mengapa begitu? Para ilmuwan bisa saja menjawab: ya itu terjadi karena gerhana matahari total yang terjadi pada waktu itu. Jawaban ini tidak mungkin. Karena gerhana matahari hanya bisa terjadi jika bulan gelap. Tetapi pada saat itu orang Yahudi merayakan paskah. Perayaan paskah selalu terjadi pada saat bulan purnama. Menurut perhitungan kalender Israel bulan baru selalu mulai dengan awal munculnya bulan. Hari keempat belas dari bulan baru, yaitu saat dimana domba paskah harus disembelih, jatuh sama dengan bulan purnama. Pada waktu itu posisi bulan berseberangan dengan matahari. Bumi berada di antara bulan dan matahari. Gerhana matahari hanya mungkin terjadi kalau bulan berada di antara matahari dan bumi. Jadi gelap gulita yang terjadi pada hari Jumat Agung tidak ada sangkut paut dengan gerhana matahari. Kegelapan saat itu adalah sebuah kejadian yang janggal. Ia bukan gejala alam biasa, yakni gerhana matahari. Lalu apa sebenarnya penyebab kegelapan itu?

Saya ajak kita melakukan anjangsana ke perjanjian lama. Baiklah kita ingat kembali kisah penciptaan. Kalimat pertama dari Alkitab berbunyi: "Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi. Bumi belum terbentuk dan kosong. Gelap gulita menutupi samudera raya". Bumi berada dalam gelap. Bumi baru mengenal terang waktu Allah mulai bertindak. Itu sebabnya Kitab Kejadian melaporkan bahwa pekerjaan yang dilakukan Allah pada hari pertama adalah "menjadikan terang". Terang datang dari Allah. Karya Allah identik dengan terang. Dan karya Allah berlangsung dalam terang. Allah menciptakan terang pada hari pertama. Tapi itu saja belum cukup. Pada hari keempat, terang itu dilipatgandakan lagi oleh Allah dengan menciptakan benda-benda penerang. Apakah dengan itu gelap sudah terusir dari dunia? Ternyata tidak. Kegelapan masih saja ada. Yesaya 9:1 masih bicara tentang bangsa yang berjalan dalam kegelapan. Bagaimana itu mungkin, padahal Allah sudah menjadikan terang dan membuat benda-benda penerang? Rupanya betapa pun baik dan berguna terang itu, ia tidak mampu menghalau semua kejahatan dari muka bumi. Karena terang itu hanyalah ciptaan. Untuk benar-benar menghalau kegelapan dari muka bumi, terang yang sejati harus datang ke dalam dunia. Yesuslah terang yang sejati. Terang yang sesungguhnya. Terang yang diciptakan Allah pada hari pertama dan yang dipancarkan dari benda-benda penerang hanyalah pantulan atau refleksi dari terang yang sejati itu. Terang dalam Kejadian 1:3 dan terang yang dipancarkan bendabenda penerang, yaitu matahari, bulan dan bintang, tidak memiliki terang sendiri. Mereka menjadi terang karena ada terang yang sejati, yaitu Allah. Manusia harus dapat mengerti terang dan fungsinya jika mereka ada dalam terang. Itu sebabnya pemazmur 36:10 berkata: in lumine tou videmus lumen yang artinya: "dalam terangmu kami melihat terang". Lalu apa hubungan gelap gulita di Jumat yang Agung dengan data yang saya kemukakan ini? Yang pertama, dengan cerita ini Lukas hendak menegaskan bahwa dunia kembali kepada keadaannya semula. Dunia benar-benar hidup tanpa Allah pada saat Yesus menghembuskan nafasnya yang terakhir. Itu sebabnya dunia diliputi kegelapan. Bukan kegelapan biasa karena gerhana matahari. Tetapi kegelapan luar biasa. Kegelapan yang dahsyat, kegelapan karena hidup tanpa Allah. Dan memang demikian adanya. Dua belas jam terakhir dari kisah hidup Yesus memperlihatkan betapa kejamnya manusia. Manusia telah benar-benar hidup tanpa Allah. Hati mereka menjadi gelap. Mereka bukan hanya memutarbalikkan kebenaran. Tetapi berusaha membunuh kebenaran. Manusia bukan hanya menangkap dan mengadili Yesus dalam kegelapan. Mereka juga ingin memusnahkan terang yang sejati itu dari muka bumi. Gelap gulita di Golgota pada Jumat yang Agung ini menunjukkan bahwa dunia dan manusia belum melangkah jauh dalam hal kebenaran dan kasih. Umur dunia sudah tua, tapi manusia yang menduduki dunia masih ada pada titik start, nol kilometer. Kedua, matahari menjadi gelap, karena Tuhan yang adalah sumber dari mana matahari memperoleh terang telah tiada. Seumpama lampu, nyala api matahari padam karena minyak yang menyalakannya sudah habis. Kristus sudah mati. Terang yang sesungguhnya sudah tiada. Matahari menjadi malu dan tidak tahan melihat bagaimana kejamnya perlakuan manusia terhadap sang terang. Itu sebabnya matahari menutup matanya. Ia tidak mau bersinar. Dalam Kitab Matius dan Lukas dikisahkan bahwa bukan hanya matahari yang menjadi gelap. Tetapi ada juga gempa bumi yang dahsyat. Bumi gemetar ketakutan waktu menyaksikan sumber hidup dan sang penciptanya dilumatkan oleh kuatnya dosa dan pemberontakan manusia. Inilah arti dari kejadian ajaib pertama di Jumat Agung. Tapi, kuatnya dosa itu tidak berlangsung lama. Kejahatan yang bersimaharajalela, bahkan sampai menyerang Allah tidak bertahan. Ia hanya berlangsung sekejap. Hanya tiga jam. Memang cukup lama, tetapi tidak selamanya. Kegelapan pasti akan berlalu. Kejahatan tidak punya masa depan. Pada hari paskah nanti, hari kebangkitan Yesus, ia akan benar-benar pergi dan takluk pada sang terang dunia. Ini juga pelajaran penting bagi kita. Kejahatan memang ganas tetapi seganas apa pun kejahatan itu, ia tidak punya masa depan. Akan tiba waktunya dimana kejahatan dilucuti dan para pelaku kejahatan akan dihadapkan ke pengadilan. Sekarang mungkin tidak, karena pengadilan dan para hakim kita masih hidup tanpa Allah waktu hendak mengambil keputusan. Tapi nanti, waktu sang hakim yang agung itu datang semua kejahatan akan tersingkap. Tanda ajaib yang kedua: tirai Bait Allah terbelah dua. Di Bait Allah tergantung dua tirai/layar. Yang pertama di pelataran depan yang memisahkan ruang untuk umum dan ruang yang kudus. Layar kedua tergantung di antara ruang kudus dan ruang maha kudus. Mana dari kedua layat ini yang terbelah tidak disebut dalam Alkitab. Kita hanya bisa menduga. Terbelahnya tirai ini tentu punya maksud atau pesan. Kalau maksudnya untuk mengumumkan bahwa jalan kepada Allah sekarang terbuka kepada semua manusia, maka yang tercabuk itu haruslah tirai yang memisahkan ruang kudus dan ruang maha kudus. Tetapi ini berarti hanya imam besar saja yang melihat dan mengetahui hal itu. Sudah pasti bukan ini yang dimaksudkan Lukas. Tirai yang tercabik yang dimaksud Lukas haruslah tirai yang ada di antara ruang untuk umum dan ruang kudus. Dan kalau itu yang terjadi, maka tercabiknya tirai tadi hendak menegaskan bahwa dengan kematian Yesus Allah mengumumkan bahwa Ia tidak mau lagi terkurung hanya dalam Bait Allah dan hanya bisa ditemui di gedung kebaktian. Sejak saat itu Allah tidak hanya bisa ditemui di Bait Allah. Ia ada dalam perjalanan kepada bangsa-bangsa. Dia mau juga disembah dan dihormati di tempat-tempat yang bukan gedung kebaktian atau Bait Allah. Bukan hanya para imam saja yang dapat berbicara dan melayani Dia. Orang kebanyakan juga dapat bertemu Tuhan Allah secara langsung. Pesan ini sesuai dengan dengan teologi kitab Injil Lukas. Karena keyakinan ini, Lukas tidak segan-segan bercerita tentang pekabaran Injil yang mulai dari Yerusalem sampai ke ujung bumi. Lukas juga memperoleh keberanian untuk menulis kepada seorang bukan Yahudi

(Teofilus) dengan maksud meyakinkan dia bahwa cerita tentang Yesus adalah benar. Bahkan hanya Lukas sajalah yang memuat cerita tentang orang Samaria yang murah hati (Luk. 10:25-37). Cerita yang memberikan kepada kita kesan sangat mendalam bahwa pelayanan dan penyembahan kepada Allah tidak melulu terjadi di Bait Allah atau tempat doa. Menolong sesama yang sedang dalam kesulitan, mengasihi dan memberi perlindungan kepada seorang asing atau dia yang memusuhi kita adalah perbuatan beribadah kepada Tuhan. Kita yang merayakan Jumat Agung perlu tahu keajaiban ini, sehingga mulai belajar untuk menyembah Allah bukan hanya di gedung ibadah dan rumah doa, tetapi juga di setiap tempat dimana saja kita berada. Keajaiban ketiga, seorang non Yahudi, bangsa tidak bersunat, kepala pasukan penyaliban berkata di hadapan umum: "Sungguh, orang ini adalah orang benar374Kita lihat di sini bahwa Allah tidak menyembunyikan kebenaran kepada orang non Yahudi. Allah adalah Tuhan yang tidak diskriminatif. Kasih juga tidak pilih muka. Allah memberikan kepada orang yang percaya maupun orang kafir kemampuan untuk mengenal kasih dan menghormatinya. Tidak ada dosa yang begitu berat sehingga menghalang-halangi kuasa Allah. Tidak. Kepala pasukan penyaliban digerakkan hatinya oleh Allah untuk mengenal kasih dan kebenaran. Dengan mengakui bahwa Yesus adalah orang benar di depan umum, ia mengaku diri sebagai yang melakukan satu tindakan yang salah dan keliru. Si kepala pasukan penyaliban tidak berusaha membela diri, ia mengakui kekeliruannya dengan terbuka dan jujur. Seorang kepala pasukan mengaku diri berbuat kesalahan dan kekeliruan. Itu diucapkan di depan umum. Lukas melihat ini sebagai sebuah keajaiban. Ia mencatat ini dalam kitab yang dia peruntukan kepada Teofilus, seorang pejabat tinggi dalam pemerintahan Roma waktu itu. Ia tentu mencatat keajaiban ini dengan maksud agar mendorong Teofilus waktu itu, dan Teofilus-Teofilus masa kini untuk meniru contoh kepala pasukan penyaliban. Akhirnya, Lukas memberi kesaksian bahwa pada Jumat Agung yang pertama ada tiga peristiwa ajaib. Kita sudah lihat keajaiban itu satu persatu. Tentu saja tidak dengan maksud mengatakan bahwa keajaiban-keajaiban itu hanya terjadi pada Jumat Agung yang pertama saja. Lukas catat hal itu untuk mendorong kita agar menjadikan Jumat Agung yang kita peringati kini dan di sini juga menjadi Agung yang di dalamnya ada keajaiban-keajaiban yang bisa disaksikan orang lain.

Sabtu Suci
Sabtu Suci atau Sabtu Sunyi atau Sabtu Sepi (bahasa Latin: Sabbatum Sanctum - "Hari Sabat Suci") adalah hari setelah Jumat Agung dan sebelum Minggu Paskah. Sabtu Suci merupakan hari terakhir dalam Pekan Suci yang dirayakan oleh orang Kristen sebagai persiapan perayaan Paskah. Hari Sabtu Suci memperingati pada saat tubuh Yesus Kristus dibaringkan di kubur setelah pada hari Jumat Agung mati disalibkan. Keesokan harinya (Paskah) Yesus bangkit dari kematiannya. Peristiwa ini direkam di dalam Alkitab di Yohanes 19:38-42, juga di dalam ketiga Injil Sinoptik Matius 27:57-61; Markus 15:42-47; Lukas 23:50-56

Sesudah itu Yusuf dari Arimatea ia murid Yesus, tetapi sembunyi-sembunyi karena takut kepada orang-orang Yahudi meminta kepada Pilatus, supaya ia diperbolehkan menurunkan mayat Yesus. Dan Pilatus meluluskan permintaannya itu. Lalu datanglah ia dan menurunkan mayat itu. Juga Nikodemus datang ke situ. Dialah yang mula-mula datang waktu malam kepada Yesus. Ia membawa campuran minyak mur dengan minyak gaharu, kira-kira lima puluh kati beratnya. Mereka mengambil mayat Yesus, mengapaninya dengan kain lenan dan membubuhinya dengan rempah-rempah menurut adat orang Yahudi bila menguburkan mayat. Dekat tempat di mana Yesus disalibkan ada suatu taman dan dalam taman itu ada suatu kubur baru yang di dalamnya belum pernah dimakamkan seseorang. Karena hari itu hari persiapan orang Yahudi, sedang kubur itu tidak jauh letaknya, maka mereka meletakkan mayat Yesus ke situ.

Minggu Palma

Minggu Palma dan Minggu Suci bagi Umat Katolik

08 Apr 1 Minggu sebelum hari raya paskah, umat katolik biasanya merayakan hari raya minggu palma. Biasanya dalam perayaan ekaristi, di beberapa gereja di adakan perarakan yang dimulai dari lapangan dengan semua umat dengan membawa daun palma. Kejadian ini mengingatkan kembali saat Yesus datang memasuki kota Yerusalem dengan menunggangi seekor keledai. Saat itu, orang Yahudi di Yerusalem begitu meng-eluelukan nama Yesus. Sungguh di sini kita lihat, bagaimana orang pada saat itu merindukan sosok seorang juru selamat. Pada saat itu, jalan yang dilalui oleh Yesus di tutup dengan daun palma yang berserakan di jalan. Semua orang melambaikan daun palma nya. Bagi gereja katolik, 1 minggu sesudah Yesus memasukin Yerusalem disebut dengan masa Passion Week.Ada beberapa istilah yang di pakai oleh orang Barat untuk melukiskan minggu Palma ini. Ada yang menyebut dengan istilah palm sunday, atau sunday of the passion. Mengapa kita harus merayakan minggu palma? Dalam minggu Palma ini, ada 2 pelajaran penting yang hendak di berikan. 2 pelajaran utama tersebut adalah :

Yesus memasukin Yerusalem Dengan Seekor Keledai Yesus memenuhi nubuatnya seperti tertulis di Zakaria 9:9 (Bersoraklah dengan nyaring hai putri Sion, bersorak -sorak lah hai putri Yerusalem! Lihat rajamu datang kepadamu; Ia adil dan jaya. Ia lemah lembut dan mengendarai seekor keledai, seekor keledai beban yang muda.). Pada saat itu orang-orang berteriak Hosana! yang berarti, Selamatkanlah Kami!. Pada saat itu mereka yakin hanya Yesus lah yang raja dan mampu melepaskan mereka dari bangsa Romawi dan Yerusalem akan menjadi kota orang Yahudi.

Pentakosta

Pentakosta bisa dikatakan sebagai Hari Jadi Gereja, karena pada hari itu Allah meneguhkan apa yang sudah dikatakan Yesus kepada para murid, demikian: "... di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku ..." (Mat.16:18). Melalui khotbah Petrus, yang namanya berarti Batu Karang, Allah menggerakkan 3000 orang sekaligus untuk bertobat (Kis.2:41), dan menjadi satu umat. Itulah gereja pertama. Selain itu, perlu kita ketahui akan adanya keunikan Hari Pentakosta. Ada apa, sesungguhnya, dengan hari tersebut sehingga Allah memilih sebagai hari dicurahkannya Roh Kudus. Menurut kalender orang Ibrani, ditentukan bahwa setiap laki-laki Yahudi harus datang menghadap TUHAN 3 kali dalam setahun (Ul.16:16). Dan, salah satu harinya adalah Pentakosta - yang dulu disebut sebagai Hari Raya Tujuh Mingggu, dihitung sesudah Paskah. Hari Raya ini merupakan Pesta Besar Panenan. Selama Hari Raya Tujuh Minggu, dengan penuh suka cita, dilakukan upacara persembahan baru dalam bentuk 2 potong roti yang terbuat dari tepung terbaik yang dimiliki (Im.23:16 - dst; Bil.28:26), dan persembahan lainnya. Hal ini merupakan pembaharuan perjanjian antara umat Israel dengan Allah. Bukan kebetulan jika pada hari Pentakosta - yang dalam bahasa aslinya berarti ke-50 (pentekoste, bahasa Yunani) - terjadi Peristiwa Besar dengan lahirnya Gereja. Allah memanfaatkan hari itu dengan tepat untuk menjelaskan pekerjaan Roh Kudus yang akan menginsafkan dunia akan dosa, kebenaran, dan penghakiman ( Yoh.16:8), yang dengan kata lain disebut sebagai Pertobatan. Inilah pekerjaan Gereja, yaitu mengurusi Panen Raya Allah akan "ladang-Nya yang sudah menguning". Pertanyaan bagi kita, siapkah Gereja kita menerima pekerjaan ini? Siapakah yang mau menjadi pekerja Allah? Selama seminggu ini, mari kita menyiapkan diri untuk menantikan hari peneguhan pencurahan Roh Kudus atas umat-Nya, dengan bersekutu, belajar Alkitab, dan berdoa sebagaimana dilakukan Gereja mula-mula

Anda mungkin juga menyukai